Oleh: Arif Nuh Safri, S. Th. I, M. Hum.
Pada
tanggal 15 April yang lalu, UN sudah dilaksankan untuk siswa SMA sederajat di negara ini. Namun demikian, kedatangan
UN tetap menjadi momok tersendiri bagi setiap pelaku pendidikan di Indonesia.
Hal ini terbukti dengan adanya berbagai macam kegiatan tambahan bagi siswa di
sekolah, seperti penambahan materi, try out, maupun pemadatan materi dan
atau bahkan bimbingan belajar di berbagai lembaga pendidikan berani memberikan
dan menawarkan berbagai layanan khusus dengan jaminan kelulusan UN atau
setidaknya kembali duit.
Terlepas
dari masih adanya kontroversial tentang pelaksanaan UN di negara kita, ternyata
UN telah berlangsung lama di negara ini dan selama itu pula menyimpan berbagai
masalah yang tak kalah pelik. Permasalahan ini setidaknya muncul dari tiga sudut,
yaitu tenaga pendidik, peserta didik, dan tidak kalah pentingnya adalah realita
yang menerpa pendidikan itu sendiri.
Dalam
tulisan ini, penulis tidak akan menjelaskan tiga permasalahan di atas secara
panjang lebar. Oleh sebab itu, tulisan ini sengaja diharapkan untuk menyoroti
realita pendidikan itu sendiri yang kemudian dikaitkan dengan tantangan UN
terhadap makna filosofis pendidikan itu sendiri. Di sisi lain penulis tidak
ingin menyatakan bahwa kompetensi pendidik dan peserta didik di negara kita
masih kurang atau tidak mumpuni.
Realita
pendidikan yang ada di Indonesia secara ril dan nyata bahwa memang masih sangat
jauh dari layak. Jangankan sekolah-sekolah yang berada di daerah terpencil dan
masih jauh dari efek globalisasi, ternyata sekolah-sekolah yang terhitung
relatif dekat dengan pemerintahan pun masih seringkali luput dari perhatian,
sehingga tidak jarang terlihat di media masa tulis maupun media elektronik,
kabar infrastruktur sekolahan yang roboh dan tidak layak pakai lagi. Di sisi
lain, pemerataan sarana dan prasarana pendidikan juga belum bisa diwujudkan
yang notabene merupakan tanggung jawab pemerintah sebagai pengendali
pendidikan, sehingga sangat naif kalau pemerintah menyetarakan dan memaksakan
UN sebagai salah satu syarat kelulusan siswa.
Dengan
berbagai permasalahan yang muncul dari realita pendidikan yang ada, maka tidak
bisa dipungkiri akan muncul permasalahan yang lebih fundamental, yaitu “krisis
kejujuran”. Peserta didik dipaksa bagaikan robot untuk mencapai hasil
pendidikan yang sesuai dengan keinginan pemerintah sendiri agar setara dengan
negara-negara maju lainnya, sementara pada saat yang sama mereka juga tidak
pernah membuka mata, telinga dan hati pada seluruh permasalahan yang muncul.
Mulai dari peristiwa infrastruktur yang roboh, peristiwa siswa yang harus
berperan bagai film “Indiana Zone” yang berjuang melewati jembatan gantung
roboh, peristiwa siswa yang berjuang menyeberangi arus sungai deras dan harus
berjalan kaki menempuh jarak yang jauh dan berkilo meter.
Dengan
demikian, tak pelak bahwa tantangan yang sama di setiap tahun pelaksanaan UN
akan terus berlanjut sampai saat yang tidak pasti, yaitu permasalahan
fundamental makna pendidikan itu sendiri yang menyebabkan munculnya benih-benih
“krisis kejujuran”.
Pendidikan
dalam bahasa latin disebut dengan educare yang secara harfiah dimaknai
dengan “menarik keluar dari”. Sehingga pendidikan adalah sebuah aksi nyata yang
membawa seseorang keluar dari kondisi tidak merdeka (perbudakan), tidak dewasa,
ketergantungan, ketidak jujuran menuju situasi merdeka, dewasa, mandiri
(menentukan diri sendiri), dan bertanggung jawab serta jujur. Oleh sebab itu, dengan
pendidikan diharapkan manusia diciptakan bukan untuk siap kerja, namun berwatak
siap belajar terus, dan siap mengadakan transformasi sosial karena sudah
mengalami transformasi terlebih dahulu lewat pendidikan.
Oleh
sebab itu, tantangan terbesar UN pada tahun ini dan mungkin pada tahun-tahun
yang akan datang adalah bagaimana UN dibangun sebagai media untuk memperkuat
makna filosofis pendidikan itu sendiri, sehingga pada UN ini diharapkan peserta
didik bisa keluar dari kebohongan, kecurangan atau ketidak jujuran. Dengan
demikian, selayaknya target bagi para pengendali pendidikan pada saat ini
adalah, tidak hanya lulus 100 % dengan patokan nilai semata, namun juga jujur
100 %. Mudah-mudahan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar