Translate

Minggu, 05 Agustus 2012

MENGHAYATI RAMADHAN MENUJU GLOBAL ETIK


MENGHAYATI RAMADHAN MENUJU GLOBAL ETIK

Oleh: Arif Nuh Safri, S. Th. I, M. Hum.

Etika global adalah salah satu wacana yang tidak bisa dilepaskan dari perkembangan zaman saat ini, sehingga dikenal istilah global politik, global teknologi, global ekonomi, global market, dan bahkan global warming, serta berbagai macam isu global lainnya. Hal ini tentunya menjadi tantangan tersendiri bagi setiap agama, termasuk agama Islam. Hans Kung meyakini bahwa semua aspek global di atas, tidak akan pernah tercapai kecuali dengan terciptanya global etik. Sehingga pada tahun 1993, 6500 anggota Majelis Parlemen Agama-agama Dunia bertemu di Chicago, AS, untuk menciptakan Declaration Toward a Global Ethic. Deklarasi ini sama halnya dengan Deklarasi Hak-hak Asasi Manusia yang dicanangkan pada tahun 1776 di Amerika untuk menuju kehidupan moral bangsa.
Tidak bisa dipungkiri bahwa, setiap agama yang ada di muka bumi ini selalu identik dengan berbagai bentuk ritual yang menjadi ciri has masing-masing, baik itu agama samawi maupun tidak. Segala bentuk ritual dalam setiap agama pada hakikatnya tidak bersifat absurd. Namun, segala perintah dalam setiap agama tidak lepas dari nilai-nilai yang sangat tepat untuk menjawab setiap tantangan yang dihadapi umat manusia. Setiap agama samawi (Yahudi, Kristen dan Islam) adalah berasal dari Allah, Tuhan Yang Maha Esa menekankan keselamatan melalui iman. Baik Yahudi, Kristen dan Islam menuntut penganutnya agar konsisten antara iman dan amal saleh. Dengan demikian, selain Allah atau Tuhan dikenal sebagai Yang Maha Tinggi, juga bersifat etikal, sehingga Tuhan menghendaki hambanya untuk berprilaku akhlaki, etis dan moralis.
Puasa misalnya, bukanlah sekedar pengharaman atau larangan untuk mengkonsumsi sesuatu pada masa atau waktu tertentu, namun lebih dari itu, puasa merupakan latihan untuk mendidik jiwa dari berbagai macam nafsu dan syahwat yang tercela. Pensucian jiwa dengan kejujuran yang hanya diketahui oleh Allah dan individu menjadi sebuah riyadoh penting dalam pembentukan karakter. Selain itu, manajemen emosi tak kalah pentingnya, baik dari amarah, iri, dengki, hasud dan lain-lain. Selanjutnya pada aspek sosial, setiap individu diajak untuk bersimpati dan empati pada orang lain, serta kemampuan untuk memberi kehangatan bagi orang lain. Hal ini bisa dilihat dalam hadis nabi yang berbunyi:
Rasul bersabda: “Bukanlah puasa hanya menahan diri dari makan dan minum, namun menahan diri dari ucapan sia-sia, dan perbuatan kotor. Jika ada seseorang mengejekmu, atau membodohimu, maka katakanlah: Sesungguhnya aku puasa.”
Dalam al-Qur’an sendiri tujuan pelaksanaan puasa adalah menciptakan manusia yang beriman menjadi manusia yang bertakwa, seperti dalam surat al-Baqarah, 2: 183.
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu, agar kamu bertakwa ”
Ada dua konsep vital dan urgen dalam ayat di atas, yaitu orang-orang beriman sebagai orang yang diseru, dan tujuan puasa itu sendiri, yaitu menciptakan orang yang bertakwa. Yusuf al-Qaradawi memberikan pemaknaan substansial dari iman itu sendiri sebagaimana dalam bukunya yang berjudul The Impact of Iman in the Life of Individual.
 “Iman merupakan kekuatan moral dan moral dari kekuatan, jiwa kehidupan dan kehidupan jiwa, keindahan dunia dan dunia dari keindahan, cahaya penerang jalan dan jalan untuk penerangan. Singkatnya, iman adalah kebutuhan mutlak dalam kehidupan manusia: untuk individu iman mampu mencapai kenyamanan dan kebahagiaan serta untuk mengembangkan diri. Untuk kehidupan sosial, iman berfungsi menjaga stabilitas sosial yang erat dan berkelanjutan secara sukses dan efektif.”
Selanjutnya, mengutip apa yang disebutkan oleh Azyumardi Azra bahwa takwa jangan dimaknai dengan takut (takut pada Allah dan azab-Nya) yang pada akhirnya memberikan konotasi negatif atau kesan angker pada Allah atau Tuhan. Hendaknya takwa harus dimaknai sebagai kemampuan orang-orang untuk memelihara diri secara pribadi, sosial maupun lingkungan dari tindakan-tindakan yang tidak sesuai dengan tuntunan dan ajaran agama. Dalam artian semacam ini, hendaknya orang yang berpuasa, selayaknya pada level pertama harus mampu memelihara dirinya secara internal yang lebih bersifat spiritual. Kemudian pada level kedua, lebih bersifat material, yaitu berupa kemampuan untuk merasakan perasaan orang miskin, orang terpuruk, kelaparan sehingga akan terwujud rasa solidaritas yang mampu meringankan beban orang di sekitar kita.
Menjadi hal penting tentunya untuk meyakinkan setiap orang yang melaksanakan puasa yang berujung pada nilai takwa, yaitu manusia yang dengan puasa tersebut menjadi orang yang hati-hati, sadar, atau patuh pada Allah. Fazlur Rahman menyatakan bahwa takwa berfungsi sebagai konsep etik dalam al-Qur’an. Menurutnya term ini bisa dimaknai dengan ‘peity’ atau patuh pada Allah. Hal ini bisa dilihat dari akar katanya, yaitu w-q-y (waqaya) yang artinya ‘to protec’ (melindungi), to save from destruction (mengamankan dari kehancuran), to preserve (melestarikan). Sehingga dalam arti keagamaan, kata ini berisikan kandungan moral, “terpelihara dari kegoncangan moral” atau “takut karena bertanggungjawab”. Dengan demikian, takwa pada Allah adalah menyerahkan diri pada Allah agar terpelihara dari segala kegoncangan atau krisis kejiwaan.
Singkatnya, bahwa dengan puasa Ramadhan, setiap individu diharapkan mampu menanamkan nilai keimanan dan ketakwaan yang bersifat internal sekaligus eksternal. Sehingga, setiap individu mampu mencapai keimanan dan ketakwaan teologis, sekaligus keimanan dan ketakwaan sosial untuk terwujudnya global etik demi menuju peradaban manusia yang lebih maju.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar