Translate

Selasa, 06 November 2012

Toleransi: Rekomendasi Bibel dan Qur'an


Toleransi: Rekomendasi Bibel dan al-Qur’an

Agama merupakan fondasi etika dalam penyelesaian kasus-kasus konflik dan kekerasan, karena pada hakikatnya entitas agama adalah menciptakan perdamaian, bukan menebarkan konflik dan kekerasan.[1] Namun demikian, tidak bisa dipungkiri kalau salah satu aspek yang tidak bisa lepas dari faktor penyebab kekerasan adalah legitimasi agama itu sendiri, bahkan menurut Abdul Mustaqim, dalam artikelnya menyebutkan agama seolah-olah telah dijadikan licence to kill (surat ijin untuk membunuh) orang lain karena perbedaan ideologi atau keyakinan.[2] Di sisi lain satu hal yang tidak bisa dipungkiri bahwa dalam hal kekerasan, seringkali didasari terhadap penafsiran dogma-dogma utama dalam Islam seperti jihad dan kafir, walaupun sebenarnya, agama bukan satu-satunya aspek yang mendorong kekerasan tersebut.[3]
Kelompok fundamentalisme radikal yang sering menebarkan kekerasan atas nama agama, dalam tradisi agama apapun memiliki karakter umum dan sikap keagamaan yang tekstualis, anti pluralisme, intoleran dan selalu mengukur kebenaran agama dari aspek batas-batas eksoterisme/fiqih oriented.[4] Arkoun menyatakan, Islam akan meraih kejayaannya jika umat Islam membuka diri terhadap keberagaman pemikiran, seperti pada masa awal Islam hingga abad pertengahan. Sikap inklusif atas perbedaan bisa dicapai bila pemahaman agama dilandasi paham kemanusiaan, sehingga umat Islam bisa bergaul dengan siapa pun.[5]
Sebagai sebuah keyakinan, agama selalu memiliki misi penyelamatan dan penyejahteraan manusia, bukan kepentingan Tuhan, Dewata, Sang Yang Widhi Wasea atau Brahman. Iman adalah pengalaman murni dari mistis memahami dan menyadari sumber realitas. Kepercayaan iman setiap agama selalu berpasangan prinsip kebijakan, amal saleh, semangat kemanusiaan dan kepedulian atas alam. Sayangnya kualitas iman sering diletakkan sebagai yang eksternal datang dari Tuhan, tidak sebagai kualitas kemanusaiaan dan penyatuan dengan sesamanya dan alam tempat hidup. Keagamaan kemudian menjadi sisi lain kealaman, ketuhanan, terasing dan alienatif. Akibatnya kekejaman terhadap manusia, hewan dan alam ligkungan hidup bisa terjadi dan dilakukan oleh mereka yang percaya atas kebenaran wahyu. Fenomena kebangkitan agama kemudian dikhawatirkan menjadi berlawanan dengan arus perdaban baru.[6]
Pada hakikatnya, setiap agama dengan kitabnya masing-masing pasti mengajarkan kebaikan dan berbagai konsep perdamaian. Dalam Islam, pesan pertama dari teks kitab suci al-Qur’an adalah memperkenalkan Tuhan yang memiliki sifat kasih sayang (al-rahman, al-rahim). Atas nama kasih sayang ini pula, Tuhan menurunkan kitab suci kepada manusia. Tuhan tidak memberi bencana kepada manusia, tanpa terlebih dahulu mengirimkan beberapa “wakil”-Nya yang dalam bahasa agama disebut sebagai rasul. Salah satu “wakil” Tuhan itu adalah Muhammad untuk menjadi “wakil” kasih sayang Tuhan.[7] Oleh karena itu, keberadaannya adalah rahmat bagi semesta alam. Ini yang menjadi visi utama daripada kerasulan Muhammad. Kerahmatan Islam terletak pada “sekujur tubuh” ajaran Islam, bukan hanya yang mengatur hubungan hamba dengan Tuhannya, tetapi juga mengatur hubungan antara sesama hamba Tuhan. Hubungan antara hamba ini juga mencakup hubungan seagama dan hubungan lintas agama.[8] Tuhan telah menjadikan keragaman agama di muka bumi ini, dan menjadikannya sebagai bagian dari ketetapan-Nya. Dengan terang dan jelas, Tuhan berfirman bahwa untuk tiap-tiap umat telah diberikan syari’ah dan manhaj.[9]
Sementara itu, nilai luhur yang sangat kental dengan ajaran perdamaian dalam ajaran Nasrani, adalah sebagaimana termaktub dalam ajaran Ten Commandemen.[10] Pada seluruh ajaran ini, manusia diajarkan secara tegas bahwa harus bertauhid pada Tuhan, tidak membuat sesembahan selain Tuhan dan patuh atas segala ajaran dan perintah-Nya, jangan mengabaikan kemuliaan hari Sabtu, patuh dan hormatlah pada orang tua, tidak boleh membunuh, dilarang berzina, dilarang mencuri, dilarang mengganggu tetangga, dan lain-lain. Tentunya, seluruh yang ada dalam sepuluh perintah tersebut, dari segi nilai, sangat relevan, sejalan atau berbanding lurus dengan apa yang ada di dalam al-Qur’an.
Perintah untuk mentauhidkan Tuhan tentunya sama dengan apa yang disebut dalam al-Qur’an dengan “kalimatun sawa’”. Titik temu di antara penganut agama yang berbeda-beda itu adalah tauhid, yaitu kesadaran akan keesaan Tuhan. Bagaimanapun juga, ketauhidan merupakan dasar semua agama yang bersumber dari Tuhan. Melalui dasar ini, banyaklah bermunculan berbagai bentuk agama, seperti Yahudi, Kristen dan Islam.
Katakanlah: "Hai Ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatupun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai Tuhan selain Allah". Jika mereka berpaling, maka katakanlah kepada mereka: "Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)".[11]

Dalam perjalanan sejarah, di antara penganut agama-agama tersebut ada yang tergelincir kepada kesyrikan. Ini tidak hanya berlaku bagi agama Yahudi atau Nasrani saja, akan tetapi juga berlaku kepada umat-umat beragama Islam dan lain sebagainya. Berkaitan dengan adanya penganut agama Islam yang tergelincir berbuat “syirik
 
Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman (syirik), mereka Itulah yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.[12]

Sementara itu, “kesyrikan” yang dilakukan oleh penganut agama lain juga dikisahkan dalam al-Qur’ an, yaitu:
 
Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata: "Sesungguhnya Allah ialah al-Masih putera Maryam", padahal al-Masih (sendiri) berkata: "Hai Bani Israil, sembahlah Allah Tuhanku dan Tuhanmu". Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang zalim itu seorang penolongpun.[13]

Dengan demikian, pada hakikatnya konsep “syirik dan kufur” masih sangat butuh pemaknaan yang lebih objektif, untuk menghasilkan pemaknaan yang tidak bersifat eksklusif dan memihak pada golongan tertentu. Namun demikian, labelisasi predikat kafir dan musyrik menjadi hal yang sangat biasa melekat pada agama yang berseberangan dengan orang yang membaca teks. Misalkan, orang Islam akan meyakini dan harus percaya bahwa orang Nasrani, Yahudi, dan agama di luar Islam adalah kafir dan musyrik. Padahal, secara tegas Allah mengklaim bahwa predikat ini sagat bersifat netral, sehingga masing-masing individu sama-sama memiliki peluang untuk terjerumus pada kekufuran dan kesyirikan. Namun demikian, lembaran hitam sejarah penganut agama-agama yang tergelincir kepada “kesyrikan” yang kasuistik ini, seyogyanya tidaklah digeneralisasi sebagai hujjah yang menghalangi untuk titik temu karena perbedaan di antara agama-agama yang ada.
Setiap agama samawi (Yahudi, Kristen dan Islam) adalah berasal dari Allah, Tuhan Yang Maha Esa menekankan keselamatan melalui iman. Baik Yahudi, Kristen dan Islam menuntut penganutnya agar konsisten antara iman dan amal saleh. Dengan demikian, selain Allah atau Tuhan dikenal sebagai Yang Maha Tinggi, juga bersifat etikal, dalam artian Tuhan menghendaki hambanya untuk berprilaku akhlaki, etis dan moralis. Di sisi lain harus disadari pula bahwa radikalisme atau kekerasan sebenarnya muncul dari sikap eksklusif pada agama sendiri. Oleh karena itu, kemampuan untuk menghayati agama menjadi kurang dan apalagi untuk menghidupkannya.[14] Perlu dikemukakan bahwa sikap eksklusifisme dalam beragama adalah akibat dari pemahaman yang dibangun secara eksklusif pula. Sehingga hal semacam inilah yang menyebabkan adanya truth claim antaragama dan bahkan antar-pemeluk agama. Oleh sebab itu dalam memahami teks keagamaan harusnya lebih mengedepankan prinsip universal atau prinsip moral.[15] Malah secara tegas pula Allah menganjurkan setiap penganut agama untuk saling berlomba dalam kebajikan.
 
“… untuk tiap-tiap umat di antara kamu, kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu.[16]

Bagi Fazlur Rahman, sebagaimana dikutip oleh Alwi Shihab menerangkan bahwa ayat ini secara eksplisit mengakui keabsahan nilai-nilai positif aneka ragam agama serta identitas agama lainnya.[17]
Bagi penulis sendiri, apapun alasannya, bahwa sikap eksklusif dalam beragama, apalagi harus berujung pada merasa paling benar sekaligus menafikan dan mengabaikan agama lainnya, adalah sesuatu yang selayaknya untuk direnungi kembali sebagai sesama makhluk Tuhan. Sama-sama kita membangun keyakinan dalam diri kita tentang agama masing-masing, sekaligus dalam waktu yang sama pula harus meyakinkan bahwa, seberapa besar keyakinan kita pada agama yang kita anut, maka sebesar itu pula orang lain dalam meyakini agama yang mereka anut. Dan yang tidak kalah pentingya adalah, bahwa sikap kita tidak hanya sekedar toleransi dalam arti memahami keberadaan agama lain, namun juga lebih pada komitmen ingin memahami agama lain untuk membangun komunitas global yang humanis, dan harmonis. Amin.......  



    [1] Umi Sumbulah, “Agama Dan Kekerasan Menelisik Akar Kekerasan Dalam Tradisi Islam”,dalamhttp://syariah.uinmalang.ac.id/index.php?option=com_content&view=article&id=186:agama dan-kekerasan-menelisik-akar-kekerasan-dalam-tradisi-islam&catid=49:artikel. Diakses tanggal 18 Juli 2011.

                [2]Abdul Mustaqim, “Akar-akar Radikalisme dalam Tafsir” dalam http://basthon.multiply.com/journal, diakses tanggal 18 Juli 2011.

             [3] Fahruddin Faiz, “Melacak Akar Nalar Terorisme: Sebuah Pembacaan Epistemologis”, dalam Jurnal Refleksi, vol. 6, no. 2, juli 2006, hlm. 146.

                    [4] Bobby S. Sayyid. A Fundamental Fear: Eurosentrism and the Emergence of Islamism. (London & New York: Zed Book Ltd, 1997), hlm. 7-10. 

                [5] “Mohammed Arkoun: Kejayaan Islam Melalui Pluralisme Pemikiran”. Dalam http://media.isnet.org/islam/Etc/Arkoun1.html. diakses tanggal 20 September 2012. 

   [6] Nur Khalis Majid, Pluralitas Agama: Kerukunan dalam Keragaman, (Jakarta: Kompas, 2001), 229-230.

                [7] QS. al-Anbiya’, 21: 107.

[8] Pada suatu saat ada sekelompok orang Yahudi yang mengucapkan salam kepada Nabi. Tapi salam tersebut berisi kecaman. ”Laknat dan kematian bagimu wahai Muhammad”. Lalu Siti ’Aisyah, istri tercinta Nabi langsung menjawab balik dengan nada emosi: ”Laknat dan kematian bagi kamu semua”. Nabi kemudian menegur Siti ’Aisyah: ”Pelan-pelan wahai ’Aisyah. Hendaknya kamu bersikap lemah lembut dalam menanggapi masalah”. Dalam hadis lain disebutkan, bahwa Rasul saw. berpesan, ”Hindarilah kekerasan dan perbuatan kasar”. Kemudian Rasul menjawab salam tadi dengan salam perdamaian. Kisah dalam hadis ini dikutip dari buku karya Zuhairi Misrawi. al-Qur’an Kitab Toleransi: Inklusifisme, Pluralisme dan Multikulturalisme, (Jakarta Selatan: Penerbit Fitrah. 2007), hlm. 242-243. Selain itu terlihat sekali perlindungan yang dijaminkan oleh Rasul dalam Piagam Madinah kepada para penganut agama lain, seperti Yahudi dan Nasrani. ”Bahwa barang siapa dari kalangan Yahudi yang menjadi pengikut kami, ia berhak mendapat pertolongan dan persamaan, tidak menganiaya atau melawan mereka”. ”Bahwa masyarakat Yahudi Banu Auf adalah satu umat dengan orang beriman, masyarakat Yahudi hendaklah berpegang pada agama mereka, dan kaum muslimin pun hendaklah berpegang pada agama mereka pula, termasuk pengikut-pengikut mereka dan diri mereka sendiri, kecuali orang yang melakukan perbuatan zalim dan durhaka. Orang semacam ini hanyalah akan menghancurkan dirinya dan keluargnya sendiri. ”Bahwa tetangga itu seperti jiwa sendiri, tidak boleh diganggu dan diperlakukan dengan perbuatan jahat.”

                [9] QS. al-Ma’idah, 5: 48.

                [10]Exodus 20: 2-17. Dalam http://www.bible-knowledge.com/10-commandments/, diakses hari Kamis, 04 Oktober 2012.
1. You shall have no other gods before (or besides) Me.
2. You shall not make for yourself an idol in the form of anything in heaven above or on the earth beneath or in the waters below. You shall not bow down to them or worship them; for I, the Lord your God, am a jealous God, punishing the children for the sin of the fathers to the thirds and fourth generation of those who hate me, but showing love to a thousand generations of those who love me and keep my commandments.
3. You shall not misuse the name of the Lord your God, for the Lord will not hold anyone guiltless who misuses his name.
4. Remember the Sabbath day by keeping it holy. Six days you shall labor and do all your work, but the seventh day is a Sabbath to the Lord your God. On it you shall not do any work, neither you, nor your son or daughter, nor your manservant or maidservant, nor your animals, nor the alien within your gates. For in six days the Lord made the heavens and the earth, the sea, and all that is in them, but he rested on the seventh day. Therefore the Lord blessed the Sabbath day and made it holy.
5. Honor your father and your mother, so that you may live long in the land the Lord your God is giving you.
6. You shall not murder.
7. You shall not commit adultery.
8. You shall not steal.
9. You shall not give false testimony against your neighbor.
10. You shall not covet your neighbor's house. You shall not covet your neighbor's wife, or his manservant or maidservant, his ox or donkey, or anything that belongs to your neighbor.

                [11] QS. Ali ‘Imran, 3: 64.
 
                [12] QS. al-An’am, 6: 82.

                [13] QS. al-Ma’idah, 5: 72. 

            [14] Menurut Hazrat Inayat Khan, banyak orang yang mengaku sebagai Muslim, Nasrani, Yahudi serta meyakininya sebagai agama paling benar, namun lupa untuk menghidupkannya. Menurutnya setiap orang harus memahami bahwa agama punya tubuh dan jiwa. Oleh sebab itu, apapun agamanya, penganutnya harus mampu menyentuh seluruh agamanya baik tubuh dan jiwanya. Dengan demikian, tidak ada alasan bagi antar pemeluk agama untuk saling menyalahkan, karena semuanya tidak bisa dinilai dari luar individu. Sesungguhnya sikap manusia terhadap Tuhan dan kebenaran sajalah yang bisa membawanya lebih dekat pada Tuhan yang menjadi ideal setiap manusia. Lebih lanjut bisa dilihat dalam Hazrat Inayat Khan. Kesatuan Ideal Agama-Agama. terj. Yulian Aris Fauzi. (Yogyakarta: Putra Langit. 2003), hlm. 10-11.
    
                [15]Khaled Abou El Fadl, The Place of Tolerance in Islam, (Boston: Beacon Press, 2002), hlm. vii. Bahkan Abou El Fadl menambahkan bahwa pembaca memiliki tanggung jawab moral dalam memahami teks, oleh sebab itu, yang harus dibangun oleh pembaca teks adalah moralitas pembaaca itu sendiri kemudian mencari kandungan moral teks. Lihat hlm. viii. 

         [16] QS. al-Mai’dah, 5: 48.

                [17] Alwi Shihab, Islam Inklusif: Menuju Sikap Terbuka Dalam Beragama (Bandung: Mizan, 1999), hlm. 209.

Jumat, 26 Oktober 2012

Haji: Antara Status dan Spiritualitas


Haji: Antara Status dan Spiritualitas
Bulan haji, Dzulhijjah merupakan segelintir momentum di mata sosial untuk membuktikan bahwa dia adalah orang yang mampu di banding orang lain. Bahkan, mampu tidaknya tersebut yang menjadi tolok ukur adalah bentuk fisik dan materi. Padahal, salah satu aspek mampu yang tidak harus diabaikan, dan seyogianya menjadi tolok ukur kesempurnaan mampu secara fisik tersebut, adalah kemampuan batin dan spiritual. Bagaimana tidak, banyak yang mampu secara fisik dan materi naik haji, namun masih saja korupsi, mampu naik haji secara fisik dan materi, namun masih saja menebar kebencian pada orang lain. Dan yang paling naif, mampu secara fisik dan materi, namun naik haji hanya tempat persinggahan, hanya karena sudah jalan-jalan ke Eropa, Australia dan belahan benua lainnya. Di samping itu, naik haji hanya untuk mengambil simpatik dari para konstituennya, yaitu ketika pemilihan nantinya, namanya sudah bertitel “Haji”.
Saya teringat, ketika saya harus bertemu dengan pegawai Kementerian Keagamaan, yang pada saat itu melakukan pengawasan ke sekolah tempat saya bekerja. Pada saat itu, saya mengajar Bahasa Arab, dan guru yang mengampu agama ketika itu, hanya saya sendiri. Saya panjang lebar berbicara dengan pengawas tersebut. Dia mengatakan, bahwa sebelum jadi pengawas, dia sudah menjadi guru hampir tiga puluh tahun. Satu hal yang bikin saya harus koprol dan bilang waw (maklum pengaruh dari bahasa gaul di TV atau iklan dan juga dari anak-anak SMA githu...) Di dalam hati saya, hal ini merupakan pengabdian yang luar biasa, dan pantas untuk diacungi jempol. Bagaimana tidak, bukankah guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa? (itu dulu, sekarang sudah tidak berlaku lagi untuk guru-guru PNS, tapi masih sangat relevan untuk guru-guru swasta seperti saya). 
Di tengah-tengah obrolan, karena memang pengawas tersebut sekaligus ingin memberikan dana suntikan untuk pelaksanaan Pesantren Kilat, dan otomatis momen ini adalah momen Ramadhan, maka dia juga bercerita bahwa di bulan Dzulhijjah yang akan datang dia akan naik haji. Ketika itu, saya mengatakan, al-hamdulillah pak, semoga jadi haji yang berkah, dan mabrur. Namun tidak lama, berselah, ia melanjutkan omongannya bahwa ia telah melaksanakan ibadah haji sebanyak tiga kali. Ini artinya, akan naik haji untuk yang keempat kalinya. Mendengar ucapan itu, saya langsung bergumam di dalam hati, apa ini yang disebut dengan Ibadah Haji Penyembah Setan? Namun, saya tidak mau berlama-lama menyimpan praduga tersebut, karena bisa jadi, dia hanya bertugas, atau mendapat mandat dari tempat kerjanya sebagai pendamping. Tapi, ternyata apa yang saya duga tadi adalah benar, bahwa dia naik haji sebanyak tiga kali dan yang keempat kali adalah biaya sendiri, dan bukan karena penugasan.
Dia memang mengatakan, ternyata ketika sampai di Makkah, dan melihat Ka’bah, ada kepuasan tersendiri, yang seakan-akan menyebabkan kerinduan luar biasa untuk kembali kesana. Saya sebenarnya tidak bisa membantah, karena saya juga belum pernah merasakan nikmatnya ibadah haji. Namun demikian, bukankah ibadah haji, hanya kewajiban sekali dalam seumur hidup?
Melihat kondisi Indonesia sekarang ini, bukankah lebih baik memberikan kesempatan orang lain untuk naik haji, daripada harus memuaskan hasrat individulis? Bukankah dalam ibadah juga, sarat dengan nilai-nilai sosial? Apakah tidak lebih besar pahalanya dengan cara memberdayakan uang 30 juta dengan cara membantu orang miskin di sekitar kita untuk membangun usaha mereka? Bukankah lebih bijak menyekolahkan anak-anak jalanan, atau anak-anak kaum miskin dengan 30 juta tersebut hingga mereka sarjana? Rasul sendiri hanya dua kali melaksanakan ibadah haji, selama delapan tahun disyari’atkannya ibadah haji tersebut? Kalaulah alasan kita, hanya karena merasa rindu akan Makkah, Madinah, dan Ka’bah, apakah Rasul tidak merasakan rindu kepada Ka’bah? Kalaulah alasan untuk memupuk spiritualitas, apakah Rasul juga tidak ingin memupuk spiritualitasnya dalam waktu delapan tahun tersebut? 
Buat para calon haji yang pertama, saya ucapkan selamat dan mudah-mudahan menjadi haji yang mabrur, dan saya doakan pula agar keluarga selalu sehat dan damai. Untuk para haji yang sudah berangkat, semoga juga haji yang mabrur, dan selamat hingga tujuan sampai kembali ke negara asal, Indonesia tercinta, dan jangan jadikan haji sebagai status sosial, setidaknya tanpa harus menjadikannya sebagai label nama, atau titel di awal nama. Sementara untuk para calon haji yang kedua kalinya, ketiga kalinya, keempat kalinya, kelima kalinya, keenam kalinya, ketujuh kalinya, dan kesekian kalinya, silahkan ditunda, dan berikanlah kesempatan untuk orang lain, agar waiting list mereka setidaknya maju sedikit, dan tidak terhambat oleh kerakusan kalian.
Mengambil hak jadwal keberangkatan orang adalah sebuah penganiayaan yang luar biasa, terlebih-lebih kepada mereka yang sudah lanjut usia. Atau berikan kesempatan kepada orang-orang tidak mampu untuk mengeyam bangku sekolah sebagaimana layaknya dengan duit kalian yang sudah berlebih. Bukankah Rasul menjanjikan lewat hadisnya bahwa “Siapa yang memberikan jalan atau menunjukkan sebuah kebenaran dan kebaikan, maka dia akan mendapatkan balasan atau pahala sebesar orang yang mengerjakannya”. Memberi kesempatan untuk orang lain naik haji, adalah sama pahalanya dengan orang yang diberi kesempatan tersebut. 
Mudah-mudahan, dengan refleksi singkat ini, bisa menjadikan kita sebagai pribadi yang tidak hanya rakus akan nilai spiritual individualis, namun juga menjadi pribadi yang lebih mampu berempati walau dalam hal ibadah sekalipun. Mudah-mudahan...