Translate

Kamis, 17 Mei 2012

UN: Tantangan Besar atas Makna Filosofis Pendidikan


UN: Tantangan Besar atas Makna Filosofis Pendidikan

Oleh: Arif Nuh Safri, S. Th. I, M. Hum.*

            Pada tanggal 16 April mendatang, UN akan dilaksankan untuk siswa SMA sederajat di negara ini. Namun demikian, kedatangan UN tetap menjadi momok tersendiri bagi setiap pelaku pendidikan di Indonesia. Hal ini terbukti dengan adanya berbagai macam kegiatan tambahan bagi siswa di sekolah, seperti penambahan materi, try out, maupun pemadatan materi dan atau bahkan bimbingan belajar di berbagai lembaga pendidikan berani memberikan dan menawarkan berbagai layanan khusus dengan jaminan kelulusan UN atau setidaknya kembali duit.
            Terlepas dari masih adanya kontroversial tentang pelaksanaan UN di negara kita, ternyata UN telah berlangsung lama di negara ini dan selama itu pula menyimpan berbagai masalah yang tak kalah pelik. Permasalahan ini setidaknya muncul dari tiga sudut, yaitu tenaga pendidik, peserta didik, dan tidak kalah pentingnya adalah realita yang menerpa pendidikan itu sendiri.
            Dalam tulisan ini, penulis tidak akan menjelaskan tiga permasalahan di atas secara panjang lebar. Oleh sebab itu, tulisan ini sengaja diharapkan untuk menyoroti realita pendidikan itu sendiri yang kemudian dikaitkan dengan tantangan UN terhadap makna filosofis pendidikan itu sendiri. Di sisi lain penulis tidak ingin menyatakan bahwa kompetensi pendidik dan peserta didik di negara kita masih kurang atau tidak mumpuni.
            Realita pendidikan yang ada di Indonesia secara ril dan nyata bahwa memang masih sangat jauh dari layak. Jangankan sekolah-sekolah yang berada di daerah terpencil dan masih jauh dari efek globalisasi, ternyata sekolah-sekolah yang terhitung relatif dekat dengan pemerintahan pun masih seringkali luput dari perhatian, sehingga tidak jarang terlihat di media masa tulis maupun media elektronik, kabar infrastruktur sekolahan yang roboh dan tidak layak pakai lagi. Di sisi lain, pemerataan sarana dan prasarana pendidikan juga belum bisa diwujudkan yang notabene merupakan tanggung jawab pemerintah sebagai pengendali pendidikan, sehingga sangat naif kalau pemerintah menyetarakan dan memaksakan UN sebagai salah satu syarat kelulusan siswa.
            Dengan berbagai permasalahan yang muncul dari realita pendidikan yang ada, maka tidak bisa dipungkiri akan muncul permasalahan yang lebih fundamental, yaitu “krisis kejujuran”. Peserta didik dipaksa bagaikan robot untuk mencapai hasil pendidikan yang sesuai dengan keinginan pemerintah sendiri agar setara dengan negara-negara maju lainnya, sementara pada saat yang sama mereka juga tidak pernah membuka mata, telinga dan hati pada seluruh permasalahan yang muncul. Mulai dari peristiwa infrastruktur yang roboh, peristiwa siswa yang harus berperan bagai film “Indiana Zone” yang berjuang melewati jembatan gantung roboh, peristiwa siswa yang berjuang menyeberangi arus sungai deras dan harus berjalan kaki menempuh jarak yang jauh dan berkilo meter.
            Dengan demikian, tak pelak bahwa tantangan yang sama di setiap tahun pelaksanaan UN akan terus berlanjut sampai saat yang tidak pasti, yaitu permasalahan fundamental makna pendidikan itu sendiri yang menyebabkan munculnya benih-benih “krisis kejujuran”.
            Pendidikan dalam bahasa latin disebut dengan educare yang secara harfiah dimaknai dengan “menarik keluar dari”. Sehingga pendidikan adalah sebuah aksi nyata yang membawa seseorang keluar dari kondisi tidak merdeka (perbudakan), tidak dewasa, ketergantungan, ketidak jujuran menuju situasi merdeka, dewasa, mandiri (menentukan diri sendiri), dan bertanggung jawab serta jujur. Oleh sebab itu, dengan pendidikan diharapkan manusia diciptakan bukan untuk siap kerja, namun berwatak siap belajar terus, dan siap mengadakan transformasi sosial karena sudah mengalami transformasi terlebih dahulu lewat pendidikan.
            Oleh sebab itu, tantangan terbesar UN pada tahun ini dan mungkin pada tahun-tahun yang akan datang adalah bagaimana UN dibangun sebagai media untuk memperkuat makna filosofis pendidikan itu sendiri, sehingga pada UN ini diharapkan peserta didik bisa keluar dari kebohongan, kecurangan atau ketidak jujuran. Dengan demikian, selayaknya target bagi para pengendali pendidikan pada saat ini adalah, tidak hanya lulus 100 % dengan patokan nilai semata, namun juga jujur 100 %. Mudah-mudahan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar