Kualitas pendidikan
merupakan tolok ukur kemajuan peradaban suatu bangsa. Oleh sebab itu pula,
peradaban manusia dikenal sejak adanya peradaban tulis, yang dikenal dengan
istilah “sejarah”. Dengan demikian, tidak salah jika kemajuan pendidikan
dijadikan sebagai manifestasi kemajuan sebuah bangsa. Cita-cita luhur bangsa
Indonesia sebagaimana tercantum dalam pembukaaan UUD 1945 adalah “mencerdaskan
kehidupan bangsa”. Oleh sebab itu pulalah, cita-cita ini ditegaskan kembali
dalam undang-undang tentang pendidikan nomor 20/2003.
Cita-cita bangsa sebagaimana
tercantum dalam konstitusi tersebut merupakan ruh daripada pendidikan bangsa
ini. Oleh karena itu, kehidupan pendidikan bangsa akan terus berkesinambungan
jika ruhnya terus diperjuangkan dan diupayakan semaksimal mungkin. Pendidikan dalam
bahasa latin disebut dengan educare yang secara harfiah dimaknai dengan
“menarik keluar dari”. Sehingga pendidikan adalah sebuah aksi nyata yang
membawa seseorang keluar dari kondisi tidak merdeka (perbudakan), tidak dewasa,
ketergantungan, ketidak jujuran menuju situasi merdeka, dewasa, mandiri
(menentukan diri sendiri), dan bertanggung jawab serta jujur. Oleh sebab itu, dengan
pendidikan diharapkan manusia diciptakan bukan untuk siap kerja, namun berwatak
siap belajar terus, dan siap mengadakan transformasi sosial karena sudah
mengalami transformasi terlebih dahulu lewat pendidikan.
Bicara masalah ruh pendidikan,
tentunya tidak bisa dilepaskan dari tujuan pendidikan itu sendiri. Berdasarkan Undang-undang
pendidikan nomor 20/2003 bab II pasal 3 bahwa fungsi pendidikan nasionl, yaitu,
mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang
bermartabat, serta mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia
yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,
berilmu, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis, serta
bertanggung jawab.
Melihat tujuan pendidikan di
Indonesia yang begitu sangat mulia, tentunya agak miris jika dikaitkan atau
dibandingkan dengan realita sosial yang ada. Sebut saja contoh kecil namun
berdampak besar, karut marut pelaksanaan UN di tahun 2012-2013. Belum juga tuntas permasalahan UN yang masih dianggap “merampas”
hak-hak anak bangsa untuk mendapatkan pendidikan yang nyaman, damai dan tidak
menakutkan. Ternyata nama bangsa Indonesia harus dipertaruhkan di mata dunia
hanya gara-gara kekacauan dalam pelaksanaan UN di tahun tersebut.
Permasalahan ini pula kembali muncul dengan isu kebocoran kunci jawaban soal
Ujian Nasional.
Dari sekian lama peringatan Hari
Pendidikan Nasional di negara ini, sudah sepantasnya untuk merefleksi tujuan
luhur pendidikan sebagaimana dibangun oleh Bapak Pendidikan, Ki Hajar
Dewantara. Baginya pendidikan adalah proses untuk menciptakan peserta didik
yang berbudi pekerti sekaligus keseimbangan antara cipta, rasa, dan karsa. Ini
artinya keseimbangan antara kognitif, afektif dan psikomotorik adalah tolok
ukur ideal untuk keberhasilan pendidikan, dan bukan dari aspek kognitif semata.
Melalui tulisan ini, semoga pendidikan bangsa ini bisa semakin maju dan
menghayati kembali ruh dan cita-cita luhur pendidikan bangsa sebagaimana
tercantum dalam konstitusi bangsa, dan juga cita-cita Ki Hajar Dewantara
sebagai Bapak Pendidikan. Amin...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar