Translate

Kamis, 24 Agustus 2023

Merajut Ketaatan dalam Keragaman

 

Salah satu bentuk ketaatan seorang hamba pada Tuhan adalah punya komitmen kuat dalam meyakini dan menjalani hukum alam atau sunnatullah. Di antaranya, menyadari fitrah dan kodrat-Nya tentang keragaman, baik keragaman jenis kelamin, suku, adat, tradisi, bahasa, budaya, dan bahkan agama. Betapa banyak ayat al-Qur’an yang menunjukkan tentang keragaman sebagai wujud ketetapan Tuhan, serta sebagai bentuk ujian pada hamba-Nya. Di antaranya sebagaimana termaktub dalam QS. al-Ma’idah: 48.

… Untuk setiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Kalau Allah swt. menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah swt. hendak menguji kamu terhadap karunia yang telah diberikan-Nya kepadamu, maka terdepanlah dalam kebajikan…

 

Berdasar ayat tersebut, keragaman adalah fitrah yang tak dapat ditolak, apalagi dinafikan. Ayat tersebut bahkan menjadi argumentasi normatif yang kuat, sekaligus penuntut dan penuntun setiap individu atau kelompok untuk selalu terdepan dalam meraih dan berbagi kebaikan. Oleh sebab itu, persaingan dengan cara mengabaikan dan menginjak hak-hak orang lain tidak memiliki landasan normatif-teologis sama sekali. Bahkan, ia menjadi indikasi kezaliman pada kemanusiaan, sekaligus kedurhakaan pada ketetapan Tuhan.

Dalam pada itu, hakikat keragaman bukan untuk menciptakan persaingan semata, bukan pula untuk saling mejelekkan dan menjatuhkan. Terlebih juga bukan untuk saling menyemai konflik dan permusuhan. Akan tetapi, tujuannya adalah untuk saling mengenal, memahami dan melengkapi dalam jalinan keharmonisan. Langkah paling strategis dalam memahami orang lain adalah komunikasi aktif dua arah atau lebih. Dialektika semacam inilah yang akan mampu menumbuhkan peradaban kemanusiaan yang kompetitif dan berkemajuan. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam QS. al-Hujrat: 13.

Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal…

Teks normatif ini secara tegas dan jelas mendeklarasikan eksistensi keragaman makhluk Tuhan, khususnya manusia. Yang paling menarik, salah satu tujuan keragaman tersebut adalah ‘lita’arafu’ (saling memahami). Perintah ini mewajibkan peran aktif dua belah pihak atau lebih untuk saling memahami. Prinsip nilai yang diajarkan adalah, saling melebur antara ego dan individu dalam kata “kita”.

Dalam sejarah Islam, salah satu bentuk rajutan indah dalam keragaman tersebut adalah konsensus yang disepakati oleh lintas sekat. Semua melebur dalam satu kesepakatan kuat, yaitu Piagam Madinah. Beragam suku, ras, bahkan agama memiliki hak dan kewajiban yang sama untuk tunduk dan patuh pada konsensus tersebut. Sekat perbedaan melebur dalam hak dan kewajiban yang sama sebagai satu bangsa atau negara, yaitu Madinah.

Dalam konteks Indonesia, konsensus semacam ini pun dijadikan sebagai pijakan untuk menjaga dan memelihara realitas keragaman yang ada. Kongres Pemuda 1928 yang tertuang dalam Soempah Pemuda adalah akumulasi kesadaran anak bangsa di kala itu. Kesatuan dan persatuan yang tertuang dalam teks Soempah Pemuda dengan istilah kata “Kami, dan satu” menjadi ikatan kuat dan solid di kalangan anak bangsa yang terdiri dari berbagai etnik, budaya, bahasa, hingga agama.

Konsensus berikutnya adalah Pancasila sebagai dasar negara. Secara historis, konsensus ini diputuskan dan disepakati bersama oleh para founding fathers negeri ini. Baik kaum nasionalis, dan religious (ulama) bersama-sama merumuskannya dengan semangat, motivasi, dan tujuan yang sama, yaitu agar keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) tetap utuh dan terjaga.

Sebagai anak bangsa, belajar dari konsensus Piagam Madinah dan Pancasila adalah keniscayaan. Keragaman dan keindahan tergambar secara gamblang di dalamnya, sekaligus terbangun kuat ikatan dan komitmen dalam membangun tujuan bersama. Kepentingan individu, kelompok, bahkan kepentingan “agama” berada di bawah posisi kepentingan bersama demi mencapai keutuhan bangsa dan kesepakatan dalam bentuk kata umat.

Dalam konteks NKRI, sebagai anak negeri yang hidup dan besar di atas Tanah Air Indonesia, Pancasila harus dijadikan sebagai ikatan bersama dalam membangun bangsa. Ia menjadi Dasar Negara sekaligus sebagai falsafah bangsa, atau kalimatun sawa dalam konteks berbangsa dan bernegara. Kesetiaan padanya adalah standart mutlak dalam menjalankan kehidupan di dalam NKRI.

Pada akhirnya, sebagai bangsa beragama dan bertuhan, setiap individu harus sadar bahwa mengingkari dan merusak konsensus adalah pengkhianatan ril dan nyata. Oleh sebab itu, setiap anak bangsa wajib punya tanggung jawab moral untuk merajut keragaman ini. Jika keragaman ini dipandang sebagai sebuah karunia Tuhan Sang Pencipta, Indonesia yang multidimensi, baik agama, suku, ras, budaya serta adat dan istiadat menjadi warna indah yang tak ternilai harganya. Pada waktu yang sama, ia menjadi tantangan tersendiri untuk mengelola dan menatanya, agar mampu menjadi bangsa besar, kuat, bermoral dan bermartabat.

Untuk mengakhiri ulasan singkat ini, penulis tertarik untuk memahami dan menghayati ungkapan ulama modern, Muhammad al-Ghazali: “Mencintai Tanah Air adalah insting yang tak bisa diingkari. Membelanya adalah kewajiban yang tak bisa ditawar.”

Oleh sebab itu, mencintai tanah air hakikatnya tidak butuh dalil sama sekali, ia hanya membutuhkan akal sehat dan hati yang jernih. Hanya otak kerdil pulalah yang butuh dalil untuk mencintai tanah air tempat ia dilahirkan dan tumbuh kembang. Tempat dia menghirup udara segar, meminum air sepuasnya, dan mencari penghidupan.

Rabu, 22 Oktober 2014

Jangan Pernah Tidur kalau Takut Bermimpi. Karena hanya Orang Hiduplah yang akan Mengalami Mimpi.

Ungkapan ini memang sederhana, dan seolah tak bermakna. Namun, tak dapat pula dipungkiri kalau ternyata bukti hidup adalah mimpi. Mimpi terkadang indah bak bayang surgawi yang tak pernah terbayang. Di sisi lain, mimpi pun terkadang bagai bau bangkai yang menyengat hidung hingga tak mampu lagi mencium indah kehidupan. Atau bahkan bagai sengatan neraka yang katanya setetes percikan apinya bisa memusnahkan bumi dan langit beserta isinya.
Aku tak akan membahas masalah itu berpanjang lebar. Bagiku mimpi adalah kemutlakan, ibarat matahari yang saat ini mutlak terbit dari Timur dan akhirnya terbenam di Barat. Kalau mimpi menjadi sebuah kemutlakan, maka aku tak perlu takut dan khawatir akan mimpi. Seburuk apa pun, dan seindah apa pun itu.
Aku tak perlu takut jika mimpi ini akhirnya tak berlabuh indah di peraduannya, setidaknya aku sudah mencoba, dan membuktikan bahwa aku hidup dan menghidupi. Dan aku pun tak perlu was-was walau seandainya tak seorang pun mampu mendorong dan membawaku ke singgasana mimpi. Karena mimpi pun datang terkadang tanpa rencana dan kuasa.
Aku tak perlu sombong dengan mimpiku yang indah, karena mimpi pun tak jarang membawaku ke dalam jurang kehancuran yang tak bertepi.
Kalau mimpi hanya ada dalam hidup, maka aku harus dan akan terus hidup untuk mimpi. Aku akan terus mengejar mimpi menembus ruang dan waktu. Tak peduli orang bilang apa, karena telingaku terlalu indah untuk mendengar cemoohan. Aku pun tak akan pernah peduli dengan ejekan, karena bibirku terlalu manis untuk meladeni omongan tak bernilai. Dan aku akan tetap terus hidup melelusuri hidup dengan mimpi.

Selasa, 02 September 2014

Jihad Vs Teror



Jihad Vs Teror
Oleh: Arif Nuh Safri, S.Th.I, M.Hum

Melihat fenomena munculnya Islamic State of Iraq and Syiria (ISIS) yang semakin banyak dibahas dalam berbagai media massa, penting rasanya untuk kembali merevitalisasi pemahaman dan pemaknaan konsep jihad seperti yang difahamkan oleh berbagai gerakan keagamaan keras seperti ini, sehingga mampu menjadi tameng atau perisai pelindung bagi masyarakat luas. Secara khusus di Negara Indonesia yang multi dimensi, caranya adalah kembali menekankan asas Pancasila sebagai falsafah dan pandangan hidup sekaligus dasar Negara, serta Bhinneka Tunggal Ika sebagai ikatan sosial yang pada hakikatnya sudah mengakar dalam diri setiap anak bangsa.
Gerakan keagamaan keras dan radikal, dimanapun seringkali membawa agama untuk menggalang dukungan masif dari berbagai golongan masyarakat. Hal ini, karena memang perbincangan masalah agama, selalu menarik karena sensitif dan seksi. Sensitif karena agama merupakan keyakinan atau kepercayaan yang tumbuh dan mengakar dalam diri setiap individu, sehingga posisinya sangat sakral dan suci. Sementara itu, agama sesalu seksi disebabkan dihinggapi atau dikelilingi oleh unsur eksternal dari agama dan penganutnya sendiri. Baik dari unsur budaya, adat istiadat, tradisi, dan bahkan politik, serta berbagai unsur eksternal lainnya.
Masalah akan lebih rumit ketika berbagai unsur eksternal tersebut saling tarik-menarik atas nama agama sesuai dengan kepentingan dan tujuan masing-masing sekaligus mengesampingkan atau bahkan menafikan unsur atau pihak lain. Hal inilah yang terjadi pada gerakan ISIS. Kepentingan sekelompok orang radikal yang notabene adalah golongan radikal di Iraq dan Syiria kemudian mengatas namakan “jihad agama” untuk mencari dukungan, simpati, atau bahkan empati dari dunia global. Termasuk Indonesia yang memiliki jumlah masyarakat muslim terbesar di dunia.
Dengan fenomena ini, penulis akan memaparkan perbedaan fundamental antara jihad yang ditawarkan oleh golongan agama aliran keras (ISIS) dengan teror yang sangat mengancam dan merusak tatanan kehidupan global. Membenturkan antara jihad dan teror secara kasat mata memang sangat mudah untuk dibedakan, atau bahkan disimpulkan. Namun demikian, seringkali dalam ranah praksis, keduanya seolah tiada batas pemisah, sehingga praktek jihad bisa menjadi teror yang menakutkan, atau sebaliknya teror pun bisa dilakukan atas nama jihad di jalan agama.
            Dalam al-Qur’an, sesuai dengan kitab Mu’jam Mufahras li Alfazh al-Qur’an term jihad dengan berbagai derivasinya, terulang sebanyak 41 kali. Term ini seringkali dimaknai sebagai anjuran perang, dan tak jarang disebut dengan ‘holy war’ atau perang suci. Bahkan sering dijadikan oleh banyak ulama garis keras sebagai syarat kesempurnaan keimanan.
            Jika dirujuk serta difahami secara mendalam, term jihad ini sebenarnya banyak digunakan dalam al-Qur’an untuk menjelaskan berbagai bentuk kesediaan diri dan semangat diri berupa kemampuan dan kekuatan serta kesungguhan untuk menanggung segala kesulitan. Sehingga, mayoritas term ini digunakan dalam hal yang bersifat etis/akhlaqi dan lebih berorientasi pada spirit kerja keras, tekun bekerja, konsisten dalam beribadah dan mempertahankan kebenaran. Oleh karena itu pula, jihad sesungguhnya hanya akan tercapai jika dikaitkan dengan ‘sebab moral’, bukan dikaitkan dengan perang yang bersifak fisik, apalagi dilakukan secara masif dan membabi buta. Maka, pemaknaan jihad yang bersifat teror, dan ancaman, apalagi permusuhan dan dekonstruksi secara masif tidaklah pantas untuk disematkan.
Oleh karena ini, segala bentuk kepentingan yang bersifat negatif, mulai dari cara-cara berbau kekerasan, pembunuhan tanpa dalih yang syah, penghancuran terhadap gedung-gedung, pengrusakan pada alam sekitar, lebih layak disebut dengan praktek teror yang menebar ketakutan, dan kehancuran peradaban. Sehingga tidak pantas disebut sebagai jihad fi sabilillah (berjuang di jalan Allah). Perlu ditekankan bahwa seorang muslim yang terbaik adalah muslim yang paling bermanfaat bagi semesta alam, yaitu muslim yang rahmatan lil ‘alamin (rahmat dan kasih sayang bagi alam semesta).
Semoga masyarakat Indonesia tidak terprovokasi dengan isu dan fenomena munculnya ISIS secara khusus, dan berbagai ormas bergaris keras secara umum, sekarang, nanti dan selamanya. Karena Indonesia adalah Negara hebat dan kuat dengan Pancasilanya yang luar biasa dan telah terbukti mampu menaungi segala perbedaan yang ada di bumi Nusantara ini. Amin.

Jumat, 27 Juni 2014

Membumikan Nilai Spiritualitas Puasa Ramadhan



Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu, agar kamu bertakwa.

            Demikianlah Allah menyerukan syari’at puasa bagi umat muslim dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 183. Barangkali ayat ini sudah sangat akrab, dan bahkan sudah banyak yang mampu menghafalkannya. Namun, di balik keakraban masyarakat terhadap ayat tersebut, ternyata tidak berbanding lurus dengan pemahaman, penghayatan dan apalagi pengamalan terhadap anjuran dan cita-cita moralnya. Sehingga puasa Ramadhan seringkali hanya menjadi ritual tahunan yang tak jarang menjadi absurd dan tanpa nilai. Bahkan momen ini menjadi masa yang strategis bagi kelompok tertentu untuk membuktikan kekuatan eksistensi mereka terhadap kelompok lain yang berbeda. Sehingga seringkali aksi sweeping berbalut agama dan kekerasan terjadi di bulan Ramadhan.
            Dalam QS. Al-Baqarah ayat 183 di atas, ada term yang menjadi cita-cita moral yang dianjurkan oleh Allah untuk dicapai oleh siapapun yang melaksanakan puasa, yaitu takwa. Kata takwa bukanlah sekedar ungkapan simbolik semata yang hanya bersifat spiritual vertikal, yaitu hanya mengatur hubungan manusia dengan Tuhan. Namun, takwa juga menjadi nilai moral spiritual yang berkaitan dengan hubungan manusia dengan manusia, dan alam semesta. Sehingga, cita-cita tertinggi dari pelaksanaan puasa Ramadhan adalah menciptakan individu atau pribadi etis, akhlaki, dan bermoral yang mampu menjaga keseimbangan hubungan vertikal dan horizontal atau dikenal dengan istilah hablun minallah dan hablun minannas.
            Secara bahasa, al-Asfahani dalam bukunya Mu’jam Mufradat li Alfaz al-Qur’an mengatakan bahwa takwa berasal dari kata waqa-yaqi-wiqayatan yang dimaknai dengan menjaga dan melestarikan sesuatu dari segala yang merusak dan membahayakan. Atau dimaknai pula dengan menjaga dan menciptakan jiwa merasa nyaman, aman dari segala sesuatu yang ditakuti. Dengan demikian, nilai takwa tidak hanya mampu memberikan kenyamanan dan keamanan bagi diri pribadi, namun sekaligus mampu menjamin kenyamanan dan keamanan bagi semua yang ada di luar diri pribadi.
            Dalam pada itu, karena perintah puasa datang dari Allah Sang Maha Pencipta, maka ajaran ini juga sangat sarat dengan nilai-nilai spiritual yang bersifat vertikal. Akan tetapi, karena segala ajaran yang diturunkan oleh Allah pada makhluk-Nya tidak akan pernah lepas dari nilai dan maslahat. Maka, manusia harus memiliki kesadaran atas tanggung jawab moral, bahwa puasa pun harus menjadikan manusia melangit dalam hal spiritual, sekaligus membumi dalam hubungan horizontal.
            Dalam al-Qur’an, kata takwa dan derivasinya terulang sebanyak 58 kali. Hal ini menjadi isyarat betapa pentingnya pemahaman, penghayatan, serta pengamalan terhadap nilai takwa. Sehingga, pelaksanaan puasa Ramadhan tahun ini menjadi momentum bersejarah bagi setiap individu yang menjalankannya. Dengan harapan, tercipta manusia yang patuh pada Allah, sekaligus mampu melindungi diri dan alam sekitar dari kehancuran, dan kerusakan. Dalam bahasa agama, nilai takwa harus mampu menciptakan manusia yang terpelihara dari keguncangan moral, takut karena bertanggung jawab, dan dengan takwa pada Allah, setiap orang yang melaksanakan puasa mampu menyerahkan dirinya pada Tuhan agar terpelihara dari segala kegoncangan dan krisis kejiwaan.
            Nilai takwa semacam ini, sebenarnya sekaligus menafikan unsur kekerasan dalam agama. Semangat keagamaan yang mendalam, selayaknya berbanding lurus dengan semangat kemanusiaan yang membumi pula. Sehingga, dengan pola keberagamaan semacam ini, akan sangat relevan dengan nasehat Nabi Muhammad SAW dalam hadisnya, yaitu:
            “Bukanlah puasa hanya menahan diri dari makan dan minum, akan tetapi menahan diri dari ucapan sia-sia, dan perbuatan kotor”
          
            Dalam puasa inilah jiwa manusia dididik, dan dilatih untuk jujur, mengontrol emosi dari amarah, iri, dengki, hasad dan berbagai penyakit hati lainnya. Sementara dalam hubungan sosial, manusia diajak untuk bersimpati dan empati kepada orang lain dengan memberi kehangatan, kenyamanan dan kepedulian.
            Dengan pemaknaan semacam ini, semoga puasa kali ini, mampu menciptakan diri kita sebagai pribadi yang melangit dalam spiritual, yaitu  meningkatkan kualitas hubungan pribadi dengan Allah, sekaligus menciptakan pribadi yang membumi secara horizontal, yaitu pribadi yang manusiawi, bermoral, dan berakhlak mulia. Amin…

Selasa, 24 Juni 2014

Atas Nama Keadilan Siapapun Berhak jadi Presiden



Perbincangan masalah agama, selalu menarik karena sensitif dan seksi. Sensitif karena agama merupakan keyakinan atau kepercayaan yang tumbuh dan mengakar dalam diri setiap individu, sehingga posisinya sangat sakral dan suci. Sementara itu, agama sesalu seksi disebabkan dihinggapi atau dikelilingi oleh unsur eksternal dari agama dan penganutnya sendiri. Baik dari unsur budaya, adat istiadat, tradisi, dan bahkan politik. Serta berbagai unsur eksternal lainnya. Masalah akan lebih rumit ketika berbagai unsur eksternal tersebut saling tarik-menarik atas nama agama sesuai dengan kepentingan dan tujuan masing-masing sekaligus mengesampingkan atau bahkan menafikan unsur atau pihak lain.
             Mengingat begitu sensitif dan seksinya isu agama, ternyata berimbas besar pada bulan politik saat ini. Waktu kampanye yang hanya 1 bulan, yaitu dari tanggal 04 Juni hingga 05 Juli  2014, isu agama banyak didengungkan ke ranah publik, terlebih-lebih di media massa, baik cetak, atau elektronik, dan bahkan di media online sosial media. Mulai dari penggunaan istilah “Perang Badar” yang seolah-olah menanamkan pemahaman “permusuhan dan pertempuran sengit” antara kebenaran dengan kebatilan, hingga isu agama yang dianut oleh capres-cawapres, bahkan agama yang dianut oleh garis keturunan sebelum dan sesudahnya.
            Terlepas dari istilah black campaign atau negative campaign, permasalahan agama sebenarnya tidak layak dijadikan sebagai alat politik pragmatis, karena akan menghilangkan nilai kesucian dan kesakralan agama tersebut. Di sisi lain, isu agama tidak harus diumbar karena secara historis negara Indonesia bukanlah negara yang dimiliki dan diperjuangkan oleh salah satu agama tertentu. Sejarah Indoensia telah membuktikan, bahwa Indonesia diperjuangan oleh para pahlawan dari berbagai macam suku, ras, golongan, dan agama. Sementara secara normatif/undang-undang atau konstitusi, Indonesia pun di dasarkan pada Pancasila, bukan pada asas salah satu agama tertentu. Oleh sebab itu, apa pun agama capres-cawapres, hak konstitusi mereka dilindungi oleh undang-undang yang berdasarkan Pancasila serta dilindungi oleh UUD 1945 untuk menjadi pemimpin bangsa ini. Dengan demikian, atas nama keadilan siapa pun boleh jadi pemimpin di negri ini.
            Perlu diketahui dan difahami bersama bahwa politik pemilihan capres dan cawapres bukanlah perang atau permusuhan melawan kebatilan dan ketidak benaran. Namun, pemilihan capres-cawapres merupakan kontestasi politik yang akan melahirkan putra-putra terbaik bangsa nantinya. Dalam bahasa agama sering dikenal dengan istilah “fastabiqul khairat” (berlomba-lombalah dalam kebaikan dan kebenaran). Oleh sebab itu, tidak perlu membawa dan memasukkan isu agama dalam politik praktis sebagai media untuk menyerang dan menjatuhkan pihak lain. Karena hakikat agama adalah sakral dan suci yang memiliki nilai perdamaian dan kasih. Biarkanlah agama hidup dan tumbuh dalam diri masing-masing penganutnya untuk membangun nilai spiritual, serta menjadi sumber semangat, dan inspirasi.
            Dalam konteks negara Indonesia yang mayoritas muslim, tidak perlu ada kekhawatiran berlebihan terhadap siapa pun calon pemimpin Indonesia. Undang-undang negara sudah sangat matang untuk melindungi hak-hak seluruh rakyat Indonesia. Di sisi lain, salah satu ulama besar terkemuka, Syaikh Ibn Taymiyah serta diperkuat oleh tokoh cendekiawan muslim Indonesia, Alwi Shihab berkata, bahwa pemimpin non muslim yang adil, lebih baik daripada pemimpin muslim yang zhalim. Ini artinya bahwa untuk masalah kepemimpinan atau dalam hal ini presiden, siapa pun berhak dan boleh tanpa pandang ras, suku, warna kulit, dan agama serta antar golongan lainnya. Dengan syarat mutlak, yaitu “keadilan.
            Akhirnya, dengan sikap inklusifisme beragama, semoga pemilihan capres-cawapres tahun 2014-2019 ini bisa lebih indah, damai dan harmonis serta kondusif. Agar pembangunan bangsa ini bisa lebih maju dan beradab ke depannya. Jika prosesi pemilihan capres-cawapres sudah diselimuti oleh black campaign/negative campaign yang sangat panas dan tidak fair yang menghalalkan segala cara, maka dikhawatirkan pada akhirnya akan lebih banyak lagi permasalahan muncul di masa depan.

Rabu, 28 Mei 2014

Tuhan Agama-Mu Apa?


Di kesunyian kumerenung
Di keramaian kumerasa sendiri
Tat kala kebenaran sudah menjadi milik sendiri
Para pejuang terlontang-lanting tanpa arah

Tuhan,
Dalam ayat-ayat-Mu Engkau hadir tak terbayang
Tapi keberadaan-Mu diperebutkan tanpa moral
Kebenaran-Mu direbut tanpa dalih

Tuhan,
Di kala kehausan, kelaparan, keberingasan, dan keserakahan datang bersama tanpa arah,
Di sana pula ayat-ayat-Mu terkapar tanpa makna dan arti

Tuhan,
Dalam kumerenung
Setiap orang mengaku beragama
Setiap orang bangga akan kebesaran-Mu
Namun,
Dalam pengakuan atas agama-Mu, kedamaian tak lagi dapat kuraih
Dalam setiap kebanggaan atas nama kebesaran-Mu
Keagungan-Mu tak lagi dapat kutemui.

Tuhan,
Bukan kuragu akan keyakinanku,
Namun ku tak mampu jua merenggut keyakinan lain.

Tuhan,
Bukan kuragu akan kebesaran-Mu
Namun, kuragu akan kebesaran hati para pembela-Mu.

Tuhan,
Keadilan-Mu, Cinta dan kasih-Mu
Menembus batas waktu dan ruang.
Namun,
Bolehkah aku bertanya,
Tuhan, agama-Mu apa?