Translate

Rabu, 23 April 2014

Tuhanmu, Tuhanku, Tuhan Kita Satu



Tuhanmu, Tuhanku, Tuhan Kita Satu
Dalam kasih-Mu kutemukan damai tanpa batas
Dalam cintaku yang picik kubanggakan keagungan-Mu
Dalam karma-Mu kuatur diri ini.

Tuhan,
Dalam kebodohanku, abai kasih dan damai-Mu,
Hingga ku jatuh dalam darah tak bermuara.
Dalam fanatisme, kurasakan cinta dan kasih sayang-Mu,
Hingga ku terperosok dalam kejahatan kemanusiaan.

Tuhan,
Engkaulah pembawa kasih dan damai
Dalam wujud-Mu cinta dan sayang.
Zat-Mu adalah makar-Mu.

Namun,
Kasih-Mu tak dapat kuraih
Cinta-Mu tak mampu kurasa
Makar-Mu tak lagi kulihat.
Segalanya tertutup karena kebodohan, kerakusan, kesombongan, dan kenistaan orang tak bertanggung jawab.

Sujudku, baktiku

Sujudku, baktiku
Setetes cinta dan kasih-Mu
Samudra murka bagiku
Sedetik murka dan amarah-Mu
Samudra cinta dan kasih bagiku.

Dalam cinta, kutemui marahmu
Dalam murka, kurasakan kasih-Mu
Cinta dan marah menyatu dalam wujud-Mu
Murka dan kasih hadir dan tertanam dalam zat-Mu

Tuhan,
Sujudku baktiku.
Bukan bakti pada makhluk-Mu
Baktiku sujudku
Bukan sujud kesombongan















Sabtu, 19 April 2014

Eksklusifitas Beragama sebagai Bukti Kesombongan


“Tuhan tidak perlu dibela, karena membela makhluk-Nya sudah berarti membela Tuhan. Tuhan tidak butuh cinta dan kasih sayang, karena mencintai dan menyayangi makhluk-Nya sudah pasti mencintai dan menyayangi Tuhan. Berebut kebenaran itu artinya merebut kebenaran mutlak Tuhan, karena Tuhanlah yang Maha Benar”

            Beragama pada hakikatnya adalah wujud ketidak berdayaan manusia di hadapan kekuatan supra natural. Artinya, bahwa ada eksistensi luar biasa yang ada di luar kemampuan dan kekuatan dahsyat di luar kekuatan manusia. Seringkali fenomena alam terjadi yang mana manusia tidak mampu menjawabnya dengan kekuatan fisik, maupun akal atau logika.
            Dulu pencarian sekaligus penemuan kesimpulan Nabi Ibrahim dengan eksistensi Tuhan adalah berawal dari kekaguman terhadap benda-benda langit yang dianggap “wah” dan luar biasa serta mampu memberi dan memancarkan kemahadahsyatan terhadap kehidupannya yang mampu mempengaruhi nurani dan pikirannya. Berawal dari kekaguman atas cahaya penerang dari Bintang-bintang, kemudian berlanjut ke Bulan dan berakhir pada Matahari. Proses ini tentunya tidaklah sesederhana apa yang kita bayangkan, yaitu hanya memandang benda-benda langit semata. Namun lebih dari itu, Ibrahim telah mencoba memaksimalkan potensi nurani ketuhanan yang sebenarnya sudah ada dalam diri setiap individu. Keselarasan antara pikiran, hati, ucapan dan perbuatan merupakan langkah besar yang dilakukan oleh Ibrahim, sehingga menemukan kejujuran hati untuk mengambil sebuah keputusan besar yang pada akhirnya mampu memutar balikkan kehidupannya untuk menemukan Tuhan yang hakiki.
            Penulis membayangkan, bahwa penemuan Tuhan yang dicapai oleh Ibrahim di masa itu, tidaklah jauh berbeda dengan apa yang dilakukan oleh Nabi Muhammad. Muhammad yang juga bertahannus atau menyendiri ke Gua Hira, tentunya tidaklah hanya sekedar menjauh dari kehidupan sosial yang penuh dengan penyimpangan. Namun, Nabi Muhammad mencoba memikirkan, dan  menghayati fenomena alam, fenomena sosial yang ada pada masa itu, dan tentunya dengan menggunakan keselarasan pikiran, hati, lisan dan perbuatan pula sebagaimana halnya Ibrahim.
            Namun, dari kedua kasus besar ini, penulis melihat bahwa, baik Nabi Ibrahim, Nabi Muhammad, sama-sama tidaklah menyendiri hanya karena menganggap diri paling benar, namun malah sebaliknya ingin mencari kebenaran yang hakiki. Kesimpulan yang Nabi Ibrahim dan Nabi Muhammad ambil sebenarnya adalah kesimpulan yang menyalahkan apa yang mereka pikirkan selama ini, dan dalam waktu yang sama pula mereka meninggalkan keegoisan mereka untuk tidak merasa paling benar sendiri, sehingga dengan penuh kekhawatiran akan penolakan dan tantangan besar pun mereka abaikan demi untuk menyampaikan kebenaran yang mereka temukan.
            Keberanian untuk menemukan kebenaran sekaligus misi untuk menyampaikannya adalah manifestasi dari ketidak egoisan mereka sesungguhnya. Dan perlu digaris bawahi, bahwa kebenaran masing-masing yang Nabi Ibrahim dan Nabi Muhammad temukan, tidak pernah disampaikan dengan perasaan ingin menang sendiri, namun dilakukan dengan penuh hikmah dan kebijaksanaan.
            Nabi Ibrahim memulai misinya dengan keyakinan bahwa “aslama” ketundukan dan kepatuhan secara total pada Tuhan merupakan langkah awal yang harus dilakukan untuk menghilangkan sikap sombong dan takabbur di mata umatnya. Tidak jauh berbeda dengan Nabi Muhammad, ia diperintahkan untuk mengakui ke-Maha Besar-an Tuhan sebagai Sang Pencipta. Kedua nabi Tuhan tersebut sama-sama ingin menciptakan peradaban baru yang sangat humanis, dan harmonis, sehingga derajat manusia bisa terangkat.
            Dari kisah kedua Nabi Tuhan ini tentunya ada nilai tersembunyi bahwa Allah menurunkan agama, atau memberikan misi kenabian adalah untuk manusia itu pula, sehingga tidak ada lagi muncul kesombongan antarmanusia, keegoisan antarpenguasa, kerakusan antarpengusaha dan pemegang kendali perekonomian. Dengan demikian, antara manusia muncul harmonisasi kehidupan yang saling peduli, saling memperhatikan, saling berbagi, dan saling menghormati.
            Kalau memang, agama dan misi Nabi Ibrahim dan Nabi Muhammad adalah untuk manusia dan alam, maka tentunya dengan agama seharusnya mampu memunculkan dan menyebarkan kemanusiaan, bukan penindasan. Dengan agama dan misi kenabian,  manusia tidak harus saling menjatuhkan harkat dan martabat manusia lainnya, namun harus mampu mengangkat derajat sebagaimana diperintahkan kepada Nabi-nabi Tuhan. Agama dan misi kenabian muncul karena kasih dan sayang Tuhan terhadap manusia dan alam semesta ini, jadi tidak ada alasan bagi manusia untuk mengancam kehidupan orang lain. Agama dan misi kenabian muncul karena manifestasi pembelaan Tuhan kepada makhluk-Nya yang tertindas, maka manusia yang meyakini Tuhan harus menghilangkan segala bentuk penindasan di muka bumi ini.
            Kalau manusia memang meyakini Tuhan, maka tidak ada alasan untuk menghina makhluk Tuhan, sekalipun ia seorang pezina, pelacur, penjudi, pengemis. Kalau manusia memang meyakini Tuhan, maka mengasihi dan menyayangi makhluk-Nya adalah menghargai dan menghormati Tuhan juga. Agama apapun di muka bumi ini secara universal adalah agama yang menghargai manusia dan alam, jadi tidak ada hak bagi manusia untuk saling curiga, saling merasa paling benar, saling menindas, karena segala bentuk kecurigaan, segala bentuk kecurigaan, segala bentuk penindasan adalah hal yang dibenci Tuhan.   Kalau Tuhan berkehendak untuk menyeragamkan seluruh alam ini, niscaya Tuhan adalah Maha Kuasa, jadi manusia tidak usah terlalu bernafsu untuk mampu menguasai dan mengendalikan segala bentuk yang sudah diamanahkan oleh Tuhan di muka bumi ini. Cukupkanlah diri kita meyakini Tuhan secara benar, total, 100 %, dan menjalankan segala bentuk perintah Tuhan dengan yakin, total dan 100 % pula. Masing-masing kita harus meyakini bahwa Tuhan adalah Maha Adil, jadi biarkanlah pengadilan Tuhan yang berbicara dan membuktikan kebenaran nantinya. Semasa di bumi ini, mari kita masing-masing berjalan sesuai keyakinan kita masing-masing, sama-sama kita menuju Tuhan kita yang Paling Agung, Paling Besar, Paling Benar, Paling Adil. Tidak usah ada lagi klaim yang paling berhak masuk surga Tuhan. Toh, kalau pun nantinya kita semua masuk surga, kan asyik bisa berkumpul bersama, bercanda bersama, dan hidup harmonis kembali. Dan kalaupun kita tidak ada yang masuk surga Tuhan, apakah kita juga bisa protes dengan keadilan Tuhan? Kalau kita protes, terus dimana keyakinan kita bahwa Tuhan adalah Maha Adil? Di mana letak ketulusan dan keihklasan kita pada Tuhan?
            Dari refleksi ini, penulis jadi ingat ketulusan dan keikhlasan seorang manusia, dan wanita luar biasa, yaitu Rabi’ah al-Adawiyah. Dalam sya’irnya ia berucap: “Tuhan, kalau aku mengabdi pada-Mu hanya karena aku menginginkan surga-Mu, maka jauhkanlah aku dari surga itu Tuhan. Jikalau aku pun menjauhi segala kesalahan, kemaksiatan, hanya karena takut akan neraka-Mu wahai Tuhan, maka jatuhkanlah aku ke dalam neraka tersebut.” Luar bisa memang. Mudah-mudahanan kita bisa menjadi orang yang tulus dan ikhlas beragama kepada Tuhan, dan bukan beragama dengan penuh kecurigaan dan kebencian terhadap agama lainnya. Amin...      

Menjadi Waria, Lebih Mulia


Menjadi waria ternyata bukanlah menjadi pilihan yang mudah bagi setiap individu pelakon waria. Demikian pengakuan beberapa waria yang pernah penulis tanyakan. Selain dianggap sebagai penyimpangan sosial, waria juga dianggap sebagai penyimpangan norma dan bahkan agama, sehingga seolah-olah mereka sudah tidak memiliki tempat di muka bumi ini. Namun demikian, di balik semua perlakuan yang dihadapi waria, seperti ketiadaan pengakuan kedudukan mereka di berbagai lini, waria malah tetap menjadi sebuah komunitas yang mampu eksis dan tetap muncul di atas berbagai cemoohan dan gunjingan serta penolakan keras yang ada. Mereka para waria tetap berjuang dan bergerak untuk mendapatkan gerak hidup yang lebih layak, walau bahkan penolakan muncul dari keluarga yang terdekat sekalipun. Hal ini pada hakikatnya sudah menjadi salah satu bukti nyata kuatnya pendirian mereka dalam melakoni kenyataan hidup yang harus mereka hadapi.
            Kehidupan waria memang sangat susah ditebak, karena mereka juga ternyata manusia atau makhluk Tuhan yang sudah lama eksis sebagaimana muncul dan lamanya peradaban manusia. Namun anehnya, pengakuan dan legalisasi mereka tetap mendapatkan tantangan keras di berbagai daerah dan bahkan di banyak negara, termasuk di negara kita Indonesia.
            Penulis adalah salah satu yang bergelut di sebuah pondok pesantren kecil yang dirintis oleh seorang waria. Pesantren ini memang diperuntukkan untuk mereka waria yang dipandang sebelah mata oleh sebagian kelompok masyarakat Indonesia. Di tengah-tengah kecaman yang keras pada mereka (waria) sebagai penista dan penoda agama, ternyata memang hati murni dan akal murni tidak bisa berdusta, bahwa setiap individu memiliki sisi ke-Tuhanan yang tidak bisa diabaikan dan disingkirkan. Namun demikian, tetap saja waria dipandang telah keluar dari ajaran agama dan kodrat mereka.
            Harus diakui memang, negara kita ini adalah negara yang pemimpinnya sudah tidak mampu lagi mengakomodir segala permasalahan rakyatnya. Lihat saja, penggelapan pajak, kongkalikong antara penguasa dan pengusaha, bahkan lebih miris, penguasa bisa jadi lebih rendah dan atau berada di bawah ketiak pengusaha...(yeah,,,, bisa dibilang kaya’ suami takut istri gitu lah...). Di sisi lain,  kekerasan dan pelanggaran HAM yang sudah berulangkali terjadi pun tak kunjung selesai bagai hiasan hidup yang sudah tidak bisa hilang dari pendengaran, pandangan dan prilaku masyarakat kita. Seolah-olah pemerintah sudah tidak lagi mampu melihat, mendengar dan berfikir tentang segala permasalahan yang sama dan berulangkali terjadi.
            Di balik pandangan atas nistanya sebuah fenomena alam atau keberadaan waria, ternyata hal yang sangat berbanding terbalik malah terjadi di tengah kehidupan masayarakat Indonesia yang dikenal ramah, dan sopan serta santun. Jika, waria yang notabene merupakan kesalahan individu dan akan dipertanggungjawabkan secara individu pula di hadapan Tuhannya, dicaci, dinista, dianiaya, serta dikecam sebagai penghuni neraka, maka koruptor menghadapai hal yang jauh dari sewajarnya. Mereka para koruptor tetap saja dianggap sebagai pahlawan besar yang harus dielu-elukan. Lihat saja kasus Ayin atau Artalita yang mendapatkan kemewahan di LP, mendapatkan pelayanan ekstra elit (di penjara ko ada AC, Springbad, TV, de el-el). Seenaknya bisa keluar masuk LP hanya untuk melakukan perawawatan tubuh, agar tetap kelihatan cantik dan molek. Apa memang badan seksi dan molek menjadi salah satu alat untuk mendapatkan perhatian khusus dan spesial dari setiap LP ya?
            Untuk menjemput seorang koruptor ke Colombia saja sekelas M. Nazaruddin harus menelan biaya Rp. 4.000.000.000 (coba dibagikan ke masyarakat miskin ya...). Bahkan fasilitas yang didapat oleh seorang koruptor jauh melebihi fasilitas orang yang suci dan tanpa dosa yang memang mayoritas masyarakat Indonesia yang selalu menjadi korban para kaum elit (coba liat! apa dosa para kaum miskin yang hanya bisa tidur di kolong jembatan dan mengais sampah di jalanan dan comberan? Apa dosa kaum penjual asongan yang tidak pernah mendapatkan rasa aman dan nyaman karena selalu dihantui oleh adanya sweeping dari Satpol PP atau Trantip? Apa dosa anak