Translate

Selasa, 27 Maret 2012

SEKOLAH SEBAGAI WADAH PENGEMBANGAN KESADARAN MULTIKULTURAL


SEKOLAH SEBAGAI WADAH PENGEMBANGAN
KESADARAN MULTIKULTURAL

Sekolah merupakan wadah vital dalam pembentukan karakter sebuah bangsa, karena merupakan tempat dimana anak bangsa menempuh pendidikan secara formal dan bahkan sebagai tempat bersosial seorang siswa yang pada hakikatnya tidak memakan waktu singkat. Kurang lebih setiap anak menghabiskan waktu di sekolah sekitar 6-7 jam perhari. Sehingga tak salah kalau seandainya sekolah merupakan media yang berperan besar untuk pembentukan karakter seorang siswa yang  tentunya tanpa mengesampingkan peran sebuah proses pendidikan dalam sekolah tersebut juga.
            Dalam hal ini, sekolah sebagai wadah untuk menemukan pendidikan sebagai penempaan diri anak bangsa, memiliki peran penting yang selayaknya tidak hanya sebagai tempat untuk mentransfer ilmu maupun sekedar lepas kewajiban pada anak-anak didik. Lebih dari itu, sekolah selayaknya mampu menanamkan karakter positif bagi anak-anak didik, sehingga anak-anak bangsa memiliki kepribadian yang mempunyai konsistensi diri serta kesadaran sosial humanis yang peka terhadap perubahan konstruk sosial yang sangat dinamis. Oleh sebab itu, kesadaran yang harus ditanamkan pada setiap siswa adalah kesadaran multikultural yang merupakan kekayaan bangsa Indonesia yang tidak ternilai harganya jika dipandang sebagai sebuah karunia Tuhan Sang Pencipta. Kaitannya dengan itu, Indonesia yang notabene merupakan negara yang multi dimensi, baik agama, suku, ras, budaya serta adat dan istiadat menjadi sebuah warna tersendiri sekaligus menjadi tantangan tersendiri pula untuk mengelola dan menata bangsa ini yang sepantasnya menjadi kebanggaan tersendiri bagi setiap anak bangsa pula.
Sekolah sebagai pusat menimba ilmu, seharusnya mampu membentuk siswa atau anak bangsa yang sadar akan multikultural semacam ini. Sekolah seyogianya bukan tempat untuk menumbuh kembangkan fanatisme, eksklusifisme, serta berbagai isme-isme lainnya yang memicu pada konflik sara, terlebih-lebih konflik agama yang sudah sering terjadi di negara kita akhir-akhir ini.
            Pada ranah proses, ada tiga hal yang harus mendapat perhatian khusus oleh setiap sekolah secara khusus, yaitu proses ta’lim, tarbiyah, dan ta’dib yang ketiga-tiganya tidak bisa saling lepas. Secara bahasa, ta’lim satu asal kata dengan ilmu. Sehingga ta’lim adalah pemberian ilmu pengetahuan atau proses transferisasi ilmu pengetahuan. Adapun tarbiyah berasal dari kata Rabb (Tuhan) yang berarti memelihara. Sementara itu, term ta’dib satu dasar kata dengan adab, sehingga ta’dib adalah proses pembentukan adab.
Dalam pada itu, sekolah jangan sampai mencukupkan diri pada ‘ta’lim’ semata yang lebih berorientasi pada pentransferan ilmu berupa informasi melalui buku, media dan lain-lain. Setidaknya proses ta’lim harus disempurnakan dengan tarbiyah dan ta’dib. Jika ta’lim hanya berorientasi pada sebuah transferisasi ilmu dan informasi pada anak didik, maka pada proses tarbiyah sudah harus dimulai dengan training diri dengan kesadaran tanggung jawab bagi lingkungannya, karena pada tataran ini, sekolah dituntut memiliki peran dan tanggung jawab untuk membina, membimbing dan memelihara anak didik. Langkah selanjutnya adalah ta’dib yang lebih menitik beratkan proses atau usaha dalam menciptakan anak didik yang penuh dengan kasih sayang, serta melibatkan anak-anak untuk berperan aktif dengan kegiatan yang bisa memimbulkan empati terhadap sesama. Singkatnya pada ketiga aspek ini dituntut kreatifitas sekolah, secara khusus kreatifitas seorang guru untuk meramu metode dan bahan ajar yang disampaikan pada anak didik, sehingga tidak terkesan menanamkan sifat kebencian terhadap perbedaan, namun harus lebih mengedepankan kasih sayang, cinta dan perdamaian. 
            Baik ta’lim, tarbiyah maupun ta’dib menjadi tanggung jawab penuh bagi sekolah yang masing-masing harus didapatkan oleh setiap anak didik. Sehingga kalaulah seandainya ketiga proses ini menjadi acuan bagi sekolah untuk menanamkan kesadaran multikultural bagi setiap anak didik, maka tak mustahil jika kekerasan maupun konflik sara di negara kita Indonesia yang berasaskan Pancasila dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika akan menjadi negara acuan sekaligus negara panutan bagi negara lain yang mampu menjaga ketertiban dan perdamaian. Bagaimanapun juga, sekolah adalah wadah bagi anak bangsa untuk menemukan ilmu pengetahuan, dan ilmu pengetahuan adalah kunci untuk menciptakan peradaban yang maju.

RAHMAT DAN AKHLAK KARIMAH SEBAGAI PONDASI PENEGAKAN PLURALISME DAN KEMANUSIAAN


RAHMAT DAN AKHLAK KARIMAH SEBAGAI  PONDASI PENEGAKAN PLURALISME DAN KEMANUSIAAN


Abstrak

            Rahmatan li al-alamin (menebarkan kasih sayang) dan akhlak karimah (kesempurnaan akhlak) menjadi dua hal yang menjadi cita-cita kenabian Rasulullah Muhammad saw. Tentunya kedua misi ini, juga menjadi hal yang harus dibangun dalam diri seseorang yang mengaku “pengikutnya”. Cita-cita semacam ini juga tidak hanya dalam slogan beragama semata, namun harus dibuktikan dalam aktualisasi diri dalam bersosial, dan inilah yang dikenal dalam Islam dengan sebutan amal saleh. Seringkali seorang penganut agama mengaku mengikuti Nabi-nya dan risalahnya, namun tak jarang pula lupa menanamkan dalam dirinya cita-cita yang telah dibangun oleh Nabi-nya. Dalam hal ini, Islam sangat memperhatikan sisi kemanusiaan, sehingga dua misi kenabian pun dibangun sangat bersifat antroposentris. Lebih pentingnya lagi, kedua misi ini berlaku secara universal baik bagi Nasrani, Yahudi, dan penganut agama lain. Hal ini, karena Allah telah menggariskan bahwa kehidupan manusia sangat plural, dan Islam sendiri sebenarnya mengajarkan bagaimana membangun kehidupan yang harmonis. Oleh sebab itu, pluralisme dan kemanusiaan adalah dua hal yang sangat realistis jika disusun dengan kedua misi Rasul tersebut pula.  

