Translate

Selasa, 02 September 2014

Jihad Vs Teror



Jihad Vs Teror
Oleh: Arif Nuh Safri, S.Th.I, M.Hum

Melihat fenomena munculnya Islamic State of Iraq and Syiria (ISIS) yang semakin banyak dibahas dalam berbagai media massa, penting rasanya untuk kembali merevitalisasi pemahaman dan pemaknaan konsep jihad seperti yang difahamkan oleh berbagai gerakan keagamaan keras seperti ini, sehingga mampu menjadi tameng atau perisai pelindung bagi masyarakat luas. Secara khusus di Negara Indonesia yang multi dimensi, caranya adalah kembali menekankan asas Pancasila sebagai falsafah dan pandangan hidup sekaligus dasar Negara, serta Bhinneka Tunggal Ika sebagai ikatan sosial yang pada hakikatnya sudah mengakar dalam diri setiap anak bangsa.
Gerakan keagamaan keras dan radikal, dimanapun seringkali membawa agama untuk menggalang dukungan masif dari berbagai golongan masyarakat. Hal ini, karena memang perbincangan masalah agama, selalu menarik karena sensitif dan seksi. Sensitif karena agama merupakan keyakinan atau kepercayaan yang tumbuh dan mengakar dalam diri setiap individu, sehingga posisinya sangat sakral dan suci. Sementara itu, agama sesalu seksi disebabkan dihinggapi atau dikelilingi oleh unsur eksternal dari agama dan penganutnya sendiri. Baik dari unsur budaya, adat istiadat, tradisi, dan bahkan politik, serta berbagai unsur eksternal lainnya.
Masalah akan lebih rumit ketika berbagai unsur eksternal tersebut saling tarik-menarik atas nama agama sesuai dengan kepentingan dan tujuan masing-masing sekaligus mengesampingkan atau bahkan menafikan unsur atau pihak lain. Hal inilah yang terjadi pada gerakan ISIS. Kepentingan sekelompok orang radikal yang notabene adalah golongan radikal di Iraq dan Syiria kemudian mengatas namakan “jihad agama” untuk mencari dukungan, simpati, atau bahkan empati dari dunia global. Termasuk Indonesia yang memiliki jumlah masyarakat muslim terbesar di dunia.
Dengan fenomena ini, penulis akan memaparkan perbedaan fundamental antara jihad yang ditawarkan oleh golongan agama aliran keras (ISIS) dengan teror yang sangat mengancam dan merusak tatanan kehidupan global. Membenturkan antara jihad dan teror secara kasat mata memang sangat mudah untuk dibedakan, atau bahkan disimpulkan. Namun demikian, seringkali dalam ranah praksis, keduanya seolah tiada batas pemisah, sehingga praktek jihad bisa menjadi teror yang menakutkan, atau sebaliknya teror pun bisa dilakukan atas nama jihad di jalan agama.
            Dalam al-Qur’an, sesuai dengan kitab Mu’jam Mufahras li Alfazh al-Qur’an term jihad dengan berbagai derivasinya, terulang sebanyak 41 kali. Term ini seringkali dimaknai sebagai anjuran perang, dan tak jarang disebut dengan ‘holy war’ atau perang suci. Bahkan sering dijadikan oleh banyak ulama garis keras sebagai syarat kesempurnaan keimanan.
            Jika dirujuk serta difahami secara mendalam, term jihad ini sebenarnya banyak digunakan dalam al-Qur’an untuk menjelaskan berbagai bentuk kesediaan diri dan semangat diri berupa kemampuan dan kekuatan serta kesungguhan untuk menanggung segala kesulitan. Sehingga, mayoritas term ini digunakan dalam hal yang bersifat etis/akhlaqi dan lebih berorientasi pada spirit kerja keras, tekun bekerja, konsisten dalam beribadah dan mempertahankan kebenaran. Oleh karena itu pula, jihad sesungguhnya hanya akan tercapai jika dikaitkan dengan ‘sebab moral’, bukan dikaitkan dengan perang yang bersifak fisik, apalagi dilakukan secara masif dan membabi buta. Maka, pemaknaan jihad yang bersifat teror, dan ancaman, apalagi permusuhan dan dekonstruksi secara masif tidaklah pantas untuk disematkan.
Oleh karena ini, segala bentuk kepentingan yang bersifat negatif, mulai dari cara-cara berbau kekerasan, pembunuhan tanpa dalih yang syah, penghancuran terhadap gedung-gedung, pengrusakan pada alam sekitar, lebih layak disebut dengan praktek teror yang menebar ketakutan, dan kehancuran peradaban. Sehingga tidak pantas disebut sebagai jihad fi sabilillah (berjuang di jalan Allah). Perlu ditekankan bahwa seorang muslim yang terbaik adalah muslim yang paling bermanfaat bagi semesta alam, yaitu muslim yang rahmatan lil ‘alamin (rahmat dan kasih sayang bagi alam semesta).
Semoga masyarakat Indonesia tidak terprovokasi dengan isu dan fenomena munculnya ISIS secara khusus, dan berbagai ormas bergaris keras secara umum, sekarang, nanti dan selamanya. Karena Indonesia adalah Negara hebat dan kuat dengan Pancasilanya yang luar biasa dan telah terbukti mampu menaungi segala perbedaan yang ada di bumi Nusantara ini. Amin.