Translate

Kamis, 17 Mei 2012

Lulus 100% Vs Jujur 100%

Lulus 100% menjadi sebuah cita-cita yang selalu menjadi prioritas dari setiap lembaga sekolah. Selain dianggap sebagai sebuah tolok ukur keberhasilan cemerlang bagi setiap sekolah, juga dianggap sebagai pemicu untuk mempromosikan sekolah tersebut. Makanya tidak jarang setelah pengumuman UN, akan terpampang lebar banyak brosur, pamflet, atau baliho besar untuk menarik minat calon siswa baru terhadap sekolah tersebut karena sudah berhasil meluluskan siswanya 100%. Anehnya para siswa baru pun terkadang tak jarang tergoda dengan rayuan semacam itu pula. Sehingga setelah memasuki sebuah lembaga sekolah yang dianggap bagus hanya karena pengumuman besar Lulus 100% banyak menemukan kekecewaan dengan realita yang ada.
Ketika memasuki masa-masa UN semacam ini, maka tidak salah kalau mengingat kembali peristiwa seorang siswa SD di Jawa Timur yang memberanikan diri untuk melawan kebobrokan sistem pendidikan di tahun lalu, yaitu melaporkan adanya kecurangan yang direncanakan secara sistematis oleh sekolah terhadap anak didiknya yang dengan harapan agar seluruh siswa bisa lulus 100%. Alih-alih untuk meraih lulus 100%, ternyata malah malu yang didapat karena sang anak ternyata tidak bisa diajak kompromi dalam “kesesatan” berpikir. Hal ini membuktikan bahwa pada hakikatnya masih banyak mutiara-mutiara tersimpan dalam generasi penerus bangsa ini untuk mewujudkan nilai luhur pendidikan tersebut sebagaimana dulu diusung oleh Ki Hajar Dewantoro yang menitik beratkan pada aspek budi, rasa dan karsa, dan bukan pada aspek nilai angka semata.
Tidak bisa dipungkiri bahwa dari tahun ke tahun, baik di media massa surat kabar maupun media massa elektronik pasti lebih banyak menyoroti siswa yang mampu lulus dengan nilai paling tinggi di setiap provinsi atau bahkan di negara Indonesia ini. Hal ini memang disebabkan adanya nilai ril yang bisa dibuktikan dan dilihat secara kasat mata yang tecantum dalam ijazah siswa tersebut. Namun demikian, dalam waktu yang bersamaan juga, pihak sekolah tidak jarang pula menjanjikan bagi siswanya yang mampu lulus dengan nilai paling tinggi akan diberi hadiah spesial dan akan dielu-elukan bak pahlawan pengharum nama sekolah.
Jika dikaji lebih dalam dan lebih hati-hati, sebenarnya akan terasa miris dan menggelikan, karena keberhasilan pendidikan selalu dipandang dari segi kognitif semata, sekaligus mengabaikan aspek afektif siswa. Oleh sebab itu, para tenaga pendidik, penanggungjawab pendidikan, serta berbagai lini lainnya yang memiliki tanggung jawab pada pendidikan, seyogianya mencoba memulai untuk menanamkan nilai kejujuran pada anak. Siswa tidak hanya dijanjikan hadiah dan dielu-elukan serta dianggap sebagai pahlwan ketika mampu mendapatkan nilai tinggi atau nilai tertinggi, namun juga secara seimbang dijanjikan agar siswa harus juga mampu jujur dalam menghadapi ujian. Dengan demikian, nilai kognitif dan afektif juga bisa diraih dalam pelaksanaan UN di tahun-tahun berikutnya. Atau kalau berani mengambil resiko, setiap aspek yang memiliki tanggung jawab pada pendidikan, orangtua, guru, dan pemerintah harus mulai mencoba untuk lebih menitik beratkan nilai kejujuran tersebut, sehingga anak-anak didik juga terbangun rasa percaya diri yang lebih maksimal karena ketidak lulusan disebabkan oleh kejujuran yang matang jauh lebih berharga daripada kelulusan yang diikuti dengan kecurangan atau kesesatan pendidikan. Namun demikian, melalui tulisan ini juga sebenarnya yang paling diharapkan adalah kelulusan dan kejujuran 100%.
Singkatnya, menjadi tantangan besar dan berat terhadap kita semua sebagai orang yang bergerak di bidang pendidikan untuk menanamkan nilai ini pada anak didik atau siswa. Terlebih-lebih kepada pemegang kendali pendidikan, mulailah merubah paradigma baru, yaitu mencapai target jujur 100% dan bukan lulus 100%. Karena setiap kejujuran akan membawa pada usaha maksimal, sementara kelulusan tidak jarang menghalalkan berbagai macam cara yang lebih mengedepankan kecurangan.       

UN: Tantangan Besar atas Makna Filosofis Pendidikan


UN: Tantangan Besar atas Makna Filosofis Pendidikan

Oleh: Arif Nuh Safri, S. Th. I, M. Hum.*

            Pada tanggal 16 April mendatang, UN akan dilaksankan untuk siswa SMA sederajat di negara ini. Namun demikian, kedatangan UN tetap menjadi momok tersendiri bagi setiap pelaku pendidikan di Indonesia. Hal ini terbukti dengan adanya berbagai macam kegiatan tambahan bagi siswa di sekolah, seperti penambahan materi, try out, maupun pemadatan materi dan atau bahkan bimbingan belajar di berbagai lembaga pendidikan berani memberikan dan menawarkan berbagai layanan khusus dengan jaminan kelulusan UN atau setidaknya kembali duit.
            Terlepas dari masih adanya kontroversial tentang pelaksanaan UN di negara kita, ternyata UN telah berlangsung lama di negara ini dan selama itu pula menyimpan berbagai masalah yang tak kalah pelik. Permasalahan ini setidaknya muncul dari tiga sudut, yaitu tenaga pendidik, peserta didik, dan tidak kalah pentingnya adalah realita yang menerpa pendidikan itu sendiri.
            Dalam tulisan ini, penulis tidak akan menjelaskan tiga permasalahan di atas secara panjang lebar. Oleh sebab itu, tulisan ini sengaja diharapkan untuk menyoroti realita pendidikan itu sendiri yang kemudian dikaitkan dengan tantangan UN terhadap makna filosofis pendidikan itu sendiri. Di sisi lain penulis tidak ingin menyatakan bahwa kompetensi pendidik dan peserta didik di negara kita masih kurang atau tidak mumpuni.
            Realita pendidikan yang ada di Indonesia secara ril dan nyata bahwa memang masih sangat jauh dari layak. Jangankan sekolah-sekolah yang berada di daerah terpencil dan masih jauh dari efek globalisasi, ternyata sekolah-sekolah yang terhitung relatif dekat dengan pemerintahan pun masih seringkali luput dari perhatian, sehingga tidak jarang terlihat di media masa tulis maupun media elektronik, kabar infrastruktur sekolahan yang roboh dan tidak layak pakai lagi. Di sisi lain, pemerataan sarana dan prasarana pendidikan juga belum bisa diwujudkan yang notabene merupakan tanggung jawab pemerintah sebagai pengendali pendidikan, sehingga sangat naif kalau pemerintah menyetarakan dan memaksakan UN sebagai salah satu syarat kelulusan siswa.
            Dengan berbagai permasalahan yang muncul dari realita pendidikan yang ada, maka tidak bisa dipungkiri akan muncul permasalahan yang lebih fundamental, yaitu “krisis kejujuran”. Peserta didik dipaksa bagaikan robot untuk mencapai hasil pendidikan yang sesuai dengan keinginan pemerintah sendiri agar setara dengan negara-negara maju lainnya, sementara pada saat yang sama mereka juga tidak pernah membuka mata, telinga dan hati pada seluruh permasalahan yang muncul. Mulai dari peristiwa infrastruktur yang roboh, peristiwa siswa yang harus berperan bagai film “Indiana Zone” yang berjuang melewati jembatan gantung roboh, peristiwa siswa yang berjuang menyeberangi arus sungai deras dan harus berjalan kaki menempuh jarak yang jauh dan berkilo meter.
            Dengan demikian, tak pelak bahwa tantangan yang sama di setiap tahun pelaksanaan UN akan terus berlanjut sampai saat yang tidak pasti, yaitu permasalahan fundamental makna pendidikan itu sendiri yang menyebabkan munculnya benih-benih “krisis kejujuran”.
            Pendidikan dalam bahasa latin disebut dengan educare yang secara harfiah dimaknai dengan “menarik keluar dari”. Sehingga pendidikan adalah sebuah aksi nyata yang membawa seseorang keluar dari kondisi tidak merdeka (perbudakan), tidak dewasa, ketergantungan, ketidak jujuran menuju situasi merdeka, dewasa, mandiri (menentukan diri sendiri), dan bertanggung jawab serta jujur. Oleh sebab itu, dengan pendidikan diharapkan manusia diciptakan bukan untuk siap kerja, namun berwatak siap belajar terus, dan siap mengadakan transformasi sosial karena sudah mengalami transformasi terlebih dahulu lewat pendidikan.
            Oleh sebab itu, tantangan terbesar UN pada tahun ini dan mungkin pada tahun-tahun yang akan datang adalah bagaimana UN dibangun sebagai media untuk memperkuat makna filosofis pendidikan itu sendiri, sehingga pada UN ini diharapkan peserta didik bisa keluar dari kebohongan, kecurangan atau ketidak jujuran. Dengan demikian, selayaknya target bagi para pengendali pendidikan pada saat ini adalah, tidak hanya lulus 100 % dengan patokan nilai semata, namun juga jujur 100 %. Mudah-mudahan