Kata kunci: Rahmat, Akhlak Karimah, Kemanusiaan, Pluralisme

         


ISI


A. Muhammad saw. Sebagai Figur Praksis Kedamaian dan Kasih Sayang
           
            Ada dua hal yang harus dicermati dari pesan kenabian Muhammad sebagai Rasul yang diutus oleh Allah. Dua hal ini menjadi misi terbesar dari Rasulullah saw., dalam mengemban tugas kerasulan. Rasulullah memang ditugaskan oleh Allah membawa risalah Islam. Namun perlu dipahami bahwa risalah tersebut tidak bersifat khusus untuk muslim semata, namun berlaku bagi seluruh semesta alam.
Artinya:
Dan tiadalah kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam. (al-Anbiya>’: 107)

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم: إِنَّمَا بُعِثْتُ لأُتَمِّمَ صَالِحَ الأَخْلاَقِ
Artinya: Dari Abu> Hurairah berkata: “Rasulullah saw. bersabda: “Tiadalah aku diutus kecuali hanya untuk menyempurnakan akhlak” (HR. Ah}mad)[1]

            Dua misi Rasul, yaitu menyebar kasih sayang dan pemuliaan akhlak adalah dua pondasi yang sangat kuat dalam membangun kembali misi kemanusiaan dan pluralisme pada saat ini. 
Pola kalimat yang dibangun dalam ayat dan hadis di atas kalau dicermati tentunya terlihat jelas ada kesamaan. Jika QS. al-Anbiya>’ dibangun dengan pola ma> dan illa>, maka hadis yang diriwayatkan oleh Abu> Hurairah dibentuk dengan kata innama>. Dengan demikian misi akbar Rasul Muhammad saw. adalah hanya menebarkan kasih sayang yang bertujuan untuk menciptakan pencerahan berupa akhlak karimah.
QS. Al-Anbiya>’ ini menceritakan tentang tugas kerasulan Muhammad saw. Di samping itu, ayat tersebut juga sekaligus memberikan jawaban yang bersifat universal bahwa Rasulullah saw. diutus hanya sebagai pembawa dan penyebar kasih sayang bagi seluruh semesta alam untuk menyempurnakan akhlak manusia. Kalau dicermati lebih dalam lagi, ayat ini sebagai bukti penguatan dari sifat Allah yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang seperti bunyi dalam basmalah.
Jika Allah saja sebagai sang khaliq memulai dan mensifati diri-Nya dengan yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang, tentunya Nabi Muhammad sebagai wakil yang diutus-Nya pula hendaknya dan wajib tentunya memiliki sifat yang sama. Jika Allah sebagai khaliq, Rasul Muhammad sebagai utusan juga berfungsi sebagai rahmat, terus apa dalih dari manusia sebagai orang yang mengaku ”pengikut” malah lebih menonjolkan sifat murka Allah daripada sifat pengasih dan penyayang-Nya? Hal semacam ini tentunya menjadi tanda tanya besar.
Sebagai utusan Allah, Muhammad memiliki mandat untuk berdakwah bagi seluruh alam untuk melakukan perubahan menuju pencerahan. Salah satu mandat yang terpenting adalah menyebarkan rahmat dan kasih sayang kepada semesta alam untuk menciptakan kemulian akhlak.
Dalam menyikapi ayat dan hadis di atas, ada beberapa hal yang harus diperhatikan, utamanya makna setiap kata dari ayat dan ayat tersebut. Pertama, kata ma>, kata ini memiliki banyak makna, salah satunya berfungsi sebagai li-al-nafyi (meniadakan).[2] Kemudian selanjutnya ditekankan dengan kata illa> yang berfungsi sebagai al-is\tis\na> (pengecualian). Dengan demikian kata ma> jika ditaukid dengan illa> akan bermakna lebih kuat lagi, yaitu sama dengan makna innama>.
إِنَّما إثباتٌ لما يذكر بعدها ونَفْيٌ لما سِواه كقوله وإِنَّما يُدافِعُ عن أَحْسابِهم أَنا أَو مِثْلي المعنى ما يُدافعُ عن أَحسابهم إِلاَّ أَنا[3]
إِنَّما  berfungsi untuk mentasbit atau mengukuhkan kata yang disebutkan setelahnya sekaligus meniadakan kata selain itu.

Dengan demikian, karena yang disebutkan dalam ayat tersebut di atas hanyalah sebagai rahmat, maka Muhammad tidak akan pernah diutus oleh Allah kecuali hanya untuk menyebarkan rahmat pada seluruh alam. 
Selanjutnya kata yang perlu ditelisik adalah rah}mah. Secara linguistik, kata rah}mah bermakna kelemahlembutan dan kepedulian (al-riqqah wa al-ta’a>t}uf wa al-marh}amah). Selain itu, rah}mah juga dimaknai dengan al-magfirah atau ampunan dan rezeki.[4] Selanjutnya Ibn Manz}u>r menerangkan jika rah}mah disandarkan pada bani adam atau manusia, maka maknanya adalah kelembutan hati dan kepedulian. Sementara rah}mah pada Allah adalah kelembutan, kepedulian dan rezeki serta hujan.[5] Masih mengutip dari Lisa>n al-‘Arab, kata rah}mah ada kaitannya dengan rahim yang berfungsi sebagai tempat berkembangnya janin dalam perut.[6] Oleh sebab itu menyebarkan kasih sayang haruslah sebagaimana menyayangi saudara serahim sendiri.
Terma selanjutnya yang tidak kalah pentingnya adalah al-‘a>lami>n. Para ulama berbeda pendapat mengenai pemaknaan al-‘a>lami>n. Kata al‘a>lami>n berasal dari kata ‘a>lam. Gunung disebut dengan ‘a>lam. Tempat yang tertinggi juga ‘a>lam, fula>n disebut juga ‘a>lam. Segala sesuatu yang diciptakan oleh Allah adalah ‘a>lam.[7]
Dengan demikian, yang disebut dengan ’a>lam adalah segala sesuatu selain Allah. Namun yang memunculkan perbedaan pendapat pada kata ’a>lamin adalah adanya harf ziya>dah ya>’ dan nu>n yang mengindikasikan sebagai bentuk jama’ muz\akkar sa>lim. Tentunya kata ini banyak diartikan pada manusia yang memiliki akal. Karena ziya>dah ya>’ dan nu>n hanya bagi benda yang berakal. Oleh sebab itu, pertanyaan yang muncul adalah sifat rah}mah Muhammad, apakah hanya berlaku bagi orang-orang mu’min saja atau kepada seluruh manusia yang ada di muka bumi ini.
Namun terlepas dari perbedaan pendapat, penulis dalam hal ini masih memfokuskan pemaknaan secara harfiyah. Dengan demikian, pada ranah ini, penulis lebih meyakini bahwa sifat rahmahnya Nabi harus berlaku pada seluruh ’alam, baik itu berakal maupun tidak, mu’min atau non mu’min. Hal semacam ini tentunya dapat ditelusuri dari berbagai macam sumber sejarah yang menyatakan kelemahlembutan dan kasih sayang Nabi pada siapapun dan apa pun. Singkatnya, menurut pemahaman penulis Allah ingin mengatakan pada seluruh makhluknya bahwa Rasul tidaklah diutus ke bumi kecuali hanya untuk meyebarkan kasih sayang, kelemah lembutan, kepedulian dan berbagai macam bentuk kemuliaan-kemuliaan seperti sikap empati pada siapapun dan apa pun itu. Allah menekankan agar Muhammad berprilaku sebaik mungkin pada siapa saja dan apa saja, seolah-olah mereka semua adalah satu rahim dan satu kerabat dengan Rasul. Hal semacam ini pulalah yang harus dipraktekkan oleh setiap individu yang mengaku sebagai pengikut Muhammad dan hamba Allah, yaitu mampu melihat siapa dan apa saja seperti halnya semua alam adalah satu rahim dan satu kerabat. 
Keuniversalan rahmah Nabi ini juga dapat dilihat dalam hadis Nabi yang berbunyi sebagai berikut:
عنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الرَّاحِمُونَ يَرْحَمُهُمْ الرَّحْمَنُ ارْحَمُوا مَنْ فِي الْأَرْضِ يَرْحَمْكُمْ مَنْ فِي السَّمَاءِ
Artinya:
            Dari ’Abd Alla>h bin ’Amr berkata: ”Rasulullah saw. bersabda: ”Yang memiliki kasih sayang akan mendapat kasih sayang dari yang Maha Penyayang. Sayangilah yang ada di bumi, niscaya yang di langit akan menyayangimu.[8]

Pada hadis yang diriwayatkan oleh al-Tirmi>zi> ini secara gamblang menggambarkan perintah praksis dari Nabi bagi pengikutnya untuk menebarkan kasih sayang bagi siapapun yang ada di muka bumi ini tanpa melihat status ras, suku, warna kulit dan agama skalipun.
Pada suatu saat ada sekelompok orang Yahudi yang mengucapkan salam kepada Nabi. Tapi salam tersebut berisi kecaman. ”Laknat dan kematian bagimu wahai Muhammad”. Lalu Siti ’Aisyah, istri tercinta Nabi langsung menjawab balik dengan nada emosi: ”Laknat dan kematian bagi kamu semua”. Nabi kemudian menegur Siti ’Aisyah: ”Pelan-pelan wahai ’Aisyah. Hendaknya kamu bersikap lemah lembut dalam menanggapi masalah”. Dalam hadis lain disebutkan, bahwa Rasul saw berpesan, ”Hindarilah kekerasan dan perbuatan kasar”. Kemudian Rasul menjawab salam tadi dengan salam perdamaian.[9]
Pernyataan al-Qur’an dan al-hadis mengenai keuniversalan sifat kasih sayang Nabi Muhammad tentunya tidaklah hanya sekedar semboyan semata. Namun lebih dari itu, praktek semacam ini telah membuktikan keberhasilan Nabi Muhammad dalam membentuk peradaban baru dalam dunia Arab pada saat itu dan peradaban baru dalam dunia Islam secara umum sampai sekarang. Beliau yang dicap oleh Allah dalam al-Qur’an sebagai sosok yang paling mulia akhlaknya,[10] tentu saja ingin memberikan keteladanan tertinggi pula, bahwa kekerasan dalam bentuk apapun baik lisan maupun sikap dalam Islam tidak pernah dibolehkan dan dibenarkan yang notabene sebagai rah}matan li al-’a>lami>n. Ajaran praksis kasih sayang ini tentunya merupakan bentuk toleransi yang dibangun oleh Nabi untuk seluruh alam melalui wahyu dan petunjuk dari Allah sang Pengutus Muhammad. 
Bentuk rahmat yang dibawa oleh Nabi Muhammad yang bersifat universal bagi siapa pun bisa dilihat dalam beberapa poin yang ada dalam Piagam Madinah, sebagai berikut:[11]
”Bahwa barang siapa dari kalangan Yahudi yang menjadi pengikut kami, ia berhak mendapat pertolongan dan persamaan, tidak menganiaya atau melawan mereka”
”Bahwa masyarakat Yahudi Banu Auf adalah satu umat dengan orang beriman, masyarakat Yahudi hendaklah berpegang pada agama mereka, dan kaum muslimin pun hendaklah berpegang pada agama mereka pula, termasuk pengikut-pengikut mereka dan diri mereka sendiri, kecuali orang yang melakukan perbuatan zalim dan durhaka. Orang semacam ini hanyalah akan menghancurkan dirinya dan keluargaya sendiri ”
”Bahwa tetangga itu seperti jiwa sendiri, tidak boleh diganggu dan diperrlakukan dengan perbuatan jahat.”
Dalam hal ini, harus diakui bahwa rahmat dan kasih sayang Nabi merupakan kategori kasih sayang yang proaktif dan progresif. Artinya, rahmat dan kasihnya melampaui batas-batas primordialnya. Rahmat dan kasihnya bersifat universal untuk semua umat beragama dan untuk sepanjang masa. Rahmat dan kasihnya merupakan unsur terpenting bagi keseimbangan dan keberlangsungan dakwah Rasulullah saw. Khalid Muhammad Khalid berkata bahwa kerahmatan dan kasih sayang sebagai metode dakwah Rasulullah saw. rahmatnya berlaku bagi seluruh manusia dan semesta alam. Rahmat menurut Rasulullah tidak hanya sekedar nilai sekunder, melainkan masuk dalam kategori primer karena merupakan inti dari kehidupan.[12]
            Dalam sebuah kisah sudah sering diperdengarkan mengenai kasih sayang dan kesabaran Nabi Muhamad. Pada suatu masa, Nabi pergi  ke Thaif mengajak kaum shakif kepada Islam, sayang sekali seruan Nabi saw. dibalas dengan ejekan dan lemparan batu oleh kaum durhaka disitu, sehingga  darah bercucuran ditubuh Nabi saw. akibat lemparan batu dan benda-benda keras lainnya. Bahkan dalam beberapa riwayat menyebutkan, Malaikat Jibril mendatangi Rasul dan mencoba menawarkan hukuman yang akan ditimpakan kepada penduduk Thaif ketika itu. Ternyata yang terjadi diluar dugaan Malaikat dan logika orang pada saat sekarang ini, Rasul dengan besar hati memafkan mereka dan bahkan berdoa: “Ya Allah berilah petunjuk kepada kaumku, sesungguhnya mereka tidak mengetahuinya”
Menurut al-Alu>si> sendiri, rahmat Rasul tersebut berlaku pada seluruh manusia baik itu mu’min maupun kafir. Karena secara zahir lafal al-’a>lami>n adalah bersifat umum. Hanya saja al-Alu>si> menekankan bahwa rahmat yang dibawa oleh Nabi tersebut berfungsi untuk mencapai dua kebahagiaan, yaitu kebahagiaan dunia dan kebahagiaan akhirat. Oleh sebab itu, jika orang mu’min mendapatkan keduanya, maka orang kafir hanya mendapatlan kebahagiaan dunia saja.[13]
Adapun al-Bagawi> dalam tafsirnya menjelaskan dengan mengutip pendapat Ibn Zaid, rahmah Nabi itu khusus hanya bagi mereka yang mu’min. Adapun dari Ibn ’Abbas dikatakan, rahmah tersebut bersifat umum, baik bagi yang mu’min maupun yang non mu’min. Jika orang mu’min, rahmat nabi berlaku di dunia dan akhirat. Sementara untuk non mu’min rahmat Nabi di dunia yaitu dengan cara menunda azab di akhirat[14]
Selain sosok Nabi Muhammad sebagai rahmat dari Allah, beliau juga adalah sosok yang memiliki sifat rahmat sekaligus sebagai sosok penyebar rahmat itu sendiri. Artinya Nabi Muhammad bukan hanya sosok yang menjadi rahmat dan sekedar penawar konsep pentingnya rahmat, namun lebih dari itu, beliau telah terlebih dahulu melakukannya dalam ranah praksis. Dalam bentuk sistem dakwah beliau misalnya, Nabi Muhammad lebih mengedepankan rahmat, kelemah lembutan pada semua objek dakwahnya. Hal ini seperti diabadikan oleh Allah dalam QS. A<li ’Imra>n: 159: 3.
Dalam tafsir al-Kha>zin dijelaskan bahwa Rasul diberikan oleh Allah sifat rahmat kasih sayang, kelemah lembutan dan kepedulian. Sehingga sikap-sikap semacam ini pulalah yang harus dikedepankan Rasul dalam menghadapi kawan dan lawannya. Karena jika Rasulullah berkeras hati, akhlak yang tidak bagus, serta suka mengeluh, maka setiap individu yang diajak oleh Nabi akan berpaling. Selain itu, Rasulullah juga harus menjadi sosok yang pemaaf atas segala kesalahan umatnya, dan bahkan lebih dari itu, sosok Nabi yang mulia harus mampu berbesar hati untuk meminta ampunan kepada Allah atas kesalahan dan perbuatan umatnya.[15] Selain itu, Rasul juga harus mengedepankan musyawarah dalam menghadapi permasalahan yang muncul. Dalam hal ini al-Kha>zin berkata bahwa Rasul harus tetap mampu menghargai setiap lawan bicaranya dengan cara meminta pendapat mereka sehingga Nabi mengetahui apa yang terjadi pada mereka.[16]
Sementara itu, al-Ra>zi> menjelaskan bahwa ayat ini seiring dengan ayat-ayat dalam al-Qur’an yang lainnya secara keseluruhan menggambarkan sifat-sifat mulia sang Nabi Muhammad. Dalam hal ini al-Ra>zi> menguatkan ayat di atas dengan cara mengutip ayat-ayat lainnya, seperti:
Artinya:
Dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang mengikutimu, yaitu orang-orang yang beriman. (al-Syu’ara: 215)

Dalam penjelasan selanjutnya al-Ra>zi> menambahkan argumentnya dengan mengutip hadis sebagai berkut:
وقال عليه الصلاة والسلام : " لا حلم أحب إلى الله تعالى من حلم إمام ورفقه ولا جهل أبغض الى الله من جهل إمام وخرقه " فلما كان عليه الصلاة والسلام إمام العالمين ، وجب أن يكون أكثرهم حلما وأحسنهم خلقاً
Artinya:
Rasulullah saw bersabda: “Tiada kelemah lembutan yang paling disukai oleh allah daripada jelemah lembutan yang ada pada sosok seorang pemimpin. Dan tiada kebodohan yang paling dibenci oleh Allah, kecuali kebodohan seorang pemimpin”

            Ibn al-Jauzi> dalam Za>d al-Masi>r menafsirkan ayat ini pada empat hal penting yaitu: pertama, membalas kejahatan lawan dengan keramahan. Hal  semacam ini dikatakan oleh al-H{asan. Kedua, membalas kejelekan dengan kedamaian, dikutip dari perkataan ‘A<ta’ dan al-D}ah}h}a>k. Ketiga, membalas kesyirikan dengan ketauhidan. Pendapat ini disampaikan oleh Ibn al-Sa’i>b. Dan yang keempat, membalas kemungkaran dengan nasehat. Hal ini dikutip dari al-Mawardi>.[17]  
Dalam tafsir al-Ra>zi> dijelaskan, sosok Rasul adalah seorang yang peduli dengan kesulitan orang lain. Sehingga beliau adalah sosok yang selalu berusaha membawa orang lain pada segala kebaikan. Sosok Nabi Muhammad bagaikan Dokter yang suka menolong, bagaikan seorang Bapak atau Ayah yang sangat penyayang. Seorang dokter yang suka menolong akan selalu berusaha untuk menyembuhkan setiap penyakit yang muncul walupun itu sulit untuk dilakukan, namun ia akan selalu berusaha untuk meringankannya. Dan seorang ayah yang penyayang akan menjadi pionir yang terdepan untuk mengajarkan adab maupun memberikan pencerahan pada anaknya.[18]
Dari berbagai penafsiran atas rahmat Nabi tersebut, menggambarkan bahwa sosok Nabi adalah sosok yang sempurna dan sosok yang sangat penyayang, bukan sosok yang menakutkan yang selalu mengangkat pedang dalam menyelesaikan masalah. Namun demikian, para mufassir di atas masih lebih memaknai rahmat Nabi yang bersifat teologis. Oleh karena itu, pada masa kontemporer semacam ini, selayaknya pemaknaan rahmat Nabi jangan hanya dimaknai sekedar adanya penundaan balasan terhadap non muslim. Namun harus lebih bersifat humanis. Dengan mengutip pendapat Muhammad Thahir bin ‘Asyur dalam bukunya Zuhairi Misrawi menegaskan bahwa ajaran yang dibawa Nabi Muhammad saw. merupakan ajaran kasih sayang yang lebih besar dari pada kasih sayang para nabi sebelumnya. Syari’at kehanifan yang dibawa oleh nabi Ibrahim as. merupakan ajaran yang khusus bagi dirinya. Ia tidak membawa syari’at yang universal. Begitu pula ajaran Isa as. dan Musa as., tapi yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw. bersifat paripurna, yaitu kasih sayang terhadap seluruh makhluk Tuhan di muka bumi. Karenanya, dalam pesan tersebut terdapat hikmah Tuhan dalam mengatur urusan manusia agar syari’at[19] yang dibawa oleh Islam adalah syari’at kasih sayang hingga hari kiamat.[20] 

B. Pluralisme dan Kemanusiaan Manifesto Rahmat dan Akhlak Karimah
            Sebelum berlanjut pada penjelasan pluralisme, terlebih dahulu harus dipahami bahwa pluralisme adalah sebuah sunnatullah. Pemaknaan pada pluralisme memang sangat beragam, namun demikian yang terpenting adalah, bagaimana berbagai macam pemahaman tersebut tidak disikapi dengan pra konsepsi yang dibangun dengan sikap skeptis berlebihan. Pada kesempatan kali ini, penulis tidak ingin berpanjang lebar mengenai pemaknaan pada pluralisme itu sendiri. Dalam pada itu, penulis akan mengutip pendapat Jalaluddin Rahmat:
Isme itu adalah sebuah paham. Ekslusivisme, inklusivisme, dan pluralisme, di dalam dunia akademis sebetulnya masih bagian dari religious studies atau pendekatan yang sekular untuk memahami gejala-gejala keberagamaan. Pluralisme itu bisa berupa paham tapi bisa juga disebut orientasi keberagamaan. Kita memang harus bisa membedakan pluralisme dan pluralitas. Pluralistas adalah kenyataan sosial ketika kita menyaksikan adanya masyarakat yang plural atau majemuk. Tapi pluralisme adalah sebuah paham dalam religious studies.[21]

            Zuly Qadir menyebutkan bahwa pluralisme adalah tidak bermakna bahwa semua agama hendak disatukan dalam sebuah agama tunggal.[22] Menurut Fuad Fanani sendiri menyatakan bahwa pluralisme merupakan faktor pendorong dalam menjalakan kerjasama dan keterbukaan, sebagaimana telah dinyatakan dalam QS al-Hujrat: 13-14. Fuad Fanani menegaskan, ayat ini sebagai penjelas bahwa pluralitas adalah “kebijakan Tuhan” sehingga manusia saling mengetahui dan bekerja sama.[23]
            Dengan mengutip pendapat Amin Abdullah, Pradana Boy ZTF menegaskan bahwa kesadaran dan perhatian al-Qur’an atas pluralisme agama juga diwujudkan dalam ketiadaaan wajibnya dalam al-Qur’an kepada manusia untuk memeluk agama atau tidak seperti dalam QS. 2: 256.[24]
Artinya: Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya Telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, Maka Sesungguhnya ia Telah berpegang kepada buhul tali yang amat Kuat yang tidak akan putus. dan Allah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui. (QS. al-Baqarah: 256)

            Arkoun menyatakan, Islam akan meraih kejayaannya jika umat Islam membuka diri terhadap pluralisme pemikiran, seperti pada masa awal Islam hingga abad pertengahan. Pluralisme bisa dicapai bila pemahaman agama dilandasi paham kemanusiaan, sehingga umat Islam bisa bergaul dengan siapa pun.[25]
Agama yang dilandasi dengan kemanusiaan mestinya tidak bisa lepas dari kedua misi Nabi, yaitu penebaran rahmat (kasih sayang) dan kesempurnaan akhlak. Bagaimanapun juga kemuliaan akhlak ternyata menjadi sebuah tugas sekaligus misi[26] kenabian Muhammad sebagai utusan Allah. Banyak hadis Nabi yang menunjukkan bahwa akhlak adalah hal yang paling penting untuk dikedepankan. Hampir semua hadis Nabi menekankan bahwa keimanan seseorang selalu seiring dengan perbuatan konkrit yang bersifat hubungan manusia dengan manusia. Misalnya saja dalam hadis yang memerintahkan manusia untuk memuliakan tamu, menghormati tetangga serta harus berbicara benar atau diam.
عن أبي هريرة قال قال رسول الله صلى الله عليه و سلم :من كان يؤمن بالله واليوم الآخر فلا يؤذ جاره ومن كان يؤمن بالله واليوم الآخر فليكرم ضيفه ومن كان يؤمن بالله واليوم الآخر فليقل خيرا أو ليصمت
Artinya: Dari Abu Hurairah berkata: Rasululullah saw bersabda: “Barang siapa beriman pada Allah dan hari kiamat, maka janganlah menyakiti tetangganya, dan barang siapa yang beriman pada Allah dan hari akhir, maka hendaklah ia memuliakan tamunya, dan barang siapa yang beriman pada Allah dan hari akhir, mka hendaklah berkata benar atau diam”[27]

            Perbaikan akhlak adalah misi utama Rasul diutus serta rahmatan lil ‘alamin adalah fungsi daripada risalah kenabian.  Keislaman yang otentik baik dalam hadis maupun dalam al-Qur’an selalu dikaitkan dengan bentuk aktualisasi diri dalam mengedepankan akhlak yang mulia. Keimanan seorang selalu diukur dengan akhlak bagi diri sendiri dan rang lain: seperti dalam hadis shaih al-Bukhari no 13, jilid 1, halaman 14:
عن حسين المعلم قال عن النبي صلى الله عليه و سلم قال لا يؤمن أحدكم حتى يحب لأخيه ما يحب لنفسه
Artinya: Dari Husain al-Mu’allim dari Nabi saw., bersabda: “Tidak beriman salah seorang di antara kamu sehingga ia mencintai saudaranya seperti ia mencintai dirinya sendiri” (HR. al-Bukhari)[28]
            Dengan demikian, ketika kesempurnaan akhlak, rahmat atau kasih sayang  dijadikan sebagai pondasi dalam beragama, maka tidak mustahil jika kesadaran kemanusiaan dan pluralisme menjadi sebuah wujud yang berperan banyak dalam kehidupan beragama, sehingga mampu menciptakan perdaban baru yang bersifat global.  

C. Islam Agama Pluralisme
Islam sebagai agama, seharusnya tidak dipandang sebagai sebuah ajaran yang berupa dogma semata yang sudah bersifat formal. Karena ketika Islam dianggap sebagai agama formal yang bersifat dogmatif, maka dikhawatirkan ajaran Islam akan menjadi sangat kaku. Islam adalah agama[29] yang diembankan oleh Tuhan kepada Muhammad saw., untuk diajarkan dan ditebarkan bagi seluruh semesta alam, sebagaimana tertuang dalam Firman Allah dalam QS. al-Anbiya’: 21-107.[30] Dengan demikian ajaran Islam yang bersifat eksklusif tidak memiliki dalih yang bisa dibangun oleh penganutnya yang fundamentalis, dan radikalis. Ajaran Islam bersifat universal yang menjunjung tinggi aspek-aspek kemanusiaan, persamaan hak dan mengakui adanya pluralisme agama, karena bagaimanapun, pluralisme adalah sebuah aturan Tuhan tidak mungkin dilawan atau diingkari. Ungkapan ini menggambarkan bahwa Islam sangat menghargai pluralisme karena Islam adalah agama yang dengan tegas mengakui hak-hak penganut agama lain untuk hidup bersama dan menjalankan ajaran masing-masing dengan penuh kesungguhan.[31]
Secara semiotik sendiri, term Islam berasal dari kata salima-yaslamu-salamatan wa salaman yang artinya adalah bebas dari kerusakan zahir dan batin.[32] Kemudian menjadi aslama-yuslimu menjadi bentuk kata kerja yang membutuhkan objek. Dari term salima juga didapatkan kata sullam yang artinya wasilah atau tangga untuk menuju tempat tinggi sehingga mendapatkan keselamatan, kesejahteraan, kedamaian.[33]
            Jika Islam dimaknai seperti ini, maka seorang muslim selayaknya harus mampu memberikan kedamaian dan keselamatan bagi dirinya sendiri, kemudian untuk menyempurnakan keislamannya, dituntut pula untuk memberikan kedamaian dan keselamatan bagi orang lain.
Artinya:
 Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah Islam

Bila Islam diterjemahkan dengan kedamaian, dan keselamatan maka terjemahan ayat tersebut adalah “sesungguhnya agama yang diridhai oleh Allah adalah agama kedamaian dan keselamatan.” Dengan demikian, seorang muslim adalah orang yang menganut agama yang mengedepankan kedamaian dan perdamaian dengean seluruh umat manusia bahkan dengan alam sekalipun.
Sesungguhnya, fenomena agama dan beragama telah ada bersamaan dengan keberadaan manusia dan akan terus berlanjut sampai akhir kehidupan manusia. Untuk melihat sikap dan ajaran Islam tentang puluralisme, kita harus menelaahnya dari Muhammad saw. dan Islam dalam kehidupan umat manusia. Sejarah mencatat bahwa Muhammad saw. diutus oleh Allah sebagai Nabi dan Rasul yang terakhir dengan membawa risalah Islamiyah, dengan misi universal.
Agama Islam adalah agama damai yang sangat menghargai, toleran dan membuka diri terhadap pluralisme agama. Isyarat-isyarat tentang pluralisme agama sangat banyak ditemukan di dalam al-Qur’an antara lain Firman Allah Untukmu agamamu dan untukku agamaku”. (QS. al-Kafirun: 109-6). Selain. Allah juga menganugrahkan nikmat akal kepada manusia, kemudian dengan akal tersebut Allah memberikan kebebasan kepada manusia untuk memilih agama yang ia yakini kebenarannya tanpa ada paksaan dan intervensi dari Allah. Sebagaimana Firmannya “Tidak ada paksaan dalam agama”, (QS. al-Baqarah: 2-256).
Pluralisme agama mengajak keterlibatan aktif dengan orang yang berbeda agama tidak sekedar toleransi, tetapi jauh dari itu memahami akan substansi ajaran agama orang lain. Pluralisme agama dapat berfungsi sebagai paradigma yang efektif bagi pluralisme sosial demokratis di mana kelompok-kelompok manusia dengan latar belakang yang berbeda bersedia membangun sebuah komunitas global. Secara khusus Islam, al-Qur’an menganut prinsip adanya realitas tentang pluralitas agama. seperti QS. al-Baqarah: 2-62.
“Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabiin, siapa saja di antara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari Kemudian dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran kepada mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati.

Kemabali lagi Allah melalui ayat ini, menekankan bahwa yang mendapatkan ketenangan adalah yang melakukan aktualisasi diri atau amal saleh. Tentunya harus dilandasi kasih sayang dan kemuliaan akhlak. Malah secara tegas pula Allah menganjurkan setiap penganut agama untuk saling berlomba dalam kebajikan. Sebagaimana dalam QS. al-Mai’dah: 5-48:
“… untuk tiap-tiap umat diantara kamu, kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu,

D. Radikalisme atau Kekerasan sebagai “Benalu”[34] Sekaligus Penghambat Kemajuan Peradaban
            Radikalisme atau kekerasan sebenarnya muncul dari sikap eksklusif pada agama sendiri. Oleh karena itu, kemampuan untuk menghayati agama menjadi kurang dan apalagi untuk menghidupkannya.[35] Islam sebagai agama, dengan demikian harus dihayati dan dihidupkan dalam diri penganutnya dengan cara memahami cita-cita Nabi Muhammad sebagai pembawanya, yaitu menebarkan kasih sayang dan menyempurnakan akhlak. Banyak individu yang mengaku mengikuti Nabi namun sangat sedikit yang paham dengan cita-citanya.
Sebelum menjelaskan lebih panjang sub bab ini, perlu dikemukakan bahwa sikap eksklusifisme dalam beragama adalah akibat dari pemahaman yang dibangun secara eksklusif pula. Sehingga hal semacam inilah yang menyebabkan adanya truth claim antaragama dan bahkan antar-pemeluk agama. Oleh sebab itu dalam memahami teks keagamaan harusnya bisa lepas dari ideologi tertentu. Karena interpretasi pada teks keagamaan akan campur aduk dengan kepentingan kelompok seperti kepentingan politik jika telah dibangun dengan sebuah ideolog tertentu pula.[36]
Begitu banyak bertebaran ayat-ayat al-Qur’an yang menggambarkan bukti kasih sayang Tuhan dan Rasul-Nya terhadap makhluknya, seharusnya menjadi acuan untuk mengedepankan kasih sayang daripada kekerasan dalam menyikapi problematika kehidupan yang penuh dengan keberagaman ini. Bagi penulis sendiri, kasih sayang dan kelemah lembutan menjadi sebuah kebutuhan primer yang harus tetap dijaga. Karena bagaimana pun juga pluralitas dalam dunia sosial ini adalah sebagai sunnah dari Allah sang Maha Pencipta alam. Oleh sebab itu, setiap individu khususnya manusia memiliki beban moral dan beban teologis untuk mengemban amanah sebagai khalifah dari Allah di muka bumi ini.
Jika keberagaman adalah sunnah Allah atau sebuah keniscayaan, apakah hal ini akan dihadapi dengan sikap ego yang keras serta perasaan yang selalu menjadi yang paling benar? Perlu disadari bahwa dengan kerahmatan dan kasih sayang Nabi Muhammad yang universal, dalam periode dua puluh tiga tahun, Nabi meraih kesuksesan tidak hanya mempersatukan Arabia di bawah panji Islam, tetapi bahkan membangun komunitas religius berwawasan global, dimana beliau akan selalu tetap akan menjadi contoh yang ideal bagi perilaku dan perbuatan manusia.[37]
Cita-cita yang dibangun oleh Rasul selama kurang lebih dua pulah tiga tahun dengan kasih sayang, ternyata mendapat hambatan pada masa sekarang ini khususnya, walaupun sebenarnya kekerasan dan sikap fundamentalisme telah lama berlaku di dunia Islam itu sendiri. Sebut saja misalnya bentuk kekerasan yang dilakukan untuk melawan hegemoni Barat oleh Usamah bin Laden, Imam Samudra, Amrozi, Abu Dujana dan lainnya dengan tegas mengatas namakan Islam dalam meledakkan simbol-simbol “kekafiran”. Dalam skala nasional, kekerasan yang dialami oleh jama’ah Ahmadiyah, peristiwa bom Bali, hotel JW. Mariot, serta berbagai bentuk kekerasan ormas Islam seperti di setiap tahun, khususnya menjelang bulan Ramadhan. Contoh ini adalah segelintir kekerasan yang dilakukan oleh kelompok-kelompok tertentu atas nama agama.[38]
 Keberagamaan yang fundamentalisme tersebut adalah model keberagamaan tanpa bekal ilmu pengetahuan. Ahmad Wahib dalam tesisnya memprediksikan bahwa kegagalan umat Islam selama ini disebabkan karena mereka tidak mampu menerjemahkan kebenaran Islam. Ketidakpekaan terhadap nilai-nilai ini menyebabkan umat Islam mengalami ketertinggalan yang pada gilirannya cenderung merasa inferior dan sloganistik.[39] 
Di samping itu, model keberagamaan yang lebih mengedepankan kekerasan dalam menyikapi keberagamaan akan menjadi penyebab hilangnya citra agama Islam yang rah}matan li al-‘a>lami>n dan semakin kehilangan relevansinya. Model keberagamaan yang lebih mengedepankan niat baik tanpa didukung oleh pengetahuan terhadap agama lebih sering menimbulkan malapetaka ketimbang kemaslahatan. Model keberagamaan “orang baik” ini adalah model keberagaman yang hanya berjama’ah saat beribadat, namun menjadi pesaing dan musuh dalam kehidupan sosio-historis.
Bagi penulis sendiri, kekerasan dalam bentuk apapun akan menjadi hawa panas yang menyebabkan orang yang berada disekitarnya  merasa gerah, waswas dan bahkan takut terserang oleh kekerasan tersebut.  Pada akhirnya orang disekitarnya juga lama kelamaan akan terbakar dan kemudian akan berusaha menjauhi agama Islam. Resiko semacam ini tentunya tidak pernah kita harapkan sebagai bagian dari agama Islam itu sendiri. Oleh sebab itu, pluralisme dan kemanusiaan tetap harus menjadi sikap yang dibangun oleh setiap individu dalam beragama, karena baik pluralisme dan kemanusiaan adalah cita-cita yang dibangun oleh al-Qur’an melalui asas rahmatan li al-‘alamin (kasih sayang bagi semesta alam) dan akhlak karimah.     




KESIMPULAN

Dari pembahasan singkat di atas memperlihatkan bahwa keberhasilan Rasul dalam mengemban amanah dari Allah adalah sifat dan sikap rahmat dan kasih sayang dari Rasul. Dengan rahmat dan kasih sayang ini, Rasul telah berhasil menciptakan peradaban baru untuk menuju pencerahan di dunia Islam secara khusus dan di dunia secara universal. Dalam hal ini, rahmat yang ditawarkan oleh Rasul adalah ranah praksis, sehingga rahmat dan kasih sayang tersebut menjadi pijakan dalam hidup berdampingan penganut sesama agama, penganut antar agama, antar ras, suku dan pemahaman keagamaan.
Teladan yang diajarkan Nabi kepada manusia secara umum sebagaimana dijelaskan di atas harus menjadi pedoman hidup. Apalagi di tengah meluasnya aksi kekerasan yang mengatasnamakan agama. Karena itu, misi utama Nabi Muhammad saw sebagai rahmat kasih sayang harus diangkat ke permukaan dalam rangka menampilkan ajaran Islam yang akan membawa kerahmatan yang bersifat global dan universal. Dengan mengedepankan rahmat kasih sayang ini akan menjadi cermin yang utuh dalam merajut hubungan horizontal. Cita-cita semacam ini bukanlah hal yang mustahil karena sudah dibuktikan oleh Rasul di masa terdahulu. Prinsip moral yang bersifat universal semacam inilah yang harus ditanamkan dalam setiap individu sehingga mampu mengubah orientasi dalam hidup, mengubah mentalitas dan hati, serta menggerakkan setiap individu untuk menuju orientasi hidup yang baru yang penuh kedamaian dan kasih sayang. Pertanyaan selanjutnya adalah mana yang termasuk kategori primer atau skunder, kasih sayang atau kekerasan?








DAFTAR PUSTAKA


Abu> Da>wud. Sunan Abi> Da>wud. al-Maktabah al-Sya>milah. Ridwana Media.

Abu> Muh}ammad al-H}usain bin Mas’u>d al-Bagawi>. Ma’a>lim al-Tanzi>l. al-Maktabah al-Sya>milah. Ridwana Media.

Abu> al-Qa>sim Mah}mu>d bin ‘Amr bin Ah}mad al-Zamakhsyari>. al-Kasysya>f ‘an Haqa>’iq al-Tanzi>l wa ‘Uyu>n al-Aqa>wi>l fi> Wuju>h al-Ta’wi>l. Rom al-Maktabah al-Sya>milah. Ridwana Media.

Ah}mad bin H{anbal. Musnad Ah}mad. al-Maktabah al-Sya>milah. Ridwana Media

Anis Malik Toha, “Melacak Pluralisme Agama”, dalam http://hidayatullah.com/opini/opini/1322-melacak-pluralisme-agama

al-Bukha>ri>, S{ah}ih} al-Bukha>ri>.  al-Maktabah al-Sya>milah. Ridwana Media.

Fakhr al-Di>n al-Ra>zi>. Mafa>ti>h} al-Gaib. al-Maktabah al-Sya>mila. Ridwana Media.

Hilman Latief. Nasr Hamid Abu Zaid: Kritik Teks Keagamaan. Jogjakarta. eLSAQ press. 2003.


Ibn al-Jauzi>. Za>d al-Masi>r. al-Maktabah al-Sya>milah. Ridwana Media.

Ibn Manz}u>r. Lisa>n al-‘Arab. al-Maktabah al-Sya>milah. Ridwana Media.

Ima>m Muslim. S{ah}ih} Muslim. al-Maktabah al-Sya>milah. Ridwana Media.

Ima>m Ma>lik. Muwat}a’ Ma>lik. Rom al-Maktabah al-Sya>milah. Ridwana Media.

Jalaluddin Rakhmat. Dahulukan Akhlak di atas Fiqih. Bandung:  Mizan, 2007.

al-Kha>zin. Luba>b al-Ta’wi>l fi> Ma’a>n al-Tanzi>l. al-Maktabah al-Sya>milah. Ridwana Media.

M. Amin Abdullah, Islamic Studies di Perguruan Tinggi: Pendekatan Integratif-Interkonektif  Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006.

----------------------, Dinamika Islam Kultural: Pemetaan atas Wacana Islam Kontemporer. Bandung Mizan, 2000.

Maria Hartiningsih. “Pluralisme: Tuntunan Etik yang Merangkul” Kompas 08 Mei 2010.

M. Masyhur Amin, dkk. Dialog Pemikiran Islam dan Realitas Empirik. Yogyakarta: LKPSM NU DIY. 1993.

Moh. Shofan. Menegakkan Pluralisme: Fundamentalisme-Konservatif di Tubuh Muhammadiyah. Jogjakarta: Ar-Ruzz. 2008.

Muhammad Husain Haekal. Sejarah Hidup Muhammad. Terj. Ali Audah. Jakarta. PT Pustaka Litera AntarNusa. 2007.

Nasr Seyyed Hossein. Islam: Agama, Sejarah, dan Peradaban. Terj. Koes Adiwidjajanto. Surabaya: Risalah Gusti. 2003.

Quraisy Shihab dkk. Atas Nama Agama: Wacana Agama Dalam Dialog “Bebas” Konflik. Bandung: Pustaka Hidayah, 1998.

al-Ra>gib al-As}faha>ni>. Mu’jam Mufrada>t Alfa>z} al-Qur’a>n. Beirut. Da>r al-Kutub al-‘Ilmi>yah. 2004.

Siha>b al-Di>n Mah}mu>d ibn ‘Abd Alla>h al-H}usaini> al-Alu>si>. Ru>h} al-Ma’a>ni> fi> Tafsi>r al-Qur’a>n al-‘Az}i>m wa al-Sab’i al-Mas\a>ni>. al-Maktabah al-Sya>milah. Ridwana Media.

al-Tirmi>z\i>. Sunan al-Tirmi>zi>. Kita>b al-Birr wa al-S}ilah ‘an Rasu>lilla>h, Ba>b ma> Ja>’a fi> Rah}mah al-Na>s. Mausu>’ah al-H}adi>s al-Syari>f.

Zuhairi Misrawi. al-Qur’an Kitab Toleransi: Inklusifisme, Pluralisme dan Multikulturalisme. Jakarta Selatan. Penerbit Fitrah. 2007.



                [1] Ah}mad bin H{anbal. Musnad Ah}mad. CD. Rom al-Maktabah al-Sya>milah. Ridwana Media. Ba>b Musnad Abi> Hurairah, no. 9187. jilid 19, hlm. 218. Hadis yang sama juga dapat dilihat dalam Ima>m Ma>lik. Muwat}a’ Ma>lik. CD. Rom al-Maktabah al-Sya>milah. Ridwana Media. Bab Ma> Ja>’a fi> H{usn al-Khuluq, no. 1643, jilid. 5, hlm. 315. Akan tetapi dalam kitab ini kata ‘s}a>lih}” diganti menjadi ‘h}usn”.
[2] Ibn Manz}u>r. Lisa>n al-‘Arab. al-Maktabah al-Sya>milah. Ridwana Media, jilid 15, hlm 364. Pemaknaan ma> yang berfungsi sebagi al-nafyi (peniadaan) dapat juga dilihat dalam al-Ra>gib al-As}faha>ni>. Mu’jam Mufrada>t Alfa>z} al-Qur’a>n. (Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmi>yah. 2004), hlm. 514. Bisa juga dilihat dalam Siha>b al-Di>n Mah}mu>d ibn ‘Abd Alla>h al-H}usaini> al-Alu>si>. Ru>h} al-Ma’a>ni> fi> Tafsi>r al-Qur’a>n al-‘Az}i>m wa al-Sab’i al-Mas\a>ni>. al-Maktabah al-Sya>milah. Ridwana Media, jilid 12, hlm. 486. al-Alu>si> berkata bahwa ayat ini berfungsi sebagai berikut:
استثناء من أعم الأحوال أي وما أرسلناك في حال من الأحوال إلا حال كونك رحمة أو ذا رحمة أو راحماً لهم ببيان ما أرسلت به
[3] Ibn Manz}u>r. Lisa>n al-Arab...,jilid 12, hlm. 364.
[4] Ibn Manz}u>r. Lisa>n al-Arab..., jilid. 12, hlm. 230.
[5] Ibn Manz}u>r. Lisa>n al-Arab..., jilid. 12, hlm. 230.
[6] Ibn Manz}u>r. Lisa>n al-Arab..., jilid. 12, hlm. 230. Lihat juga dalam al-Ra>gib al-As}faha>ni>. Mu’jam Mufrada>t, hlm. 215.
[7] al-Ra>gib al-As}faha>ni>. Mu’jam Mufrada>t..., hlm. 385.
[8] al-Tirmi>z\i>. Sunan al-Tirmi>zi>. No 1847. Kita>b al-Birr wa al-S}ilah ‘an Rasu>lilla>h, Ba>b ma> Ja>’a fi> Rah}mah al-Na>s. Mausu>’ah al-H}adi>s al-Syari>f.

                [9] Kisah dalam hadis ini dikutip dari buku karya Zuhairi Misrawi. al-Qur’an Kitab Toleransi: Inklusifisme, Pluralisme dan Multikulturalisme. (Jakarta Selatan: Penerbit Fitrah. 2007), hlm. 242-243.
                [10] Dan Sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung. (QS. al-Qalam: 4)
                [11] Muhammad Husain Haekal. Sejarah Hidup Muhammad. Terj. Ali Audah. (Jakarta: PT Pustaka Litera AntarNusa. 2007), hlm. 206-207.
                [12]  Zuhairi Misrawi. al-Qur’an Kitab Toleransi…, hlm. 245.
[13] Siha>b al-Di>n Mah}mu>d ibn ‘Abd Alla>h al-H}usaini> al-Alu>si>. Ru>h} al-Ma’a>ni> fi> Tafsi>r al-Qur’a>n..., jilid 12, hlm. 486.
                [14]Abu> Muh}ammad al-H}usain bin Mas’u>d al-Bagawi>. Ma’a>lim al-Tanzi>l. al-Maktabah al-Sya>milah. Ridwana Media, jilid 5, hlm. 359.
                [15] al-Zamakhsyari> berkata bahwa Rasul harus memaafkan segala kesalahan umatnya yang berhubungan dengannya secara pribadi. Sedangkan kesalahan umatnya yang berhubungan dengan Allah, maka Nabi harus meminta dan memohon ampun atas mereka. Lihat dalam Abu> al-Qa>sim Mah}mu>d bin ‘Amr bin Ah}mad al-Zamakhsyari>. al-Kasysya>f ‘an Haqa>’iq al-Tanzi>l wa ‘Uyu>n al-Aqa>wi>l fi> Wuju>h al-Ta’wi>l. al-Maktabah al-Sya>milah. Ridwana Media, jilid 1, hlm. 341.
                [16] al-Kha>zin. Luba>b al-Ta’wi>l fi> Ma’a>n al-Tanzi>l. al-Maktabah al-Sya>milah. Ridwana Media, jilid. 1 hlm, 482.
                [17] Ibn al-Jauzi>. Za>d al-Masi>r. al-Maktabah al-Sya>milah. Ridwana Media, jilid 4, hlm. 425.
                [18]  Fakhr al-Di>n al-Ra>zi>. Mafa>ti>h} al-Gaib…, jilid 8, hlm. 191.
                [19] Syari’at berasal dari kata syara’a-yasyra’u-syar’an wa syuru>’an wa al-masyra’ah wa al-syari>’ah bermakna sumber mata air. Lihat dalam Ibn Manz}u>r. Lisa>n al-‘Arab…, jilid 1, hlm. 583. Dengan demikian makna syari’at pada hakikatnya adalah simbol daripada sumber kehidupan yang tentunya berfungsi untuk memberikan kenyamanan bagi yang mencarinya. Sebagai obat dahaga bagi yang menemukannya. Oleh karena makna dasar syari’at adalah sumber air yang berfungsi sebagai sumber kehidupan dan pengobat dahaga, tentunya bentuk syari’at seperti shalat, haji, puasa dan lain sebagainya yang dianggap syari’at dari Allah tidak layak jika dilihat dan hanya dicermati sebagai bentuk ritual formal semata yang seolah-olah seluruh syari’at tersebut hanya menyentuh theologi semata. Namun lebih dari itu, seyogianya seluruh syari’at dari Allah tersebut harus dijadikan sebagai pengobat dahaga, dan dengan kasih sayang (rahmat) inilah dijadikan sebagai pondasi dalam setiap tindakan setiap individu.   
                [20] Zuhairi Misrawi.  al-Qur’an Kitab Toleransi: Inklusifisme,…, hlm. 248-249.
                [21]Jalaludin Rakhmat: “Rahmat Tuhan Tidak Terbatas. Dalam http://islamlib.com/id/artikel/rahmat-tuhan-tidak-terbatas/. Ungkapan ini adalah hasil wawancara Novriantoni dari Kajian Islam Utan Kayu (KIUK) dengan Jalaluddin Rakhmat,
                [22] Pradana Boy ZTF. Para Pembela Islam: Pertarungan….., hlm. 107.
                [23] Pradana Boy ZTF. Para Pembela Islam: Pertarungan….., hlm. 107.
                [24]  Pradana Boy ZTF. Para Pembela Islam: Pertarungan… hlm. 117. Lihat juga pendapat Amin Abdullah yang mengatakan bahwa al-Qur’an menyadari dan menaruh perhatian akan pentingnya pluralisme agama, dan sampai batas tertentu, perlakuan atau pandangan al-Qur’an terhadapa pluralisme agama cenderung liberal. Lihat dalam Amin Abdullah, Dinamika Islam Kultural: Pemetaan atas Wacana Islam Kontemporer (Bandung Mizan, 2000), hlm. 73.
                [25] “Mohammed Arkoun: Kejayaan Islam Melalui Pluralisme Pemikiran”. Dalam http://media.isnet.org/islam/Etc/Arkoun1.html. diakses tanggal 20 Juni 2010.
                [26]  Lihat Jalaluddin Rakhmat. Dahulukan Akhlak di atas Fiqih, (Bandung:  Mizan, 2007), hlm. 147.
                [27] al-Bukha>ri>, S{ah}ih} al-Bukha>ri>, CD. al-Maktabah al-Sya>milah. Ridwana Media. Ba>b Man Ka>na Yu’min bi Alla>h, no. 5672, jilid. 5, hlm. 2240. Adapula yang berbunyi “falyukrim d}aifahu”. Hadis yang semakna bisa juga dilihat dalam Ima>m Muslim. S{ah}ih} Muslim. CD. al-Maktabah al-Sya>milah. Ridwana Media. Ba>b al-H{as\s\ ‘ala> Ikra>m al-Ja>r, no. 47, jilid1, hlm. 68. . Lihat juga dalam Abu> Da>wud. Sunan Abi> Da>wud. CD. al-Maktabah al-Sya>milah. Ridwana Media. Ba>b fi> H{aqq, no. 5154, jilid, 2, hlm. 760. al-Tirmi>z\i>. Sunan al-Tirmi>zi>. CD. al-Maktabah al-Sya>milah. Ridwana Media. Ba>b Ikra>m al-D{aif, no. 2688, jilid. 9, hlm. 403.
                [28] al-Bukha>ri>, S{ah}ih} al-Bukha>ri>…, no. 13, jilid 1, hlm. 14. hadis yang sama juga dapat dilihat dalam al-Nasa>’i.Sunan al-Nasa>’i. no. 5031. jilid 8, hlm. 489. CD. al-Maktabah al-Sya>milah. Ridwana Media. Selain itu, lafal yang sama juga bisa dilihat dalam al-Tirmiz\i>. Sunan al-Tirmi>z\i>, no. 2795, jilid 9, hlm. 429.
[29] Konotasi penyebutan “agama” dapat berarti macam-macam. Sering kali agama dianggap sekedar kelembagaan, ritus-sritus agama, dogma agama, tradisi agama dan lain-lain. Adapun M. Amin Abdullah memaknainya sebagai nilai-nilai spiritualitas, intelektualitas, moralitas, dan etika yang dibangun oleh agama-agama dunia, khususnya Islam. Dalam M. Amin Abdullah, Islamic Studies di Perguruan Tinggi: Pendekatan Integratif-Interkonektif  (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), hlm. 92. Tidak jauh berbeda dengan apa yang dikemukakan oleh Komarudin Hidayat, agama adalah sebuah kata kerja yang mencerminkan sikap keberagamaan atau kesalehan hidup berdasarkan nilai-nilai ketuhanan sehingga agama tersebut adalah sebuah sistem yang sempurna yang telah diwahyukan dan kemudian dijadikan sebagai wujud ketaatan dan kepasrahan terhadap Tuhan untuk memperbaiki hubungan  kegiatan intelektual yang membangun  pemahaman filosofis, kesadaran lingkungan, dan yang terpenting, merupakan seorang yang realis. Lihat dalam Quraisy Shihab dkk. Atas Nama Agama: Wacana Agama Dalam Dialog “Bebas” Konflik (Bandung: Pustaka Hidayah, 1998), hlm. 45.
                [30] QS. al-Anbiya: 21-107. Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi seluruh alam”.
                [31] Ajaran ini sesuai dengan QS. al-Kafirun: 109:6. Untukmu agamamu dan untukku agamaku”
                [32] al-Ra>gib al-As}faha>ni>. Mu’jam Mufrada>t..., hlm. 268.
                [33] al-Ra>gib al-As}faha>ni>. Mu’jam Mufrada>t..., hlm. 280.
                [34] Istilah “Benalu” penulis pinjam dari istilah yang dipakai oleh Moh. Shofan, seorang pemikir Muda Muhammadiyah. Lihat dalam Moh. Shofan. Menegakkan Pluralisme: Fundamentalisme-Konservatif di Tubuh Muhammadiyah. (Jogjakarta: Ar-Ruzz. 2008), hlm. 100.
                [35] Menurut Hazrat Inayat Khan, banyak orang yang mengaku sebagai Muslim, Nasrani, Yahudi serta meyakininya sebagai agama paling benar, namun lupa untuk menghidupkannya. Menurutnya setiap orang harus memahami bahwa agama punya tubuh dan jiwa. Oleh sebab itu, apapun agamanya, penganutnya harus mampu menyentuh seluruh agamanya baik tubuh dan jiwanya. Dengan demikian, tidak ada alasan bagi antar pemeluk agama untuk saling menyalahkan, karena semuanya tidak bisa dinilai dari luar individu. Sesungguhnya sikap manusia terhadap Tuhan dan kebenaran sajalah yang bisa membawanya lebih dekat pada Tuhan yang menjadi ideal setiap manusia. Lebih lanjut bisa dilihat dalam Hazrat Inayat Khan. Kesatuan Ideal Agama-Agama. terj. Yulian Aris Fauzi. (Yogyakarta: Putra Langit. 2003), hlm. 10-11.     
                [36] Hilman Latief. Nasr Hamid Abu Zaid: Kritik Teks Keagamaan. (Jogjakarta: eLSAQ press. 2003), hlm. 135. pendapat yang sama juga dilontarkan oleh M. Masyhur Amin. Ia mengatakan bahwa posisi agama ditengah-tengah pergumulan ideolofi-ideologi besar sangat tidak menguntungkan. Lihat M. Masyhur Amin. “Islam dan Transformasi Budaya (Tinjauan Diskriptif Historis)” dalam M. Masyhur Amin, dkk. Dialog Pemikiran Islam dan Realitas Empirik. (Yogyakarta: LKPSM NU DIY. 1993), hlm. 3.
                [37] Seyyed Hossein Nasr. Islam: Agama, Sejarah, dan Peradaban. Terj. Koes Adiwidjajanto. (Surabaya: Risalah Gusti. 2003), 6. Seyyed Hossein Nasr adalah seorang tokoh Muslim Syi'ah moderat, seorang tokoh yang paling bertanggung jawab dalam mempopulerkan gagasan pluralisme agama di kalangan Islam tradisional. Lihat dalam artikel yang ditulis oleh Anis Malik Toha, Phd. (Dosen Ilmu Perbandingan Agama pada International Islamic University, Malaysia). “Melacak Pluralisme Agama”, dalam http://hidayatullah.com/opini/opini/1322-melacak-pluralisme-agama. Diakses tanggal 20 Juni 2010.
                [38] Dalam Laporan The Conditon of religious and Faith Freedom in Indonesia, Institut Setara untuk Demokrasi dan perdamaian mencatat ada 265 kasus kekerasan yang mengatas namakan agama pada periode Januari-Desember 2008. Artikel ini ditulis oleh Maria Hartiningsih “Pluralisme: Tuntunan etik yang Merangkul” dalam Kompas, Sabtu 08 Mei 2010, hlm. 35.  
                [39]  Moh. Shofan. Menegakkan Pluralisme: Fundamentalisme…, hlm. 103.