Pendidikan
Karakter Berbasis Budaya Lokal
Oleh: Arif Nuh
Safri, S.Th.I, M.Hum.
Guru Qur’an
Hadis di SMA UII Banguntapan, Bantul.
Salah satu yang
menjadi sorotan para pemerhati pendidikan pada dekade ini adalah pendidikan
karakter. Barangkali hal ini terjadi disebabkan permasalahan yang tak kunjung
selesai, yaitu tetap maraknya kekerasan di sekolah, baik antar senior dan
junior, atau tawuran antarsiswa, dan bahkan ironisnya kekerasan antar guru dan
siswa. Di sisi lain, fenomena kebobrokan moral bangsa juga menjadi hal penting
yang harus dioptimalkan penyelesaiannya.
Tidak bisa
dihindarkan, bahwa yang harus menjadi perhatian khusus adalah pola tingkah laku
setiap individu maupun generasi selalu berbanding lurus dengan kemajuan zaman
ketika generasi tersebut hidup. Makanya tidak salah jika ada ungkapan yang
menyebutkan bahwa setiap anak atau generasi adalah anak zamannya. Artinya,
bahwa setiap generasi yang muncul pasti akan dibenturkan dan dihadapkan pada
masalah-masalah sosial yang dinamis dan selalu akan berkembang. Oleh sebab itu,
seyogianya setiap generasi pula harus dilatih untuk mampu menghadapi persoalan
yang muncul, sehingga tidak sampai tenggelam dan bahkan larut dalam
perkembangan tersebut dengan tanpa ada perisai atau benteng.
Namun demikian,
perkembangan zaman atau globalisasi yang kian tak terbendung, tidak seharusnya
menjadi alat legitimasi untuk mengecap dan menyerahkan segala bentuk tanggung
jawab untuk menyalahkan kebobrokan moral generasi sekarang. Ada istilah yang
cukup menarik: “Dulu orang menanam pohon untuk kita konsumsi sekarang, maka
sekarang kita menanam untuk dikonsumsi oleh generasi yang akan datang”. Dalam
hal ini, tentunya yang harus dikikis dan dihilangkan adalah sifat ego yang
selalu mengesampingkan kepentingan orang lain.
Orang dahulu telah
mewasiatkan kepada kita beberapa kearifan lokal atau lokal wisdom, namun
ternyata diabaikan oleh generasi-generasi berikutnya. Intinya, bahwa
nilai-nilai lokal wisdom sudah mulai pudar atau bahkan disalah artikan. Dulu,
sangat sering terdengar di telinga, istilah gotong royong dalam menyelesaikan
masalah, namun sekarang gotong royong untuk korupsi yang semakin menambah
masalah. Beberapa jenis permainan lokal anak semakin dianggap kuno dan
terpinggirkan oleh segala bentuk permainan pragmatis. Injit-injit semut,
cublak-cublak suweng, bentengan dan lain-lain yang menanamkan ikatan emosional
dan keakraban, dianggap tak lagi mampu menghilangkan kejumutan oleh datangnya
PS yang sebenarnya hanya menekankan sikap bersaing yang hanya mampu dilakukan
oleh tidak lebih dari dua orang. Tembang-tembang yang penuh nilai nasehat dan
filosofi sudah tak dapat lagi didengar kecuali hanya di acara-acara adat, hanya
karena ABG menganggap tembang modern dan gaul adalah tembang yang penuh dengan
lirik cinta dan penyanjungan yang berlebihan dan tidak sesuai dengan umur
mereka. Hal ini tentunya bisa dilihat dengan munculnya lagu-lagu dewasa yang
ternyata banyak dinyanyikan oleh anak-anak di bawah umur.
Ada hal yang luput
dari nilai pendidikan sekarang ini, yaitu rekonstruksi sekaligus revitalisasi
nilai-nilai kearifan lokal yang sarat makna yang kalau dimaksimalkan dimungkinkan
mampu membentuk karakter anak bangsa lokal yang berwawasan internasional. Saat
ini, orang lebih bangga dengan anak yang mengeyam pendidikan di sekolah
bertaraf internasional. Padahal, bukankah Indonesia adalah bagian dari
internasional itu sendiri? Bukankah dengan mengunggulkan kearifan lokal di mata
internasional jauh lebih hebat dibandingkan membawa nama internasional yang
hanya diunggulkan di mata lokal? Oleh sebab itu, harus ada sinergi antara orang
tua, guru, masyarakat sekaligus pemerintah untuk kembali menghidupkan kearifan
lokal Indonesia di setiap daerah masing-masing demi terwujudnya generasi
berkarakter yang berwawasan luas. Mudah-mudahan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar