Translate

Jumat, 26 Oktober 2012

Haji: Antara Status dan Spiritualitas


Haji: Antara Status dan Spiritualitas
Bulan haji, Dzulhijjah merupakan segelintir momentum di mata sosial untuk membuktikan bahwa dia adalah orang yang mampu di banding orang lain. Bahkan, mampu tidaknya tersebut yang menjadi tolok ukur adalah bentuk fisik dan materi. Padahal, salah satu aspek mampu yang tidak harus diabaikan, dan seyogianya menjadi tolok ukur kesempurnaan mampu secara fisik tersebut, adalah kemampuan batin dan spiritual. Bagaimana tidak, banyak yang mampu secara fisik dan materi naik haji, namun masih saja korupsi, mampu naik haji secara fisik dan materi, namun masih saja menebar kebencian pada orang lain. Dan yang paling naif, mampu secara fisik dan materi, namun naik haji hanya tempat persinggahan, hanya karena sudah jalan-jalan ke Eropa, Australia dan belahan benua lainnya. Di samping itu, naik haji hanya untuk mengambil simpatik dari para konstituennya, yaitu ketika pemilihan nantinya, namanya sudah bertitel “Haji”.
Saya teringat, ketika saya harus bertemu dengan pegawai Kementerian Keagamaan, yang pada saat itu melakukan pengawasan ke sekolah tempat saya bekerja. Pada saat itu, saya mengajar Bahasa Arab, dan guru yang mengampu agama ketika itu, hanya saya sendiri. Saya panjang lebar berbicara dengan pengawas tersebut. Dia mengatakan, bahwa sebelum jadi pengawas, dia sudah menjadi guru hampir tiga puluh tahun. Satu hal yang bikin saya harus koprol dan bilang waw (maklum pengaruh dari bahasa gaul di TV atau iklan dan juga dari anak-anak SMA githu...) Di dalam hati saya, hal ini merupakan pengabdian yang luar biasa, dan pantas untuk diacungi jempol. Bagaimana tidak, bukankah guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa? (itu dulu, sekarang sudah tidak berlaku lagi untuk guru-guru PNS, tapi masih sangat relevan untuk guru-guru swasta seperti saya). 
Di tengah-tengah obrolan, karena memang pengawas tersebut sekaligus ingin memberikan dana suntikan untuk pelaksanaan Pesantren Kilat, dan otomatis momen ini adalah momen Ramadhan, maka dia juga bercerita bahwa di bulan Dzulhijjah yang akan datang dia akan naik haji. Ketika itu, saya mengatakan, al-hamdulillah pak, semoga jadi haji yang berkah, dan mabrur. Namun tidak lama, berselah, ia melanjutkan omongannya bahwa ia telah melaksanakan ibadah haji sebanyak tiga kali. Ini artinya, akan naik haji untuk yang keempat kalinya. Mendengar ucapan itu, saya langsung bergumam di dalam hati, apa ini yang disebut dengan Ibadah Haji Penyembah Setan? Namun, saya tidak mau berlama-lama menyimpan praduga tersebut, karena bisa jadi, dia hanya bertugas, atau mendapat mandat dari tempat kerjanya sebagai pendamping. Tapi, ternyata apa yang saya duga tadi adalah benar, bahwa dia naik haji sebanyak tiga kali dan yang keempat kali adalah biaya sendiri, dan bukan karena penugasan.
Dia memang mengatakan, ternyata ketika sampai di Makkah, dan melihat Ka’bah, ada kepuasan tersendiri, yang seakan-akan menyebabkan kerinduan luar biasa untuk kembali kesana. Saya sebenarnya tidak bisa membantah, karena saya juga belum pernah merasakan nikmatnya ibadah haji. Namun demikian, bukankah ibadah haji, hanya kewajiban sekali dalam seumur hidup?
Melihat kondisi Indonesia sekarang ini, bukankah lebih baik memberikan kesempatan orang lain untuk naik haji, daripada harus memuaskan hasrat individulis? Bukankah dalam ibadah juga, sarat dengan nilai-nilai sosial? Apakah tidak lebih besar pahalanya dengan cara memberdayakan uang 30 juta dengan cara membantu orang miskin di sekitar kita untuk membangun usaha mereka? Bukankah lebih bijak menyekolahkan anak-anak jalanan, atau anak-anak kaum miskin dengan 30 juta tersebut hingga mereka sarjana? Rasul sendiri hanya dua kali melaksanakan ibadah haji, selama delapan tahun disyari’atkannya ibadah haji tersebut? Kalaulah alasan kita, hanya karena merasa rindu akan Makkah, Madinah, dan Ka’bah, apakah Rasul tidak merasakan rindu kepada Ka’bah? Kalaulah alasan untuk memupuk spiritualitas, apakah Rasul juga tidak ingin memupuk spiritualitasnya dalam waktu delapan tahun tersebut? 
Buat para calon haji yang pertama, saya ucapkan selamat dan mudah-mudahan menjadi haji yang mabrur, dan saya doakan pula agar keluarga selalu sehat dan damai. Untuk para haji yang sudah berangkat, semoga juga haji yang mabrur, dan selamat hingga tujuan sampai kembali ke negara asal, Indonesia tercinta, dan jangan jadikan haji sebagai status sosial, setidaknya tanpa harus menjadikannya sebagai label nama, atau titel di awal nama. Sementara untuk para calon haji yang kedua kalinya, ketiga kalinya, keempat kalinya, kelima kalinya, keenam kalinya, ketujuh kalinya, dan kesekian kalinya, silahkan ditunda, dan berikanlah kesempatan untuk orang lain, agar waiting list mereka setidaknya maju sedikit, dan tidak terhambat oleh kerakusan kalian.
Mengambil hak jadwal keberangkatan orang adalah sebuah penganiayaan yang luar biasa, terlebih-lebih kepada mereka yang sudah lanjut usia. Atau berikan kesempatan kepada orang-orang tidak mampu untuk mengeyam bangku sekolah sebagaimana layaknya dengan duit kalian yang sudah berlebih. Bukankah Rasul menjanjikan lewat hadisnya bahwa “Siapa yang memberikan jalan atau menunjukkan sebuah kebenaran dan kebaikan, maka dia akan mendapatkan balasan atau pahala sebesar orang yang mengerjakannya”. Memberi kesempatan untuk orang lain naik haji, adalah sama pahalanya dengan orang yang diberi kesempatan tersebut. 
Mudah-mudahan, dengan refleksi singkat ini, bisa menjadikan kita sebagai pribadi yang tidak hanya rakus akan nilai spiritual individualis, namun juga menjadi pribadi yang lebih mampu berempati walau dalam hal ibadah sekalipun. Mudah-mudahan...     

Rabu, 17 Oktober 2012

UU KDRT SEBAGAI MEDIA MENCIPTAKAN KELUARGA HARMONIS



UU KDRT SEBAGAI MEDIA MENCIPTAKAN
 KELUARGA HARMONIS


PENDAHULUAN

Indonesia sebagai Negara hukum telah menjamin hak-hak asasi manusia dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945 Pasal 27 (1), Pasal 28 H ayat (1) dan ayat (2), dan Pasal 28 I (2).[1] Melalui dasar hukum yang ada dalam Undang-Undang Dasar RI tersebut, setiap orang mempunyai jaminan kesejajaran atau kesetaraan di hadapan hukum dan perlakuan yang berkemanusiaan. Selain itu, Indonesia juga sudah memberikan jaminan kesetaraan, keadilan dan perlindungan dari diskriminasi, penindasan, rasa tidak aman, serta hak untuk hidup layak. Namun demikian, realita sosial tak jarang bertolak belakang dengan apa yang sudah ada dalam yuridis-normatif tersebut, sehingga berbagai bentuk kekerasan masih saja terjadi di negara ini, termasuk kekerasan terhadap perempuan terutama di dalam rumah tangga (KDRT).[2]
Pada hakikatnya, kesetaran dan keadilan gender tanpa diskriminatif sudah mendapatkan legislasi kuat di negara Republik Indonesia sejak 13 tahun yang lalu, yaitu adanya Undang-Undang nomor 29 tahun 1999 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskiriminasi Terhadap Wanita (Convention On The Elimination Of All Forms Of Discrimanation Against Women) dan Instruksi Presiden nomor 9 tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender (PUG) dan lain sebagainya.[3]
Adapun mengenai penghapusan kekerasan dalam rumah tangga telah disahkan oleh Presiden Soekarno Putri di Jakarta pada tanggal 22 Desember 2004, yaitu dengan keluarnya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Dengan demikian, pembangunan keluarga harmonis dengan berlakunya undang-undang ini diharapkan mampu menciptakan bangsa yang harmonis pula.


