Translate

Rabu, 28 Mei 2014

Tuhan Agama-Mu Apa?


Di kesunyian kumerenung
Di keramaian kumerasa sendiri
Tat kala kebenaran sudah menjadi milik sendiri
Para pejuang terlontang-lanting tanpa arah

Tuhan,
Dalam ayat-ayat-Mu Engkau hadir tak terbayang
Tapi keberadaan-Mu diperebutkan tanpa moral
Kebenaran-Mu direbut tanpa dalih

Tuhan,
Di kala kehausan, kelaparan, keberingasan, dan keserakahan datang bersama tanpa arah,
Di sana pula ayat-ayat-Mu terkapar tanpa makna dan arti

Tuhan,
Dalam kumerenung
Setiap orang mengaku beragama
Setiap orang bangga akan kebesaran-Mu
Namun,
Dalam pengakuan atas agama-Mu, kedamaian tak lagi dapat kuraih
Dalam setiap kebanggaan atas nama kebesaran-Mu
Keagungan-Mu tak lagi dapat kutemui.

Tuhan,
Bukan kuragu akan keyakinanku,
Namun ku tak mampu jua merenggut keyakinan lain.

Tuhan,
Bukan kuragu akan kebesaran-Mu
Namun, kuragu akan kebesaran hati para pembela-Mu.

Tuhan,
Keadilan-Mu, Cinta dan kasih-Mu
Menembus batas waktu dan ruang.
Namun,
Bolehkah aku bertanya,
Tuhan, agama-Mu apa?

Aku tak percaya Tuhan Karena Nama


Tuhan, aku percaya pada-Mu karena aku membaca
Membaca kitab, membaca alam, dan membaca diri
Dalam kitab-Mu aku membaca kekuasaan-Mu
Dalam alam, aku tertegun dan kagum mengucap
Dalam diriku, aku punya kekuatan, kelemahan, kepintaran dan kebodohan
Tapi dalam kelemahanku, aku yakin Engkau hadir
Dalam kebodohanku, aku pun yakin Engkau melihat

Tuhan, aku percaya pada-Mu karena aku memahami
Aku percaya pada-Mu tanpa harus berkata bahwa aku seorang mu’min
Aku percaya pada-Mu tanpa harus diketahui orang
Aku pun akan selalu percaya pada-Mu tanpa harus diikuti orang
Dan aku akan tetap percaya pada-Mu walau hanya aku yang percaya pada-Mu

Tuhan, aku percaya pada-Mu karena aku merasa
Aku merasakan kasih sayang-Mu
Akau merasa cinta dan peluk-Mu
Dalam murka-Mu ada cinta
Dalam marah-Mu ada damai
Dalam siksa-Mu ada keadilan 

Tuhan, aku percaya pada-Mu bahwa Engkau Maha Besar bukan karena nama Allohu Akbar
Karena aku melihat orang biadab melantunkan nama-Mu untuk kezaliman.
Tuhan, aku percaya pada-Mu bahwa Engkau Maha Murka bukan karena al-Qohhar
Karena aku melihat orang rakus pun bersumpah atas nama-Mu.

Tuhan aku percaya pada-Mu karena Engkau seutuhnya.
Aku tahu bahwa hamba-Mu Ibrahim pun tidak mengenal-Mu dengan nama.
Aku pun paham, bahwa hamba-Mu Muhammad, juga tidak mengenal-Mu lewat tulisan.
Tuhan, kebesaran-Mu, keagungan-Mu melebihi nama yang tersimpan dalam diri para biadab.

Tuhan “Tak Lagi” Besar


Tuhan, kutasbihkan nama-Mu beriring maafku dalam setiap desahan nafas
Bukan ku tak percaya kebesaran-Mu dan kekuasaan-Mu
Namun, aku tak kuasa melihat kebiadaban atas nama kebesaran-Mu dan kekuasaan-Mu
Tuhan, aku masih hamba-Mu yang yakin akan kebesaran-Mu
Namun aku juga tak rela dan tak kuasa melihat kebesaran-Mu dicabik-cabik orang tak bermoral

Aku yakin bahwa Engkau juga tidak tuli dan buta Tuhan,
Tapi aku pun tak rela melihat orang buta dan tuli menyebut nama-Mu mengusik penglihatan dan pendengaran orang lain.
Tuhan, aku ingin menghamba pada-Mu penuh cinta, dan damai
Tapi kenapa ada orang yang mengambil rasa itu dari dalam diri ini?

Jumat, 02 Mei 2014

2 Mei: Refleksi atas Ruh dan Tujuan Pendidikan Bangsa


Kualitas pendidikan merupakan tolok ukur kemajuan peradaban suatu bangsa. Oleh sebab itu pula, peradaban manusia dikenal sejak adanya peradaban tulis, yang dikenal dengan istilah “sejarah”. Dengan demikian, tidak salah jika kemajuan pendidikan dijadikan sebagai manifestasi kemajuan sebuah bangsa. Cita-cita luhur bangsa Indonesia sebagaimana tercantum dalam pembukaaan UUD 1945 adalah “mencerdaskan kehidupan bangsa”. Oleh sebab itu pulalah, cita-cita ini ditegaskan kembali dalam undang-undang tentang pendidikan nomor 20/2003.
            Cita-cita bangsa sebagaimana tercantum dalam konstitusi tersebut merupakan ruh daripada pendidikan bangsa ini. Oleh karena itu, kehidupan pendidikan bangsa akan terus berkesinambungan jika ruhnya terus diperjuangkan dan diupayakan semaksimal mungkin. Pendidikan dalam bahasa latin disebut dengan educare yang secara harfiah dimaknai dengan “menarik keluar dari”. Sehingga pendidikan adalah sebuah aksi nyata yang membawa seseorang keluar dari kondisi tidak merdeka (perbudakan), tidak dewasa, ketergantungan, ketidak jujuran menuju situasi merdeka, dewasa, mandiri (menentukan diri sendiri), dan bertanggung jawab serta jujur. Oleh sebab itu, dengan pendidikan diharapkan manusia diciptakan bukan untuk siap kerja, namun berwatak siap belajar terus, dan siap mengadakan transformasi sosial karena sudah mengalami transformasi terlebih dahulu lewat pendidikan.
            Bicara masalah ruh pendidikan, tentunya tidak bisa dilepaskan dari tujuan pendidikan itu sendiri. Berdasarkan Undang-undang pendidikan nomor 20/2003 bab II pasal 3 bahwa fungsi pendidikan nasionl, yaitu, mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat, serta mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis, serta bertanggung jawab.
            Melihat tujuan pendidikan di Indonesia yang begitu sangat mulia, tentunya agak miris jika dikaitkan atau dibandingkan dengan realita sosial yang ada. Sebut saja contoh kecil namun berdampak besar, karut marut pelaksanaan UN di tahun 2012-2013. Belum juga tuntas permasalahan UN yang masih dianggap “merampas” hak-hak anak bangsa untuk mendapatkan pendidikan yang nyaman, damai dan tidak menakutkan. Ternyata nama bangsa Indonesia harus dipertaruhkan di mata dunia hanya gara-gara kekacauan dalam pelaksanaan UN di tahun tersebut. Permasalahan ini pula kembali muncul dengan isu kebocoran kunci jawaban soal Ujian Nasional.
            Dari sekian lama peringatan Hari Pendidikan Nasional di negara ini, sudah sepantasnya untuk merefleksi tujuan luhur pendidikan sebagaimana dibangun oleh Bapak Pendidikan, Ki Hajar Dewantara. Baginya pendidikan adalah proses untuk menciptakan peserta didik yang berbudi pekerti sekaligus keseimbangan antara cipta, rasa, dan karsa. Ini artinya keseimbangan antara kognitif, afektif dan psikomotorik adalah tolok ukur ideal untuk keberhasilan pendidikan, dan bukan dari aspek kognitif semata. Melalui tulisan ini, semoga pendidikan bangsa ini bisa semakin maju dan menghayati kembali ruh dan cita-cita luhur pendidikan bangsa sebagaimana tercantum dalam konstitusi bangsa, dan juga cita-cita Ki Hajar Dewantara sebagai Bapak Pendidikan. Amin...