Translate

Jumat, 27 Juni 2014

Membumikan Nilai Spiritualitas Puasa Ramadhan



Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu, agar kamu bertakwa.

            Demikianlah Allah menyerukan syari’at puasa bagi umat muslim dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 183. Barangkali ayat ini sudah sangat akrab, dan bahkan sudah banyak yang mampu menghafalkannya. Namun, di balik keakraban masyarakat terhadap ayat tersebut, ternyata tidak berbanding lurus dengan pemahaman, penghayatan dan apalagi pengamalan terhadap anjuran dan cita-cita moralnya. Sehingga puasa Ramadhan seringkali hanya menjadi ritual tahunan yang tak jarang menjadi absurd dan tanpa nilai. Bahkan momen ini menjadi masa yang strategis bagi kelompok tertentu untuk membuktikan kekuatan eksistensi mereka terhadap kelompok lain yang berbeda. Sehingga seringkali aksi sweeping berbalut agama dan kekerasan terjadi di bulan Ramadhan.
            Dalam QS. Al-Baqarah ayat 183 di atas, ada term yang menjadi cita-cita moral yang dianjurkan oleh Allah untuk dicapai oleh siapapun yang melaksanakan puasa, yaitu takwa. Kata takwa bukanlah sekedar ungkapan simbolik semata yang hanya bersifat spiritual vertikal, yaitu hanya mengatur hubungan manusia dengan Tuhan. Namun, takwa juga menjadi nilai moral spiritual yang berkaitan dengan hubungan manusia dengan manusia, dan alam semesta. Sehingga, cita-cita tertinggi dari pelaksanaan puasa Ramadhan adalah menciptakan individu atau pribadi etis, akhlaki, dan bermoral yang mampu menjaga keseimbangan hubungan vertikal dan horizontal atau dikenal dengan istilah hablun minallah dan hablun minannas.
            Secara bahasa, al-Asfahani dalam bukunya Mu’jam Mufradat li Alfaz al-Qur’an mengatakan bahwa takwa berasal dari kata waqa-yaqi-wiqayatan yang dimaknai dengan menjaga dan melestarikan sesuatu dari segala yang merusak dan membahayakan. Atau dimaknai pula dengan menjaga dan menciptakan jiwa merasa nyaman, aman dari segala sesuatu yang ditakuti. Dengan demikian, nilai takwa tidak hanya mampu memberikan kenyamanan dan keamanan bagi diri pribadi, namun sekaligus mampu menjamin kenyamanan dan keamanan bagi semua yang ada di luar diri pribadi.
            Dalam pada itu, karena perintah puasa datang dari Allah Sang Maha Pencipta, maka ajaran ini juga sangat sarat dengan nilai-nilai spiritual yang bersifat vertikal. Akan tetapi, karena segala ajaran yang diturunkan oleh Allah pada makhluk-Nya tidak akan pernah lepas dari nilai dan maslahat. Maka, manusia harus memiliki kesadaran atas tanggung jawab moral, bahwa puasa pun harus menjadikan manusia melangit dalam hal spiritual, sekaligus membumi dalam hubungan horizontal.
            Dalam al-Qur’an, kata takwa dan derivasinya terulang sebanyak 58 kali. Hal ini menjadi isyarat betapa pentingnya pemahaman, penghayatan, serta pengamalan terhadap nilai takwa. Sehingga, pelaksanaan puasa Ramadhan tahun ini menjadi momentum bersejarah bagi setiap individu yang menjalankannya. Dengan harapan, tercipta manusia yang patuh pada Allah, sekaligus mampu melindungi diri dan alam sekitar dari kehancuran, dan kerusakan. Dalam bahasa agama, nilai takwa harus mampu menciptakan manusia yang terpelihara dari keguncangan moral, takut karena bertanggung jawab, dan dengan takwa pada Allah, setiap orang yang melaksanakan puasa mampu menyerahkan dirinya pada Tuhan agar terpelihara dari segala kegoncangan dan krisis kejiwaan.
            Nilai takwa semacam ini, sebenarnya sekaligus menafikan unsur kekerasan dalam agama. Semangat keagamaan yang mendalam, selayaknya berbanding lurus dengan semangat kemanusiaan yang membumi pula. Sehingga, dengan pola keberagamaan semacam ini, akan sangat relevan dengan nasehat Nabi Muhammad SAW dalam hadisnya, yaitu:
            “Bukanlah puasa hanya menahan diri dari makan dan minum, akan tetapi menahan diri dari ucapan sia-sia, dan perbuatan kotor”
          
            Dalam puasa inilah jiwa manusia dididik, dan dilatih untuk jujur, mengontrol emosi dari amarah, iri, dengki, hasad dan berbagai penyakit hati lainnya. Sementara dalam hubungan sosial, manusia diajak untuk bersimpati dan empati kepada orang lain dengan memberi kehangatan, kenyamanan dan kepedulian.
            Dengan pemaknaan semacam ini, semoga puasa kali ini, mampu menciptakan diri kita sebagai pribadi yang melangit dalam spiritual, yaitu  meningkatkan kualitas hubungan pribadi dengan Allah, sekaligus menciptakan pribadi yang membumi secara horizontal, yaitu pribadi yang manusiawi, bermoral, dan berakhlak mulia. Amin…

Selasa, 24 Juni 2014

Atas Nama Keadilan Siapapun Berhak jadi Presiden



Perbincangan masalah agama, selalu menarik karena sensitif dan seksi. Sensitif karena agama merupakan keyakinan atau kepercayaan yang tumbuh dan mengakar dalam diri setiap individu, sehingga posisinya sangat sakral dan suci. Sementara itu, agama sesalu seksi disebabkan dihinggapi atau dikelilingi oleh unsur eksternal dari agama dan penganutnya sendiri. Baik dari unsur budaya, adat istiadat, tradisi, dan bahkan politik. Serta berbagai unsur eksternal lainnya. Masalah akan lebih rumit ketika berbagai unsur eksternal tersebut saling tarik-menarik atas nama agama sesuai dengan kepentingan dan tujuan masing-masing sekaligus mengesampingkan atau bahkan menafikan unsur atau pihak lain.
             Mengingat begitu sensitif dan seksinya isu agama, ternyata berimbas besar pada bulan politik saat ini. Waktu kampanye yang hanya 1 bulan, yaitu dari tanggal 04 Juni hingga 05 Juli  2014, isu agama banyak didengungkan ke ranah publik, terlebih-lebih di media massa, baik cetak, atau elektronik, dan bahkan di media online sosial media. Mulai dari penggunaan istilah “Perang Badar” yang seolah-olah menanamkan pemahaman “permusuhan dan pertempuran sengit” antara kebenaran dengan kebatilan, hingga isu agama yang dianut oleh capres-cawapres, bahkan agama yang dianut oleh garis keturunan sebelum dan sesudahnya.
            Terlepas dari istilah black campaign atau negative campaign, permasalahan agama sebenarnya tidak layak dijadikan sebagai alat politik pragmatis, karena akan menghilangkan nilai kesucian dan kesakralan agama tersebut. Di sisi lain, isu agama tidak harus diumbar karena secara historis negara Indonesia bukanlah negara yang dimiliki dan diperjuangkan oleh salah satu agama tertentu. Sejarah Indoensia telah membuktikan, bahwa Indonesia diperjuangan oleh para pahlawan dari berbagai macam suku, ras, golongan, dan agama. Sementara secara normatif/undang-undang atau konstitusi, Indonesia pun di dasarkan pada Pancasila, bukan pada asas salah satu agama tertentu. Oleh sebab itu, apa pun agama capres-cawapres, hak konstitusi mereka dilindungi oleh undang-undang yang berdasarkan Pancasila serta dilindungi oleh UUD 1945 untuk menjadi pemimpin bangsa ini. Dengan demikian, atas nama keadilan siapa pun boleh jadi pemimpin di negri ini.
            Perlu diketahui dan difahami bersama bahwa politik pemilihan capres dan cawapres bukanlah perang atau permusuhan melawan kebatilan dan ketidak benaran. Namun, pemilihan capres-cawapres merupakan kontestasi politik yang akan melahirkan putra-putra terbaik bangsa nantinya. Dalam bahasa agama sering dikenal dengan istilah “fastabiqul khairat” (berlomba-lombalah dalam kebaikan dan kebenaran). Oleh sebab itu, tidak perlu membawa dan memasukkan isu agama dalam politik praktis sebagai media untuk menyerang dan menjatuhkan pihak lain. Karena hakikat agama adalah sakral dan suci yang memiliki nilai perdamaian dan kasih. Biarkanlah agama hidup dan tumbuh dalam diri masing-masing penganutnya untuk membangun nilai spiritual, serta menjadi sumber semangat, dan inspirasi.
            Dalam konteks negara Indonesia yang mayoritas muslim, tidak perlu ada kekhawatiran berlebihan terhadap siapa pun calon pemimpin Indonesia. Undang-undang negara sudah sangat matang untuk melindungi hak-hak seluruh rakyat Indonesia. Di sisi lain, salah satu ulama besar terkemuka, Syaikh Ibn Taymiyah serta diperkuat oleh tokoh cendekiawan muslim Indonesia, Alwi Shihab berkata, bahwa pemimpin non muslim yang adil, lebih baik daripada pemimpin muslim yang zhalim. Ini artinya bahwa untuk masalah kepemimpinan atau dalam hal ini presiden, siapa pun berhak dan boleh tanpa pandang ras, suku, warna kulit, dan agama serta antar golongan lainnya. Dengan syarat mutlak, yaitu “keadilan.
            Akhirnya, dengan sikap inklusifisme beragama, semoga pemilihan capres-cawapres tahun 2014-2019 ini bisa lebih indah, damai dan harmonis serta kondusif. Agar pembangunan bangsa ini bisa lebih maju dan beradab ke depannya. Jika prosesi pemilihan capres-cawapres sudah diselimuti oleh black campaign/negative campaign yang sangat panas dan tidak fair yang menghalalkan segala cara, maka dikhawatirkan pada akhirnya akan lebih banyak lagi permasalahan muncul di masa depan.