ISI

A. Defenisi KDRT
Masalah KDRT sebenarnya bukan hanya persoalan sosial, namun juga permasalahan moral, hukum, dan bahkan juga agama. Di Indonesia sendiri, sebenarnya masalah ini sudah banyak disoroti, terutama secara legal formal, Pemerintah sudah mengesahkan UU tentang penghapusan KDRT, yaitu UU No. 23 tahun 2004. Di dalam UU ini dijelaskan bahwa defenisi KDRT adalah: Setiap perbuatan terhadap seseorang, terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan atau penelantaran rumah tangga, termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.[4]
Menurut Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tindak kekerasan terhadap istri dalam  rumah tangga dibedakan kedalam 4 (empat) macam:[5]
1.    Kekerasan Fisik
Kekerasan fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit atau luka berat. Prilaku kekerasan yang termasuk dalam golongan ini antara lain adalah menampar, memukul, meludahi, menarik rambut (menjambak), menendang, menyudut dengan rokok, memukul/melukai dengan senjata, dan sebagainya. Biasanya perlakuan ini akan nampak seperti bilur-bilur, muka lebam, gigi patah atau bekas luka lainnya.
2.    Kekerasan Psikologis
Kekerasan psikologis atau emosional adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya dan atau penderitaan psikis berat pada seseorang.
3. Kekerasan Seksual
Kekerasan jenis ini meliputi pengisolasian (menjauhkan) istri dari kebutuhan batinnya, memaksa melakukan hubungan seksual, memaksa selera seksual sendiri, tidak memperhatikan kepuasan pihak istri.
3.    Penelantaran Rumah Tangga
Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya. Menurut hukum, karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan atau pemeliharaan kepada orang tersebut.
B. KDRT di Mata Hukum
Hukum, merupakan media untuk membentuk tatanan masyarakat yang madani. Sehingga, tidak salah jika kemajuan sebuah bangsa bisa diukur dari kemajuan dalam bidang hukum, yang tentunya hukum yang dibangun dengan dasar kemanusiaan, sehingga dengan hukum, manusai memang dimanusiakan sebagaimana mestinya. Bukan hukum yang seperti mata pisau yang hanya tajam ke bawah, namun tumpul ke atas. Salah satu indikasi bangsa maju adalah bangsa yang mampu menghargai peran perempuan. Bagaimanapun juga, peran perempuan dalam pembangunan bangsa tidak boleh diabaikan, apalagi dipinggirkan. Oleh sebab itulah, bangsa Indonesia, sebagai negara berkembang juga, telah memperhatikan hal ini pula. Sehingga segala bentuk prilaku diskriminatif mulai dikikis secara legal formal, terlebih-lebih prilaku diskriminatif dan kekerasan terhadap perempuan. Salah satunya adalah dengan disahkannya Undang-undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga.
Di Indonesia, secara legal formal, ketentuan ini mulai diberlakukan sejak tahun 2004. Misi dari Undang-undang ini adalah sebagai upaya, ikhtiar bagi penghapusan KDRT.[6] Dengan adanya ketentuan ini, berarti negara bisa berupaya mencegah terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga, dan melindungi korban akibat KDRT. Sesuatu hal yang sebelumnya tidak bisa terjadi, karena dianggap sebagai persoalan internal keluarga seseorang. Pasalnya, secara tegas dikatakan bahwa, tindakan kekerasan fisik, psikologis, seksual, dan penelantaran rumah tangga (penelantaran ekonomi) yang dilakukan dalam lingkup rumah tangga merupakan tindak pidana.[7] Tindakan-tindakan tersebut mungkin biasa dan bisa terjadi antara pihak suami kepada isteri dan sebaliknya, atapun orang tua terhadap anaknya. Sebagai undang-undang yang membutuhkan pengaturan khusus, selain berisikan pengaturan sanksi pidana, undang-undang ini juga mengatur tentang hukum acara, kewajiban negara dalam memberikan perlindungan segera kepada korban yang melapor. Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa ketentuan ini adalah sebuah terobosan hukum yang sangat penting bagi upaya penegakan HAM, khusunya perlindungan terhadap mereka yang selama ini dirugikan dalam sebuah tatanan keluarga atau rumah tangga.
Jika selama ini kekerasan di dalam rumah tangga dianggap sebagai urusan privasi keluarga yang tidak bisa disentuh oleh orang lain di luar keluarga, maka dengan keberadaan hukum ini, segala bentuk kekerasan tersebut dianggap sebagai tindakan pidana. Di mata hukum, jika sesuatu tersebut sudah dihitung dan dianggap sebagai perbuatan pidana, maka secara otomatis, orang yang melihat prilaku pidana tersebut pula bisa melaporkan secara aktif kepada pihak yang berwajib. Dalam artian, bahkan keberadaan Undang-undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga ini tidak hanya bisa dicampuri oleh pemerintah, dan penegak hukum, namun juga pro aktif dari masyarakat sipil yang mengetahui tindakan pidana tersebut sangat berperan penting dan dangat dibutuhkan.
UU PKDRT merupakan terobosan hukum yang positif dalam ketatanegaraan Indonesia. Dimana persoalan pribadi telah masuk menjadi wilayah publik. Pada masa sebelum UU PKDRT ada, kasus-kasus KDRT sulit untuk diselesaikan secara hukum. Hukum Pidana Indonesia tidak mengenal KDRT, bahkan kata-kata kekerasan pun tidak ditemukan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Kasus-kasus pemukulan suami terhadap isteri atau orang tua terhadap anak diselesaikan dengan menggunakan pasal-pasal tentang penganiayaan, yang kemudian sulit sekali dipenuhi unsur-unsur pembuktiannya, sehingga kasus yang diadukan, tidak lagi ditindaklanjuti.
Untuk mempertegas Undang-undang ini, segala bentuk pidana ini akan mendapatkan sanksi yang sangat tegas, mulai dari tiga tahun, hingga belasan tahun, tergantung dari bentuk kekerasan yang terjadi pada korban.[8] Oleh sebab itu, terbentuk dan disahkannya undang-undang ini merupakan langkah besar dalam melindungi hak asasi manusia, yang selama ini dianggap sebagai masalah pribadi dalam lingkup keluarga yang tidak bisa diganggu gugat oleh orang lain.
C. Faktor Penyebab KDRT
Ada banyak variabel yang memunculkan kekerasan di dalam rumah tangga ini. Kuatnya budaya patriarkhi, doktrin agama, dan adat menempatkan perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga dalam situasi yang sulit untuk keluar dari lingkar kekerasan yang dialaminya. Di samping itu pula kesadaran masyarakat tentang hukum yang sudah menjamin setiap warga masih sangat tipis, sehingga ketika terjadi kekerasan dalam rumah tangga, sangat sedikit korban yang melapor kepada yang berwajib, atau setidaknya dianggap telah mengumbar aib keluarga kepada orang lain.
Bicara masalah budaya patriarkhi di Indonesia sudah pasti menjadi faktor yang menyebabkan adanya pemikiran biasa gender di negara kita, Indonesia. Dalam hal ini, seolah-olah, yang berhak menjadi pemimpin hanyalah laki-laki. Selain itu, laki-laki selalu diangap paling pintar daripada perempuan, karena logika laki-laki 10 berbanding 1 dengan perempuan. Laki-laki selalu bersikap sesuai dengan akal, sementara perempuan dengan perasaan. Pemahaman semacam ini ternayata mengakibatkan perempuan menjadi dinomor duakan setelah laki-laki.
Berdasar pada realita inilah Musdah mencoba memberikan pendefenisian tentang sex dan gender. Jika sex atau jenis kelamin adalah sesuatu yang bersifat biologis dan kemudian dibedakan juga berdasarkan faktor-faktor biologis hormonal dan patologis tersebut pula, sehingga muncul laki-laki dan perempuan. Jika laki-laki punya penis, testis, dan sperma, sementara perempuan punya payudara, ovum dan rahim. Dan ini semua berdasarkan pemberian Tuhan yang bersifat kodrati dalam diri manusia.[9]
Adapun gender, adalah seperangkat sikap, peran, fungsi, dan tanggung jawab yang melekat pada diri laki-laki dan perempuan akibat bentukan budaya atau pengaruh lingkungan masyarakat di mana manusia itu tumbuh dan berkembang. Dengan demikian, jelas sekali perbedaan antara sex dan gender. Jika sex adalah sesuatu yang sudah kodrati dari Tuhan dan tidak bisa dirubah, maka gender adalah hasil konstruk sosial budaya yang melingkupi manusia. Seperti laki-laki yang selalu dipandang dan dianggap superior dari perempuan. Oleh sebab itu perempuan menjadi subordinasi dan pelengkap kaum laki-laki yang sering dipandang dan dianggap inferior.[10]
Dari pengertian dan perbedaan antara sex dan gender di atas, selayaknya menjadi salah satu acuan dalam memahami maksud dan tujuan kesetaraan gender di Islam Indonesia secara khusus, sehingga mampu dilihat dan dicermati secara jernih. Musdah mengatakan bahwa hasil konstruk budaya inilah yang seringkali memunculkan dan menyebabkan adanya ketimpangan dan ketidak adilan gender. Selain karena adanya pengaruh budaya, dan adat istiadat, teks-teks keagamaan juga tidak luput dijadikan sebagai alat legitimasi segala bentuk kekerasan domestik (KDRT), perempuan tidak layak menjadi pemimpin keluarga, dan negara atau dalam berbagai lini lainnya, bahkan ketika ada pelecehan dan pemerkosaaan, seringkali yang dijadikan alasan adalah karena perempuan tersebut berpakaian seksi dan tidak sopan yang dianggap melanggar norma agama. Makanya tidak jarang muncul ungkapan, “Hati-hati terhadap perempuan, karena godaannya jauh lebih dahsyat dari godaan setan”.

D. KDRT di Indonesia
Bicara masalah KDRT, sebenarnya bukan lagi barang baru di negara Indonesia, namun demikian, sudah menjadi langkah dan keputusan besar diambil oleh Presiden Megawati Soekarno Putri dalam mengesyahkan Undang-undang ini pada tahun 2004. Hal ini menjadi penting sekali dalam menciptakan manusia dan keluarga yang bermoral dan harmonis. Namun demikian, pengesahan terhadap Undang-undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga ternyata tidak serta merta menghapus berbagai bentuk kekerasan dalam rumah tangga. Dalam data yang dirilis oleh Laporan Catatan tahunan 2011 LBH Apik Jakarta, ternyata ada 417 laporan KDRT dengan berbagai macam tindak kekerasan. Satu hal yang pasti, bahwa data yang tercatat dibandingkan dengan realita sosialnya ibarat Gunung Es, yaitu KDRT yang tidak terdata tentunya jauh lebih banyak.
Sementara itu, Catatan tahunan komnas perempuan sejak tahun 2001 sampai dengan 2007 menunjukkan peningkatan pelaporan kasus KDRT sebanyak lima kali lipat. Sebelum UU PKDRT lahir yaitu dalam rentang 2001-2004 jumlah kasus yang dilaporkan sebanyak 9.662 kasus. Sejak diberlakukannya UU PKDRT 2005-2007, terhimpun sebanyak 53.704 kasus KDRT yang dilaporkan.[11]
Dari data ini tentunya bisa dilihat bahwa ternyata kekerasan dalam rumah tangga ini masih belum menampakkan hasil yang signifikan. Hal ini bisa dibuktikan dengan selalu bertambahnya data kekerasan yang terjadi. Namun demikian, setidaknya hal ini membuktikan sudah adanya keberanian yang muncul serta kesadaran di tengah-tengah masyarakat akan hukum pidana kekerasan dalam rumah tangga. 

KESIMPULAN
Dari pemaparan singkat di makalah di atas, jelas sekali bahwa segala bentuk kekerasan dalam bentuk apapun, baik fisik, psikis, ekonomi, dan seks merupakan pelanggaran HAM yang pada saat ini dianggap sebagai perbuatan pidana yang sudah menjadi ranah publik, dan bukan lagi ranah privasi yang harus disimpan dan dipendam dalam lingkup keluarga semata. Selain itu, kekerasan dalam rumah tangga bisa disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu moral, budaya, agama, dan juga pemahaman terhadap hukum.
Untuk menciptakan kehidupan berbangsa yang harmonis dan sekaligus masyarakat madani, maka dibutuhkan hukum yang mampu memayungi harmonisasi keluarga yang notabene merupakan bagian tak terpisahkan atau variabel dari terbentuknya sebuah negara yang beradab dan bermartabat. Dan cita-cita ini telah dimulai dari pengesahan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Nomor 23 Tahun 2004  (UU PKDRT) tersebut.


DAFTAR PUSTAKA
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, (Sekretariat Jenderal MPR RI: Jakarta, 2012.

Miftahul Jannah, “Menjamin Keadilan Gender Melalui Undang-Undang”, dalam fatayat.or.id/detail/18.

Musdah Mulia, Islam dan Hak Asasi Manusia: Konsep dan Implementasi, Naufan Pustaka: Yogyakarta, 2010. 

Nevisra Viviani,“Sketsa Gerakan Perempuan di Indonesia “Mengukir Sejarah Baru” Swara Rahima, no. 1, Th I, Mei 2001.

Ninik Rahayu, “Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT)”.

Undang-undang Republik Indonesia No. 23, Tahun 2004 Tetang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.









                [1] Baca Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, (Sekretariat Jenderal MPR RI: Jakarta, 2012), hlm. 155-160.

                [2] Nevisra Viviani,“Sketsa Gerakan Perempuan di Indonesia “Mengukir Sejarah Baru”” dalam jurnal Swara Rahima, no. 1, Th I, Mei 2001, hlm. 4
                [3] Miftahul Jannah, “Menjamin Keadilan Gender Melalui Undang-Undang”, dalam fatayat.or.id/detail/18. Diakses tanggal 10 Oktober 2012.

                [4] Dalam Undang-undang Republik Indonesia No. 23, Tahun 2004 Tetang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Pasal 1.
           
            [5] Undang-undang Republik Indonesia No. 23, Tahun 2004 Tetang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Bab III, tentang Larangan Kekeraasan dalam Rumah Tangga, pasal 5-9.  
                [6]  Undang-undang Republik Indonesia No. 23, Tahun 2004 Tetang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Pasal 3 dan 4.
               
                [7] Undang-undang Republik Indonesia No. 23, Tahun 2004 Tetang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Bab III. 
                [8] Lebih jelas dan detail mengenai sanksi untk pelaku KDRT bisa dilihat dalam Undang-undang Republik Indonesia No. 23, Tahun 2004 Tetang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Bab VII tentang Ketentuan Pidana, pasal 44 - 55.  
                [9] Musdah Mulia, Muslimah Sejati..., hlm. 64-65. Pemaknaan yang mirip juga dapat dilihat dalam Miftahul Jannah, “Menjamin Keadilan Gender Melalui Undang-Undang”, dalam fatayat.or.id/detail/18. Diakses tanggal 10 Oktober 2012.

                [10] Musdah Mulia, Islam dan Hak Asasi Manusia: Konsep dan Implementasi, (Naufan Pustaka: Yogyakarta, 2010), hlm. 150-153.  
                [11] Ninik Rahayu, Undang-undang no. 23 tahun 2004 tentang penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT). Diakses tanggal 13 Oktober 2012.