jalanan yang meminta-minta di pinggir jalan karena tidak bisa makan atau bahkan minum air bersih hanya karena semua dana dan subsidi mereka habis dihisap oleh para penghaus darah di kantor-kantor elit? Apa dosa para pelacur yang harus bercibaku dengan kehidupan nakal serta jahatnya prilaku para lelaki pecundang yang hanya memikirkan nafsu seks mereka semata, sementara mereka (pelacur) harus rela menjajakan diri dan membuang harga diri mereka demi untuk menghidupi tiga empat nyawa di kampung halaman mereka? Apa dosa para waria yang menari dan berjoget di pinggir jalanan sambil ngamen hanya untuk menghidupi pribadi atau keluarga mereka di desa?
            Kalaulah pelacur, waria adalah benar perbuatan dosa, tapi perbuatan mereka hanya untuk pribadi mereka yang sebenarnya bukanlah pilihan yang mereka inginkan. Tapi coba dibandingkan dengan mereka para koruptor, mereka makan dan minum dari harta dan pajak orang miskin, mereka hidup mewah dari pajak para pedagang asongan penjual rokok, penjajah minuman botol dan kemasan yang pabriknya dikuasai oleh pengusaha dan penguasa. Para koruptor bersantai di dalam mobil sedan yang duitnya diambil dari subsidi pendidikan yang seharusnya dinikmati oleh anak-anak jalanan pengemis dan pengamen yang terus berjuang demi sesuap nasi dan seteguk air bersih di bawah panas sengatan matahari, dinginnya angin malam dan guyuran hujan. 
            Kalau memang koruptor sudah dianggap sebagai pelangaran norma hukum, agama dan sosial, tapi kenapa orang masih saja menganggapnya sebagai manusia yang harus mendapat perhatian khusus? Sedangkan waria, yang hanya melakukan kesalahan individu, malah dianggap sebagai penoda norma sosial, agama dan lain-lain. Bahkan lebih dari itu, para pemimpin yang lalai dan berfoya-foya juga tetap dianggap sebagai manusia yang harus dianggap sebagai manusia layak dan harus dihormati, dan sangat bertolak belakang dengan apa yang dihadapi oleh para waria. Bukankah pemimpin yang lalai dengan amanatnya juga termasuk pelanggaran norma sosial, dan agama? Bahkan pemimpin yang zalim adalah salah satu yang sudah dijamin oleh Rasul sebagai penghuni neraka Tuhan nantinya. Bandingkan saja dengan para waria yang berjuang hidup demi sesuap nasi, dan bahkan berjuang melawan kerasnya hidup demi untuk menghidupi keluarganya nan jauh di sana. Perlu diketahui, satu orang waria ditangkap, maka tiga atau empat nyawa terancam tidak bisa makan, karena waria tersebut adalah sebagai tulang punggung keluarga, walaupun tak jarang waria tersebut harus menutup identitasnya dari keluarganya sendiri. Bahkan penulis mengenal seorang waria yang mencoba untuk mengadopsi anak dan di didik sebagaimana anak lainnya yang diharapkan untuk bisa hidup layak dan menjadi manusia yang mampu memanusiakan manusia.
            Demikianlah segelintir kehidupan waria yang harus menantang segala rintangan yang muncul. Kalau begitu, siapa yang lebih mulia? Waria atau pemimpin yang kerjaannya cuma sakit hati dan prihatin tanpa tindak lanjut? Waria atau seorang koruptor yang memakan harta jutaaan rakyat dan bahkan menghisap darah para kaum jalanan dan kecil? Waria yang mampu eksis dan bertahan dalam kehidupan keras atau pemimpin yang hanya sibuk mengurus urusan pribadi yang selalu sakit hati? Bukankah pemimpin yang diharapkan adalah pemimpin tegas dan berani, dan bukan pemimpin yang sentimentil? Bukankah lebih baik sentimentil dalam prilaku fisik seperti waria yang secara fisik adalah pria namun berprilaku dan berpakaian perempuan, daripada fisik pria dan berpakaian pria seolah-olah seorang pejantan tangguh dengan jas stelan, sepatu mengkilap, dasi harga jutaaan, dan berbagai aksesoris mahal yang bahkan kalau dihitung secara nominal, mampu memberi makan 100 orang rakyat kecil, namun memiliki hati kecil, mudah menciut, banci dan kerdil serta tidak memiliki keberanian?
            Koruptor dibolehkan melaksanakan perintah Tuhannya, namun kenapa masyarakat belum siap menerima waria untuk menghadap pada Tuhannya? Koruptor bisa hidup berdampingan dengan masyarakat luas, namun kenapa waria selalu dikucilkan dari kehidupan sosial? Kalau dianggap sebagi penyimpangan norma sosial dan agama, bukankah setiap pelanggaran adalah menyimpang dari norma yang ada? 

UN: Tantangan Besar atas Makna Filosofis Pendidikan


Oleh: Arif Nuh Safri, S. Th. I, M. Hum.

            Pada tanggal 15 April yang lalu, UN sudah dilaksankan untuk siswa SMA sederajat di negara ini. Namun demikian, kedatangan UN tetap menjadi momok tersendiri bagi setiap pelaku pendidikan di Indonesia. Hal ini terbukti dengan adanya berbagai macam kegiatan tambahan bagi siswa di sekolah, seperti penambahan materi, try out, maupun pemadatan materi dan atau bahkan bimbingan belajar di berbagai lembaga pendidikan berani memberikan dan menawarkan berbagai layanan khusus dengan jaminan kelulusan UN atau setidaknya kembali duit.
            Terlepas dari masih adanya kontroversial tentang pelaksanaan UN di negara kita, ternyata UN telah berlangsung lama di negara ini dan selama itu pula menyimpan berbagai masalah yang tak kalah pelik. Permasalahan ini setidaknya muncul dari tiga sudut, yaitu tenaga pendidik, peserta didik, dan tidak kalah pentingnya adalah realita yang menerpa pendidikan itu sendiri.
            Dalam tulisan ini, penulis tidak akan menjelaskan tiga permasalahan di atas secara panjang lebar. Oleh sebab itu, tulisan ini sengaja diharapkan untuk menyoroti realita pendidikan itu sendiri yang kemudian dikaitkan dengan tantangan UN terhadap makna filosofis pendidikan itu sendiri. Di sisi lain penulis tidak ingin menyatakan bahwa kompetensi pendidik dan peserta didik di negara kita masih kurang atau tidak mumpuni.
            Realita pendidikan yang ada di Indonesia secara ril dan nyata bahwa memang masih sangat jauh dari layak. Jangankan sekolah-sekolah yang berada di daerah terpencil dan masih jauh dari efek globalisasi, ternyata sekolah-sekolah yang terhitung relatif dekat dengan pemerintahan pun masih seringkali luput dari perhatian, sehingga tidak jarang terlihat di media masa tulis maupun media elektronik, kabar infrastruktur sekolahan yang roboh dan tidak layak pakai lagi. Di sisi lain, pemerataan sarana dan prasarana pendidikan juga belum bisa diwujudkan yang notabene merupakan tanggung jawab pemerintah sebagai pengendali pendidikan, sehingga sangat naif kalau pemerintah menyetarakan dan memaksakan UN sebagai salah satu syarat kelulusan siswa.
            Dengan berbagai permasalahan yang muncul dari realita pendidikan yang ada, maka tidak bisa dipungkiri akan muncul permasalahan yang lebih fundamental, yaitu “krisis kejujuran”. Peserta didik dipaksa bagaikan robot untuk mencapai hasil pendidikan yang sesuai dengan keinginan pemerintah sendiri agar setara dengan negara-negara maju lainnya, sementara pada saat yang sama mereka juga tidak pernah membuka mata, telinga dan hati pada seluruh permasalahan yang muncul. Mulai dari peristiwa infrastruktur yang roboh, peristiwa siswa yang harus berperan bagai film “Indiana Zone” yang berjuang melewati jembatan gantung roboh, peristiwa siswa yang berjuang menyeberangi arus sungai deras dan harus berjalan kaki menempuh jarak yang jauh dan berkilo meter.
            Dengan demikian, tak pelak bahwa tantangan yang sama di setiap tahun pelaksanaan UN akan terus berlanjut sampai saat yang tidak pasti, yaitu permasalahan fundamental makna pendidikan itu sendiri yang menyebabkan munculnya benih-benih “krisis kejujuran”.
            Pendidikan dalam bahasa latin disebut dengan educare yang secara harfiah dimaknai dengan “menarik keluar dari”. Sehingga pendidikan adalah sebuah aksi nyata yang membawa seseorang keluar dari kondisi tidak merdeka (perbudakan), tidak dewasa, ketergantungan, ketidak jujuran menuju situasi merdeka, dewasa, mandiri (menentukan diri sendiri), dan bertanggung jawab serta jujur. Oleh sebab itu, dengan pendidikan diharapkan manusia diciptakan bukan untuk siap kerja, namun berwatak siap belajar terus, dan siap mengadakan transformasi sosial karena sudah mengalami transformasi terlebih dahulu lewat pendidikan.
            Oleh sebab itu, tantangan terbesar UN pada tahun ini dan mungkin pada tahun-tahun yang akan datang adalah bagaimana UN dibangun sebagai media untuk memperkuat makna filosofis pendidikan itu sendiri, sehingga pada UN ini diharapkan peserta didik bisa keluar dari kebohongan, kecurangan atau ketidak jujuran. Dengan demikian, selayaknya target bagi para pengendali pendidikan pada saat ini adalah, tidak hanya lulus 100 % dengan patokan nilai semata, namun juga jujur 100 %. Mudah-mudahan

Minggu, 13 April 2014

Surga yang Kosong


Surga tetap menjadi perebutan dari setiap penganut agama yang ada di muka bumi ini. Umat Yahudi berkata bahwa mereka yang paling berhak untuk masuk surga. Umat Nasrani juga demikian, dengan percaya diri mengklaim sebagai umat yang paling berhak untuk masuk surga Tuhan. Tidak kalah dengan dua agama samawi di atas, umat Islam (pengikut Muhammad) juga berkeyakinan besar adalah sebagai ummat yang paling berhak dan paling benar untuk mengeyam nikmat surga Tuhan di akhirat kelak.
            Setiap pemeluk agama pasti memiliki alasan dan argumen tersendiri. Bahkan lebih dari itu, doktrin dan dogma demikian telah menjadi hal yang sudah termaktub dalam kitab masing-masing sesuai dengan paradigma masing-masing pula. Kalau begitu halnya, lantas siapa yang akan masuk surga kelak? Apakah memang Tuhan menyediakan surga bagi setiap pemeluk agama masing-masing? Umat Yahudi masuk surga Yahudi, umat Nasrani masuk surga Nasrani, dan umat Islam (pengikut Muhammad) masuk surga Islam, atau semuanya masuk dalam surga yang sama, yaitu surga Tuhan? Atau bahkan tidak ada di antara umat pemeluk agama yang masuk surga karena telah dibagi-bagi oleh kerakusannya masing-masing, sehingga lahannya tidak cukup lagi untuk menampung, seperti halnya mereka lakukan ketika hidup di bumi Tuhan, yaitu berebut harta, tanah, tahta di bumi Tuhan ini?
            Saya sepertinya lebih cenderung pada pilihan terakhir, bahwa pada akhirnya memang tidak ada manusia yang akan masuk surga nantinya, karena Tuhan gerah dan marah melihat kondisi makhluk-Nya yang masih saja rakus dan tamak serta lebih mengedepankan ego masing-masing. Sehingga pada akhirnya kelak surga menjadi kosong, ompong melompong karena tidak ada yang layak untuk memasukinya, kecuali hanya para utusan Tuhan yang telah terpilih.

Mayoritas yang Minoritas


Mayoritas bangsa Indonesia adalah orang miskin, namun menjadi minoritas karena tidak punya kekuatan dan kekuasaan. Mayoritas negara kita adalah air atau lautan, hingga 2/3, namun ternyata orang yang tinggal di daerah perairan tersebut menjadi minoritas, nir pendidikan, nir perhatian, nir kesejahteraan. Negara kita dikenal dengan negara agraria, itu artinya juga mayoritas masyarakatnya juga bekerja di agraria, namun ternyata minor beras hingga harus impor, bahkan karena pemerintah tidak mampu menjamin pangan beras rakyatnya, sekarang ada istilah gerakan tanpa beras sehari? Kesalahan pemerintah yang tidak mampu menjamin kesediaan pangan, malah rakyat yang harus dipaksa untuk meninggalkan beras.
            Negara maritim, yang daerahnya mayoritas lautan, ternyata juga tidak mampu memaksimalkan swadaya garam. Sehingga juga harus impor, yang menyebabkan rakyat pekerja tradisional produksi garam semakin terlilit dan tercekik karena kalah saing dengan garam murah dari luar negri.
            Mayoritas masyarakat kita adalah orang ramah, sopan dan murah senyum, sehingga konon katanya orang-orang atau para turis manca negara harus menyediakan obat anti encok, dan pegal hanya karena kelelahan menerima sapaan dari orang-orang pribumi, yang menyebabkan mereka harus sedikit membungkuk. Tapi kenapa bisa kalah dengan orang minoritas yang sudah menghilangkan nilai-nilai peradaban atau nilai-nilai ke-Indonesiaan tersebut? Buktinya, hampir setiap hari terjadai kekerasan horizontal, baik antar siswa, antar mahasiswa, antar warga, antar warga dan aparat?
            Mayoritas yang naik haji setiap tahunnya ke Makkah adalah orang Indonesia. Minimal ratusan ribu warga Indonesia ikut memadati ibadah Haji. Ini artinya, bahwa Indonesia sebenarnya bukanlah negara yang miskin amat, atau juga bisa jadi, karena ada orang yang rakus ingin beribadah sendirian berulang kali, sehingga mengabaikan tetangganya yang morat-marit dan menderita menahan lapar. Kalaulah seandainya, orang individualis tersebut mau menghilangkan sejenak egonya untuk tidak naik haji untuk yang kesekian kali, setidaknya dia sudah mampu membantu tetangganya minimal 30 orang dan mendapatkan uang satu juta/orang. Atau juga membangunkan usaha mandiri untuk memaksimalkan potensi tetangganya sehingga tidak lagi terjadi kemiskinan.
            Bukankah Rasul selama hidupnya sebenarnya memiliki kesempatan untuk naik haji 8 kali semenjak disyari’atkannya ibadah haji? Namun kenapa pula, rasul hanya melaksanakan Ibadah haji 2 kali dalam hidupnya. Itupun, salah satunya karena kepentingan sosial pada saat itu, sehingga dikenal dengan haji wada’. Haji wada’ ini dimanfaatkan oleh Rasul sebagai momentum membangun solidaritas umat ketika itu di khutbah ‘Arafah. Kenapa, rasul tidak pernah memberikan embel-embel haji pada namanya? Sementara di Indonesia, bisa jadi menyebabkan kemurkaan atau kemarahan, jika namanya disebut tanpa menyebut haji sekaligus. Haji bukan identitas, tapi nilai spiritual, haji bukan status, tapi moral, haji bukan kebanggaan, tapi ketawadhu’an, haji bukan fisik, tapi batin. Haji bukanlah tempat singgah, tapi puncak dari segala tujuan. Haji bukanlah media curhat sama Allah ketika akan bercerai, ketika karir terancam, tat kala ingin ikut Pilkada dan lain-lain, namun haji adalah ibadah tanpa keluh kesah, ibadah perjalan batin dan spiritual, ibadah fisik dan psikis.     

Membangun Prinsip Hidup “Sadar Diri”


Di masa-masa bulan politik seperti saat ini, mungkin istilah “sadar diri” memang kurang dikenal. Namun demikian, alangkah indahnya persaingan politik di negara kita ini jika prinsip ini bisa terbangun dalam setiap calon pemimpin. Dengan prinsip ini, tentunya tidak akan ada calon pemimpin yang saling sindir, saling menghujat, dan saling tuding.
Prinsip “sadar diri”, jika dikaitkan dengan bahasa indah dari seorang Khalifah ‘Ali bin Abi Thalib bisa dimaknai sebagai berikut: “istanthiq qalbaka” (ajak bicara kalbu atau nuranimu). Sadar diri akan terwujud jika, setiap manusia mampu mengajak bicara kalbu dan nurani masing-masing, karena nurani tidak akan pernah berbohong. Apa pun yang memunculkan keresahan dalam jiwa, maka itu adalah kesalahan, dan apapun yang membuat ketenangan jiwa, maka itulah kebenaran dan kebaikan.
Kaitannya dengan dunia politik saat ini, bisa dibayangkan seandainya setiap calon pemimpin sama-sama sadar diri, dan berbicara dengan nuraninya. Kesadaran akan kelemahan sekaligus kelebihan orang lain, akan memciptakan calon pemimpin yang berjiwa besar. Sebaliknya, seseorang yang tidak mampu berbicara dengan nuraninya, akan menyebabkan lupa diri dan arogan terhadap orang lain serta penuh kebohongan dan kedustaan pada diri sendiri. Karena ia akan mengatakan ia mampu di balik kelemahannya, mengaku pintar di balik kebodohannya, mengaku jujur di balik kebohongan dan kedustaannya, mengaku terpercaya di balik pengkhianatannya.
Betapa indah negara kita, jika para calon pemimpin kita saling introspeksi diri hingga akhirnya sadar diri, kemudian ekstrospeksi pada calon pemimpin lain sebagai perbandingan. Dalam pada itu, para calon diharapkan melakukan dialektika positif dan bermartabat, sehingga di antara para pemimpin pun bisa menentukan siapa yang paling berhak dan paling bagus untuk menjadi pemimpin. Bagaimana mungkin negara ini tidak maju, jika antarpemimpin saling berbesar hati untuk mengakui kelemahannya sekaligus mengukuhkan orang yang dianggapnya lebih unggul dan pantas darinya.
Sadar diri, jika dipandang sebelah mata memang bukanlah hal yang mudah, dan bahkan bisa dikatakan sesuatu yang mustahil. Namun demikian, hal semacam ini bukanlah sesuatu yang tidak pernah terjadi di masa lalu. Pada saat umat Islam kehilangan figur Nabi Muhammad saw., umat Islam ketika itu kebingungan untuk mencari penggantinya. Sehingga pada saat itu, kaum Anshor mengadakan musyawarah, hingga pada akhirnya kaum Muhajirin pun datang. Singkatnya, pada saat itu, para kaum Anshor mengunggulkan Abu ‘Ubaidah dan Muhajirin cenderung mempercayai ‘Umar bin Khattab sebagai pengganti Rasul sebagai pemimpin umat Islam. Namun, dengan besar hati, prinsip sadar diri atau berbicara dengan nurani dimunculkan oleh ‘Umar bin Khattab dan Abu ‘Ubaidah di depan umat Islam ketika itu. Dengan besar hati, mereka berudua mengakui kelemahannya sekaligus mengukuhkan kehebatan dan keunggulan Abu Bakr Ashshiddiq sebagai calon pemimpin yang lebih pantas untuk menggantikan Nabi Muhammad pada saat itu. Tanpa banyak perbedaan pendapat, Abu Bakr Ashshiddiq pun tepilih sebagai khalifah pertama atau pengganti pertama Nabi Muhammad sebagi pemimpin umat Islam.
Dalam konteks negara kita Indonesia, berharap para calon pemimpin kita nantinya bermusyawarah bersama melakukan dialektika politik bermoral dan bermartabat untuk membangun prinsip hidup “Sadar Diri” sehingga mampu membuat kesimpulan siapa di antara mereka yang paling pantas dan unggul untuk menjadi pemimpin Indonesia di tahun 2014-2019. Setidaknya, kalaupun tidak mungkin akan menyimpulkan sebuah kesepakatan bersama pada sosok tertentu, namun bersama-sama memberikan komitmen untuk membangun bangsa dengan transparan.