Translate

Minggu, 05 Agustus 2012

Pendidikan Karakter Berbasis Budaya Lokal


Pendidikan Karakter Berbasis Budaya Lokal

Oleh: Arif Nuh Safri, S.Th.I, M.Hum.
Guru Qur’an Hadis di SMA UII Banguntapan, Bantul.

            Salah satu yang menjadi sorotan para pemerhati pendidikan pada dekade ini adalah pendidikan karakter. Barangkali hal ini terjadi disebabkan permasalahan yang tak kunjung selesai, yaitu tetap maraknya kekerasan di sekolah, baik antar senior dan junior, atau tawuran antarsiswa, dan bahkan ironisnya kekerasan antar guru dan siswa. Di sisi lain, fenomena kebobrokan moral bangsa juga menjadi hal penting yang harus dioptimalkan penyelesaiannya.
Tidak bisa dihindarkan, bahwa yang harus menjadi perhatian khusus adalah pola tingkah laku setiap individu maupun generasi selalu berbanding lurus dengan kemajuan zaman ketika generasi tersebut hidup. Makanya tidak salah jika ada ungkapan yang menyebutkan bahwa setiap anak atau generasi adalah anak zamannya. Artinya, bahwa setiap generasi yang muncul pasti akan dibenturkan dan dihadapkan pada masalah-masalah sosial yang dinamis dan selalu akan berkembang. Oleh sebab itu, seyogianya setiap generasi pula harus dilatih untuk mampu menghadapi persoalan yang muncul, sehingga tidak sampai tenggelam dan bahkan larut dalam perkembangan tersebut dengan tanpa ada perisai atau benteng.  
            Namun demikian, perkembangan zaman atau globalisasi yang kian tak terbendung, tidak seharusnya menjadi alat legitimasi untuk mengecap dan menyerahkan segala bentuk tanggung jawab untuk menyalahkan kebobrokan moral generasi sekarang. Ada istilah yang cukup menarik: “Dulu orang menanam pohon untuk kita konsumsi sekarang, maka sekarang kita menanam untuk dikonsumsi oleh generasi yang akan datang”. Dalam hal ini, tentunya yang harus dikikis dan dihilangkan adalah sifat ego yang selalu mengesampingkan kepentingan orang lain.
            Orang dahulu telah mewasiatkan kepada kita beberapa kearifan lokal atau lokal wisdom, namun ternyata diabaikan oleh generasi-generasi berikutnya. Intinya, bahwa nilai-nilai lokal wisdom sudah mulai pudar atau bahkan disalah artikan. Dulu, sangat sering terdengar di telinga, istilah gotong royong dalam menyelesaikan masalah, namun sekarang gotong royong untuk korupsi yang semakin menambah masalah. Beberapa jenis permainan lokal anak semakin dianggap kuno dan terpinggirkan oleh segala bentuk permainan pragmatis. Injit-injit semut, cublak-cublak suweng, bentengan dan lain-lain yang menanamkan ikatan emosional dan keakraban, dianggap tak lagi mampu menghilangkan kejumutan oleh datangnya PS yang sebenarnya hanya menekankan sikap bersaing yang hanya mampu dilakukan oleh tidak lebih dari dua orang. Tembang-tembang yang penuh nilai nasehat dan filosofi sudah tak dapat lagi didengar kecuali hanya di acara-acara adat, hanya karena ABG menganggap tembang modern dan gaul adalah tembang yang penuh dengan lirik cinta dan penyanjungan yang berlebihan dan tidak sesuai dengan umur mereka. Hal ini tentunya bisa dilihat dengan munculnya lagu-lagu dewasa yang ternyata banyak dinyanyikan oleh anak-anak di bawah umur.
            Ada hal yang luput dari nilai pendidikan sekarang ini, yaitu rekonstruksi sekaligus revitalisasi nilai-nilai kearifan lokal yang sarat makna yang kalau dimaksimalkan dimungkinkan mampu membentuk karakter anak bangsa lokal yang berwawasan internasional. Saat ini, orang lebih bangga dengan anak yang mengeyam pendidikan di sekolah bertaraf internasional. Padahal, bukankah Indonesia adalah bagian dari internasional itu sendiri? Bukankah dengan mengunggulkan kearifan lokal di mata internasional jauh lebih hebat dibandingkan membawa nama internasional yang hanya diunggulkan di mata lokal? Oleh sebab itu, harus ada sinergi antara orang tua, guru, masyarakat sekaligus pemerintah untuk kembali menghidupkan kearifan lokal Indonesia di setiap daerah masing-masing demi terwujudnya generasi berkarakter yang berwawasan luas. Mudah-mudahan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar