Haji: Antara Status dan Spiritualitas
Bulan haji, Dzulhijjah merupakan segelintir momentum di mata sosial untuk membuktikan bahwa dia adalah orang yang mampu di banding orang lain. Bahkan, mampu tidaknya tersebut yang menjadi tolok ukur adalah bentuk fisik dan materi. Padahal, salah satu aspek mampu yang tidak harus diabaikan, dan seyogianya menjadi tolok ukur kesempurnaan mampu secara fisik tersebut, adalah kemampuan batin dan spiritual. Bagaimana tidak, banyak yang mampu secara fisik dan materi naik haji, namun masih saja korupsi, mampu naik haji secara fisik dan materi, namun masih saja menebar kebencian pada orang lain. Dan yang paling naif, mampu secara fisik dan materi, namun naik haji hanya tempat persinggahan, hanya karena sudah jalan-jalan ke Eropa, Australia dan belahan benua lainnya. Di samping itu, naik haji hanya untuk mengambil simpatik dari para konstituennya, yaitu ketika pemilihan nantinya, namanya sudah bertitel “Haji”.
Saya teringat, ketika saya harus bertemu dengan pegawai Kementerian Keagamaan, yang pada saat itu melakukan pengawasan ke sekolah tempat saya bekerja. Pada saat itu, saya mengajar Bahasa Arab, dan guru yang mengampu agama ketika itu, hanya saya sendiri. Saya panjang lebar berbicara dengan pengawas tersebut. Dia mengatakan, bahwa sebelum jadi pengawas, dia sudah menjadi guru hampir tiga puluh tahun. Satu hal yang bikin saya harus koprol dan bilang waw (maklum pengaruh dari bahasa gaul di TV atau iklan dan juga dari anak-anak SMA githu...) Di dalam hati saya, hal ini merupakan pengabdian yang luar biasa, dan pantas untuk diacungi jempol. Bagaimana tidak, bukankah guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa? (itu dulu, sekarang sudah tidak berlaku lagi untuk guru-guru PNS, tapi masih sangat relevan untuk guru-guru swasta seperti saya).
Di tengah-tengah obrolan, karena memang pengawas tersebut sekaligus ingin memberikan dana suntikan untuk pelaksanaan Pesantren Kilat, dan otomatis momen ini adalah momen Ramadhan, maka dia juga bercerita bahwa di bulan Dzulhijjah yang akan datang dia akan naik haji. Ketika itu, saya mengatakan, al-hamdulillah pak, semoga jadi haji yang berkah, dan mabrur. Namun tidak lama, berselah, ia melanjutkan omongannya bahwa ia telah melaksanakan ibadah haji sebanyak tiga kali. Ini artinya, akan naik haji untuk yang keempat kalinya. Mendengar ucapan itu, saya langsung bergumam di dalam hati, apa ini yang disebut dengan Ibadah Haji Penyembah Setan? Namun, saya tidak mau berlama-lama menyimpan praduga tersebut, karena bisa jadi, dia hanya bertugas, atau mendapat mandat dari tempat kerjanya sebagai pendamping. Tapi, ternyata apa yang saya duga tadi adalah benar, bahwa dia naik haji sebanyak tiga kali dan yang keempat kali adalah biaya sendiri, dan bukan karena penugasan.
Dia memang mengatakan, ternyata ketika sampai di Makkah, dan melihat Ka’bah, ada kepuasan tersendiri, yang seakan-akan menyebabkan kerinduan luar biasa untuk kembali kesana. Saya sebenarnya tidak bisa membantah, karena saya juga belum pernah merasakan nikmatnya ibadah haji. Namun demikian, bukankah ibadah haji, hanya kewajiban sekali dalam seumur hidup?
Melihat kondisi Indonesia sekarang ini, bukankah lebih baik memberikan kesempatan orang lain untuk naik haji, daripada harus memuaskan hasrat individulis? Bukankah dalam ibadah juga, sarat dengan nilai-nilai sosial? Apakah tidak lebih besar pahalanya dengan cara memberdayakan uang 30 juta dengan cara membantu orang miskin di sekitar kita untuk membangun usaha mereka? Bukankah lebih bijak menyekolahkan anak-anak jalanan, atau anak-anak kaum miskin dengan 30 juta tersebut hingga mereka sarjana? Rasul sendiri hanya dua kali melaksanakan ibadah haji, selama delapan tahun disyari’atkannya ibadah haji tersebut? Kalaulah alasan kita, hanya karena merasa rindu akan Makkah, Madinah, dan Ka’bah, apakah Rasul tidak merasakan rindu kepada Ka’bah? Kalaulah alasan untuk memupuk spiritualitas, apakah Rasul juga tidak ingin memupuk spiritualitasnya dalam waktu delapan tahun tersebut?
Buat para calon haji yang pertama, saya ucapkan selamat dan mudah-mudahan menjadi haji yang mabrur, dan saya doakan pula agar keluarga selalu sehat dan damai. Untuk para haji yang sudah berangkat, semoga juga haji yang mabrur, dan selamat hingga tujuan sampai kembali ke negara asal, Indonesia tercinta, dan jangan jadikan haji sebagai status sosial, setidaknya tanpa harus menjadikannya sebagai label nama, atau titel di awal nama. Sementara untuk para calon haji yang kedua kalinya, ketiga kalinya, keempat kalinya, kelima kalinya, keenam kalinya, ketujuh kalinya, dan kesekian kalinya, silahkan ditunda, dan berikanlah kesempatan untuk orang lain, agar waiting list mereka setidaknya maju sedikit, dan tidak terhambat oleh kerakusan kalian.
Mengambil hak jadwal keberangkatan orang adalah sebuah penganiayaan yang luar biasa, terlebih-lebih kepada mereka yang sudah lanjut usia. Atau berikan kesempatan kepada orang-orang tidak mampu untuk mengeyam bangku sekolah sebagaimana layaknya dengan duit kalian yang sudah berlebih. Bukankah Rasul menjanjikan lewat hadisnya bahwa “Siapa yang memberikan jalan atau menunjukkan sebuah kebenaran dan kebaikan, maka dia akan mendapatkan balasan atau pahala sebesar orang yang mengerjakannya”. Memberi kesempatan untuk orang lain naik haji, adalah sama pahalanya dengan orang yang diberi kesempatan tersebut.
Mudah-mudahan, dengan refleksi singkat ini, bisa menjadikan kita sebagai pribadi yang tidak hanya rakus akan nilai spiritual individualis, namun juga menjadi pribadi yang lebih mampu berempati walau dalam hal ibadah sekalipun. Mudah-mudahan...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar