Translate

Kamis, 24 Agustus 2023

Merajut Ketaatan dalam Keragaman

 

Salah satu bentuk ketaatan seorang hamba pada Tuhan adalah punya komitmen kuat dalam meyakini dan menjalani hukum alam atau sunnatullah. Di antaranya, menyadari fitrah dan kodrat-Nya tentang keragaman, baik keragaman jenis kelamin, suku, adat, tradisi, bahasa, budaya, dan bahkan agama. Betapa banyak ayat al-Qur’an yang menunjukkan tentang keragaman sebagai wujud ketetapan Tuhan, serta sebagai bentuk ujian pada hamba-Nya. Di antaranya sebagaimana termaktub dalam QS. al-Ma’idah: 48.

… Untuk setiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Kalau Allah swt. menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah swt. hendak menguji kamu terhadap karunia yang telah diberikan-Nya kepadamu, maka terdepanlah dalam kebajikan…

 

Berdasar ayat tersebut, keragaman adalah fitrah yang tak dapat ditolak, apalagi dinafikan. Ayat tersebut bahkan menjadi argumentasi normatif yang kuat, sekaligus penuntut dan penuntun setiap individu atau kelompok untuk selalu terdepan dalam meraih dan berbagi kebaikan. Oleh sebab itu, persaingan dengan cara mengabaikan dan menginjak hak-hak orang lain tidak memiliki landasan normatif-teologis sama sekali. Bahkan, ia menjadi indikasi kezaliman pada kemanusiaan, sekaligus kedurhakaan pada ketetapan Tuhan.

Dalam pada itu, hakikat keragaman bukan untuk menciptakan persaingan semata, bukan pula untuk saling mejelekkan dan menjatuhkan. Terlebih juga bukan untuk saling menyemai konflik dan permusuhan. Akan tetapi, tujuannya adalah untuk saling mengenal, memahami dan melengkapi dalam jalinan keharmonisan. Langkah paling strategis dalam memahami orang lain adalah komunikasi aktif dua arah atau lebih. Dialektika semacam inilah yang akan mampu menumbuhkan peradaban kemanusiaan yang kompetitif dan berkemajuan. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam QS. al-Hujrat: 13.

Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal…

Teks normatif ini secara tegas dan jelas mendeklarasikan eksistensi keragaman makhluk Tuhan, khususnya manusia. Yang paling menarik, salah satu tujuan keragaman tersebut adalah ‘lita’arafu’ (saling memahami). Perintah ini mewajibkan peran aktif dua belah pihak atau lebih untuk saling memahami. Prinsip nilai yang diajarkan adalah, saling melebur antara ego dan individu dalam kata “kita”.

Dalam sejarah Islam, salah satu bentuk rajutan indah dalam keragaman tersebut adalah konsensus yang disepakati oleh lintas sekat. Semua melebur dalam satu kesepakatan kuat, yaitu Piagam Madinah. Beragam suku, ras, bahkan agama memiliki hak dan kewajiban yang sama untuk tunduk dan patuh pada konsensus tersebut. Sekat perbedaan melebur dalam hak dan kewajiban yang sama sebagai satu bangsa atau negara, yaitu Madinah.

Dalam konteks Indonesia, konsensus semacam ini pun dijadikan sebagai pijakan untuk menjaga dan memelihara realitas keragaman yang ada. Kongres Pemuda 1928 yang tertuang dalam Soempah Pemuda adalah akumulasi kesadaran anak bangsa di kala itu. Kesatuan dan persatuan yang tertuang dalam teks Soempah Pemuda dengan istilah kata “Kami, dan satu” menjadi ikatan kuat dan solid di kalangan anak bangsa yang terdiri dari berbagai etnik, budaya, bahasa, hingga agama.

Konsensus berikutnya adalah Pancasila sebagai dasar negara. Secara historis, konsensus ini diputuskan dan disepakati bersama oleh para founding fathers negeri ini. Baik kaum nasionalis, dan religious (ulama) bersama-sama merumuskannya dengan semangat, motivasi, dan tujuan yang sama, yaitu agar keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) tetap utuh dan terjaga.

Sebagai anak bangsa, belajar dari konsensus Piagam Madinah dan Pancasila adalah keniscayaan. Keragaman dan keindahan tergambar secara gamblang di dalamnya, sekaligus terbangun kuat ikatan dan komitmen dalam membangun tujuan bersama. Kepentingan individu, kelompok, bahkan kepentingan “agama” berada di bawah posisi kepentingan bersama demi mencapai keutuhan bangsa dan kesepakatan dalam bentuk kata umat.

Dalam konteks NKRI, sebagai anak negeri yang hidup dan besar di atas Tanah Air Indonesia, Pancasila harus dijadikan sebagai ikatan bersama dalam membangun bangsa. Ia menjadi Dasar Negara sekaligus sebagai falsafah bangsa, atau kalimatun sawa dalam konteks berbangsa dan bernegara. Kesetiaan padanya adalah standart mutlak dalam menjalankan kehidupan di dalam NKRI.

Pada akhirnya, sebagai bangsa beragama dan bertuhan, setiap individu harus sadar bahwa mengingkari dan merusak konsensus adalah pengkhianatan ril dan nyata. Oleh sebab itu, setiap anak bangsa wajib punya tanggung jawab moral untuk merajut keragaman ini. Jika keragaman ini dipandang sebagai sebuah karunia Tuhan Sang Pencipta, Indonesia yang multidimensi, baik agama, suku, ras, budaya serta adat dan istiadat menjadi warna indah yang tak ternilai harganya. Pada waktu yang sama, ia menjadi tantangan tersendiri untuk mengelola dan menatanya, agar mampu menjadi bangsa besar, kuat, bermoral dan bermartabat.

Untuk mengakhiri ulasan singkat ini, penulis tertarik untuk memahami dan menghayati ungkapan ulama modern, Muhammad al-Ghazali: “Mencintai Tanah Air adalah insting yang tak bisa diingkari. Membelanya adalah kewajiban yang tak bisa ditawar.”

Oleh sebab itu, mencintai tanah air hakikatnya tidak butuh dalil sama sekali, ia hanya membutuhkan akal sehat dan hati yang jernih. Hanya otak kerdil pulalah yang butuh dalil untuk mencintai tanah air tempat ia dilahirkan dan tumbuh kembang. Tempat dia menghirup udara segar, meminum air sepuasnya, dan mencari penghidupan.