HERMENEUTIKA HADIS SYAIKH MUH{AMMAD AL-GAZA<LI><
PENDAHULUAN
Posisi sunnah Nabi
Muhammad saw., masih mendapat apresiasi yang sangat signifikan di mata umat
Islam sebagai salah satu sumber ajaran Islam kedua setelah al-Qur’an. Apalagi
ketika sebuah hadis sudah dianggap sahih maka akan menempati posisi yang sangat
strategis dalam khazanah hukum Islam.[1]
Dalam sunnah itulah kaum muslimin menemukan berbagai fakta historis mengenai
bagaimana ajaran-ajaran Islam yang diwahyukan oleh Tuhan dan diterjemahkan
kedalam kehidupan nyata oleh Nabi Muhammad saw.
Karena sifatnya
yang sangat praktis, dan tidak jarang mengikat secara keagamaan, hadis sering
menjadi lebih populer dan lebih menentukan dalam pembentukan tingkah laku
sosio-keagamaan dibanding ayat-ayat al-Qur’an. Oleh sebab itu pada praktiknya
kehidupan seorang muslim banyak ditentukan oleh hadis Nabi.[2]
Jika al-Qur’an
berbicara tentang prinsip-prinsip dan hukum-hukum yang sifatnya universal, maka
hadis menafsirkan ayat-ayat tersebut sehingga lebih jelas dan operasional, walau
tak jarang hadis bisa berdiri sendiri dalam pembentukan hukum ketika al-Qur’an
sama sekali tidak memberikan keterangan tentang hukum tersebut.[3]
Dengan demikian al-Qur’an dan hadis merupakan “dwi-tunggal” yang tidak boleh
dipisah-pisahkan. Meskipun demikian, tidak berarti bahwa kedudukan keduanya
sejajar. Hal ini terlihat antara lain pada jaminan redaksional dan pengkondifikasiannya.
Legalitas redaksi al-Qur’an, sudah tidak diragukan lagi. Al-Qur’an langsung
dari Allah dan Nabi Muhammad langsung meminta pada para sahabat untuk
menuliskannya setiap kali ayat itu turun dan pencatatan al-Qur’an merupakan
pekerjaan yang tidak pernah dirahasiakan dan menjadi aktivitas publik.
Sedangkan hadis baru didokumentasikan setelah dua generasi, sehingga sumber
pertama setelah Nabi yaitu para sahabat, hampir tidak ditemukan lagi. Penulisan
hadis juga hanya menjadi pekerjaan sebagian kecil sahabat saja.[4]
Bahkan suatu saat Nabi pernah melarang menulis apa saja yang datang dari beliau
selain al-Qur’an. Sehingga pen-tadwi>n-an hadis secara resmi
tertunda sampai abad ke-2 H.[5]
Dari adanya permasalahan tersebut di atas, maka muncullah
berbagai macam kritik atas hadis dengan hadirnya metodologi kritik hadis atau
metodologi penelitian hadis. Dalam ilmu hadis tradisi penelitian ini lebih
difokuskan kepada unsur pokok hadis yaitu sanad, matan dan rawi.[6] Dalam ilmu
sejarah, penelitian matn atau naqd al-matn dikenal dengan istilah kritik intern, atau al-naqd al- da>khili>, atau al-naqd al-ba>t}ini>. Untuk
penelitan sanad atau naqd al-sanad, istilah
yang biasa dipakai dalam ilmu sejarah ialah kritik ekstern, atau al-naqd al-kha>riji>, atau al-naqd al-z}a>hiri>.[7]
Sehubungan dengan
itu, makalah ini dalam pembahasannya akan mencoba mencermati metode kritik
hadis yang dilakukan oleh seorang ulama kontemporer, yaitu Syaikh Muh}ammad
al-Gaza>li>. Dalam hal ini, penulis akan mencoba membahas unsur-unsur
hermeneutika terhadap pemahaman al-Gaza>li>. Mudah-mudahan bermanfaat.
Amin.....
ISI
A. Riwayat Hidup Syaikh Muh}ammad al-Gaza>li>[8]
Syaikh Muhammad al-Gaza>li>[9]
terlahir dengan nama lengkap Muh}ammad al-Gaza>li> Ah}mad al-Saqa>. Muhammad al-Gaza>li> dilahirkan
pada tanggal 5 Zulhijjah tahun 1335 H, bertepatan dengan 22 September 1917
Masehi di kampung “Nakla> al-‘Ana>b”[10] masuk
pada provinsi al-Ba>hirah di Mesir. Nama lahirnya atau nama kecilnya adalah
Muh}ammad al-Gaza>li>.
Al-Gaza>li> dilahirkan di kalangan
keluarga keturunan Mesir yang saleh, mencintai tasawuf, dan bekerja sebagai
pedagang. Orang tuanya adalah seorang yang hafal al-Qur’an, oleh karena itu, sejak
kecil al-Gaza>li> juga sudah diajari dengan prilaku kesungguhan dan
ketekunan dengan harapan agar ia menjadi seorang anak yang mampu juga menghafal
al-Qur’an. Ketika masih kecil sekitar berumur 10 tahun, ayahnya membawa
al-Gaza>li> pindah dari Nakla> al-‘Ana>b ke Iskandariyah untuk belajar mengenai
Ilmu-ilmu agama.
Al-Gaza>li> tamat dari al-Azha>r
dari jurusan Dakwah kemudian menyelesaikan program master tahun 1362 H/1943 M.
Setelah itu, ia mengajar dan sekaligus sebagai penasehat di al-Azha>r.
Selain itu, ia juga mengajar di Universitas Umm al-Qura> Arab Saudi,
Universitas Qitr, Universitas al-Amir ‘Abd al-Qa>dir di al-Jaza>’ir.
Sejak kecil al-Gaza>li> memang orang
yang gila baca, hingga sering kali ia membaca buku di saat ia juga sedang makan
atau sarapan. Al-Gaza>li> merasa kagum dengan beberapa ulama besar
terdahulu, di antaranya adalah Abu> H{ami>d al-Gaza>li>, Ibn Taimi>yah,
Muh}ammad ‘Abduh, Rasyi>d Rid}a> yang pada akhirnya ia banyak mengambil
beberapa pemikiran para ulama besar tersebut. Selain itu, ia juga banyak
mempelajari pemikiran ‘Abd al-‘Azi>m al-Zarqa>ni> dan Mah}mu>d
Syaltu>t. Oleh sebab itu, al-Gaza>li> banyak terpengaruh dengan
beberapa pemikiran ulama besar sebelumnya, sehingga ia juga menjadi tokoh
kontemporer yang piawai dan berpengaruh. Namun demikian, ia tidak mau
terkungkung pada salah satu mazhab tertentu, apalagi menjadi seorang yang
fanatis.
Al-Gaza>li> juga ikut bersama H{asan
al-Banna> dalam jama’ah ‘al-Ikhwa>n al-Muslimu>n’.[11] Al-Gaza>li> berkata bahwa pergaulannya bersama
al-Banna> memberikan pengaruh besar pada pemikirannya, serta jalan hidupnya.
Al-Gaza>li> sangat memperhatikan situasi dan kondisi masyarakat Islam
pada saat itu yang banyak mengalami permasalahan dan kerusakan. Kemudian ia
banyak mengikuti diskusi pemikiran, sehingga ia mampu mengambil manfaat besar
dari diskusi tersebut. Al-Gaza>li> banyak bertemu dengan para pembesar
pemikir-pemikir Islam.
Di berbagai kesibukannya yang bergerak di
bidang dakwah, al-Gaza>li menyadari pengaruh besar dari tulisan dan ceramah
dalam melakukan perubahan masayarakat, sehingga ia makin gencar dan lebih banyak
berperan di bidang dakwah untuk memerangi kerusakan, kezaliman dan kebodohan.
Ia tidak pernah meninggalkan metode jihad pemikiran ini dengan berbagai tulisan
hingga akhir hayatnya. Pada tanggal 9 Maret 1996, al-Gaza>li> meninggal
dunia.[12] Ia dimakamkan di Ba>qi’ dekat dengan kuburan para
sahabat. Al-Gaza>li> memulai ikut memerangi kezaliman sosial sejak masih
muda, ia bersungguh-sungguh ingin memperjuangkan kekerasan terhadap perempuan
atas nama Islam. Pada saat itu, ia banyak menerima kecaman dan penolakan.
Sehingga tidak jarang al-Gaza>li> disebut sebagai orang yang inkar sunnah
Nabi. Salah satu pemimpin yang menyerang al-Gaza>li> adalah Rabi>’ bin
Ha>di ‘Amir al-Madkhali>.
B. Karya-karya Syaikh Muh}ammad al-Gaza>li>
Muhammad al-Gaza>li> adalah salah satu ulama kontemporer yang
sangat produktif. Namun demikian, dari beberapa karya al-Gaza>li>, karya
mengenai hadis hanya ada satu yang secara lebar menjelaskan pandangannya
terhadap hadis atau sunnah. Namun demikian, beberapa artikelnya juga
memperhatikan beberapa permasalahan kontemporer yang tidak sedikit mengutip
sunnah Nabi. Di antara karya-karya al-Gaza>li> adalah: Al-Isti’ma>r
Ah}qa>d wa At}ma>’, Al-Isla>m al-Muftar> ‘alaih, Al-Isla>m
Kha>rij Ahlih, Al-Isla>m wa al-T{a>qa>t al-Mu’at}t}ah, Al-Isla>m
wa al-Istibda>d al-Siya>si>, Al-Isla>m wa al-Aud}a>’
al-Iqtis}a>di>yah, Humu>m Da>’iyah, Ha>z\a
Di>nuna>, Al’Isla>m wa al-Mana>hij al-Isytira>ki>yah,
Jaddid H{aya>tak, Sirr Ta’akhkhur al-‘Arab wa al-Muslimi>n,
Z{ala>m min al-Garb, Jiha>d al-Da’wah, H{as}ad
al-Guru>r, Al-T{ari>q min Huna>, Kaif Nafham
al-Isla>m, Kaif Nata’a>mal ma’a al-Qur’a>n, Fi>
al-Z\|ikr wa al-Du’a ‘inda Kha>tim al-‘Abiya>’, Al-Fasad
al-Siya>si>, Al-Maha>wir al-Khamsah li al-Qur’a>n
al-Kari>m, Al-Da’wah al-Isla>mi>yah, Tura>s\una>
al-Fikri> fi> Mi>za>n al-Syar’, Ta’ammula>t fi al-Di>n
wa al-H{aya>h. Dan lain-lain beberapa kitab masih banyak yang belum
tercantum, termasuk karya tulis dalam bentuk artikel.
C. Hadis Dalam Pandangan Syaikh Muh}ammad al-Gaza>li>
Sebenarnya dari beberapa karya al-Gaza>li>,
bisa dilihat bahwa ia bukanlah seorang ulama yang fokus dalam studi hadis. Dari
sekian karya al-Gaza>li>, ternyata yang memberikan kontribusi signifikan
dalam bidang hadis hanya tulisannya yang mengkritik para muh}addis\i>n
yang pada akhirnya memang banyak menuai kritikan tajam. Namun demikian, al-Gaza>li>
melalui karya ini, mampu memberikan kontribusi besar dan bahkan banyak
mempengaruhi beberapa pemikir setelahnya. Sehingga disamping banyak menerima
kritikan, tidak sedikit pula yang memberikan pujian manis bagi al-Gaza>li>.
Buah karya tersebut diberi judul “Al-Sunnah al-Nabawi>yah Bain Ahl
al-Fiqh wa Ahl al-H{adi>s\”. Dalam kitab ini al-Gaza>li>
menekankan bahwa umat muslim harus tetap berpegang teguh pada sunnah Nabi,
karena itu adalah perintah Allah. Namun demikian, al-Gaza>li> juga
mengingatkan bahwa kedudukan sunnah Nabi berada di bawah al-Qur’an. Oleh sebab
itu, al-Gaza>li> selalu mengedepankan al-Qur’an ketika melihat sunnah
yang kontroversi.[13]
1. Latar
Belakang Penulisan Kitab
Ada beberapa hal penting yang harus diungkapkan
mengenai latar belakang penulisan kitab ini. Sebagai kata pengantar cetakan
pertama ia menyebutkan bahwa kitab ini ditulis atas permintaan Lembaga
Pemikiran Islam (Ma’had al-Fikr al-Isla>mi>) di amerika Serikat.
Permintaan ini disambut dengan senang hati karena menurutnya lembaga ini adalah
salah satu lembaga yang membawa misi intelektual kebudayaan yang tinggi. Di
sisi lain, al-Gaza>li> melihat bahwa ilmu kontemporer memiliki kejujuran
dan dan keadilan dan sangat sesuai dengan fitrah manusia. Oleh sebab itu,
sangat bagus ketika sunnah Nabi juga dianalisis dengan keilmuan kontemporer
yang sesuai dengan fitrah manusia, karena Islam sendiri adalah agama fitrah.[14]
Selanjutnya dalam kata pengantar
al-Gaza>li> lebih menekankan bahwa ajaran Islan jauh dari cita-cita
peradaban Islam. Hal ini terbukti nagara-negara Arab selalu berada di bawah
dominasi penjajah. Sebut saja al-Jazair yang baru saja merdeka dari jajahan
Perancis, ternyata malah sibuk dalam memerangi orang yang dianggap murtad dan
penghianat bangsa. Selain itu, penguasaan Zionis Israel pada Palestina juga
disebabkan pada strategi pergerakan yang tidak didasari dengan nilai-nilai
universal Islam, sehingga dengan mudahnya ditarik oleh persekongkolan dengan
dunia internasional. Pada akhirnya, al-Gaza>li> juga menyoroti
permasalahan negara dimana ia tinggal yang telah dikuasai oleh pemimpin
otoriter. Al-Gaza>li> melihat bahwa ketidak pahaman pada nilai-nilai
Islam menyebabkan rakyat ketika itu tenggelam dalam hal yang bersifat
khilafiyah yang tidak begitu penting. Sehingga tidak memberikan rakyat untuk
bangkit melawan kezaliman penguasa. Bahkan menurut al-Gaza>li>, perdebatan
yang tidak penting semacam ini sebenarnya sangat diinginkan oleh penguasa zalim
dan otoriter, sehingga mereka bisa tetap dalam kursi kekuasaan.[15]
Jika dalam mukaddimah pertama,
al-Gaza>li> banyak bergelut pada aspek psikologisnya dalam melihat
kondisi negara yang dikuasai oleh penguasa zalim dan kondisi umat Islam yang
salah dalam memahami teks keagamaan, maka dalam mukaddimah cetakan keenam
al-Gaza>li> lebih mengarahkan agar teks keagamaan, khususnya sunnah Nabi
dipahami demi memajukan peradaban Islam, bukan malah membuatnya mundur dan
tertinggal di mata dunia.
Al-Gaza>li> mengungkapkan bahwa ia sadar
mengenai kritikan-kritikan pedas dari orang yang menyerangnya. Bahkan ia juga
menyadari keberadaan cacian dan hinaan atas pemikirannya. Namun demikian,
al-Gaza>li> menekankan bahwa hal tersebut telah dirasakan terlebih dahulu
oleh Nabi Muhammad dan para Rasul terdahulu.
Secara tegas al-Gaza>li> berkata bahwa ia
hanya bertujuan untuk membersihkan sunnah Nabi yang telah banyak dikotori dan
dicemari. Oleh sebab itu, dengan kitab ini juga ia ingin menjaga dan memelihara
peradaban Islam dari orang-orang yang dangkal-sebagaimana dikatakan bahwa
mereka adalah orang-orang yang menuntut ilmu pada hari sabtu, mengajarkannya
pada hari ahad, dan menjadi guru besar pada hari seninnya. Dan kemudian pada
hari selasa mereka memberanikan diri untuk mensejajarkan diri dengan para ulama
besar. Mereka berkata: Jika mereka laki-laki, maka kami juga laki-laki.
فغايتي
تنقية السنة مما قد يشوبها! وغايتي كذلك حماية الثقافة الإسلامية من ناس قيل فيهم:
إنهم يطلبون العلم يوم السبت، ويدرسونه يوم الأحد، ويعلمون أساتذة له يوم الاثنين.
أما يوم الثلاثاء فيطاولون الأئمة الكبار ويقولون: نحن رجال وهم رجال[16]
Lebih lanjut al-Gaza>li> menyatakan bahwa
kemerosotan umat Islam saat ini banyak disebabkan oleh para pemikir yang setengah-setengah
sehingga mudah dikelabui dan diperalat oleh musuh Islam, yaitu Amerika dan
Eropa. Oleh sebab itu, menurut al-Gaza>li> perlu pemikiran alternatif
yang lebih baik. Bukan malah pemikiran yang semakin menjatuhkan peradaban
Islam. Dengan statmen ini, penulis melihat bahwa al-Gaza>li> mengalami
perang batin terhadap dominasi Barat ketika itu. Sehingga al-Gaza>li>
mencoba untuk lebih bersifat kritis terhadap pemikiran Islam dengan tujuan
untuk mengalahkan atau setidaknya menyeimbangi dominasi Barat pada saat itu.
Dalam hal ini, al-Gaza>li> berkata bahwa
sebenarnya yang paling penting adalah bukan baju gamis atau jenggot yang lebat,
namun sebenarnya yang harus ditekankan dalam pemikiran adalah kecerdasan akal,
ketulusan hati, kebersihan akhlak, fitrah yang lebih sehat dan prilaku yang
lebih bijaksana.
Di akhir mukaddimah ini ia mewasiatkan kepada
seluruh pembesar, para ulama, untuk memperhatikan dua hal, yaitu:[17]
a.
Untuk lebih mentadabburi dan memahami al-Qur’an
b.
Mendalami hubungan antara hadis-hadis Nabi dan hubungan hadis-hadis
Nabi dengan dalil-dalil al-Qur’an, karena studi mengenai Islam tidak akan
sempurna kecuali dengan mengikuti kedua langkah ini.
2.
Sikap Syaikh Muh}ammad al-Gaza>li>
Terhadap Hadis
Kembali pada latar belakang penulisan buku ini,
sebenarnya al-Gaza>li> berusaha dengan sepenuh hati untuk memahami hadis
dengan tujuan membersihkan hadis Nabi dari segala pencemaran.[18]Pada tahun 1989, Syaikh Muhammad al-Gaza>li>,
menerbitkan sebuah buku dengan judul The
Sunna of the Prophet: Between the Legist and the Tradisionist.[19]
Buku ini menjadi fokus perhatian dan kontroversi. Dalam bukunya, al-Gaza>li>
mengetengahkan banyak tema pokok dalam tentang otoritas religius, seperti
hubungan antara al-Qur’an dan Sunnah, bagaimana posisi hadis Nabi saw., sebagai
sumber hukum Islam, dan bagaimana metode kritik hadis. Polemik itu terutama
disebabkan oleh hadis-hadis sahih yang dipertanyakan kembali oleh Muhammad al-Gaza>li>
karena dianggap kontradiksi dengan ajaran al-Qur’an, kebenaran ilmiah maupun
historis.
Posisi al-Gaza>li> secara substansial
sama dengan posisi yang diperjuangkannya sepanjang karirnya. al-Gaza>li>
mengidealkan “penyucian hadis dari noda pemalsuan”.
3.
Metode Pemahaman Hadis Muh}ammad al-Gaza>li>
Menurut ilmu kritik hadis klasik, kesahihan
hadis ditentukan oleh tiga kriteria, pertama, sejauh mana sebuah riwayat
dapat dikuatkan oleh riwayat lain yang identik dari periwayat lain. Kedua,
keadilan dan ke-d}abi>t-an periwayat. Ketiga, kesinambungan dengan rantai
periwayatan. Hadis seperti ini disebut dengan hadis mutawa>tir. Sementara itu, hadis a>h}ad, disyaratkan harus
melewati lima tahap pengujian.[20]
Di antaranya adalah;
a.
Kesinambungan periwayat (ittis}a>l al-sanad)
b.
‘Ada>lah
periwayat, yaitu mereka harus menjunjung tinggi agama, dan tidak melakukan
dosa-dosa besar
c.
Akurasi proses periwayatan,
seperti periwayat tidak boleh ceroboh atau diketahui memiliki daya ingat yang
lemah
d.
Bebas dari syuz\u>z\, yaitu kontradiksi
dengan sumber-sumber yang lebih dapat dipercaya
e.
Bebas dari cacat-cacat
penyimpangan (‘illah
qad}i>h}ah),
yaitu ketidaktepatan dalam melakukan periwayatan.
Penerapan sistematis metode ini tampak pada
kitab-kitab besar hadis sahih, yang merupakan puncak keilmuan hadis klasik.[21]
Sementara itu, menurut Muh}ammad al-Gaza>li>,
ada 5 kriteria untuk menguji kesahihan hadis, 3 berkaitan dengan sanad dan 2
berkaitan dengan matan. Tiga kriteria yang berkaitan dengan sanad
adalah; (1) Periwayat d}a>bit}, (2) Periwayat ‘a>dil,
dan (3) Poin satu dan dua harus dimiliki seluruh rawi dalam sanad.[22]
Berbeda dengan pandangan mayoritas ulama hadis
klasik, Muhammad al-Gaza>li> tidak memasukkan ketersambungan sanad
sebagai kriteria kesahihan hadis, bahkan unsur ketiga sebenarnya sudah masuk ke
dalam kriteria poin kedua. Dalam hal ini Muh}ammad al-Gaza>li> tidak
memberikan argumentasi sehingga sangat sulit untuk ditelusuri, apakah ini
merupakan salah pemikiran atau ada unsur kesengajaan.[23]
Adapun 2
kriteria yang berkaitan dengan matan, adalah:
a.
Matan hadis tidak sya>z\
(salah seorang atau beberapa periwayatnya bertentangan periwayatannya
dengan periwayat yang lebih akurat dan lebih dapat dipercaya)
b.
Matan hadis tidak mengandung ‘illah
qad}i>h}ah (cacat yang diketahui oleh para ahli hadis sehingga mereka
menolak periwayatannya).[24]
Menurut Muh}ammad al-Gaza>li> untuk
merealisasikan kriteria-kriteria tersebut, maka diperlukan kerjasama antara muh}addis\ dengan berbagai
ahli-ahli lain termasuk fuqaha>’, mufassir,
ahli us}u>l fiqh dan ahli ilmu kalam, mengingat materi hadis ada yang
berkaitan dengan akidah, ibadah, mu’amalah sehingga memerlukan pengetahuan
dengan berbagai ahli tersebut.[25]
Atas dasar itulah, al-Gaza>li> menawarkan
4 metode pemahaman hadis atau prinsip-prinsip dasar yang harus dipenuhi ketika
hendak berinteraksi dengan sunnah, supaya dihasilkan pemahaman yang sesuai
dengan ajaran agama. Diantaranya adalah;
1).
Pengujian Dengan al-Qur’an
Muhammad
al-Gaza>li> mengecam keras orang-orang yang memahami secara tekstual
hadis-hadis yang sahih sanadnya, namun matannya bertentangan dengan al-Qur’an.
Pemikiran tersebut dilatarbelakangi adanya keyakinan tentang kedudukan hadis
sebagai sumber otoritas setelah al-Qur’an. Tidak semua hadis orisinal dan tidak
semua dipakai secara benar oleh periwayatnya. Al-Qur’an menurut Muhammad al-Gaza>li>
adalah sumber pertama dan utama dari pemikiran dan dakwah, sementara hadis
adalah sumber kedua. Dalam memahami al-Qur’an hadis sangat penting, karena
hadis adalah penjelas teoritis dan praktis bagi al-Qur’an. Oleh karena itu,
sebelum melakukan kajian tentang matan hadis, perlu upaya intensif
memahami al-Qur’an sebagaimana pernyataannya:
“Jelas
bahwa untuk menetapkan kebenaran suatu hadis dari segi matan-nya
diperlukan ilmu yang mendalam tentang al-Qur’an serta kesimpulan-kesimpulan
yang dapat ditarik dari ayat-ayatnya, baik secara langsung atau tidak”.[26]
Pengujian
dengan ayat al-Qur’an ini mendapat porsi yang lebih dari Muhammad al-Gaza>li>
dibanding dengan 3 kriteria lainnya. Bahkan menurut Quraisy Shihab bahwa meskipun
Muh}ammad al-Gaza>li> menetapkan 4 tolak ukur, kaidah nomor 1 yang
dianggap paling utama menurut Muh}ammad al-Ga>za>li>.[27]
Penerapan
kritik hadis dengan pengujian al-Qur’an diarahkan secara konsisten oleh
Muh}ammad al-Gaza>li>. Oleh karena itu tidak sedikit hadis yang dianggap
sahih misalnya terdapat dalam kitab sahih bukhari dan muslim, dianggap d}a’i>f
oleh Muh}ammad al-Gaza>li>, bahkan secara tegas menyatakan bahwa dalam
hal-hal yang berkaitan dengan kemaslahatan dan mu’amalah duniawiyah, akan mengantarkan
hadis yang sanad-nya d}a’i>f, bila kandungan matan-nya
sesuai dengan prinsip-prinsip ajaran al-Qur’an, dari pada hadis yang sanad-nya
sahih tapi kandungan matannya tidak sesuai dengan inti dari ajaran-ajaran
al-Qur’an.
Berkaitan
dengan hal di atas, al-Gaza>li> memberi contoh hadis tentang mayat yang
disiksa karena tangisan keluarganya. ‘Aisyah menolak hadis yang mengatakan
bahwa orang mati disiksa karena tangisan keluarganya. Bahkan kemudian dia
bersumpah nabi tidak pernah mengucapkan hadis tersebut. Alasan penolakannya
adalah dianggap bertentangan dengan al-Qur’an, لا تزر وازرة وزراخري (Tidaklah
seseorang menanggung dosa orang lain”). (Q.S. Al-An’am(6): 164).
Demikianlah
‘Aisyah menolak dengan tegas periwayatan suatu hadis yang bertentangan dengan
al-Qur’an. Meskipun begitu, hadis tersebut masih saja tercantum dalam kitab-kitab
hadis sahih. Bahkan Ibn Sa’ad dalam Tabaqa>t
al-Kabi>r-nya menyebutkan berulang-ulang dengan redaksi yang
berbeda-beda. Sebagian ulama memberikan interpretasi bahwa yang dimaksud dengan
hadis tersebut adalah orang mukmin tersebut merasa sakit setelah kematiannya
disebabkan tangisan keluarganya. Menurut al-Gaza>li>, pemahaman semacam
ini bertentangan dengan Q.S. al-Fus}s}ila>t (41): 31.[28]
2).
Pengujian Dengan Hadis
Pengujian
ini memiliki pengertian bahwa matan hadis yang dijadikan dasar argumen
tidak bertentangan dengan hadis mutawa>tir dan hadis lainnya yang lebih
sahih. Menurut Muh}ammad al-Gaz>ali> hukum yang berdasarkan agama tidak
boleh diambil hanya dari sebuah hadis yang terpisah dengan hadis yang lainnya,
tetapi setiap hadis harus dikaitkan dengan hadis lainnya, kemudian hadis-hadis
yang tersambung itu dikomparasikan dengan apa yang ditunjukkan oleh al-Qur’an.
Mengenai pembahasan ini, seluruh hadis selalu diuji oleh al-Gaza>li>
dengan hadis yang lebih sahih.
3).
Pengujian Dengan Fakta Historis
Suatu
hal yang tidak bisa dipungkiri, bahwa hadis muncul dan berkembang dalam keadaan
tertentu, yaitu pada masa Nabi Muhammad hidup, oleh karena itu hadis dan
sejarah memiliki hubungan sinergis yang saling menguatkan satu sama
lain. Adanya kecocokan antara hadis dengan fakta sejarah akan menjadikan hadis
memiliki sandaran validitas yang kokoh. Demikian pula sebaliknya, bila terjadi
penyimpangan antara hadis dan sejarah, maka salah satu diantara keduanya
diragukan kebenarannya.
Contoh
dalam kasus ini adalah hadis tentang larangan perempuan salat jama’ah di masjid,
yang diriwayatkan oleh Ibn Khuzaimah ditolak oleh al-Gaza>li>, karena
dianggap bertentangan dengan amalan Rasulullah yang membiarkan perempuan
mengikuti shalat jama’ah di masjid dengan menyediakan pintu khusus bagi
perempuan yang masuk masjid untuk mengikuti salat jama’ah. Rasul juga pernah
memendekkan salat Subuh dengan membaca surat-surat pendek ketika mendengar
tangis bayi, karena dikhawatirkan sang ibu tidak khusyu’ karena tangisan
anaknya.[29]
Menurut
al-Gaza>li>, bahkan Nabi tidak memberikan sugesti agar perempuan lebih
baik shalat di rumah. Dengan demikian, hadis yang menjelaskan tentang larangan
perempuan ikut salat di masjid adalah bathil. Hadis ini juga tidak dijumpai
dalam kitab sahih Bukhari dan Muslim.
4).
Pengujian Dengan Kebenaran Ilmiah
Pengujian
ini dapat diartikan bahwa setiap kandungan matan hadis tidak boleh
bertentangan dengan teori ilmu pengetahuan atau penemuan ilmiah, memenuhi rasa
keadilan atau tidak bertentangan dengan hak asasi manusia. Oleh karena itu,
adalah tidak masuk akal jika hadis nabi mengabaikan rasa keadilan. Menurut al-Gaza>li>,
bagaimanapun sahih-nya sanad sebuah hadis, jika matan informasinya
bertentangan dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia, maka hadis tersebut
tidak layak dipakai.
Hadis
yang membicarakan tentang kadar susuan harus sepuluh isapan. Menurut al-Gaza>li>,
hadis tersebut tidak dapat dijadikan pedoman, karena sedikit atau banyak isapan
tetap berpengaruh terhadap si bayi, yang dianggap menimbulkan hak kemahraman.
Contoh lain
hadis tentang tidak adanya qishas bagi seorang muslin yang membunuh orang
kafir. لا يقتل المسلم الكافر (Seorang
muslim tidak boleh di bunuh karena membunuh orang kafir). Al-Gaza>li> menolak hadis tersebut
disebabkan mengabaikan rasa keadilan dan tidak menghargai jiwa kemanusiaan.
Karena antara muslim dan kafir sebenarnya mempunyai hak dan kewajiban yang
sama.
Jika
dicermati, indikator yang ditanamkan oleh al-Gaza>li> dalam kritik matan
bukanlah sesuatu yang baru. Al-Gaza>li> sendiri mengakui, bahwa apa yang
dilakukannya sudah dilakukan oleh ulama terdahulu. Yang paling penting dari
semua itu adalah bagaimana mempraktekkan indikator kritik matan tersebut
dalam berbagai matan hadis nabi.
Jadi
pada dasarnya, sebelum mengkaji lebih jauh tentang kriteria studi matan yang ditawarkan
al-Gaza>li>, satu hal yang perlu dicatat adalah bagaimanapun keadaannya,
keempat pengujian tersebut tidak serta merta dapat diterapkan secara penuh
untuk semua matan hadis. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Suryadi,
dari 48 contoh hadis yang diungkapkan oleh al-Gaza>li> di atas,[30]
dapat dikategorisasikan menjadi 5 yaitu, a). Pengujian dengan Al-Qur’an, Hadis, Fakta Historis, dan
Kebenaran Ilmiah. Hal ini berkaitan dengan hadis tentang disiksanya mayit
karena tangisan keluarganya. b). Pengujian dengan al-Qur’an, Fakta Historis,
dan Kebenaran Ilmiah. Metode ini diterapkan pada tidak adanya
qishas bagi seorang muslim yang membunuh orang kafir. c). Pengujian dengan Hadis,
Fakta Historis, dan Kebenaran Ilmiah. Diterapkan untuk menganalis hadis
mengenai Hadis tentang haramnya mengumumkan tentang kematian
seseorang. d). Pengujian Dengan Fakta Historis dan Kebenaran Ilmiah. e).
Pengujian dengan kebenaran ilmiah. Diterapkan pada hadis yang tentang
kadar susuan harus sepuluh isapan.
D.
Hermeneutika
Syaikh Muh{ammad al-Gaza>li>
1. Sekilas Mengenai Hermeneutika
a.
Makna
Hermeneutika
Secara etimologis,
hermeneutika diambil dari bahasa Yunani, yaitu hermeneuein yang bermakna
‘menjelaskan’.[31]
Dengan demikian, tidak salah jika kata hermeneutika sering didengar dalam
bidang teologi, filsafat dan sastra. Hermeneutika juga disebut sebuah proses
mengetahui sesuatu dari situasi tidak tahu menjadi tahu. Dengan demikian, tugas
pokok hermeneutika dalam hal ini adalah bagaimana menafsirkan sebuah teks
klasik dan asing menjadi hidup di zaman dan tempat yang berbeda.[32]
Pada tatanan ini secara umum telah bisa dimaknai bahwa semua proses
interpretasi yang dilakukan oleh seseorang pada hakikatnya adalah hermeneutika,
termasuk ulama klasik yang telah menafsirkan al-Qur’an.[33]
Kata hermeneutika disandarkan pada nama dewa Yunani kuno, Hermes. Menurut
Hossein Nasr, Hermes adalah nabi Idris as.[34]
Di
sisi lain, hermeneutika juga dipandang sebagai satu disiplin pemahaman
linguistik. Dalam artian sebagai sebuah perangkat ilmu yang memaparkan
kondisi-kondisi yang pasti ada dalam setiap penafsiran, lebih tepatnya disebut
hermeneutika umum yang menjadi landasan semua bentuk interpretasi.[35]
Dengan
demikian, dari pemaknaan hermeneutika secara umum di atas, jelas bahwa
penafsiran klasik terhadap al-Qur’an adalah sudah menjadi hasil hermeneutika,
walaupun istilah tersebut belum dikenal pada masa tafsir klasik dan modern.
b. Perkembangan Hermeneutika
Seiring perkembangan pemikiran, maka perkembangan hermeneutika juga
berkembang. Pada awalnya hermeneutika hanya ada dua, yaitu hermeneutical
theory dan hermeneutical philosohy. Kemudian ketiga muncul dengan
istilah hermeneutika kritis. Lebih jelasnya perkembangan hermeneutika tersebut
yaitu: [36]
1). Hermeneutika
yang berisi cara untuk memahami
Pada ranah ini disebut dengan hermenutical theory.
Pertanyaan yang muncul dalam hermeneutika ini adalah bagaimana makna teks
secara morfologis, leksikologis dan sintagsis. Selain itu juga peranyaan
seperti dari siapa teks itu berasal, tujuan teks, dan dalam kondisi seperti apa
dan bagaimana kondisi pengarang ketika teks tersebut disusun. Schleiermacher
dan W. Dilthey serta Emilio Betti adalah pelopor pemahaman ini.
2).
Hermeneutika yang berisi cara untuk memahami pemahaman
Pertanyaan yang uncul adalah bagaimana kondisi
manusia yang memahami teks tersebut, baik dari aspek psikologis, sosiologis,
historis dan lain-lain. Dalam hal ini, Heideger dan Gadamer adalah sebagai
represesntasi kelompok ini.
3). Hermeneutika
yang berisi cara untuk mengkritisi pemahaman
Dalam ranah ini, hermeneutika mencoba menggali bagaimana
adanya hegemoni wacana, termasuk juga penindasan sosial-budaya-politik terhadap
pemahaman tertentu.
c.
Titik Fokus
Hermeneutika
Diawali
dengan kesadaran pemicu paradigma berfikir, yaitu kesadaran kontekstual[37] dan
kesadaran progresifitas[38],
menyebabkan manusia atau kelompok mengetahui bahwa kehidupan selalu berubah dan
selalu ada proses dialektika yang memuncukan hal baru. Oleh sebab itu, pada
hakikatnya yang menjadi titik fokus hermenutika adalah pemahaman yang menimbang
konteks yang dipahami dan pelacakan terhadap apa saja yang mempengaruhi sebuah
pemahaman sehingga menghasilkan keragaman terhadap pemahaman, baik itu pada
teks-teks keagamaan, sastra, simbol-simbol, dan tingkah laku manusia.[39] Lebih
jelasnya Fakhruddin Faiz menyebutnya dengan pluralitas pemahaman.
2. Aspek Hermeneutika Syaikh Muh}ammad al-Gaza>li>.
Dari dua
unsur yang mempengaruhi pemikiran orang, seperti dijelaskan oleh Fakhruddin
Faiz seperti pada sub bab ‘titik fokus hermeneutika’, jelas bahwa al-Gaza>li>
dalam hal ini sangat dipengaruhi oleh dua horison ini, pertama bahwa al-Gaza>li>
menyadari historisitas-sosial-politik yang dialami oleh Rasul dulu berbeda
dengan apa yang dirasakan olehnya. Dengan demikian al-Gaza>li> mencoba
memberikan pemahaman baru terhadap hadis yang seharusnya mampu menciptakan
peradaban Islam yang unggul. Namun demikian, al-Gaza>li> ketika memahami
hadis dengan tujuan menjawab permasalahan kondisi sosial yang melingkupi
sejarah kehidupannya, ia tetap tidak pernah berfikir bebas dengan cara
mengesampingkan teks yang ada. Dalam hal ini, al-Gaza>li> tetap mencoba
membandinkan setiap teks hadis dengan hadis lainnya, kemudian dengan ayat
al-Qur’an, dan kemudian memperhatikan sejarah di masa turunya hadis, kemudian
mengembalikan nilai sejarah tersebut pada masa di saat ia harus mengambil
sebuah nilai sebuah hadis. Sebagai contoh misalnya seputar wanita.
Untuk
menjelaskan argumennya pada bab ini, al-Gaza>li> memulainya dengan sebuah
statmen, yaitu bahwa ada dua hal yang membuat Islam bisa bangkit, yaitu: pertama,
menjauhkan diri dari kesalahan-kesalahan masa lalu yang telah menyelewengkan
umat sehingga mendatangkan kelemahan sekaligus mendatangkan keberanian
musuh-musuh Islam. Kedua, memberikan citra Islam yang praktis dan
menyenangkan bagi siapa yang memandangnya.[40]
Dua
statmen ini sebenarnya sudah mengindikasikan sebuah pemahamannya yang sangat
dipengaruhi oleh kondisi sosial pada saat itu. Ia menginginkan agar Islam
dikenal dengan keramahannya, bukan karena kekerasannya. Sebut saja misalnya
dalam kesaksian perempuan mengenai hukum pidana. Dalam hal ini, al-Gaza>li>
mengutip hadis Nabi yang dijadikan sebagai dalil bahwa kesaksian dua orang
wanita sama dengan satu orang laki-laki.
قال
ابن حزم عن عبد الله بن عمر عن رسول الله ـ صلى الله عليه وسلم ـ أنه قال في حديث:
فشهادة امرأتين تعدل شهادة رجل
Artinya:
Ibn Hazm berkata dari ‘Abdullah bin ‘Umar dari Rasulullah berkata: Syahadat dua
orang perempuan sama dengan persaksian satu orang laki-laki.
Menurut
al-Gaza>li> hadis ini tidak bisa diterima, apalagi banyak pemahaman bahwa
yang muncul bahwa kesaksian seorang perempuan dalam kasus qisas dan
pidana tidak bisa diterima. Dalam hal ini al-Gaza>li> berkata: “Apa artinya
menolak kesaksian seorang perempuan dalam urusan hukuman pencurian? Apa artinya
menolak kesaksian seorang perempuan yang mereka seringkali melihat dengan mata
kepala mereka sendiri pencurian atau pembunuhan?”. Dalam hal ini, bahkan
al-Gaza>li> mengaitkan argumennya dengan hukum internasional. Menurutnya ketika
Islam melakukan diskriminasi terhadap kesaksian perempuan, khususnya kesaksian
masalah pidana, maka hal ini sama saja menjatuhkan agama Islam di mata dunia
mengenai hukum internasional.[41] Dari pola pemikiran ini, jelas
bahwa al-Gaza>li> dipengaruhi oleh kebutuhan realitas yang ada pada saat
itu. Artinya al-Gaza>li> memahami betul kondisi yang ada. Oleh karena
itu, al-Gaza>li> mencoba, agar agama Islam tetap dipandang sebagai agama
yang maju, serta mampu menerima kemajuan peradaban, khususnya mengenai hukum
internasional. Tentunya, inilah yang disebut dengan ‘kesadaran keterpengaruhan
oleh sejarah’.[42]
Kesadaran terhadap
sejarah yang melingkupinya sangat sering dilakukanoleh al-Gaza>li> dalam
memahami sunnah Nabi. Misalnya dalam hal tidak boleh menanyakan alasan kenapa
seorang suami memukul istrinya. Untuk masalah ini, secara tegas al-Gaza>li>
menyatakannya melanggar HAM. Karena tidak ada agama yang membiarkan penganutnya
untuk melakukan kekerasan pada orang lain. Dalam hal ini al-Gaza>li>
secara tegas menerangkannya dalam karyanya ini sebagai berikut:
سمعت
خطيبا يروي هذا الحديث: «لا يسأل الرجل: فيم ضرب امرأته؟» قلت له: إن ديننا متهم بأنه ضد حقوق الإنسان، وضد
كرامة المرأة خاصة! فما حملك على إيراد حيث يفيد أن الرجل يضرب امرأته كيف
يشاء لا يسأل عما يفعل ؟
Aku mendengar seorang khatib
merawikan hadis ini: “Tidak ditanya seorang suami mengenai penyebab ia memukul
istrinya”. Aku berkata padanya: “Sesungguhnya agama kita telah dituduh sebagai
agama yang anti hak-hak asasi manusia, tidak menghargai kehormatan perempuan,
maka apa alasanmu untuk mengatakan bahwa seorang suami dibenarkan memukul istri
sekehendak hatinya?”
Oleh sebab itu, al-Gaza>li> sangat
memperhatikan aspek keilmuan yang berkembang seperti adanya HAM dan memperhatikan
kondisi sosial umat Islam yang berada di bawah hegemoni Barat pada saat itu.
Dalam hal ini, Suryadi mengatakan bahwa al-Gaza>li> memang sering berangkat
dari teks hadis sekaligus memperhatikan realitas empirik yang ada.[43]
Aspek
selanjutnya yang mempengaruhi pemikiran al-Gaza>li> adalah pemikiran
ulama sebelumnya. Dalam hal ini didominasi oleh pemikiran Hanafi. Di awal kitab
ini, memang al-Gazali menyatakan bahwa ia tidak mau terperangkap dengan mazhab
tertentu, karena menurutnya fanatisme mazhab adalah sebuah kebodohan.[44] Namun
demikian, apa yang diungkapkan oleh Gadamer sebagai teori ‘pra pemahaman’
sebenarnya sangat mempengaruhi pemikirannya mengenai kedudukan sunnah yang
harus dinomor duakan setelah al-Qur’an. Pemikiran semacam ini dipengaruhi oleh
ulama Hanafi. Walupun al-Gaza>li> memberikan beberapa metode kritik hadis,
namun ia lebih dominan pada kritik pembanding dengan al-Qur’an sebagaimana
dilakukan oleh ulama Hanafi.[45]
Dalam
konteks eksternal teks, al-Gaza>li> juga tidak pernah luput jika memang
dimungkinkan untuk membahas asbab al-wurud. Misalnya dalam memahami hadis
tentang larangan terhadap kepemimpinan perempuan. Al-Gaza>li> secara
panjang lebar mejelaskan bahwa hadis tersebut tidak terlepas dari situasi
sosial polotik pada saat itu. Hadis ini berkaitan dengan kerajaan Persia yang
dipimpin oleh seorang perepuan pemuja wasaniyah. Kerajaan tersebut tidak
memiliki sistem musyawarah, padahal kondisi mereka pada saat itu diambang
kehancuran. Sehingga hadis tersebut walaupun sahih secara sanad dan matan,
namun yang perlu diambil adalah nilainya, bukan makna literalnya. Karena
sejarah juga membuktikan beberapa negara bisa sukses ketika dipimpin oleh
seorang perempuan, seperti Israel ketika dipimpin oleh Golda Meir. Bahkan
al-Gaza>li> tegas mengatakan bahwa seorang perempuan yang taat pada
agamanya jauh lebih baik daripada seorang laki-laki yang berjenggot panjang
namun mengingkari nikmat Allah.[46]
Kemudian membandingkannya dengan kondisi di masa al-Gaza>li> hidup. Ternyata
para wanita bahkan mampu menyeimbangi atau lebih unggul daripada laki-laki.
Dari
beberapa aspek hermeneutika yang penulis tangkap, jelas bahwa al-Gaza>li>
memang memperhatikan kondisi umat Islam yang semakin terpuruk, sehingga sangat
wajar kalau seandainya beban psikologis al-Gaza>li> dalam memahami hadis
sangat terpengaruh. Seperti di awal, al-Gaza>li> menekankan bahwa umat
Islam terlalu jauh terpuruk oleh dominasi Barat pada saat ini. Sementara di
sisi lain umat Islam juga harus dihadapkan oleh kezaliman para pemimpin
otoriter serta haus harta. Oleh sebab itu, menurut al-Gaza>li> seharusnya
pemahaman terhadap hadis juga harus sesuai dengan kondisi sosial pada saat ini.
Artinya, pemahaman terhadap hadis, seharusnya bertujuan untuk menciptakan
peradaban yang lebih maju dan unggul.
KESIMPULAN
Dari beberapa penjelasan atau pemahaman
hadis yang dilakukan oleh al-Gaza>li>, terlihat jelas dipengaruhi oleh
kondisi sosial-budaya-politk ketika ia melakukan penelitian terhadap hadis. Secara
psikologis, al-Gaza>li> adalah seorang da’i yang sangat berapi-api dan
selalu menyerukan agar umat Islam bisa lepas dari hegemoni Barat.
Secara
keilmuan, al-Gaza>li> sangat dipengaruhi oleh paham Hanafi yang lebih
mengutamakan al-Qur’an daripada sunnah ketika ada kontroversi di antara
keduanya. Walaupun di awal, al-Gaza>li> berkata tidak mau terkungkung
oleh mazhab tertentu, namun secara tidak sadar, horizon yang ada sebelumnya
sangat mempengaruhi pola pikirnya, yang selalu membandingkan hadis dengan
al-Qur’an, dan bahkan menomorduakan hadis.
DAFTAR
PUSTAKA
‘Air
Ma’ru>f, “al-Syaikh Muh{ammad al-Gaza>li> Ibn al-Isla>m”, dalam http://www.alghazaly.org/index.php?id=132
Ali Munhanif (ed). Mutiara Terpendam: Perempuan dalam Literatur Islam
Klasik. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. 2002.
Fakhruddin Faiz. Hermeneutika
Qur’ani: Antara Teks, Konteks, dan Kontekstualisasi. Yogyakarta: Qalam,
2002.
Komaruddin Hidayat. Memahami
Bahasa Agama: Sebuah Kajian Hermeneutik Jakarta: Paramadina, 1996.
Lat}i>fah H{usain al-Kandari>
dan Badr Muh}ammad Malik. “Tarbi>yah al-Mar’ah min Manz}u>r al-Syaikh Muh}ammad
al-Gaza>li>” http://www.alghazaly.org/index.php?id=50.
Mas’u>d
S{abri> diberi judul “al-Gaza>li>... T{abi>b al-‘Ummah”. Dalam http://www.alghazaly.org/index.php?id=109
al-Maulid wa al-Nasy’ah” dalam http://www.alghazaly.org/index.php?id=8.
M. M. Azami. Studies in Hadith: Methodology and Literature.
Indiana Polis: American Trust Publications. 1977.
Mudasir. Ilmu Hadis. Bandung: Pustaka Setia.
2005.
Muh}ammad ‘Aja>j al-Khat}i>b. Us}u>l
al-H{adi>s\ ‘Ulu>muh wa Must}ala>h}uh, Beirut: Da>r
al-Fikr, t.th.
Muh}ammad al-Gaza>li>,
al-Sunnah al-Nabawi>yah Baina Ahl al-Fiqh wa Ahl al-H{adi>s\
. Kairo. 1989.
_______, Studi
Kritis Atas Hadis Nabi, Antara Pemahaman Tekstual dan Kontekstual,
Bandung: Mizan, 1996.
Muhammad al-Siba>’i>. Hadits Sebagai Sumber Hukum Islam. Terj.
Dja’far Abdul Muchith. Bandung: CV. Diponegoro. 1993.
Sahiron Syamsuddin. Hermeneutika
dan Pengembangan Ulumul Qur’an. Nawesea Press. Yogyakarta: 2009.
_______ “Hermeneutika Jorge J. E
Gracia dan Kemungkinannya Dalam Pengembangan Studi dan Penafsiran”.
Subhi al-Salih. Membahas Ilmu-Ilmu Hadits. Terj. Tim Pustaka
Firdaus. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997.
Syuhudi Ismail. Metodologi Penelitian Hadis Nabi. Jakarta:
Bulan Bintang. 1992.
Slamet Warsidi, “Hermeneutika
Dialektika Spekulatif Hans George Gademer: Aktualisasi serta Relevansinya dalam
Kajian Teks Keagamaan”. Dalam Jurnal Potensia BEMJ Fakultas Ushuluddin IAIN
Sunan Kalijaga, tth.
Hamim Ilyas dan Suryadi (Ed.). Wacana Studi Hadits Kontemporer.
Yogyakarta: PT. Tiara Wacana, 2002.
Yu>suf
al-Qarad}a>wi> dalam sebuah artikelnya “al-Gaza>li> Kama>
Yara>hu al-Qarad}a>wi>”. Dalam http://www.alghazaly.org/index.php?id=2
[1]M. M. Azami. Studies in Hadith: Methodology and Literature.
(Indiana Polis: American Trust Publications, 1977), hlm. 46. Hal yang hampir
sama juga dapat ditemukan dalam Muhammad al-Siba>’i>. Hadis Sebagai Sumber Hukum Islam. (Terj.)
Dja’far Abdul Muchith. (Bandung: CV. Diponegoro, 1993), hlm. 82-83.
[2]Badriyah Fahyuni dan Alai Najib. “
Mahluk Paling Mendapat Perhatian Nabi : Wanita dalam Islam” dalam Ali Munhanif
(ed). Mutiara Terpendam: Perempuan
dalam Literatur Islam Klasik. (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama,
2002), hlm. 44.
[3]Subhi al-Salih. Membahas Ilmu-Ilmu Hadits. (Penj.) Tim
Pustaka Firdaus. (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997), hlm. 253-256.
[4]Waryono Abdul Ghafur. “Epistemologi
Ilmu Hadits” dalam Hamim Ilyas dan Suryadi (Ed.). Wacana Studi Hadits Kontemporer. (Yogyakarta:
PT. Tiara Wacana, 2002), hlm. 3-4.
[5]Melalui Hamma>m dari Zaid bin
Aslam dari ‘A<ta’ bin Yasar dari Abu> Sa’i>d al-Khudri> dari Nabi
bersabda لاتكتبوا عنى ومن كتب عنى غير القرآن فليمحه “Jangan kamu tulis
ucapan-ucapanku, dan barang siapa menulis ucapan-ucapanku selain al-Qur’an,
hendaklah ia menghapusnya”.
[8] Biografi al-Gaza>li> bisa dilihat “al-Maulid wa
al-Nasy’ah” dalam http://www.alghazaly.org/index.php?id=8.
Atau dalam tulisan karya Lat}i>fah H{usain al-Kandari> dan Badr Muh}ammad
Malik. “Tarbi>yah al-Mar’ah min Manz}u>r al-Syaikh Muh}ammad al-Gaza>li>”.
Dalam http://www.alghazaly.org/index.php?id=50.
Diakses tanggal 24 Januari 2011.
[9] Di salah satu
tulisan karya Mas’u>d S{abri>
diberi judul “al-Gaza>li>... T{abi>b al-‘Ummah”. Mas’u>d
menjelaskan bahwa al-Gaza>li> adalah tokoh yang tidak hanya sekedar da’i
yang faham dengan syari’at, faham dengan kondisi sosial, namun lebih dari itu,
al-Gaza>li> juga faham betul mengenai penyakit-penyakit yang muncul di
masyarakat yang menyebabkan keterbelakangan pemikran, budaya dan peradaban.
Bahkan Mas’u>d menjelaskan bahwa keterbelakangan tersebut diakibatkan oleh
kurang atau bahkan tidak adanya kesadaran ummat untuk mengembangkan pemikiran.
dalam http://www.alghazaly.org/index.php?id=109
[10] Daerah ini
adalah salah satu daerah yang banyak
melahirkan pemikir-pemikir atau cendekiawan, sehingga dikenal dengan daerah
yang memiliki sejarah yang bagus. Misalnya saja tokoh yang lahir adalah
al-Muja>hid al-Sya>’ir Mah}mu>d Sa>mi> al-Ba>ru>di>,
al-Syaikh Tami>m al-Busyra>, al-Syaikh Ibra>hi>m H{amru>sy,
al-Syaikh Muh}ammad ‘Abduh, al-Syaikh Mah}mu>d Syalt{u>t, dan lain-lain. ‘Air Ma’ru>f, “al-Syaikh Muh{ammad
al-Gaza>li> Ibn al-Isla>m”, dalam http://www.alghazaly.org/index.php?id=132.
Diakses tanggal 24 Januari 2011.
[11]
Al-Gaza>li> ikut bergabung bersama pergerakan ini ketika berumur 20
tahun. Dan ia bergabung selama 17 tahun. Dalam karya
Lat}i>fah H{usain al-Kandari> dan Badr Muh}ammad Malik. “Tarbi>yah
al-Mar’ah min Manz}u>r al-Syaikh Muh}ammad al-Gaza>li>”. Dalam http://www.alghazaly.org/index.php?id=50.
