MENGHAYATI RAMADHAN MENUJU GLOBAL ETIK
Oleh: Arif Nuh Safri, S. Th. I, M. Hum.
Etika global
adalah salah satu wacana yang tidak bisa dilepaskan dari perkembangan zaman
saat ini, sehingga dikenal istilah global politik, global teknologi, global
ekonomi, global market, dan bahkan global warming, serta berbagai macam
isu global lainnya. Hal ini tentunya menjadi tantangan tersendiri bagi setiap
agama, termasuk agama Islam. Hans Kung meyakini bahwa semua aspek global di
atas, tidak akan pernah tercapai kecuali dengan terciptanya global etik. Sehingga
pada tahun 1993, 6500 anggota Majelis Parlemen Agama-agama Dunia bertemu di
Chicago, AS, untuk menciptakan Declaration Toward a Global Ethic.
Deklarasi ini sama halnya dengan Deklarasi Hak-hak Asasi Manusia yang
dicanangkan pada tahun 1776 di Amerika untuk menuju kehidupan moral bangsa.
Tidak bisa
dipungkiri bahwa, setiap
agama yang ada di muka bumi ini selalu identik dengan berbagai bentuk ritual
yang menjadi ciri has masing-masing, baik itu agama samawi maupun tidak. Segala
bentuk ritual dalam setiap agama pada hakikatnya tidak bersifat absurd.
Namun, segala perintah dalam setiap agama tidak lepas dari nilai-nilai yang
sangat tepat untuk menjawab setiap tantangan yang dihadapi umat manusia. Setiap agama
samawi (Yahudi, Kristen dan Islam) adalah berasal dari Allah, Tuhan Yang Maha
Esa menekankan keselamatan melalui iman. Baik Yahudi, Kristen dan Islam
menuntut penganutnya agar konsisten antara iman dan amal saleh. Dengan
demikian, selain Allah atau Tuhan dikenal sebagai Yang Maha Tinggi, juga bersifat
etikal, sehingga Tuhan menghendaki hambanya untuk berprilaku akhlaki, etis dan
moralis.
Puasa misalnya, bukanlah sekedar
pengharaman atau larangan untuk mengkonsumsi sesuatu pada masa atau waktu
tertentu, namun lebih dari itu, puasa merupakan latihan untuk mendidik jiwa
dari berbagai macam nafsu dan syahwat yang tercela. Pensucian jiwa dengan
kejujuran yang hanya diketahui oleh Allah dan individu menjadi sebuah riyadoh
penting dalam pembentukan karakter. Selain itu, manajemen emosi tak kalah
pentingnya, baik dari amarah, iri, dengki, hasud dan lain-lain. Selanjutnya pada
aspek sosial, setiap individu diajak untuk bersimpati dan empati pada orang
lain, serta kemampuan untuk memberi kehangatan bagi orang lain. Hal ini bisa dilihat dalam
hadis nabi yang berbunyi:
Rasul
bersabda: “Bukanlah puasa hanya menahan diri dari makan dan minum, namun
menahan diri dari ucapan sia-sia, dan perbuatan kotor. Jika ada seseorang
mengejekmu, atau membodohimu, maka katakanlah: Sesungguhnya aku puasa.”
Dalam al-Qur’an sendiri tujuan pelaksanaan puasa adalah
menciptakan manusia yang beriman menjadi manusia yang bertakwa, seperti dalam
surat al-Baqarah, 2: 183.
“Hai
orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan
atas orang-orang sebelum kamu, agar kamu bertakwa ”
Ada dua konsep
vital dan urgen dalam ayat di atas, yaitu orang-orang beriman sebagai orang
yang diseru, dan tujuan puasa itu sendiri, yaitu menciptakan orang yang
bertakwa. Yusuf al-Qaradawi memberikan pemaknaan substansial dari iman
itu sendiri sebagaimana dalam bukunya yang berjudul The Impact of Iman in the
Life of Individual.
“Iman merupakan kekuatan moral dan moral dari
kekuatan, jiwa kehidupan dan kehidupan jiwa, keindahan dunia dan dunia dari keindahan,
cahaya penerang jalan dan jalan untuk penerangan. Singkatnya, iman adalah
kebutuhan mutlak dalam kehidupan manusia: untuk individu iman mampu mencapai
kenyamanan dan kebahagiaan serta untuk mengembangkan diri. Untuk kehidupan
sosial, iman berfungsi menjaga stabilitas sosial yang erat dan berkelanjutan
secara sukses dan efektif.”
Selanjutnya, mengutip
apa yang disebutkan oleh Azyumardi Azra bahwa takwa jangan dimaknai dengan
takut (takut pada Allah dan azab-Nya) yang pada akhirnya memberikan konotasi
negatif atau kesan angker pada Allah atau Tuhan. Hendaknya takwa harus dimaknai
sebagai kemampuan orang-orang untuk memelihara diri secara pribadi, sosial
maupun lingkungan dari tindakan-tindakan yang tidak sesuai dengan tuntunan dan
ajaran agama. Dalam artian semacam ini, hendaknya orang yang berpuasa,
selayaknya pada level pertama harus mampu memelihara dirinya secara internal
yang lebih bersifat spiritual. Kemudian pada level kedua, lebih bersifat
material, yaitu berupa kemampuan untuk merasakan perasaan orang miskin, orang
terpuruk, kelaparan sehingga akan terwujud rasa solidaritas yang mampu
meringankan beban orang di sekitar kita.
Menjadi hal
penting tentunya untuk meyakinkan setiap orang yang melaksanakan puasa yang
berujung pada nilai takwa, yaitu manusia yang dengan puasa tersebut menjadi
orang yang hati-hati, sadar, atau patuh pada Allah. Fazlur
Rahman menyatakan bahwa takwa berfungsi sebagai konsep etik dalam al-Qur’an.
Menurutnya term ini bisa dimaknai dengan ‘peity’ atau patuh pada Allah.
Hal ini bisa dilihat dari akar katanya, yaitu w-q-y (waqaya) yang
artinya ‘to protec’ (melindungi), to save from destruction
(mengamankan dari kehancuran), to preserve (melestarikan). Sehingga
dalam arti keagamaan, kata ini berisikan kandungan moral, “terpelihara dari
kegoncangan moral” atau “takut karena bertanggungjawab”. Dengan demikian, takwa
pada Allah adalah menyerahkan diri pada Allah agar terpelihara dari segala
kegoncangan atau krisis kejiwaan.
Singkatnya,
bahwa dengan puasa Ramadhan, setiap individu diharapkan mampu menanamkan nilai
keimanan dan ketakwaan yang bersifat internal sekaligus eksternal. Sehingga,
setiap individu mampu mencapai keimanan dan ketakwaan teologis, sekaligus
keimanan dan ketakwaan sosial untuk terwujudnya global etik demi menuju
peradaban manusia yang lebih maju.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar