Translate

Senin, 06 Agustus 2012

BANGKIT DARI KETERTINDASAN


BANGKIT DARI KETERTINDASAN
(Studi atas Pemikiran Kesetaraan Gender Fatayat NU)
Oleh: Arif Nuh Safri (Alumnus Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga)

Abstrak
Fatayat NU is one of the Islamic women's organizations in Indonesia. This organization has a goal, deletion all forms of violence, injustice and poverty in the community by developing a constructive discourse of social life, democracy and gender justice. Therefore, through this organization also builds awareness of women's critical to realizing gender equality and justice. Through this article, I will explain how Fatayat NU tried to build an opinion and fighting for the rights of women to be able to rise from oppression.

PENDAHULUAN
            Esensi Islam sebagai agama adalah menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, sehingga dengan sendirinya tidak pernah bertentangan dengan istilah Hak Asasi Manusia (HAM) yang konon sering mendapat kecaman dan stigma negatif hanya karena disusun oleh negara-negara Barat. Demikian juga tidak pernah berseberangan dengan cita-cita demokrasi itu sendiri.[1]
            Secara teologi, Tuhan pada hakikatnya juga memberkati setiap manusia yang ada tanpa mendikotomikan antara perempuan dan laki-laki. Hal ini merupakan kandungan nilai universal yang mampu mengkover atau melingkupi segala aspek kehidupan manusia. Asas dan tujuan Islam paling mendasar ada dalam konsep tauhid. Tauhid merupakan basik untuk setiap muslim dalam menyembah Tuhan, dan dalam membangun harmonisasi hidup bersama manusia dan makhluk lainnya. Dengan demikian, Islam mengajarkan kesetaraan derajat manusia, yaitu sama-sama makhluk Tuhan. Yang membedakan derajat manusia di hadapan Tuhan hanyalah ketundukan dan kepatuhan serta kesadaran spiritual yang ada dalam diri setiap individu manusia (ketakwaan).
Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.[2]

            Ayat ini merupakan dalil atau buktik otentik kesetaraan perempuan dan laki-laki, karena Allah sebagai Yang Maha Pencipta juga secara tegas tidak memandang kualitas ciptaan-Nya dari sudut jenis kelamin, bangsa, suku, dan ras, namun hanya ketakwaan atau kesadaran tinggi atas ketuhanan dan ke-Maha Besaran Allah. Bagi penulis sendiri, sesuai dengan makna dasar kata takwa, yaitu waqa>, yaitu sadar, maka kesadaran manusia atas keberagaman jenis kelamin, suku, bangsa, ras, agama, dan lain-lain harus menjadi kesadaran yang dibangun atas kemahakuasaan Allah sebagai Tuhan Pencipta. Sehingga kesadaran ini pula bisa menjadi pembangun paham atas keadilan dan kesetaraan gender.
            Bicara masalah kesetaraan gender ternyata memang masih harus mendapatkan porsi tersendiri dan spesial dalam konteks Islam, secara khusus di Islam Indonesia. Hal ini disebabkan karena penindasan dan pelanggaran hak-hak perempuan masih sering terjadi. Sehingga tidak salah, jika Fatayat NU adalah salah satu ormas Islam perempuan yang banyak bergerak dan berjuang di ranah keadilan dan kesetaraan gender.
   
ISI
A. Mengenal Fatayat NU[3]
Fatayat NU merupakan salah satu organisasi Pemudi Nahdhatul Ulama (NU) yang merupakan organisasi Islam terbesar di Indonesia.[4] Organisasi ini dirintis oleh perempuan muda tingga serangkai, yaitu: Murthasiyah, Khuzaimah Mansur, dan Aminah. Karena ormas ini merupakan sayap dari NU, dan berdiri dalam konteks budaya Indonesia, Fatayat NU tidak bisa dilepaskan dari sejarah berdirinya Nahdhatul Ulama (NU) sebagai organisasi induknya, dan sekaligus sejarah Indonesia sebagai tanah airnya.
Pentingya peran perempuan dalam sebuah ormas, ternyata menjadi sebuah keniscayaan, sehingga ketika itu Kiyai Dahlan mencoba mengusulkan agar perempuan NU diberi ruang dalam segala bentuk kegiatan NU, namun pada saat itu mendapat perlawanan yang sengit dari kalangan NU. Akan tetapi, atas perjuangan Kiyai Dahlan melalui persetujuan KH. Hasyim Asy’ari dan KH. Wahab Hasbullah pada Kongres NU ke-XVI di Purwokerto tanggal 29 Maret 1946, struktur kepengurusan anggota perempuan NU disahkan dan diresmikan sebagai bagian dari NU. Namanya ketika itu adalah Nahdhatul Ulama Muslimat yang disingkat NUM. Ketua pertama terpilihnya adalah Ibu Chadidjah Dahlan dari Pasuruan yang tak lain adalah isteri Kiai Dahlan.
Kebangkitan perempuan NU juga membakar semangat kalangan perempuan muda NU yang dipelopori oleh tiga serangkai, yaitu Murthasiyah (Surabaya), Khuzaimah Mansur (Gresik), dan Aminah (Sidoarjo). Kongres NU ke-XVIII tanggal 20 April-3 Mei 1950 di Jakarta secara resmi mengesahkan Fatayat NU menjadi salah satu badan otonom NU. Namun berdasarkan proses yang berlangsung selama perintisan hingga ditetapkan, Fatayat NU menyatakan dirinya didirikan di Surabaya pada tanggal 24 April 1950 bertepatan dengan 7 Rajab 1317 H. Pucuk Pimpinan Fatayat NU pertama adalah Nihayah Bakri (Surabaya) sebagai Ketua I dan Aminah Mansur (Sidoarjo) sebagai. Ketua II. Kepengurusan pada waktu itu hanya mempunyai dua bagian, yaitu bagian penerangan dan pendidikan.
Visi:
Pengapusan segala bentuk kekerasan, ketidakadilan dan kemiskinan dalam masyarakat dengan mengembangkan wacana kehidupan sosial yang konstruktif,demokratis dan berkeadilan jender.
Misi:
Membangun kesadaran kritis perempuan untuk mewujudkan kesetaraan dan keadilan jender.



B. Dari Fatayat NU untuk Indonesia
Indonesia sebagai Negara hukum telah menjamin hak-hak asasi manusia dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945 Pasal 27 (1), Pasal 28 H ayat (1) dan ayat (2), dan Pasal 28 I (2).[5] Melalui dasar hukum yang ada dalam Undang-Undang Dasar RI tersebut, setiap orang mempunyai jaminan kesejajaran atau kesetaraan di hadapan hukum dan perlakuan yang berkemanusiaan. Selain itu, Indonesia juga sudah memberikan jaminan kesetaraan, keadilan dan perlindungan dari diskriminasi, penindasan, rasa tidak aman, serta hak untuk hidup layak.
Pada dasarnya, diskriminasi antara laki-laki dan perempuan sudah dikikis dan dihilangkan dari kehidupan Negara Indonesia, setidaknya secara yuridis-normatif sudah disahkan dan termaktub jelas dalam kitab Undang-Undang Dasar 1945 Republik Indonesia. Namun demikian, realita sosial tak jarang bertolak belakang dengan apa yang sudah ada dalam yuridis-normatif tersebut, sehingga kekerasan terhadap perempuan,[6] kekerasan terhadap anak, kekerasan terhadap kaum minoritas, kekerasan atas nama agama, dan bahkan kebebasan untuk berpendapat masih saja mendapat perlawanan yang sangat arogan dan berujung pada aksi kriminal.
Melalui Undang-Undang di atas, Fatayat NU juga tidak ingin abai dari cita-cita luhur tersebut. Sehingga ketika ada RUU KKG, ormas ini dengan sangat getol berjuang dan gigih agar RUU ini bisa disahkan walaupun menurut mereka masih butuh pembahasan dan pencermatan lebih detail dan lebih bijak. Namun demikian, nilai-nilai dan semangat yang dibangun dalam RUU ini harus didukung dan didorong terus hingga mampu mewadahi aspirasi perempuan secara khusus.
Saat ini, isu tentang kesetaraan dan keadilan gender memang sedang menjadi perbincangan di Parlemen. Salah satu RUU yang masuk dalam daftar Program Legislasi Nasional DPR RI tahun 2011 adalah RUU tentang Kesetaraan dan Keadilan Gender atau biasa dikenal dengan istilah RUU KKG sebagaimana dijelaskan di atas. RUU KKG ini merupakan usul inisiatif Komisi VIII DPR RI dan sekaligus sebagai salah satu program prioritas yang harus segera diselesaikan. RUU KKG ini dipandang penting karena proses pembangunan merupakan tanggung jawab bersama dan memerlukan partisipasi baik laki-laki maupun perempuan yang bertujuan untuk menjamin martabat setiap orang. Hal ini sejalan dengan semangat Hak Asasi yang memberikan landasan kuat untuk menjamin dan melindungi martabat manusia berdasarkan hukum, bukan atas dasar kehendak, keadaan, ataupun kecenderungan politik tertentu.
Pada hakikatnya, kesetaran dan keadilan gender tanpa diskriminatif sudah mendapatkan legislasi kuat di negara Republik Indonesia sejak 13 tahun yang lalu, yaitu adanya Undang-Undang nomor 29 tahun 1999 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskiriminasi Terhadap Wanita (Convention On The Elimination Of All Forms Of Discrimanation Against Women) dan Instruksi Presiden nomor 9 tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender (PUG) dan lain sebagainya.[7] Namun, meskipun telah ada berbagai peraturan perundang-undangan yang mendukung persamaan dan kesetaraan, dalam realitanya masih banyak praktik-praktik dan tindakan diskriminasi serta ketidakadilan berbasis gender. Bahkan, masih terdapat sejumlah peraturan yang belum sepenuhnya mengacu pada hak konstitusional tersebut atau dengan kata lain masih diskriminatif terhadap perempuan serta belum mengakomodir kebutuhan dan kepentingan perempuan. Oleh karena itu, usulan mengenai adanya RUU tentang Kesetaraan dan Keadilan Gender adalah dalam rangka mewujudkan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan untuk memperoleh akses, partisipasi, kontrol, dan manfaat dalam semua bidang kehidupan.
Perjuangan Fatayat NU tidak terbatas pada sekedar memperjuangkan kesetaraan gender, namun juga lebih melihat realita sosial dan fenomena yang dialami oleh wanita Indonesia secara lebih ril dan nyata, sehingga ormas ini juga sangat memperhatikan penderitaan yang dialami oleh para TKW Indonesia, kesehatan reproduksi perempuan,[8] gaji buruh atau PRT wanita yang selalu lebih murah daripada laki-laki dan juga perdaganngan perempuan.[9] Menurut ormas ini, segala bentuk ketidak adilan tersebut harus benar-benar diperjuangkan demi untuk mengangkat harkat dan martabat perempuan.[10]
C. Progresifitas Pemikiran Keagamaan Fatayat NU
1. Tuhan Tidak Memandang Sex dan Gender
Tuhan memang menciptakan manusia terdiri dari laki-laki dan perempuan, dan bahkan pengakuan anatomis tersebut sering diungkapkan dalam al-Qur’an. Selain itu, Tuhan juga benar memberikan peran masing-masing dalam al-Qur’an yang mencerminkan perbedaan peran yang dibatasi oleh tempat dan budaya di mana al-Qur’an diturunkan. Namun demikian, sangat tidak bijaksana jika perbedaan peran fungsi kultural tersebut dijadikan sebagai tolok ukur kegagalan al-Qur’an. Sangat tidak etis pula kalau al-Qur’an juga dianggap gagal, jika misalnya pemamahan terhadap teks oleh setiap anggota masyarakat atau komunitas menjadikan teks sebagai alat legitimasi penindasan terhadap makhluk Tuhan, secara khusus terhadap perempuan.
Oleh karena itu, jika ada teks yang dipandang dan dipahami men-subordinasi-kan perempuan atau lebih rendah dari laki-laki, maka yang harus dicermati ulang adalah pemahaman tersebut, dan kemudian menjadikannya sebagai pemahaman yang lebih ramah, etis, bermoral dan humanis. Oleh sebab itu, pada hakikatnya Tuhan sama sekali tidak memandang sex dan gender dalam hal mendapatkan kemuliaan di sisi-Nya. Intinya bahwa keadilan dan kesetaraan gender merupakan ruh dan spirit yang dibangun oleh Tuhan melalui al-Qur’an yang melebihi ruang dan waktu.[11]
Bicara masalah sex dan gender, masih sangat relevan dalam konteks Islam secara universal, dan secara khusus dalam konteks Islam Indonesia. Tidak bisa dipungkiri bahwa pembahasan malah gender di Indonesia tidak selalu mulus dan tanpa ganjalan, terlebih-lebih ketika ada isu kesetaraan gender.[12] Lebih dari itu pula, ternyata pemahaman terhadap gender juga masih sangat sering kacau dan tumpang tindih, sehingga seringkali antara sex dan gender jadi tidak jelas. Kondisi semacam ini bahkan tidak hanya terjadi di kalangan orang awam, namun juga di kalangan kaum terpelajar.[13]
Berdasar pada realita inilah Musdah mencoba memberikan pendefenisian tentang sex dan gender. Jika sex atau jenis kelamin adalah sesuatu yang bersifat biologis dan kemudian dibedakan juga berdasarkan faktor-faktor biologis hormonal dan patologis tersebut pula, sehingga muncul laki-laki dan perempuan. Jika laki-laki punya penis, testis, dan sperma, sementara perempuan punya payudara, ovum dan rahim. Dan ini semua berdasarkan pemberian Tuhan yang bersifat kodrati dalam diri manusia.[14]
Adapun gender, adalah seperangkat sikap, peran, fungsi, dan tanggung jawab yang melekat pada diri laki-laki dan perempuan akibat bentukan budaya atau pengaruh lingkungan masyarakat di mana manusia itu tumbuh dan berkembang. Dengan demikian, jelas sekali perbedaan antara sex dan gender. Jika sex adalah sesuatu yang sudah kodrati dari Tuhan dan tidak bisa dirubah, maka gender adalah hasil konstruk sosial budaya yang melingkupi manusia. Seperti laki-laki yang selalu dipandang dan dianggap superior dari perempuan. Oleh sebab itu perempuan menjadi subordinasi dan pelengkap kaum laki-laki yang sering dipandang dan dianggap inferior.[15]
Dari pengertian dan perbedaan antara sex dan gender di atas, selayaknya menjadi salah satu acuan dalam memahami maksud dan tujuan kesetaraan gender di Islam Indonesia secara khusus, sehingga mampu dilihat dan dicermati secara jernih. Perlawanan kesetaraan gender ini memang tidak semasif apa yang terjadi di berbagai negara-negara yang mengaku berasaskan Islam seperti Afganistan, Pakistan, Iran, Arab Saudi dan lain-lain, jika dibandingkan dengan negara Indonesia. Hal ini bisa dibuktikan dengan munculnya berbagai ormas dan LSM Islam perempuan yang berjuang untuk hak-hak perempuan.[16] Salah satu contohnya Fatayat NU yang terus melakukan upaya pemberdayaan perempuan di tingkat akar rumput (grassroots).  Para aktivis dari organisasi tersebut berjuang melawan penindasan yang berbasis ketidakadilan gender dengan menggunakan perspektif Islam.[17]
Berawal dari keyakinan bahwa Tuhan adalah Yang Maha Tunggal, dan Maha Adil, maka agama Islam yang meyakini ketauhidan Tuhan Allah, tentunya megajarkan kebebasan terhadap makhluk-Nya dari keterpurukan dan ketidak adilan serta penindasan dalam bentuk apapun. Oleh sebab itulah, Allah juga tidak pernah menilai makhluknya dari sex (jenis kelamin) maupun gender, namun lebih mengedepankan ketakwaan.[18] Karena bagaimanapun juga laki-laki dan perempuan adalah sama-sama makhluk Tuhan yang harus diperlakukan secara adil. Oleh sebab itu, Allah mengajarkan makhluk-Nya untuk menolak perlakuan atau prilaku hidup orang-orang Jahiliyah PraIslam yang memandang anak perempuan sebagai aib dan harus dibunuh atau dikubur hidup-hidup.[19] Selain itu, perempuan juga seringkali dianggap sebagai makhluk hina dan sama kedudukannya dengan barang mati yang bisa diwariskan. Namun, Islam melalui wahyu al-Qur’an menentang keras praktek semacam ini dan menjamin hidup dan perlakuan yang baik.[20] Lebih dari itu, Allah juga menjamin bahwa laki-laki dan perempuan yang melakukan amal baik akan mendapat ganjaran yang sama.[21]
Dengan demikian, jelas sekali bahwa keadilan Allah adalah keadilan yang menembus batas sex dan gender. Keadilan Allah, adalah keadilan yang memiliki spirit pembebasan dan kesetaraan yang melampaui batas ras, suku, dan warna kulit, apalagi jenis kelamin. Oleh sebab itu, Fatayat NU menjadikan tahun 2012 sebagai momentum dan refleksi sekaligus resolusi bagi negara untuk lebih peduli terhadap perempuan. Ketua umum Fatayat NU, Ida Fauziah menambahkan, bahwa pemerintah harus mampu meminimalisir dan mencegah terjadinya kekerasan seksual, dengan cara meningkatkan program perlindungan terhadap perempuan secara konsisten dan tidak cukup hanya bereaksi terhadap tindak kekerasan secara parsial dan jangka pendek.[22]
Sebagai langkah kongkrit, Fatayat NU sangat mendukung terbentuknya Rancangan Undang-Undang Keadilan dan Kesetaraan Gender (RUU KKG). Hal ini karena dinilai bertujuan untuk mewujudkan keadilan gender, dengan titik tekan pada perlindungan dan pemberdayaan terhadap perempuan. Sebagaimana diketahui, bahwa diskriminasi, ketidakadilan dan kekerasan berbasis gender yang banyak menimpa kaum perempuan merupakan fakta kongkrit di masyarakat. Lebih jauh lagi, kaum perempuan sampai saat ini belum mendapatkan akses dan hak yang sama dengan laki-laki di berbagai bidang, seperti pendidikan, kesehatan, politik, ekonomi dan lainnya. Hal ini terjadi karena struktur budaya masyarakat Indonesia yang masih patriarkis dan berkelit-kelindan dengan pemahaman keagamaan yang bias gender.[23]
2. Rekonstruksi Makna “Qawwa>mu>na
Perempuan seringkali dinomor duakan setelah laki-laki. Akibatnya pandangan ini juga membawa perempuan selalu berada di bawah laki-laki. Secara khusus di Indonesia, superioritas laki-laki atas perempuan ternyata tidak hanya terkonstruk akibat budaya patriarkal semata, namun didukung oleh teks keagamaan, dan bahkan terparah hal ini termaktub dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI).[24]
Ada hal yang sangat bertolak belakang dengan realita sejarah Islam pada masa-masa keemasan Islam, termasuk di masa Nabi Muhammad, yaitu minimnya perempuan yang dianggap ahli ataupun mumpuni di bidang pemikiran Islam jika dibandingkan dengan laki-laki. Dalam sejarah Islam, dimulai dari ‘Aisyah, diperkirakan ada 2.500 perempuan ahli di bidang hukum, perawi hadis, dan penyair.[25] Di sisi lain, stereotype pada perempuan yang pada hakikatnya merupakan bentukan budaya dan adat setempat yang bersifat temporal dan lokalistik ternyata mampu membuat posisi perempuan semakin tertindas dan kemudian terbenam oleh sejarah yang tidak adil dan penuh dominasi budaya patrialkal tersebut. Lihat saja Ratu Bilqis yang mampu menjaga stabilitas ekonomi dan keamanan rakyatnya pada masa itu, Khadijah sebagai perempuan sekaligus saudagar sukses dan terpandang di jazirah Arab yang pada saat itu posisi perempuan masih sangat tertindas, ‘Aisyah yang dikenal banyak mengajari sahabat dan meriwayatkan hadis dan juga sering berbeda pendapat dengan sahabat lainnya dalam memahami al-Qur’an adalah segelintir peran perempuan hebat yang pernah ada dalam sejarah Islam. Di Indonesia, sosok Cut Nyak Din, Cut Meutia, R.A. Kartini, Malahayati dan lain-lain adalah sosok yang muncul dalam ranah publik untuk memperjuangan keadilan dan kebebasan dari penindasan.
Dalam konteks masyarakat muslim, penindasan terhadap perempuan tidak hanya berdasar pada budaya dan adat serta budaya patrialis semata, namun telah merasuk dan mencomot, dan bahkan memperkosa teks-teks keagamaan seperti al-Qur’an dan hadis sebagai bentuk legitimasi hukum. Sehingga tidak bisa dipungkiri, para pengambil otoritas teks ini telah melampaui kafasitasnya sebagai pemangku relatifitas pemikiran dan kebenaran, seolah-olah merekalah para pemegang kekuasaan mutlak, pemilik wewenang dalam menentukan benar-salah, surga-neraka, hitam-putih, dan lain-lain. Mereka bicara atas nama Tuhan, bertindak dan mengambil keputusan dan kekuasaan melampaui kekuasaan Tuhan sendiri sebagai Yang Maha Kuasa.
Salah satu teks keagamaan yang seringkali sebagai alat legitimasi superioritas laki-laki atas perempuan adalah:
..
Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita)...[26]

Ayat ini seringkali dijadikan sebagai alat legitimasi atas posisi perempuan berada di bawah laki-laki. Hal ini tidak bisa dipungkiri karena memang permasalahan yang muncul juga ada dalam terjemahan ayat tersebut dalam beberapa al-Qur’an terjemahan versi Indonesia. Oleh sebab itu, menurut Musdah, selayaknya term ‘qawwa>mu>na’ jangan lagi dimaknai sebagai ‘pemimpin’, namun harus diterjemahkan dengan ‘pendamping’, sehingga berefek pada adanya kesetaraan dan kerjasama yang sejajar antara suami dan istri.[27]
Dalam tafsir Ibn ‘A<syu>r sebenarnya sudah dijelaskan secara tegas adanya kesetaraan laki-laki dan perempuan. Bagi Ibn ‘A<syu>r, penggunaan term al-rija>l disebabkan berkaitan dengan budaya atau tradisi Arab pada saat itu. Oleh sebab itu, dalam memahami ayat ini, jangan sampai dikaitkan antara suami dan istri, apalagi dipahami sebagai kemutlakan superioritas suami terhadap istri,  karena ayat ini berlaku universal dan umum. Dengan demikian, yang perlu dicermati dalam ayat ini adalah term ‘qawwa>mu>n’. Term ini adalah gambaran atas idealitas seorang pemimpin yang mampu mengatur dan mengontrol masalah dan urusan orang lain.[28] Dengan pemaknaan term ‘qawwa>mu>n’ sebagai syarat idealitas pemimpin, maka penulis memahami bahwa Ibn ‘A<syu>r mengisyaratkan bahwa bisa jadi perempuan juga bisa menjadi pemimpin bagi laki-laki apabila memiliki kapabilitas dan kapasitas serta integritas yang baik dan tinggi. Apalagi menurut Ibn ‘A<syu>r bahwa penggunaan al-rija>l erat kaitannya dengan budaya setempat pada masa diturunkannya wahyu al-Qur’an. Dengan demikian, pemahaman atas teks al-Qur’an secara khusus QS. al-Nisa, 4: 34 di atas sebagai dalil superioritas laki-laki atas perempuan adalah sebuah pemaksaan dan erat dengan kepentingan ideologi. Oleh sebab itu, ayat ini harus dipahami sebagai dalil adanya hubungan kerjasama antara laki-laki dan perempuan dalam menciptakan harmonisasi kehidupan, sehingga tidak ada alasan bahwa superioritas di antara keduanya dipandang dari sudut sex atau jenis kelamin.    
3. Islam Penyanjung Perempuan, Bukan Pemasung Perempuan
Islam muncul bukan dalam ruang dan waktu yang hampa dan kosong, namun hadir dalam konteks budaya dan tradisi yang sudah mengakar kuat dalam kehidupan manusia, seacara khusus budaya Arab pada masa itu. Ini artinya, bahwa peradaban manusia yang hadir sejak keberadaan bumi ini pula tidak serta merta dihapuskan oleh datangnya Islam, namun Islam muncul untuk menjadikan dan membentuk peradaban manusia yang lebih maju. Jika masa praislam jahiliyah, perempuan ibarat benda mati yang bisa diwariskan,[29] maka Islam muncul untuk membebaskan praktek tersebut dengan cara menetapkan harta waris pada perempuan. Jika masa praislam jahiliyah, anak perempuan dianggap aib besar dan harus dikubur hidup-hidup,[30] maka Islam muncul dengan membawa risalah kesetaraan antara laki-laki dan perempuan.
Dalam al-Qur’an maupun dalam hadis, keberadaan perempuan sebenarnya sangat menjunjung tinggi persamaan dan kesetaraan. Hal ini bisa dilihat bahwa perempuan dan laki-laki sama-sama berhak untuk mendapatkan janji paling mulia dan agung dari Allah, yaitu surga. Keberanian Rasul mengunggulkan perempuan dalam mencapai surga adalah merupakan revolusi dan terobosan luar biasa pada masa itu dimana masayarakat pada saat itu masih identik dengan prilaku menomorduakan perempuan.
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ خَطَّ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم فِى الأَرْضِ أَرْبَعَةَ خُطُوطٍ قَالَ «أَتَدْرُونَ مَا هَذَا ».قَالُوا اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم «أَفْضَلُ نِسَاءِ أَهْلِ الْجَنَّةِ خَدِيجَةُ بِنْتُ خُوَيْلِدٍ وَفَاطِمَةُ بِنْتُ مُحَمَّدٍ وَمَرْيَمُ بِنْتُ عِمْرَانَ وَآسِيَةُ بِنْتُ مُزَاحِمٍ امْرَأَةُ فِرْعَوْنَ
Dari Ibn ‘Abba>s berkata: “Rasulullah saw., membuat empat buah garis di tanah seraya berkata”. “Apakah kalian tahu ini?” Para sahabat berkata: “Allah dan Rasul-Nya paling tahu”. Maka Rasul saw., berkata:  “Perempuan penghuni surga paling utama adalah Khodi>jah bint Khualid, Fa>t}imah bint Muh}ammad, Maryam bint ‘Imra>n, dan ‘Asiyah bint Muza>him istri Fir’aun”.[31]
 
Hadis ini merupakan bukti teks keagamaan bahwa Islam juga mampu mengunggulkan perempuan di atas dominasi laki-laki. Perempuan-perempuan hebat ini merupakan sosok yang mampu menemukan cinta Tuhan yang sejati dan terus konsisten dengan cinta Tuhannya. Sehingga tidak salah kalau Annemarie Schimmel memberi mereka julukan sebagai “Kembang Peradaban” yang mampu menemukan puncak spiritualitas, yaitu pertemuan dengan Tuhan Yang Maha Indah.[32] Hal ini tentunya sejalan dengan respon Allah dalam menyikapi segala bentuk kritik atau pertanyaan yang muncul dari perempuan di kala mereka menemukan permasalahannya di masa turunnya wahyu. Ketika Ummu Salamah, ra. mempertanyakan tentang keutamaan berhijrah yang hanya diperuntukkan untuk pria tanpa menyertakan perempuan. Kemudian turun ayat berikut:
فَاسْتَجَابَ لَهُمْ رَبُّهُمْ أَنِّي لاَ أُضِيعُ عَمَلَ عَامِلٍ مِّنكُم مِّن ذَكَرٍ أَوْ أُنثَى بَعْضُكُم مِّن بَعْضٍ فَالَّذِينَ هَاجَرُواْ وَأُخْرِجُواْ مِن دِيَارِهِمْ وَأُوذُواْ فِي سَبِيلِي وَقَاتَلُواْ وَقُتِلُواْ لأُكَفِّرَنَّ عَنْهُمْ سَيِّئَاتِهِمْ وَلأُدْخِلَنَّهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِن تَحْتِهَا الأَنْهَارُ ثَوَابًا مِّن عِندِ اللّهِ وَاللّهُ عِندَهُ حُسْنُ الثَّوَابِ
“Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya (dengan berfirman), "Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki atau perempuan, (karena) sebagian kamu adalah turunan dari sebagian yang lain. Maka orang-orang yang berhijrah, yang diusir dari kampung halamannya, yang disakiti pada jalan-Ku, yang berperang dan yang dibunuh, pastilah akan Ku-hapuskan kesalahan-kesalahan mereka dan pastilah Aku masukkan mereka ke dalam surga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya sebagai pahala di sisi Allah. Dan Allah pada sisi-Nya pahala yang baik.[33]
            Surat Ali ‘Imran ayat 195 di atas bukanlah satu-satunya ayat yang langsung merespon pertanyaan dan permasalahan perempuan, masih ada pertanyan tentang pahala yang akan didapatkan oleh para laki-laki yang pergi ke medan perang yang kemudian Allah secara terbuka merespon dengan turunya QS. al-Ahzab: 35.
            Dalam hadis di bawah ini, bahkan Rasul secara tegas mengunggulkan seorang ibu 3 (tiga) kali dibandingkan seorang ayah. 
عن أبي هريرة رضي الله عنه قال :جاء رجل إلى رسول الله صلى الله عليه و سلم فقال يا رسول الله من أحق الناس بحسن صحابتي ؟ قال (أمك). قال ثم من ؟ قال (ثم أمك). قال ثم من؟ قال (ثم أمك). قال ثم من؟ قال (ثم أبوك)
Dari Abu> Hurairah ra., berkata: “Seseorang dating kepada Rasul dan kemudia berkata”: “Wahai Rasulullah, siapa yang paling berhak di antara manusia atas perlakuan baikku ?” Rasul menjawab: “Ibumu”. Seseorang tersebut bertanya kembali: “Kemudian?” Rasul menjawab: “Ibumu.” Seseorang itupun kembali bertanya: “Kemudian?” Rasul menjawab: “Ibumu”. Seseorang itu juga kembali bertanya: “Kemudian?” Rasul menjawab: “Bapakmu”[34]
            Dengan demikian, ini merupakan segelintir bukti bahwa Allah sebagai Tuhan yang Maha Besar, Maha Kuasa juga sangat peduli dengan perempuan tanpa memandang sex dan gender asal demi perbaikan taraf hidup, derajat, kemaslahatan dan keadilan sesama makhluk. Fakta-fakta tersebut di atas menunjukkan perhatian yang besar terhadap perempuan di masa Nabi saw. Mereka memiliki ruang, baik dalam urusan publik kaum mukminin, hingga nama dan posisi mereka disebutkan secara tekstual  dalam al-Qur'an, dan status sosial dan keagamaan mereka diperhitungkan secara benar mengingat perempuan adalah bagian yang tak terpisahkan dalam kehidupan masyarakat Islam.[35]
            Visi ini menegaskan adanya penghargaan terhadap perspektif, peran dan partisipasi perempuan serta adanya reaksi positif terhadap protes dan inisiatif yang disampaikan perempuan. Satu poin penting yang terakhir adalah bahwa Allah mendengar protes yang disampaikan oleh perempuan, memperhatikan suara mereka yang bertanya-tanya, sehingga diturunkannya ayat yang jelas dalam menanggapi pertanyaan, keprihatinan dan kekhawatiran kaum perempuan. Hal ini merupakan bukti yang sangat nyata yang menjelaskan pentingnya mendengarkan suara perempuan dalam konteks sejarah berikutnya, juga pentingnya menyikapi suara perempuan dengan bijaksana, seperti yang terjadi di era Islam, yang ditunjukkan baik oleh Allah Yang Mahakuasa maupun Rasul-Nya.[36]

KESIMPULAN
            Perempuan adalah makhluk Tuhan yang sejajar dan sama kedudukannya di hadapan Tuhan Allah. Kesetaraan ini juga banyak diajarkan sekaligus dipraktekkan oleh Rasul sebagai pemegang risalah kenabian pada masa itu. Namun demikian, nilai-nilai universal kenabian dan simbol ketuhanan ini ternyata terkikis disebabkan oleh budaya dan peradaban manusia yang lebih bersifat patrialkal dan kemudian men-subordinasi-kan posisi perempuan. Pemahaman semacam ini jugalah yang melanda mayoritas masyarakat muslim di dunia, secara khusus di Indonesia.
            Melihat kondisi seperti ini, Fatayat NU muncul dengan visi dan misi pembebasan terhadap perempuan dari segala bentuk penindasan, segala bentuk ketidak adilan dan kesewenang-wenangan terhadap perempuan. Bagi ormas Islam perempuan ini, segala bentuk kekerasan dan ketidak adilan terhadap perempuan ini adalah hanya semata-mata bentukan budaya dan adat istiadat, sehingga legitimasi atas teks-teks keagamaan adalah bentuk ketidak pahaman atas teks keagamaan itu sendiri, dan perlu pemikiran ulang kembali yang mampu mengangkat derajat dan harkat serta martabat perempuan agar mampu ikut dalam membentuk peradaban manusia yang lebih maju dan humanis.

DAFTAR PUSTAKA
Ah}mad bin Muh}ammad bin H{anbal, Musnad Ah}mad. CD Rom al-Maktabah al-Sya>milah, Ridwana Media.

Amina Wadud Muhsin, “Al-Qur’an dan Perempuan”. Dalam Charles Kusman, Wacana Islam Liberal: Pemikiran Islam Kontemporer tentang Isu-Isu Global, terj. Bahrul Ulum et al, Paramadina: Jakarta, 2001.

Al-Bukha>ri>, S{ah}i>h} al-Bukha>ri>. CD. Rom al-Maktabah al-Sya>milah, Ridwana Media.

Al-H{a>kim, al-Mustadrak ‘ala> al-S{ah}i>h}ain li al-H{a>kim. CD. Rom al-Maktabah al-Sya>milah, Ridwana Media.

Hamka, Kedudukan Perempuan Dalam Islam, Jakarta: Pustaka Panji Mas, 1996.


Ida Fauziah, “Fatayat NU Desak Negara Lebih Peduli Perempuan”, dalam www. fatayat.or.id.

Jalaluddin Rakhmat, Islam Aktual: Refleksi-Sosial Seorang Cendekiawan Muslim, Mizan: Bandung, 1998.  

Khariroh Ali, “Selamat Datang RUU KKG”. Dalam http://fatayat.or.id/editorial/detail/7.

Kholed Abou El-Fadl, “In Recognition of Women”. Dalam http://www.scholarofthehouse.org/inreofwobykh.html

Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sekretariat Jenderal MPR RI: Jakarta, 2012.

Maria Ulfah Anshor, “Islam Sangat Memperhatikan Ibu”. Jurnal Swara Rahima, no. 9, Th III, November 2003.

Miftahul Jannah, “Menjamin Keadilan Gender Melalui Undang-Undang”, dalam fatayat.or.id/detail/18.

Muh}ammad al-T{a>hir Ibn ‘A<syu>r, Tafsi>r al-Tah}ri>r wa al-Tanwi>r, al-Da>r al-Tu>nisi>yah li al-Nas}r: Tunisia, 1984.

Musdah Mulia, Islam dan Hak Asasi Manusia: Konsep dan Implementasi, Naufan Pustaka: Yogyakarta, 2010.

____________, Muslimah Sejati: Menempuh Jalan Islami Meraih Ridha Ilahi, Marja: Bandung, 2011.

____________,Membangun Surga di Bumi: Kiat-kiat Membina Keluarga Ideal dalam Islam, Gramedia: Jakarta, 2011.

____________, Artikel “Islam as a Tool for Women’s Empowrment and Peace Building”.  

Nevisra Viviani,“Sketsa Gerakan Perempuan di Indonesia “Mengukir Sejarah Baru”” dalam Jurnal Swara Rahima, no. 1, Th I, Mei 2001.

Omaima Abou Bakr, “Islam dan Gender”. Dalam http://fatayat.or.id/artikel/detail/19.

Riri Khariroh, “Benarkah Perempuan Muslim Tertindas? Belajar dari Gerakan Perempuan Islam di Indonesia”. Dalam http://www.rahima.or.id/313.

Saidah Sakwan, dkk, Potret Politik Perempuan dalam Ormas Keagamaan, (Institute for Research and Community Development Studis dan Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan Republik Indonesia: Jakarta, 2007.

Yusuf Qardhawi, Berinteraksi dengan Alquran, terj. Abdul Hayyie al-Kattani, Jakarta: Gema Insani Press, 1999.
. 


                [1] Baca artikel yang ditulis oleh Musdah Mulia, “Islam as a Tool for Women’s Empowrment and Peace Building”. Artikel ini ditulis pada tanggal 08 Desember 2011.
                [2] QS. al-H{ujra>t, 49: 13.
                [3] Sejarah Fatayat NU ini langsung penulis kutip dari website Fatayat NU, yaitu dalam http://fatayat.or.id/Sejarah. diakses tanggal 25 Juni 2012. 
                [4]Baca artikel yang ditulis oleh Musdah Mulia, “Islam as a Tool for Women’s Empowrment and Peace Building”. Artikel ini ditulis pada tanggal 08 Desember 2011.
                [5] Baca Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, (Sekretariat Jenderal MPR RI: Jakarta, 2012), hlm. 155-160.
                [6] Dalam penerapan undang-undang atau syari’at Islam, seringkali perempuan dijadikan sebagai objek dan sasaran kontrol untuk mewujudkan sistem sosial yang diidealkan. Misalnya dalam pelaksanaan perda syari’at di Aceh, berita-berita di media massa mengungkapkan bagaimana perempuan di Aceh digunduli dan dituduh sebagai ‘perempuan tidak baik’ bila tidak menggunakan jilbab. Baca Nevisra Viviani,“Sketsa Gerakan Perempuan di Indonesia “Mengukir Sejarah Baru”” dalam jurnal Swara Rahima, no. 1, Th I, Mei 2001, hlm. 4
                [7] Miftahul Jannah, “Menjamin Keadilan Gender Melalui Undang-Undang”, dalam fatayat.or.id/detail/18. Diakses tanggal 30 Juni 2012.
                [8] Tingginya angka kematian ibu yang melahirkan di Indonesia membuat Fatayat NU harus juga ikut andil dalam memperjuangkan hak-hak kesehatan reproduksi perempuan, sehingga ormas ini memiliki pusat kesehatan reproduksi (PIKR) di beberapa cabang Fatayat di Indonesia. Walaupun tidak khusus menangani kasus kematian ibu akan tetapi PIKR ini memang dikonsepkan sebagai pusat informasi yang dapat dengan mudah diakses oleh perempuan dan kaum ibu di mana PIKR itu berada. Lihat dalam wawancara Swara Rahima dengan Maria Ulfah Anshor (Ketua Umum Pucuk Pimpinan Fatayat NU 2000-2004), “Islam Sangat Memperhatikan Ibu”. Jurnal Swara Rahima, no. 9, Th III, November 2003, hlm. 6-7. 
                [9]  Nur Rofiah, Bil. Uzm, Memecahkan Kebisuan: Agama Mendengar Suara Perempuan Korban Kekerasan Demi Keadilan (Respon NU), (Komnas Perempuan dan Open Society Institute: Jakarta, 2009), hlm. 20.
                [10] Lihat dan baca Resolusi Fatayat NU tahun 2012 di bawah ini. Refleksi dan Resolusi Fatayat NU ini dapat didwnload di http://fatayat.or.id/unduh. di akses tanggal 20 Juni 2012.
                Fatayat sebagai organisasi perempuan Islam yang beranggotakan lebih dari 5 juta orang, dan memiliki struktur kepengurusan di tingkat nasional, propinsi, kabupaten/ kota, kecamatan, desa/ kelurahan, memiliki kepedulian untuk meningkatkan kesetaraan gender baik di di bidang pendidikan, ekonomi, pendidikan, kesehatan, politik, budaya dan agama. Oleh karenanya, dalam momentum berharga Refleksi Awal Tahun dan Resolusi 2012 Fatayat NU mengajukan pertanyaan sekaligus menjadi dasar Resolusi 2012:
1.  Dimanakah Negara dan para  pemimpin ketika rakyat merasa sendirian saat mereka lapar, sakit, kesepian dan ketakutan.
2.  Dimanakah Negara , para pemimpin ketika rakyat merasa bingung, kehilangan harapan atau cuma bisa ketawa ketika bicara masa depan.
3.  Dimanakah Negara, para pemimpin ketika para ibu kami, perempuan dan anak-anak kami menghadapai berbagai kesulitan hidup karena kuatnya stereotype, diskriminasi, kemiskinan, ketidakadilan dan kekerasan.
4.  Dimanakah Negara juga para pemimpin ketika ketika nasib dan nyawa para buruh migrant berada di tubir jurang, setiap harinya. Ruyati dipancung, puluhan yang lain menunggu dengan gelisah dan berduka, sementara  ribuan yang lain mendekam dalam penjara tanpa pembela
5.  Dimanakah Negara juga para pemimpin ketika kerukunan dan cinta kasih makin terkoyak oleh sikap intoleran, penistaan dan kekerasan karena berbeda agama, keyakinan dan kepercayaan
6.  Dimanakah Negara juga para pemimpin ketika korupsi dibiarkan terus terjadi ,melindas dan menghancurkan nilai luhur bangsa, menghancurkan harga diri, membunuh para ibu dan bayi-bayi mereka, meruntuhkan jembatan, merobohkan gedung-gedung sekolah, merampas tanah dan ladang para petani kita, serta menghancurkan  generasi baru Indonesia merdeka.
7.  Dimanakah Negara, juga para pemimpin ,ketika satu demi satu kekuatan kapital asing mengambil sumberdaya ekonomi kita untuk kemakmuran asing seluas-luasnya, dan sebaliknya mendatangkan bencana dan kesengsaraan sebesar-besarnya bagi rakyat dan seluruh bangsa Indonesia.
Resolusi 2012.
1.  Musuh bersama kita adalah keserakahan, ketakpeduliaan , ketakadilan dan mementingkan diri sendiri. Musuh-musuh ini yang mendompleng berbagai ideologi dan kepercayaan, baik itu kapitalisme ekonomi politik dan  fundamentalisme agama , dimana telah terbukti menyebabkan kehancuran, penderitaan bagi banyak manusia, khususnya kaum mustadh’afin, kaum miskin, perempuan, anak-anak, golongan minoritas dan masa depan bangsa.
2.  Reformasi meminta harga yang mahal, tapi harga ini menjadi ringan tatkala dipikul secara gotong-royong oleh semua komponen bangsa, bukan malah dihancurkan dengan sikap menang sendiri, mengambil keuntungan untuk diri sendiri atau golongannya sendiri, dan mengabaikan kepentingan umum, kepentingan terbesar dari rakyat Indonesia.
3. Para pemimpin harus kembali pada spirit Konstitusi sebagaimana tercantum dalam UUD 1945 dan pentingnya muhasabah dan pertaubatan atas berbagai ketidakadilan yang selama ini dirasakan oleh rakyat Indonesia.
                [11] Amina Wadud Muhsin, “Al-Qur’an dan Perempuan”. Dalam Charles Kusman, Wacana Islam Liberal: Pemikiran Islam Kontemporer tentang Isu-Isu Global, terj. Bahrul Ulum et al, (Paramadina: Jakarta, 2001), hlm. 195.
                [12] Salah satu bukti perlawanan pengesahan kesetaraan gender di Indonesia bahkan ditentang oleh salah satu Ormas Islam yang mengatas namakan intelektual Muslim, yaitu Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI). Pernyataan sikap mereka ini diposting pada hari Minggu, tanggal 08 April 2012 dan bisa dilihat dalam ewbsite MIUMI sendiri. Bagi Ormas MIUMI, pembagian peran dan laki-laki bukanlah berdasar budaya dan adat, namun berdasarkan Wahyu Ilahi yang lintas zaman dan busaya. Ada lima pernyataan sikap dari MIUMI dalam menyikapi RUU Kesetaraan Gender, namun pada intinya adalah bahwa kesetaraan gender adalah kesalahan yang melanggar hukum Islam dan wahyu Tuhan. Bahkan yang lebih naif, produk RUU KKG ini bahkan masih dianggap sebagai upaya liberalisasi, invasi budaya Barat terhadap umat Islam, serangan kaum feminis terhadap kaum muslimah, dan sebagainya.  
                [13] Musdah Mulia, Muslimah Sejati: Menempuh Jalan Islami Meraih Ridha Ilahi, (Marja: Bandung, 2011), hlm. 64. 
                [14] Lihat dalam Musdah Mulia, Muslimah Sejati..., hlm. 64-65. Pemaknaan yang mirip juga dapat dilihat dalam Miftahul Jannah, “Menjamin Keadilan Gender Melalui Undang-Undang”, dalam fatayat.or.id/detail/18. Diakses tanggal 30 Juni 2012.
                [15] Lihat dalam Musdah Mulia, Muslimah Sejati..., hlm. 65-67. Lebih lanjut Musdah mengatakan bahwa hasil konstruk budaya inilah yang seringkali memunculkan dan menyebabkan adanya ketimpangan dan ketidak adilan gender. Selain karena adanya pengaruh budaya, dan adat istiadat, teks-teks keagamaan juga tidak luput dijadikan sebagai alat legitimasi segala bentuk kekerasan domestik (KDRT), perempuan tidak layak menjadi pemimpin keluarga, dan negara atau dalam berbagai lini lainnya, bahkan ketika ada pelecehan dan pemerkosaaan, seringkali yang dijadikan alasan adalah karena perempuan tersebut berpakaian seksi dan tidak sopan yang dianggap melanggar norma agama. Makanya tidak jarang muncul ungkapan, “Hati-hati terhadap perempuan, karena godaannya jauh lebih dahsyat dari godaan setan”. Perbedaan sex dan gender bisa juga dilihat dalam Musdah Mulia, Islam dan Hak Asasi Manusia: Konsep dan Implementasi, (Naufan Pustaka: Yogyakarta, 2010), hlm. 150-153.  
                [16] Ada banyak macam Ormas Islam Perempuan di Indonesia, Muslimat dan Fatayat NU, Aisyiah dan Nashiatul Aisyiah Muhammadiyah. Selain itu ada juga LSM yang berfungsi untuk memperjuangkan hak-hak perempuan, seperti Rahima, Puan Amal Hayati, Pusat Studi Wanita (PSW) di UIN Yogyakarta, dan lain-lain. 
                [17] Riri Khariroh, “Benarkah Perempuan Muslim Tertindas? Belajar dari Gerakan Perempuan Islam di Indonesia”. Dalam http://www.rahima.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=605:benarkah-perempuan-muslim-tertindas-belajar-dari-gerakan-perempuan-islam-di-indonesia&catid=21:artikel&Itemid=313.
                [18]  QS. al-Hujra>t, 49: 13.
                [19] QS. al-Nah}l, 16: 58-59.  Untuk menggambarkan kondisi ini, Hamka menjelaskan bagaimana tradisi penguburan hidup-hidup bayi perempuan itu berlangsung: “Pada masa itu, ketika perempuan hamil telah merasakan sakit karena akan melahirkan, keluarganya menggalikan lubang dan ia disuruh mengejankan di muka lubang itu. Setelah bayi terlihat, maka akan dicek apakah ia perempuan ataukah laki-laki. Kalau ternyata perempuan, maka dibiarkan bayi itu lahir dan langsung masuk ke dalam lubang, dan lubang itu pun langsung pula ditimbun dengan tanah. Sebaliknya jika ternyata bayi itu laki-laki, barulah disambut dengan gembira. Lihat dan baca dalam, Hamka, Kedudukan Perempuan Dalam islam, (Jakarta: Pustaka Panji Mas, 1996), hlm. 22-23.
                [20] QS. al-Nisa>’, 4: 19. Ketika itu, wanita diperjualbelikan seperti hewan dan barang. Mereka dipaksa untuk kawin dan melacur. Mereka diwariskan namun tidak mewarisi, dimiliki namun tidak memiliki, dan wanita yang memiliki sesuatu dihalangi untuk menggunakan apa yang dimilikinya kecuali dengan izin laki-laki. Suami mempunyai hak untuk mempergunakan harta istri tanpa persetujuannya. Baca Yusuf Qardhawi, Berinteraksi dengan Alquran, terj. Abdul Hayyie al- Kattani (Jakarta: Gema Insani Press, 1999), hlm. 151.
                [21] Lihat QS. al-Ah}za>b, 33: 35, QS. A<li ‘Imra>n, 3: 195, QS. al-Nah}l, 16: 97, QS. G}a>fir, 40: 40, QS. al-Taubah, 9: 71, QS. QS. al-An’a>m, 6: 165, QS. al-H{ujra>t, 49: 13.
                [22] Ida Fauziah, “Fatayat NU Desak Negara Lebih Peduli Perempuan”, Lihat dalam website Fatayat NU www. fatayat.or.id. Tulisan ini merupakan hasil resolusi tahun 2012 dalam acara yang mengangkat tema ‘Perempuan Menggugat untuk Masa Depan yang Lebih Baik’. Dalam acara ini, mereka juga meminta pemerintah untuk memoratorium pengiriman TKI, sekaligus dimanfaatkan untuk meningkatkan kompetensi dan keahlian para calon TKI. Selain itu, yang menjadi sorotan utama Fatayat NU adalah tindakan korupsi dan pemerkosaan. Selama tahun 2011 tindak pemerkosaan naik sebesar 13,33 persen belum lagi ditambah dengan kasus kekerasan seksual yang dalam 13 tahun terakhir tercatat ada 93.960 kasus”.
                [23] Khariroh Ali, “Selamat Datang RUU KKG”. Dalam http://fatayat.or.id/editorial/detail/7. diakses tanggal 29 Juni 2012. Dalam tulisan ini, Khariroh menyatakan bahwa RUU KKG ini masih banyak mendapat perlawanan dari berbagai ormas Islam lainnya. Namun bagi Fatayat NU, hal ini harus didukung sepenuhnya, walaupun masih mamiliki persoalan, sehingga Fatayat NU membentuk tim khusus untuk mengkajjinya dan kemudian memberikan masukan dan argumentasi-argumentasi yang bersifat akademik dan teologis. Nur Rofiah, Bil. Uzm, Memecahkan Kebisuan: Agama Mendengar Suara Perempuan Korban Kekerasan Demi Keadilan (Respon NU), (Komnas Perempuan dan Open Society Institute: Jakarta, 2009), hlm. 46.
                [24] Musdah Mulia, Membangun Surga di Bumi: Kiat-kiat Membina Keluarga Ideal dalam Islam, (Gramedia: Jakarta, 2011 ), hlm. 78. Dalam KHI disebutkan pasal 79 ayat 1: Suami adalah kepala keluarga dan istri sebagai ibu rumah tangga.
                [25]Kholed Abou El-Fadl, “In Recognition of Women”. Baca dalam http://www.scholarofthehouse.org/inreofwobykh.html. Diakses tanggal 24 Juni 2012. Bahkan dalam artikel ini, Abou El-Fadl menyatakan dengan tegas dengan mengutip pernyataan Muhammad al-Gozali, bahwa keterbelakangan wanita Islam pada saat ini adalah karena tertindas oleh pemahaman para laki-laki muslim yang berpegang teguh pada prinsip “Fiqih Badui”. Para ulama muslim “Fiqih Baduwi” tersebut memposisikan perempuan sebagai pelayan mereka. Hal ini tentunya berbanding terbalik dengan realita sejarah ‘Aisyah yang sering berbeda pendapat dengan kebijkan khalifah, Fatimah binti Quais yang sempat berdebat dengan  Khalifah Umar bin Khattab, Ummu Ya’qub yang membantah pemikiran ‘Abdullah Ibn Mas’ud dan berkata: “Saya telah membaca seluruh Al-Qur'an tapi belum menemukan penjelasan Anda di mana saja di dalamnya”. Bahkan dalam riawayat, Umar bin Khattab pernah mempercayakan Shaffa binti Abdullah sebagai inspektur alih pasar di Madinah. Selain itu ada juga Ummu Salamah, Laila binti Qasim, Asma binti Abu Bakar, Kaula binti Ummu Darda, dan banyak lainnya, yang terpercaya mengajar di ranah publik pada masa itu.
                [26] QS. al-Nisa, 4: 34. Seperti inilah terjemahan yang lebih banyak digunakan dalam beberapa al-Qur’an terjemahan edisi Indonesia, termasuk dalam terjemahan Qur’an in word. Jelas sekali dalam terjemahan tersebut menonjolkan superioritas laki-laki atas perempuan. Seolah-olah laki-laki yang paling berhak menjadi pemimpin bagi perempuan dan sekaligus menafikan situasi sebaliknya, perempuan memimpin laki-laki.
                [27]  Musdah Mulia, Membangun Surga di Bumi..., hlm. 85.
                [28] Muh}ammad al-T{a>hir Ibn ‘A<syu>r, Tafsi>r al-Tah}ri>r wa al-Tanwi>r, (al-Da>r al-Tu>nisi>yah li al-Nas}r: Tunisia, 1984), hlm. 37-38.
                [29]  QS. al-Nisa>’, 4: 19.
                [30]  QS. al-Nah{l, 16: 58-59.
                [31] Ah}mad bin Muh}ammad bin H{anbal, Musnad Ah}mad. Ba>b Musnad ‘Abd Alla>h bin al-‘Abba>s, no. 2957, jilid 6, hlm. 483. Dalam  CD. Rom al-Maktabah al-Sya>milah, Ridwana Media. Al-H{a>kim menilai hadis ini adalah sahih, dalam al-Mustadrak ‘ala> al-S{ah}i>hain li al-H{a>kim. Ba>b Tafsi>r Su>rah al-Tah}ri>m, no. 3795, jilid, 9, hlm. 31, dalam CD. Rom al-Maktabah al-Sya>milah, Ridwana Media. Hadis ini juga dikutip oleh Jalaluddin Rakhmat untuk menjelaskan bahwa Islam juga menghargai wanita dan hadis ini menurutnya sebagai panduan untuk memahami wanita ideal dalam Islam. Baca Jalaluddin Rakhmat, Islam Aktual: Refleksi-Sosial Seorang Cendekiawan Muslim, (Mizan: Bandung, 1998), hlm. 196-198. 
[32] Saidah Sakwan, dkk, Potret Politik Perempuan dalam Ormas Keagamaan, (Institute for Research and Community Development Studis dan Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan Republik Indonesia: Jakarta, 2007), hlm. 56.

                [33] QS. Ali ‘Imran, 3:  195.
                [34] Al-Bukha>ri>, S{ah}i>h} al-Bukha>ri>, ba>b Man Ah}aqq al-Na>s bi H{usn, no. 5626, jilid 5, hlm. 2227. Dalam CD. Rom al-Maktabah al-Sya>milah. Ridwana Media.
                [35] Omaima Abou Bakr, “Islam dan Gender”. Dalam http://fatayat.or.id/artikel/detail/19. diakses tanggal 29 Juni 2012.
                [36]  Omaima Abou Bakr, “Islam dan Gender”....