Diakses tanggal 24 Januari 2011, sehingga hal yang wajar jika pemikirannya yang
gelisah terhadap pemerintahan atau kondisi masyarakat ketika itu banyak
diungkapkan dalam karya-karyanya. Sebut saja dalam bukunya yang diberi judul Al-Isla>m wa al-Aud}a>’
al-Iqtis}a>di>yah menjelaskan kebenciannya terhadap penguasa yang bergelimang harta,
sementara pada waktu yang sama rakyat banyak yang menderita, bodoh secara
intelektual. Hal yang sama juga bisa dilihat dalam latar belakang penuisan buku
kritik hadis ini dalam kata pengantar.
[12] ‘Air
Ma’ru>f, “al-Syaikh Muh{ammad al-Gaza>li> Ibn al-Isla>m”, dalam http://www.alghazaly.org/index.php?id=132.
Diakses tanggal 24 Januari 2011.
[13] Metode
pembandingan dengan al-Qur’an ini selalu dilakukan oleh al-Gaza>li> dalam
memahami hadis. Bisa dilihat dalam kitab al-Sunnah al-Nabawi>yah Bain Ahl
al-Fiqh wa Ahl al-Hadi>s\. Pola semacam ini juga ditegaskan oleh Yusuf
al-Qarad}a>wi dalam sebuah artikelnya “al-Gaza>li> Kama> Yara>hu
al-Qarad}a>wi>”. Dalam http://www.alghazaly.org/index.php?id=2,
diakses tanggal 24 Januari 2011. Bahkan dalam artikel ini
al-Qara>d}a>wi> banyak memuji al-Gaza>li> dengan berkata: “Aku
mencintainya sebelum aku melihatnya”. Pujian lainnya diaungkapkan dengan
sebutan bahwa al-Gaza>li> adalah tokoh yang cemerlang, yang mampu
memikirkan sesuatu hal yang baru dan belum terpikirkan oleh orang lain.
[14] Muhammad Al-Ghazali, Al-Sunnah al-Nabawi>yah Bain Ahl
al-Fiqh wa Ahl al-H{adi>s\ (Kairo, 1989). Edisi Indonesianya
diterbitkan Mizan (1999) berjudul Studi Kritis atas Hadis Nabi Saw.:
Antara Pemahaman Tekstual dan Kontekstual. Prakata, hlm. 13.
[16]
Lihat dalam Mukaddimah Kitab cetakan keenam.
[18] Muhammad al-Gaza>li>, al-Sunnah
al-Nabawiyah...., Kata Pengantar cetakan keenam, hlm. 21. Dalam pengantar
ini ia menjelaskan bahwa dituduh sebagai orang yang telah mengingkari sunnah.
[19] Muh}ammad al-Gaza>li>,
Al-Sunnah al-Nabawi>yah Bain Ahl al-Fiqh wa Ahl al-H{adi>s\
(Kairo, 1989) buku ini edisi berbahasa Indonesianya diterbitkan Mizan (1999)
berjudul Studi Kritis atas Hadis Nabi Saw.,: Antara Pemahaman Tekstual
dan Kontekstual.
[20]
Para ulama berbeda pendapat tentang interpretasi aturan-aturan ini. Lihat
Muh}ammad ‘Ajja>j al-Khat}i>b. Us}u>l al-H{adi>s\ ‘Ulu>muhu
wa Mus}t}ala>h}uhu, (Beirut: Da>r al-Fikr, t.th), hlm. 305.
[21] Syuhudi Ismail, Kaidah Kesahihan Sanad Hadis
(Jakarta: Bulan Bintang, 1995), hlm. 111
[22]
Muh}ammad al-Gaza>li>, Studi Kritis Atas Hadis Nabi...,
hlm. 15
[23]
Suryadi, Metode Pemahaman Hadis Nabi (Telaah Atas Pemikiran
Muhammad Al-Ghazali Dan Yusuf Al-Qardhawi). Ringkasan Disertasi,
(Yogyakarta: Program Pasca sarjana UIN Sunan Kalijaga, 2004), hlm. 6.
[24] Suryadi, Metode Pemahaman..., hlm. 6.
[25]
Suryadi, Metode Pemahaman..., hlm. 20.
[26]
Suryadi, Metode Pemahaman..., hlm. 21.
[27]
Lihat dalam Muh}ammad al-Gaza>li>, Studi Kritik Atas..., hlm. 31.
Bisa juga dalam Suryadi, Metode Pemahaman..., hlm. 29.
[30] Muh}ammad al-Gaza>li>, Studi
Kritis Atas Hadis Nabi: Antara Pemahaman Tekstual dan Kontekstual,
(Bandung: mizan, 1996), hlm. 23-30.
[34]
Komaruddin Hidayat. Memahami Bahasa Agama: Sebuah Kajian Hermeneutik
(Jakarta: Paramadina, 1996), hlm. 125.
[36]
Fakhruddin Faiz. Hermeneutika Qur’ani: Antara..., hlm. 7-10. Sementara
itu, Sahiron Syamsudin mengklasifikasikannya terhadap empat bagian, yaitu: 1.
Hermeneuse, yaitu refer pada aktifitas pada penafsiran terhadap obyek-obyek
tertentu, seperti teks, simbol-simbol, dan prilaku manusia. Sahiron menambahkan
bahwa pada term ini, tidak terkait dengan metode-metode, syarat-syarat. Serta
hal-hal yang melandasi. 2. Heremeneutika dalam arti sempit, yaitu hermeneutika
yang berbicara mengenai metode penafsiran. 3. Philosophische hermeneutik, yaitu
membicarakan kondisi-kondisi yang dengannya seseorang dapat memahami sebuah
teks atau prilaku. 4). Hermeneutische Philosophie, yaitu bagian dari filsafat
yang mencoba menjawab problem kehidupan manusia dengan cara menafsirkan apa yang
diterima oleh manusia dari sejarah tradisi. Dalam Artikel Sahiron Syamsudin,
“Hermeneutika Jorge J. E Gracia dan Kemungkinannya Dalam Pengembangan Studi dan
Penafsiran”. Artikel ini dipresentasikan pada tanggal 09 April 2010 dalam
Diskusi Ilmiah Dosen Tetap UIN Sunan Kalijaga.
[37]
Kesadaran kontekstual adalah kesadaran bahwa setiap orang atau kelompok tidak
bisa lepas dari komunitas sosial-buadaya tertentu, baik konteks historis,
sosial-budaya-politik, maupun konteks psikologis. Sehingga konteks inilah yang
menentukan apa yang seseorang atau kelompok serap (internalisasi) dan apa yang
mereka ekspresikan melalui pikiran dan prilaku (eksternalisasi). [37]
Fakhruddin Faiz. Hermeneutika Qur’ani: Antara..., hlm. 2-3
[38]
Kesadaran progresifitas adalah kesadaran akan dinamika perkembangan dalam
kehidupan. Kesadaran inilah yang membuat kesadaran bagi manusia bahwa kehidupan
selalu berubah dan selalu ada proses dialektika yang memuncukan hal baru. [38]
Fakhruddin Faiz. Hermeneutika Qur’ani: Antara..., hlm. 2-3.
[39]
Fakhruddin Faiz. Hermeneutika Qur’ani: Antara..., hlm. 7.
[40]
Syaikh Muhammad al-Gazali. Studi Kritik Atas..., 52.
[41]
Syaikh Muhammad al-Gazali. Studi Kritik Atas..., 52.
[42] Teori ini diperkenalkanoleh
tokoh Hans Georg Gadamer dalam Wahreit und Methode. Lihat dalam Sahiron
Syamsuddin, Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul Qur’an, (Yogyakarta:
Nawesea Press, 2009), hlm. 45-46.
[44] Lihat Kata Pengantar cetakan
pertama, hlm. 19.
[45] Muhammad Quraish Shihab. Kata
Pengantar dalam Muhammad al-Gaza>li>, Studi Kritik Atas..., hlm.
8-9.
[46] Muhammad al-Gaza>li>, Studi
Kritik Atas..., hlm..., 67-68.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar