UN: Tantangan
Besar atas Makna Filosofis Pendidikan
Oleh: Arif Nuh Safri, S. Th. I, M. Hum.*
Pada
tanggal 16 April mendatang, UN akan dilaksankan untuk siswa SMA sederajat di
negara ini. Namun demikian, kedatangan UN tetap menjadi momok tersendiri bagi
setiap pelaku pendidikan di Indonesia. Hal ini terbukti dengan adanya berbagai
macam kegiatan tambahan bagi siswa di sekolah, seperti penambahan materi, try
out, maupun pemadatan materi dan atau bahkan bimbingan belajar di berbagai
lembaga pendidikan berani memberikan dan menawarkan berbagai layanan khusus
dengan jaminan kelulusan UN atau setidaknya kembali duit.
Terlepas
dari masih adanya kontroversial tentang pelaksanaan UN di negara kita, ternyata
UN telah berlangsung lama di negara ini dan selama itu pula menyimpan berbagai
masalah yang tak kalah pelik. Permasalahan ini setidaknya muncul dari tiga sudut,
yaitu tenaga pendidik, peserta didik, dan tidak kalah pentingnya adalah realita
yang menerpa pendidikan itu sendiri.
Dalam
tulisan ini, penulis tidak akan menjelaskan tiga permasalahan di atas secara
panjang lebar. Oleh sebab itu, tulisan ini sengaja diharapkan untuk menyoroti
realita pendidikan itu sendiri yang kemudian dikaitkan dengan tantangan UN
terhadap makna filosofis pendidikan itu sendiri. Di sisi lain penulis tidak
ingin menyatakan bahwa kompetensi pendidik dan peserta didik di negara kita
masih kurang atau tidak mumpuni.
Realita
pendidikan yang ada di Indonesia secara ril dan nyata bahwa memang masih sangat
jauh dari layak. Jangankan sekolah-sekolah yang berada di daerah terpencil dan
masih jauh dari efek globalisasi, ternyata sekolah-sekolah yang terhitung
relatif dekat dengan pemerintahan pun masih seringkali luput dari perhatian,
sehingga tidak jarang terlihat di media masa tulis maupun media elektronik,
kabar infrastruktur sekolahan yang roboh dan tidak layak pakai lagi. Di sisi
lain, pemerataan sarana dan prasarana pendidikan juga belum bisa diwujudkan
yang notabene merupakan tanggung jawab pemerintah sebagai pengendali
pendidikan, sehingga sangat naif kalau pemerintah menyetarakan dan memaksakan
UN sebagai salah satu syarat kelulusan siswa.
Dengan
berbagai permasalahan yang muncul dari realita pendidikan yang ada, maka tidak
bisa dipungkiri akan muncul permasalahan yang lebih fundamental, yaitu “krisis
kejujuran”. Peserta didik dipaksa bagaikan robot untuk mencapai hasil
pendidikan yang sesuai dengan keinginan pemerintah sendiri agar setara dengan
negara-negara maju lainnya, sementara pada saat yang sama mereka juga tidak
pernah membuka mata, telinga dan hati pada seluruh permasalahan yang muncul.
Mulai dari peristiwa infrastruktur yang roboh, peristiwa siswa yang harus
berperan bagai film “Indiana Zone” yang berjuang melewati jembatan gantung
roboh, peristiwa siswa yang berjuang menyeberangi arus sungai deras dan harus
berjalan kaki menempuh jarak yang jauh dan berkilo meter.
Dengan
demikian, tak pelak bahwa tantangan yang sama di setiap tahun pelaksanaan UN
akan terus berlanjut sampai saat yang tidak pasti, yaitu permasalahan fundamental
makna pendidikan itu sendiri yang menyebabkan munculnya benih-benih “krisis
kejujuran”.
Pendidikan
dalam bahasa latin disebut dengan educare yang secara harfiah dimaknai
dengan “menarik keluar dari”. Sehingga pendidikan adalah sebuah aksi nyata yang
membawa seseorang keluar dari kondisi tidak merdeka (perbudakan), tidak dewasa,
ketergantungan, ketidak jujuran menuju situasi merdeka, dewasa, mandiri
(menentukan diri sendiri), dan bertanggung jawab serta jujur. Oleh sebab itu, dengan
pendidikan diharapkan manusia diciptakan bukan untuk siap kerja, namun berwatak
siap belajar terus, dan siap mengadakan transformasi sosial karena sudah
mengalami transformasi terlebih dahulu lewat pendidikan.
Oleh sebab itu, tantangan terbesar UN pada tahun ini dan
mungkin pada tahun-tahun yang akan datang adalah bagaimana UN dibangun sebagai
media untuk memperkuat makna filosofis pendidikan itu sendiri, sehingga pada UN
ini diharapkan peserta didik bisa keluar dari kebohongan, kecurangan atau
ketidak jujuran. Dengan demikian, selayaknya target bagi para pengendali
pendidikan pada saat ini adalah, tidak hanya lulus 100 % dengan patokan nilai
semata, namun juga jujur 100 %. Mudah-mudahan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar