Munasabah, Manusia,
dan Pluralisme dalam Tafsir al-Ra>zi>
PENDAHULUAN
Dalam kajian teks keagamaan Islam, tafsir adalah
salah satu aspek yang paling penting untuk dikaji dan dipahami. Sebagai salah
satu khazanah ilmu pengetahuan Islam, tafsir menduduki posisi yang sangat urgen
sekali. Hal ini desebabkan tafsir memiliki fungsi untuk mempelajari kata demi
kata dan susunan kalimat ayat-ayat al-Qur’an guna mengetahui maksud Allah dalam
memfirmankan ayat-ayat-Nya.[1]
Berdasarkan kepada dasar yang dijadikan patokan dalam menafsirkan
al-Qur’an, di dalam istilah ilmu tafsir, tafsir dibagi menjadi dua macam yaitu
tafsir bi al-ma’su>r dan tafsir bi al-ra’y. Tafsir bi al-ma’su>r berdasarkan kepada, ayat al-Qur’an lainnya yang semakna
dan mengandung penjelasan dari ayat yang dimaksud, berdasarkan kepada
hadis-hadis Nabi saw., sahahabat dan tabi’in (generasi umat Islam awal) yang
terjamin ke-s}ah}i>h}-annya.[2]
Sementara itu, tafsir bi al-ra’y berdasarkan kepada ijtihad seorang mufassir dalam menafsirkan suatu
ayat.[3] Dan tentu
saja ijtihad tersebut bertopang kepada ilmu-ilmu yang bisa dijadikan pijakan
dalam menafsirkan al-Qur’an, seperti ilmu bahasa Arab misalnya yang meliputi nah}w,
s}arf, bala>gah dan lain sebagainya.[4] Selain itu
mufassir harus memenuhi beberapa syarat tertentu yang membuatnya layak dan
pantas untuk menafsirkan al-Qur’an dengan ijtihadnya.[5] Dan di antara
tafsir semacam ini ialah tafsir Mafa>tih al-Gaib karya seorang mufassir sekaligus mutakallim besar syaikh Fakhr
al-Di>n al-Ra>zi>. Dalam peta sejarah tafsir Fakhr al-Din
al-Ra>zi> masuk pada era abad pertengahan. Pada era ini, terjadi
perdebatan-perdebatan sengit antarmazhab teologi, seperti Khawarij, Syi’ah,
Asy’ariyah, Mu’tazillah dan sebagainya.[6]
ISI
A. Biografi
al-Ra>zi>
Nama
lengkapnya adalah Abu> ‘Abd Alla>h[7] Muh}ammad bin ‘Umar bin al-H{usain bin al-H}asan
al-Taimi> al-Bakri> al-T}abari> al-Faqi>h al-Sya>fi’i> al-Ra>zi>
yang diberi laqab dengan Fakhr al-Di>n.[8] Dia
dilahirkan di kota Roy[9] di
Thabristan pada tanggal
25 Ramadan tahun 544 H. Dia banyak berguru pada para pembesar ulama di
masanya, di antara
guru tersebut adalah orangtuanya, sehingga ia menguasai beberapa cabang ilmu dan terkenal
dengan ilmu-ilmu tersebut. Dia juga banyak didatangi oleh murid-muridnya dari
berbagai tempat.[10]
B. Perjalanan
al-Ra>zi>
Mencari Ilmu dan Wafatnya
Al-Ra>zi> dikenal sebagai seorang ulama yang ahli
di segala bidang ilmu, ini menunjukkan banyaknya bidang ilmu yang digelutinya. Selain
itu juga menandakan gurunya yang banyak dan bergudang-gudang buku yang telah
habis di bacanya. Di dalam pencarian ilmunya, ia tidak hanya singgah di satu
tempat saja. Bermula dari kota kelahirannya Roy, ia kemudian pindah ke
Khurasan, lalu ke Bukhara kemudian ke Irak, dan Syam. Tetapi ia paling lama
tinggal di negeri Khawarizm lalu kemudian diam menetap di kota Harah sampai
wafatnya. Ia pertama kali berguru kepada ayahnya sendiri D{iya>’ al-Di>n yang
lebih dikenal dengan gelarnya yaitu Khathib al-Ray.
Setelah ayahnya meninggal dunia, ia
berguru kepada al-Kama>l al-Sam’a>ni> walaupun tidak lama. Lalu ia pun
kembali ke Roy dan mulai mempelajari ilmu hikmah. Dalam mempelajari ilmu ini ia
berguru kepada Majd al-Di>n al-Jabali> salah seorang ulama besar di
zamannya. selain ilmu hikmah al-Ra>zi> juga belajar ilmu kalam.[11]
Setelah membaca dan menguasai
ilmu-ilmu pokok dan dasar seperti fikih, ushul fikih dan lainnya, barulah ia
mulai mempelajari filsafat dan ilmu-ilmu alam lainnya seperti kedokteran, ilmu
falak dan kimia. Ia pergi ke Khurasan untuk mempelajari karya-karya Ibn
Si>na> dan al-Fara>bi>.[12]
Khawarizm termasuk salah satu tempat yang disingahinya
dalam rangka menuntut ilmu. Tetapi tidak seperti sebelumnya dimana ia belajar
dengan cara berguru kepada seorang syaikh, di sini ia menuntut ilmu dengan cara
langsung berinteraksi dan banyak mengadakan dialog dengan penduduk negeri itu.
Banyak sekali tema-tema dialog yang ia pilih dengan penduduk di sana di antaranya
tentang ilmu kalam, madzhab dan akidah. Cara seperti ini ia lakukan juga ketika
ia singgah di seberang sungai Jihun di Khurasan.
Setelah ia bergelut begitu lama dengan ilmu kalam dan filsafat,
ia baru menyadari akan kelemahan metode-metode ilmu tersebut di dalam mencapai
kebenaran. Ia pun menyesal karena telah begitu mendalam mempelajarinya.
Penyesalannya itu terungkap sebagaimana yang dikutip oleh Ibn S{ala>h}. Ia
pernah mendengar al-Qut}b al-T{auga>ni> berkata, bahwa Fakhr al-Di>n al-Ra>zi>
mengungkapkan penyesalannya, berkata sambil menangis: “Andaikan aku tidak pernah
mempelajari dan bergelut dengan ilmu kalam sebelumnya“.[13] Hal yang
sama juga disampaikan oleh Ibn Kas}i>r dengan
mengutip penjelasan Ibn al-Asi>r yang menerangkan bahwa al-Ra>zi>
berkata:
Aku
telah sering menggunakan metode-metode ilmu kalam dan filsafat, dan aku tidak
pernah mendapatkan metode tersebut bisa menghilangkan dahaga bagi yang haus dan
menyembuhkan rasa sakit orang yang sakit. Dan menurutku sebaik-baiknya metode
adalah metode yang disuguhkan al-Qur’an. Bacalah tentang metode is\ba>t
dalam firman Allah
Yang Maha Pemurah, Yang Bersemayam di atas ‘Arsy“. (QS. 20:5). Juga dalam firman-Nya: “Kepada-Nyalah naik perkataan-perkataan
yang baik dan amal yang saleh dinaikkan-Nya“.(QS.
35:10)
Dan
bacalah tentang metode nafy dalam firman-Nya: “Tidak ada sesuatupun yang
serupa dengan Dia“. (QS. 42:11) dan firman-Nya: “Apakah kamu
mengetahui ada seorang yang sama dengan Dia (Yang patut disembah)“. (QS. 19:65)[14]
Setelah sakit, al-Ra>zi> kemudian wafat di Harah
pada hari Senin tanggal 1 Syawal (‘Idul Fitri) tahun 606 H.[15]
C.
Karya-karya al-Ra>zi>
Fakhr al-Di>n al-Ra>zi> adalah salah seorang
ulama yang paling hebat dan unggul di zamannya. Ia banyak menguasai berbagai
disiplin ilmu seperti tafsir, fikih, ushul fikih, ilmu kalam, hikmah, filsafat,
kedokteran, ilmu falak, juga ilmu bahasa. Sehingga dengan keahliannya di
berbagai cabang ilmu, banyak sekali
karya-karyanya di segala bidang pengetahuan yang dikuasainya. Diantaranya, [16]dalam tafsir adalah karya monumnetalnya yaitu al-Tafsi>r al-Kabi>r atau Mafa>tih} al-Gaib. Selain itu
ada juga Tafsi>r al-Fa>tih}ah
ditulis secara terpisah dari al-Tafsi>r al-Kabi>r-nya, al-Tafsi>r al-S}agi>r Yang atau Asra>r al-Tanzi>l wa Anwa>r al-Ta’wi>l.
Dalam bidang Ilmu Kalam dan Filsafat,
al-Ra>zi> mampu menelurkan karya Niha>yah
al-’Uqu>l, Zabdah al-‘Afka>r wa ‘Umdah al-Naz}a>r, al-T{ari>qah fi> al-Jada>l, Maba>h}is\ al-Wuju>d wa al-‘Adam, Maba>his\ al-Jada>l, dan lain-lain. Dalam bidang Kedokteran dan Fisika, ada Muntakhab
Tinklusya, al-Nabd}, fi>> al-Handasah, fi> al-Raml, Masa>il al-T}ibb, dan lain-lain. Di bidang kajian hikmah
ada Luba>b al-Isya>ra>h, al-Mat}a>lib al-’A<liyah
fi> al-Hikmah, Sira>j al-Qulu>b, Syarh} al-Isya>rah, al-Akhla>, dan lain-lain.
Sebagai ahli di bidang Fiqih dan Usul Fiqh,
al-Ra>zi> menghasilkan al-Ma’a>lim fi> Us}u>l al-Fiqh, Tanbi>h al-Isya>rah fi> al-Us}u>l, al-Mahs}u>l fi> al-Fiqh, al-Mahs}u>l fi> ‘Ilm Us}ul al-Fiqh, Abt}a>l al-Qiya>s. Mengenai Tauhid juga, al-Ma’a>lim fi Us}u>l al-Di>n, al-Arba’i>n fi> Us}u>l al-Di>n, Tafsi>r Asma>’i AlLa>h al-H}usna>, Lawa>mi’
al-Bayyina>t fi> Tafsi>r Asma>i Alla>h wa al-S{i>fa>t, al-Qad}a> wa al-Qadr. Serta
beberapa kitab lainnya yang belum disebutkan dalam makalah ini.
D. Komentar
Para Ulama
Fakr al-Di>n al-Ra>zi> sebagai mufassir besar
tidak bisa terlepas dari komentra ulama lainnya. Baik komentar positif maupun
negatif.
Dalam T{abaqa>t al-Mufassiri>n al-Daudi> sangat memuji
dan mengatakan bahwa al-Ra>zi> adalah seorang yang paling ahli atau
mumpuni di bidang ilmu-ilmu akal di zamannya serta ahli di bidang syari’at.
Bahkan al-Daudi> mengatakan bahwa al-Ra>zi> salah seorang mujaddid yang diutus Allah di setiap awal abad,[17]
sebagaimana bunyi hadits Nabi Saw.[18]
Jika al-Daudi> memuji al-Ra>zi>, maka salah satu
tokoh yang mengkritik al-Ra>zi> adalah Syiha>b al-Di>n Abu> Sya>mah
dalam kitabnya al-Z|ail. Sebagaimana dikutip oleh Ibn Kas\i>r dalam kitab
sejarahnya yang terkenal, al-Ra>zi adalah orang yang sering bersama-sama dan
menemani para penguasa ketika itu dan menyenagi keduniaan yang menurut Syihab
al-Di>n, karakter sperti ini bukanlah karakter seorang ulama. Oleh karena
sifatnya itu, banyak celaan yang dilontarkan kepadanya. Ditambah lagi dengan
ucapan-ucapannya yang dianggap tidak sopan, seperti perkataannya ketika
menyebut nama Nabi Muhammad saw., dengan sebutan Muhammad al-Ba>di> .[19]
E. Fakhruddin
al-Ra>zi> dan Tafsir al-Qur’an
Sebagai seorang ulama besar, ia
tidak melupakan al-Qur’an sebagai sumber pengetahuan sekaligus obyek
penelitiannya. Abu Syuhbah mengungkapkan bahwa yang menjadi sebab al-Razi
menyusun tafsirnya ialah untuk menjelaskan betapa tingginya hikmah al-Qur’an
jika dibandingkan dengan metode filsafat dan ilmu kalam, dan hanya Qur’anlah
yang mampu menunjukkan manusia kepada jalan yang benar dengan pasti dan terjaga
dari kesalahan.[20]
Ia pun mengutip perkataan al-Ra>zi>
yang menunjukkan hal tersebut:
Aku telah mencoba metode-metode ilmu kalam dan filsafat, ternyata tidak aku
temukan dari metode-metode tersebut faedah yang aku temukan dalam al-Qur’an.
Karena al-Qur’an menunjukkan kepada manusia untuk berserah diri akan keagungan
dan kemuliaan Allah Swt. Dan melarangnya untuk lebih jauh tertarik ke jurang
pertentangan. Selain itu, al-Qur’an pun menerangkan bahwa akal sehat manusia
akan hilang bersamaan dengan semakin tenggelamnya ke dalam pencarian kebenaran
dengan metode yang lemah.[21]
Di dalam tafsirnya, al-Ra>zi>
mengerahkan segala pemikirannya untuk membela akidah yang benar dan melawan
pemikiran-pemikiran lain yang mencoba menganggu gugat akidah islam yang yang
sudah terbukti kebenarannya itu. Karena mereka menggunakan akal dalam
berargumen, maka ia pun menggunakan metode yang sama yang digunakan oleh para
filosof dan mutakallimin dalam melawan argumen-argumen musuh. Tetapi tentu saja
dengan tetap memperhatikan paham ahli sunnah. Selain itu, ia pun menggunakan metode para ilmuwan alam ketika
menjelaskan tentang alam semesta ini. Ia menjelaskan tentang bintang-bintang,
langit, bumi, hewan-hewan, dan manusia.[22]
Yang menjadi kritikan para ulama dalam metodenya
menafsirkan al-Qur’an, karena terkadang terlalu jauh dan menyimpang dari tujuan
awal yaitu menerangkan maksud dari setiap ayat-ayat al-Qur’an. Ia sering kali
menerangkan dengan panjang lebar kesalahan pendapat dan pemikiran suatu aliran
sesat, tetapi hanya dijawab dengan jawaban yang singkat dan ala kadarnya yang
sebenarnya tidak sesuai dengan permasalahan yang sebenarnya. Yang memerlukan
sanggahan yang sangat detail dan terperinci.[23]
Bisa dikatakan tafsir al-Ra>zi> ini mencakup semua
bidang ilmu, mulai dari ilmu kalam, ilmu alam, ilmu bahasa seperti nahwu,
balaghah, juga ilmu syari’at seperi fikih, ushul fikih. Hal itu karena
memang sesuai dengan tabi’atnya sebagai seorang yang ahli di segala bidang
ilmu. Setiap kali ia menemukan hubungan dari lafal al-Qur’an dengan ilmu-ilmu
yang dikuasainya, ia akan melakukannya sehingga sering kali tafsirnya tidak
sesuai dengan yang seharusnya (untuk menerangkan maksud lafal tersebut dalam
ayat al-Qur’an). Maka lebih tepat jika tafsirnya itu disebut sebagai
ensiklopedia ilmu pengetahuan yang mencakup segala bidang ilmu. Sehingga tidak
aneh kalau Ibn ‘A<t}iyah mengatakan bahwa di dalam kitabnya itu terdapat
segala sesuatu kecuali tafsirnya itu sendiri.[24]
Walaupun tafsir tersebut banyak yang mengkritik dari segi cara al-Ra>zi>
yang terkadang berlebihan dalam menafsirkan suatu ayat, tetapi secara obyektif
tafsir tersebut tetap mempunyai kelebihan-kelebihan tersendiri dibandingkan
dengan tafsir yang lain.
Di antara kelebihannya ialah isinya yang mencakup segala
macam jenis ilmu itu sehingga menyerupai ensiklopedia. Di satu sisi hal tersebut
dianggap sebagai kekurangan oleh sebagian ulama tetapi sebagiannya lagi
memandang justru hal tersebut merupakan salah satu dari kelebihan yang
dimilikinya. Karena secara asasi kitab itu sudah memenuhi syarat untuk disebut
kitab tafsir.[25]
Sebagai contoh, kita bisa melihat
dari penafsiranya tentang surat al-Fatihah. Surat yang begitu pendek itu bisa
menjadi sebuah kitab yang cukup tebal. Walaupun isinya hanya tafsir surat al-Fatihah
secara menyendiri yang pada edisi sekarang sudah dimasukkan ke dalam tafsirnya.
Isinya ternyata bukan hanya tafsir saja. Di sana pun dibahas segala aspek yang
ada kaitannya dengan isi surat tersebut, baik itu aspek bahasa, ilmu kalam
(pemikiran), fikih dan lain-lain. Sehingga ia sendiri menyebutkan bahwa dari
surat al-FĆ¢tihah ini mengandung 10.000 faedah dan permasalahan yang bisa
digali.[26]
Contohnya ketika menafsirkan kalimat ta’a>wuz\, ia sangat
dipengaruhi oleh keadaan perpecahan umat Islam saat itu. Sekte-sekte Islam yang
sudah jelas sesat itu ia masukkan dalam memaknai berlindung kepada Allah. Jadi
yang dimaksud dengan “Aku berlindung kepada Allah dari godaan syetan yang
terkutuk”, ialah berlindung kepada Allah dari segala hal yang dilarang, baik
itu yang bersifat keyakinan ataupun amal perbuatan. Dari aspek keyakinan, umat
Islam terpecah menjadi sekte-sekte (aliran). Setiap aliran ini mempunyai
kesesatan yang berbeda-beda, ada yang karena perbedaan dalam memahami Zat
Allah, sifat-sifat-Nya, masalah taqdir dan pemahaman-pemahaman lainnya yang
jelas jauh dari pemahaman islam yang benar.[27]
Tentang ta’a>wuz\ ini ditinjau pula dari segi bahasa. Ketika membahas dari
segi bahasa ini sampai melebar ke pembagian isim, fi’il malah sampai ke
penjelasan yang bersifat filosofis yaitu tentang apa yang menyebabkan fa>’il
marfu>’, maf’u>l mans}u>b dan mud}a>f ilaih majru>r
dari segi i’rab-nya[28]
Warna fikih bisa dilihat ketika menafsirkan ta’a>wuz\. Dalam hal
ini, al-Ra>zi> membagi menjadi 13 permasalahan. Mulai dari kapan waktu
membacanya, hukum membacanya, cara membacanya dan semua yang berhubungan dengan
permasalahan fikih. Setiap permasalahan itu ia sebutkan setiap ikhtilaf yang ada
beserta argumen masing-masing mazhab. Dan ia memilih salah satu yang menurutnya
ra>jih.[29]
Warna ilmu kalamnya bisa terlihat
ketika ia menafsirkan kata al-‘a>lami>n. Penjelasannya dimulai dari
makna secara bahasa, bahwa alam adalah segala yang ada selain Allah. Selanjutna al-Ra>zi> menerangkan pembagian
alam menjadi tiga macam menurut pembagian ilmu kalam. Yaitu, al-mutahayiz[30], al-mufaraqa>t[31] dan al-s}ifa>t[32]. Tetapi setelah pembagian itu ia
langsung menerangkan bahwa pembagian tersebut bukan berarti menegasikan bahwa
tidak ada alam lain kecuali hanya tiga macam itu saja sebagaimana yang dianut
oleh para filosof. Ia berargumen bahwa dengan ke-Mahakuasaan-Nya Allah mampu
menciptakan segala hal yang mungkin.[33]
Selain itu juga, tafsir ini hampir
sama sekali bersih dari kisah-kisah israiliyat. Walaupun memang ada itu hanya
untuk menunjukkan kesalahannya saja tidak lebih dari itu.[34] Bisa kita
lihat salah satu contohnya tentang komentarnya setelah mencantumkan satu kisah
tentang Harut dan Marut dua malaikat yang diturunkan ke bumi untuk menjalani
ujian dari Allah (menurut kisah tersebut). Ia mengkomentari bahwa kisah itu
betul-betul bukan berasal dari Islam dan sama sekali bertentangan dengan akidah
Islam, bahwa Malaikat itu makhluk yang selalu ta’at kepada Allah dan tidak
pernah menentang perintah-Nya walaupun hanya sekali.[35]
al-Ra>zi> pun tidak lupa
untuk menerangkan kesesuaian antara isi ayat-ayat al-Qur’an dengan suratnya.[36] Satu hal
yang harus diketahui tentang tafsirnya ini, yaitu mengenai penulisannya.
Ternyata penulisan tafsirnya itu tidak selesai atau dengan kata lain ia tidak
sempat menafsirkan seluruh surat al-Qur’an yang terdiri dari 114 surat itu.
Sebenranya ia hanya sampai pada surat al-Anbiya>’. Selebihnya, diteruskan
oleh Syiha>b al-Di>n al-Khaubi> akan tetapi ia pun tidak sampai
menyelesaikannya dengan sempurna. Maka penulisannya kemudian dilanjutkan oleh
Najm al-Di>n al-Qa>mu>li>. Sebagaimana menurut penjelasan al-Zaha>bi>.[37]
F. Muna>sabah Menurut al-Ra>zi>
Dalam makalah ini, penulis tidak mampu
memaparkan secara panjang lebar pendapat al-Ra>zi> mengenai muna>sabah. Namun demikian al-Ra>zi> adalah salah
satu di antara mufassir klasik yang sangat memperhatikan muna>sabah dalam al-Qur’an.[38]
Oleh sebab itu, untuk mendukung pentingnya muna>sabah dan membuktikan bahwa al-Ra>zi> memiliki
perhatian khusus terhadap muna>sabah, maka
penulis akan menyodorkan beberapa contoh yang ditafsirkan oleh al-Ra>zi>
dengan menggunakan metode muna>sabah.
Misalnya
saja dalam menafsirkan ayat di bawah ini.[39]
Dalam ayat ini al-Ra>zi> mencoba mencari muna>sabah antar kata dalam satu ayat al-Qur’an.
Ų„ِŁَّ Ų±َŲØَّŁُŁ
ُ
Ų§ŁŁَّŁُ Ų§ŁَّŲ°ِŁ Ų®َŁَŁَ Ų§ŁŲ³َّŁ
َŲ§ŁَŲ§ŲŖِ ŁَŲ§ŁْŲ£َŲ±ْŲ¶َ ŁِŁ Ų³ِŲŖَّŲ©ِ Ų£َŁَّŲ§Ł
ٍ Ų«ُŁ
َّ Ų§Ų³ْŲŖَŁَŁ
Ų¹َŁَŁ Ų§ŁْŲ¹َŲ±ْŲ“ِ ŁُŲŗْŲ“ِŁ Ų§ŁŁَّŁْŁَ Ų§ŁŁَّŁَŲ§Ų±َ ŁَŲ·ْŁُŲØُŁُ ŲَŲ«ِŁŲ«ًŲ§ ŁَŲ§ŁŲ“َّŁ
ْŲ³َ ŁَŲ§ŁْŁَŁ
َŲ±َ
ŁَŲ§ŁŁُّŲ¬ُŁŁ
َ Ł
ُŲ³َŲ®َّŲ±َŲ§ŲŖٍ ŲØِŲ£َŁ
ْŲ±ِŁِ Ų£َŁَŲ§ ŁَŁُ Ų§ŁْŲ®َŁْŁُ ŁَŲ§ŁْŲ£َŁ
ْŲ±ُ ŲŖَŲØَŲ§Ų±َŁَ
Ų§ŁŁَّŁُ Ų±َŲØُّ Ų§ŁْŲ¹َŲ§ŁَŁ
ِŁŁَ
Dalam menafsirkan potongan ayat Ų«ُŁ
َّ Ų§Ų³ْŲŖَŁَŁ
Ų¹َŁَŁ Ų§ŁْŲ¹َŲ±ْŲ“ِ,
al-Ra>zi> berkata seperti berikut ini:
ŁŁŁŁ Ų¬Ų§ŁŲ³Ų§ً Ų¹ŁŁ Ų§ŁŲ¹Ų±Ų“ ŁŁŲ§Ł Ų°ŁŁ ŁŁŲ§Ł
Ų§ً Ų£Ų¬ŁŲØŁŲ§ً Ų¹Ł
Ų§ ŁŲØŁŁ
ŁŲ¹Ł
Ų§ ŲØŲ¹ŲÆŁ ، ŁŁŲ°Ų§ ŁŁŲ¬ŲØ ŁŁŲ§ŁŲ© Ų§ŁŲ±ŁŲ§ŁŲ© ، ŁŲ«ŲØŲŖ Ų£Ł Ų§ŁŁ
Ų±Ų§ŲÆ Ł
ŁŁ ŁŁŲ³ Ų°ŁŁ ، ŲØŁ Ų§ŁŁ
Ų±Ų§ŲÆ Ł
ŁŁ
ŁŁ
Ų§Ł ŁŲÆŲ±ŲŖŁ ŁŁ ŲŖŲÆŲ§ŲØŁŲ± Ų§ŁŁ
ŁŁ ŁŲ§ŁŁ
ŁŁŁŲŖ ŲŲŖŁ ŲŖŲµŁŲ± ŁŲ°Ł Ų§ŁŁŁŁ
Ų© Ł
ŁŲ§Ų³ŲØŲ© ŁŁ
Ų§ ŁŲØŁŁŲ§ ŁŁŁ
Ų§ ŲØŲ¹ŲÆŁŲ§
ŁŁŁ Ų§ŁŁ
Ų·ŁŁŲØ
Wujud Allah
yang dianggap duduk di singgasana adalah
ungkapan ajnabi (asing), apalagi jika dikaitkan dengan ungkapan sebelum
dan sesudah potongan ayat ini. Oleh karena itu, maksud duduk di atas singgasana
adalah bukan dalam arti yang sebenarnya, namun dimaknai dengan kesempurnaan
kekuasaan Allah dalam mengatur bumi dan langit sehingga potongan ayat Ų«ُŁ
َّ Ų§Ų³ْŲŖَŁَŁ
Ų¹َŁَŁ Ų§ŁْŲ¹َŲ±ْŲ“ِ harus di-muna>sabah-kan
dengan potongan ayat sebelum dan sesudahnya.
Contoh lainnya adalah dalam QS
al-‘Alaq: 3
Ų®َŁَŁَ Ų§ŁْŲ„ِŁْŲ³َŲ§Łَ Ł
ِŁْ Ų¹َŁَŁٍ
Al-Ra>zi> menjelaskan bahwa
penyabutan al-insa>n pada
ayat ini adalah membuktikan adanya kekhususan manusia dibanding makhluk
lainnya. Padahal ayat sebelumnya menyebutkan bahwa Allah adalah Tuhan yang Maha
Pencipta. Dengan demikian, manusia adalah makhluk paling sempurna sehingga
dijadikan sebagai contoh. Pengkhususan ini disebabkan mungkin karena memang al-Qur’an
diturunkan untuk manusia, atau karena manusia paling sempurna penciptaan atau
karena manusia punya fitrah yang luar biasa.
Selanjutnya ia juga
menjelaskan bahwa Allah mengkaitkan antara ‘alaqah dengan al-qalam.
Menurutnya manusia diciptakan dari segumpal darah yang diangap kotor dan
rendah, kemudian akan menjadi mulia dengan qalam. Oleh
sebab itu, manusia yang mulia adalah manusia yang mampu mengangkat derajatnya
dengan ilmu. Al-Ra>zi> juga menyatakan bahwa ayat ini menjadi peringatan
besar bagi manusia bahwa ilmu adalah sifat manusia yang paling mulia.[40]
G. Manusia Menurut al-Ra>zi>
Dalam pandangan Fakhr al-Di>n al-Ra>zi>, manusia adalah
makhluk ciptaan Allah yang unik. Keunikannya ada pada karakteristiknya yang
khas. Manusia memang beda dengan makhluk ciptaan Allah yang lain. Manusia adalah
makhluk yang memiliki akal dan hikmah serta tabiat dan nafsu. Inilah yang membedakan manusia
bukan hanya dengan binatang dan tumbuhan, tapi juga dengan malaikat.[41]
Untuk menjelaskan pandangan al-Ra>zi> mengenai
manusia, penulis akan mencoba mengambil beberapa contoh penafsirannya mengenai
term al-Insa>n dan Khalifah.
Ų®َŁَŁَ Ų§ŁْŲ„ِŁْŲ³َŲ§Łَ Ł
ِŁْ
Ų¹َŁَŁٍ
Al-Ra>zi>
menjelaskan bahwa penyabutan al-insa>n pada ayat ini adalah membuktikan adanya kekhususan manusia dibanding
makhluk lainnya. Padahal ayat sebelumnya menyebutkan bahwa Allah adalah Tuhan
yang Maha Pencipta. Dengan demikian, manusia adalah makhluk paling sempurna
sehingga dijadikan sebagai contoh. Menurut al-Ra>zi> ada dua kemungkinan
yang meyebabkan manusia dalam surat ini disebut secara khusus. Kemungkinan
pertama, pengkhususan ini disebabkan karena memang al-Qur’an diturunkan untuk
manusia, atau kemungkinan kedua adalah karena penciptaan paling sempurna yang punya
fitrah luar biasa.
Selanjutnya ia juga
menjelaskan bahwa Allah mengaitkan antara ‘ala>qah (segumpal darah) dengan al-qalam (pena). Lebih
jelas al-Ra>zi> menjelaskan bahwa manusia diciptakan dari segumpal
darah yang diangap kotor dan rendah, kemudian akan menjadi mulia dengan al-qalam (pena). Oleh sebab itu, manusia
yang mulia adalah manusia yang mampu mengangkat derajatnya dengan ilmu. Al-Ra>zi> juga menyatakan
bahwa ayat ini menjadi peringatan besar bagi manusia bahwa ilmu adalah sifat
manusia yang paling mulia.[42]
Al-Insa>n dalam QS. Al-Ti>n:
Ć“s)s9 $uZĆø)n=y{ z`»|¡SM}$# Ć¾ĆĆ» Ć`|¡Ć“mr& 5OĆqĆø)s? ĆĆĆ
Al-Ra>zi> berkata bahwa makna kesempurnaan manusia dalam
ayat ini adalah dari segi penciptaan. Sebut saja contohnya bisa makan pakai
tangan. Dan kesempurnaan lainnya yang penting adalah memiliki akal yang sehat,
pemahaman yang kuat, adab, ilmu. Kesempurnaan selanjutnya adalah kebaikan
batin. Singkatnya bahwa al-Ra>zi> menjelaskan bahwa kesempurnaan manusia
adalah kesempurnaan pada bentuk ciptaan, akal serta kemurnian batin. Dengan
kata lain kesempurnaan akan dicapai dengan tiga aspek, yaitu fisik, akal dan
batin.[43]
Sementara term khalifah menjadi penting, karena manusia adalah pemimpin
di muka bumi ini. Oleh sebab itu penting jika ditilik bagaimana al-Ra>zi
menafsirkan ayat tentang khalifah.
ŁَŲ„ِŲ°ْ ŁَŲ§Łَ Ų±َŲØُّŁَ ŁŁŁ
ŁŲ§Ų¦ŁŲ© Ų„ِŁّŁ Ų¬َŲ§Ų¹ِŁٌ ŁِŁ Ų§ŁŲ£Ų±Ų¶ Ų®َŁِŁŁَŲ©ً
Dalam menjelaskan makna khalifah, al-Ra>zi> meyatakan
bahwa khalifah adalah yang berperan sebagai pemimpin bagi yang lainnya yang
berperan untuk menempati kedudukan Allah di muka bumi, sesuai dengan firman
Allah dalam QS. Yunus: 41. “Kemudian Kami jadikan kamu pemimpin di muka bumi
ini”. Selanjutnya al-Ra>zi> menjelaskan beberapa pendapat mengenai makna
khalifah. Di antaranya yang berkata bahwa khalifah yang dimasud adalah Adam as.
Selain itu ada juga yang memaknai keturunan Adam as. Selanjutnyaada juga yang
menyakini adalah manusia yang berfungsi untuk menjaga hukum.[44]
H. Pluralisme Menurut al-Ra>zi>
Sebelum
berlanjut pada penjelasan pluralisme menurut al-Ra>zi>,
terlebih dahulu harus dipahami bahwa pluralisme adalah sebuah sunnatullah.
Pemaknaan pada pluralisme memang sangat beragam, namun demikian yang terpenting
adalah, bagaimana berbagai macam pemahaman tersebut tidak disikapi dengan pra
konsepsi yang dibangun dengan sikap skeptis berlebihan. Pada kesempatan kali
ini, penulis tidak ingin berpanjang lebar mengenai pemaknaan pada pluralisme
itu sendiri. Dalam pada itu, penulis akan mengutip pendapat Jalaluddin Rahmat:
Isme
itu adalah sebuah paham. Ekslusivisme, inklusivisme, dan pluralisme, di dalam
dunia akademis sebetulnya masih bagian dari religious
studies atau pendekatan yang sekular untuk memahami gejala-gejala
keberagamaan. Pluralisme itu bisa berupa paham tapi bisa juga disebut orientasi
keberagamaan. Kita memang harus bisa membedakan pluralisme dan pluralitas.
Pluralistas adalah kenyataan sosial ketika kita menyaksikan adanya masyarakat
yang plural atau majemuk. Tapi pluralisme adalah sebuah paham dalam religious studies.[45]
Zuly Qadir
menyebutkan bahwa pluralisme adalah tidak bermakna bahwa semua agama hendak
disatukan dalam sebuah agama tunggal.[46] Menurut
Fuad Fanani sendiri menyatakan bahwa pluralisme merupakan faktor pendorong
dalam menjalankan
kerjasama dan keterbukaan, sebagaimana telah dinyatakan dalam QS al-Hujrat:
13-14. Fuad Fanani menegaskan, ayat ini sebagai penjelas bahwa pluralitas
adalah “kebijakan Tuhan” sehingga manusia saling mengetahui dan bekerja sama.[47]
Dengan mengutip pendapat Amin
Abdullah, Pradana Boy ZTF menegaskan bahwa kesadaran dan perhatian al-Qur’an
atas pluralisme agama juga diwujudkan dalam ketiadaaan wajibnya dalam al-Qur’an
kepada manusia untuk memeluk agama atau tidak seperti dalam QS. al-Baqarah: 2:
256.[48]
w on#tĆø.Ć) ĆĆ» ĆĆ»ĆÆĆe$!$# ( s% tĆ»¨Ć¼t6¨? ĆĆ“©9$# z`ĆB ĆcĆxƶĆø9$# 4 `yJsĆ¹ Ć¶Ć ĆæƵ3t ĆNqĆ¤Ć³»©Ć9$$Ć/ -ĆĆB÷sĆ£ur «!$$Ć/ Ćs)sĆ¹ y7|¡Ć“JtGĆ³$# ĆourĆ³Ć£ĆØĆø9$$Ć/ 4s+ĆøOĆ¢qĆø9$# w tP$|ĆĆĆæR$# $olm; 3 ĀŖ!$#ur ƬƬĆĆæx Ć®LƬĆ=tƦ ĆĆĆĆĆ
Artinya: Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam).
Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat.
Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka
sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat
yang tidak akan putus, dan Allah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui. (QS. al-Baqarah: 256)
Mengenai QS. al-Baqarah ini, al-Ra>zi>
mengutip pendapat Abu> Muslim dan al-Qafal. Pemaksaan dalam beragama adalah
sesuatu yang menyalahi sunnah Allah. Karena dunia ini adalah wadah untuk
menguji dan mencoba. Oleh sebab itu ketika, seseorang melakukan pemaksaan pada
agama, maka dia telah merusak tatanan dan sunnah Allah tersebut. Karena Allah
sendiri berfirman dalam ayat lain
ŁَŁَŁْ
Ų“َŲ§Ų” Ų±َŲØُّŁَ ŁŲ¢Ł
َŁَ Ł
َŁ ŁِŁ Ų§ŁŲ£Ų±Ų¶ ŁُŁُّŁُŁ
ْ Ų¬َŁ
ِŁŲ¹ًŲ§ Ų£َŁَŲ£َŁŲŖَ ŲŖُŁْŲ±ِŁُ Ų§ŁŁŲ§Ų³
ŲŲŖŁ ŁَŁُŁŁُŁŲ§ْ Ł
ُŲ¤ْŁ
ِŁِŁŁَ
Dengan
demikian kekerasan dan kebencian dalam beragama adalah sesuatu yang dibenci dan
dilarang oleh Allah. Karena keberagamaan tidak boleh dilakukan dengan paksaan,
maka wajar kalau Allah sebenarnya secara tersirat menyampaikan bahwa
keberimanan bukanlah milik seorang yang beragama Islam saja, melainkan juga
umat-umat yang lain, sehingga dibutuhkan penghargaan yang setinggi-tingginya
terhadap pemeluk agama lain. Oleh sebab itu tidak salah jika Allah menjadikan
rahmat sebagai pondasi beragama sebagaimana QS. Al-Anbiya’: 107.
$tBur »oYĆ¹=yƶr& wĆ) ZptHĆ“qy ĆŗĆ¼ĆJn=»yĆØĆ¹=Ćj9 ĆĆĆĆĆ
Dan tiadalah kami
mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.
Dalam
tafsir al-Ra>zi>
dijelaskan,
sosok Rasul adalah seorang yang peduli dengan kesulitan orang lain, sehingga beliau adalah
sosok yang selalu berusaha membawa orang lain pada segala kebaikan. Sosok Nabi
Muhammad bagaikan Dokter yang suka menolong, bagaikan seorang Bapak atau Ayah
yang sangat penyayang. Seorang dokter yang suka menolong akan selalu berusaha
untuk menyembuhkan setiap penyakit yang muncul walupun itu sulit untuk
dilakukan, namun ia akan selalu berusaha untuk meringankannya. Dan seorang ayah
yang penyayang akan menjadi pionir yang terdepan untuk mengajarkan adab maupun
memberikan pencerahan pada anaknya.[49]
Keterbukaan
pemahaman al-Ra>zi> terhadap perbedaan agama juga terlihat dalam tafsir
ayat di bawah ini.
Ų„ِŁَّ
Ų§ŁَّŲ°ِŁŁَ Ų¢َŁ
َŁُŁŲ§ ŁَŲ§ŁَّŲ°ِŁŁَ ŁَŲ§ŲÆُŁŲ§ ŁَŲ§ŁŁَّŲµَŲ§Ų±َŁ ŁَŲ§ŁŲµَّŲ§ŲØِŲ¦ِŁŁَ Ł
َŁْ
Ų¢َŁ
َŁَ ŲØِŲ§ŁŁَّŁِ ŁَŲ§ŁْŁَŁْŁ
ِ Ų§ŁْŲ¢َŲ®ِŲ±ِ ŁَŲ¹َŁ
ِŁَ ŲµَŲ§ŁِŲًŲ§ ŁَŁَŁُŁ
ْ Ų£َŲ¬ْŲ±ُŁُŁ
ْ
Ų¹ِŁْŲÆَ Ų±َŲØِّŁِŁ
ْ ŁَŁَŲ§ Ų®َŁْŁٌ Ų¹َŁَŁْŁِŁ
ْ ŁَŁَŲ§ ŁُŁ
ْ ŁَŲْŲ²َŁُŁŁَ
Sebelum
melakukan penafsiran ayat ini, al-Ra>zi> memeaparkan terlebih dahulu
perbedaan yang ada dalam beberapa term kunci. Sebagaimana dikatahui bahwa qira>’ah yang masyhur adalah “ha>du>”. Sementara menurut al-D}ah}h}a>k dan Muja>hid membacanya “ha>dau”. Selain itu,
term kunci selanjutnya adalah qira>’ah yang dikenal pada kata “al-s}a>bi’i>n atau al-s}a>bi’u>n”. Na>fi’, Syaibah, dan al-Zuhri> membacanya “al-s}a>bi>na” atau “al-s}a>bu>n”. Adapun menurut al-‘Umri> menggunakan hamzah “al-s}a>bi’i>na” atau ”al-s}sa>bi’u>na”. Sedangkan Abu>
Ja’far mengganti hamzah dengan ya’.
Oleh sebab itu ada beberapa
permasalahan yang muncul. Jika hamzah dibuang maka makna yang terkandung
terambil dari kata s}aba>-yas}bu> yang artinya adalah jika condong pada sesuatu maka ia mencintai dan
menyukainya. Namun yang paling terkenal adalah bacaan dengan menggunakan hamzah
karena memiliki makna keluar dari di>n yang satu ke di>n yang lain.
Penafsiran ayat ini berbeda pendapat
diakibatkan oleh lafal “inna allaz\i>na a>manu>
yang dilanjutkan dengan dengan man a>mana bi Alla>h wa al-yaum al-a>khir”.[50]
Oleh sebab itu, al-Ra>zi>
mengutip pendapat Ibn ‘Abba>s,
Ų„Ł
Ų§ŁŲ°ŁŁ Ų¢Ł
ŁŁŲ§ ŁŲØŁ Ł
ŲØŲ¹Ų« Ł
ŲŁ
ŲÆ ŁŲ§ŁŲ°ŁŁ ŁŲ§ŁŁŲ§ Ų¹ŁŁ Ų§ŁŲÆŁŁ Ų§ŁŲØŲ§Ų·Ł Ų§ŁŲ°Ł ŁŁŁŁŁŲÆ ŁŲ§ŁŲ°ŁŁ
ŁŲ§ŁŁŲ§ Ų¹ŁŁ Ų§ŁŲÆŁŁ Ų§ŁŲØŲ§Ų·Ł Ų§ŁŲ°Ł ŁŁŁŲµŲ§Ų±Ł ŁŁ Ł
Ł Ų¢Ł
Ł Ł
ŁŁŁ
ŲØŲ¹ŲÆ Ł
ŲØŲ¹Ų« Ł
ŲŁ
ŲÆ Ų¹ŁŁŁ Ų§ŁŲ³ŁŲ§Ł
ŲØŲ§ŁŁŁ ŁŲ§ŁŁŁŁ
Ų§ŁŲ¢Ų®Ų± ŁŲØŁ
ŲŁ
ŲÆ ŁŁŁŁ
Ų£Ų¬Ų±ŁŁ
Ų¹ŁŲÆ Ų±ŲØŁŁ
Artinya:
Sesungguhnya
orang-orang yang beriman sebelum diutusnya Muhammad dan orang-orang yang ada
dalam agama batil seperti Yahudi dan Nasrani kemudian beriman kepada Allah dan
Hari Akhir maka bagi mereka ganjaran dari Tuhan mereka.
Selain
itu, al-Ra>zi>
juga mengutip perkataan Sufya>n al-S|aur, bahwa lafal “inna allaz|i>na a>manu>” bermakna orang munafik. Oleh sebab itu,
artinya seperti berikut: “Sesungguhnya orang-orang munafik, orang Yahudi,
Nasrani dan shabi’in ketika beriman secara hakiki kepada Allah dan hari akhir
serta melakukan amal shaleh, maka mendapat ganjaran dari Tuhan mereka”
Pendapat terakhir, yaitu mutakallim, orang yang
beriman secara hakiki pada Muhammad serta berpegang teguh dengan keimanan
tersebut.
{ Ų„ِŁَّ Ų§ŁŲ°ŁŁ
Ų”Ų§Ł
َŁُŁŲ§ْ } ŁŁ
Ų§ŁŁ
Ų¤Ł
ŁŁŁ ŲØŁ
ŲŁ
ŲÆ Ų¹ŁŁŁ Ų§ŁŲµŁŲ§Ų© ŁŲ§ŁŲ³ŁŲ§Ł
ŁŁ Ų§ŁŲŁŁŁŲ© ŁŁŁ Ų¹Ų§Ų¦ŲÆ Ų„ŁŁ
Ų§ŁŁ
Ų§Ų¶Ł ، Ų«Ł
ŁŁŁŁ ŲŖŲ¹Ų§ŁŁ : { Ł
َŁْ Ų”Ų§Ł
َŁَ ŲØŲ§ŁŁŁ } ŁŁŲŖŲ¶Ł Ų§ŁŁ
Ų³ŲŖŁŲØŁ ŁŲ§ŁŁ
Ų±Ų§ŲÆ Ų§ŁŲ°ŁŁ
Ų¢Ł
ŁŁŲ§ ŁŁ Ų§ŁŁ
Ų§Ų¶Ł ŁŲ«ŲØŲŖŁŲ§ Ų¹ŁŁ Ų°ŁŁ ŁŲ§Ų³ŲŖŁ
Ų±ŁŲ§ Ų¹ŁŁŁ ŁŁ Ų§ŁŁ
Ų³ŲŖŁŲØŁ ŁŁŁ ŁŁŁ Ų§ŁŁ
ŲŖŁŁŁ
ŁŁ[51]
Pada penafsiran
ketiga inilah, penulis melihat bahwa al-Ra>zi> secara tidak langsung
menyatakan bahwa pada hakikatnya ada juga orang Yahudi, Nasrani dan Shabi’in
yang beriman pada Muhammad, Allah dan hari akhir serta mereka mendapatkan
ganjaran dari Tuhan mereka.
PENUTUP
Dari makalah ini, terlihat bahwa
al-Ra>zi> adalah seorang mufassir yang ahli di berbagai bidang ilmu, yang
pada akhirnya banyak mendapat kritikan khususnya dalam tafsirnya sendiri. Hal
ini disebabkan oleh tafsirnya banyak diisi dengan sesuatu hal yang tidak begitu
urgen. Selain itu, al-Ra>zi> adalah seorang mufassir sunni syafi’i yang
rasionalis, sehingga tafsirnya banyak dibumbui dengan pemikiran filosofisnya.
Mengenai muna>sabah, al-Ra>zi>
adalah sosok mufassir yang menganggap bahwa al-Qur’an adalah kitab yang sangat
teratur sehingga antar kata, antar surat sangat memiliki hubungan yang kuat dan
harusnya lebih diperhatikan lagi.
Mengenai manusia, al-Ra>zi>
menekankan bahwa untuk menjadi seorang manusia yang sempurna harus menekankan
pada tiga aspek, yaitu aspek fisik yaitu kemampuan untuk memaksimalkan bentuk
fisik yang diberikan oleh Allah. Aspek kedua, yaitu aspek akal atau logika.
Seorang manusia yang sempurna dan berhasil mengangkat derajatnya adalah orang
yang mampu memaksimalkan fungsi akal yang diberikan oleh Allah. Dan aspek
ketiga yang tidak kalah pentingnya adalah kejernihan batin.
Semetara itu, mengenai perbedaan
keyakinan atau pluralitas pemahaman, pada hakekatnya al-Ra>zi> sebagai
tokoh mufassir pertengahan telah mencoba menafsirkan ayat-ayat mengenai
inklusifisme Islam. Artinya, bahwa al-Ra>zi> telah tegas melarang adanya
pemaksaan pada agama. Karena baginya perbedaan adalah sunnah Allah. Dan ketika
perbedaan harus dipakasakan pada orang lain, maka dengan sendirinya telah
melanggar sunnah Allah Yang Maha Pencipta perbedaan. Oleh sebab itu, menurut penulis, kitab-kitab
lama masih layak untuk dikaji dan dikaitkan dengan isu-isu kontemporer saat
ini.
DAFTAR
PUSTAKA
Abu> Syuhbah, al-Isra’il>ya>t
wa al-Maud}u>’a>t fĆ®> Kutub al-Tafsi>r. Kairo: Maktabah
al-Sunnah. 1408 H.
al-Daudi>, T{abaqa>t al-Mufassiri>n, Kairo: Maktabah Wahbah, 1972.
Fakhr al-Di>n al-Ra>zi>, Tafsi>r
Mafa>tih} al-Gaib. Lebanon: Da>r al-Fikr, 1981.
Hai’ah al-Tas}h}i>h} Mat}ba’ah
al-Ba>hiyah al-Mis}ri>yah, Muqaddimah Tafsir Mafa>tih} al-Gaib, Kairo: Mathba’ah al-Bahiyah al-Mishriyah, t.th.
Ibn Kas\i>r, al-Bida>yah wa al-Niha>yah,(Beirut: Mu’assasah al-Ta>rikh al-‘Arabi>, 1993.
Jalaludin Rakhmat: “Rahmat Tuhan Tidak Terbatas”. Dalam http://islamlib.com/id/artikel/rahmat-tuhan-tidak-terbatas/.
Ungkapan ini adalah hasil wawancara Novriantoni
dari Kajian Islam Utan Kayu (KIUK) dengan Jalaluddin Rakhmat.
M. Amin
Abdullah, Dinamika Islam Kultural: Pemetaan atas Wacana Islam Kontemporer
. Bandung
Mizan, 2000.
Manna>’ al-Qat}t}a>n, Maba>his\
fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n. Riya>d}: Mansyura>t al-‘As}r
al-H{adi>s\, 1990.
M. Hasby ash-Shiddieqy. Ilmu-ilmu
al-Qur’an. Jakarta: Bulan Bintang. 1993.
Muh}ammad Abd al-‘Az}i>m
al-Zarqa>ni>, Mana>hil al-’Irfa>n fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n,
Beirut: Da>r al-Kutub al-’Ilmi>yah, 1996.
Muh}ammad H{usein al-Z|aha>bi>, al-Tafsi>r
wa al-Mufassiru>n. Kairo: Maktabah Wahbah. 2003.
Pradana Boy ZTF. Para Pembela
Islam: Pertarungan Konservatif dan Progresif di Tubuh Muhammadiyah. Gramata
Publishing: 2009.
al-Qift}i>, Ta>rikh al-Hukama>’, Mesir: Mu’assasah al-Khanji>. tt.
Syafa’atun Amirzanah dkk, Upaya Integrasi Hermeneutika dalam Kajian
Qur’an dan Hadis: Teori dan Aplikasi. Yogyakarta: Lembaga Penelitian UIN
Sunan Kalijaga, 2009.
Jiwa
Manusia Menurut Fakhruddin Al-Razi, dalam http://www.insistnet.com/index.php/option=com_content&view=article&id=94:jiwa-manusia-menurut-fakhruddin-al-razi&catid=20:psikologi-islam&itemid=18
[1] M. Hasby ash-Shiddieqy, Ilmu-ilmu
al-Qur’an, (Jakarta: Bulan Bintang, 1993), hlm. 202. Selain itu bisa dilihat Abu> Syuhbah, al-Isra’il>ya>t wa al-Maud}u>’a>t fĆ®> Kutub al-Tafsi>r
(Kairo: Maktabah al-Sunnah, 1408 H), hlm. 26.
[2] M. Hasby ash-Shiddieqy, Ilmu-ilmu
al-Qur’Ć¢n..., hlm. 202. Lihat juga dalam Muhammad Abu> Syuhbah, al-Isra’il>ya>t
wa al-Maud}u>’a>t..., hlm. 43-44. Selain itu, bisa juga dilihat dalam
Muh}ammad H{usein al-Z|aha>bi>, al-Tafsi>r wa al-Mufassiru>n,
(Kairo: Maktabah Wahbah, 2003), hlm. 163. Atau dalam Manna>’ al-Qat}t}a>n,
Maba>his\ fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n (Riya>d}: Mansyura>t
al-‘As}r al-H{adi>s\, 1990), hlm. 347. Ada juga dalam Muh}ammad Abd
al-‘Az}i>m al-Zarqa>ni>, Mana>hil al-’Irfa>n fi> ‘Ulu>m
al-Qur’a>n, (Beirut: Da>r al-Kutub al-’Ilmi>yah, 1996), hlm. 14
[3] Muh}ammad H{usein al-Z|aha>bi>, al-Tafsi>r
wa..., hlm. 265. Muh}ammad ‘Abd al-‘Azi>m al-Zarqa>ni>, Mana>hil
al-’Irfa>n fi>..., hlm. 55.
[4] Muh}ammad ‘Abd al-‘Azi>m
al-Zarqa>ni>, Mana>hil al-’Irfa>n fi>..., hlm. 265.
[5] Muh}ammad ‘Abd al-‘Azi>m al-Zarqa>ni>, Mana>hil
al-’Irfa>n fi>..., hlm. .56. Di antara syarat tersebut adalah: a.
Mengetahui hadis-hadis Nabi saw., yang s}ah}i>h}. b.
Mengetahui pendapat-pendapat sahabat dalam tafsir al-Qur’an. c. Mengetahui keumuman makna bahasa Arab
dengan memperhatikan setiap perubahan makna pada setiap ayat. d. Mengetahui apa yang seharusnya ia
tafsirkan dengan merujuk kepada aturan syar’i.
[6] Salahuddin
Kafrawi dan Abdul Mustaqim, “Elemen-Elemen Hermeneutika Dalam Tafsir
al-Ra>zi>”. Dalam Syafa’atun Amirzanah dkk, Upaya Integrasi
Hermeneutika dalam Kajian Qur’an dan Hadis: Teori dan Aplikasi. (Yogyakarta:
Lembaga Penelitian UIN Sunan Kalijaga, 2009), 62.
[7] Abu>
‘Abd Alla>h adalah kunyah sebagaimana dijelaskan dalam Waffiya>t
al-A’ya>n dan Syaz\ara>t al-Za|hab, serta dalam ‘Uyu>n
al-‘Anbiya>’. Sementara itu kunyah-nya juga disebut Abu>
al-Ma’a>li> , seperti disebut dalam al-Nuju>m al-Za>hirah. Fakhr al-Di>n
al-Ra>zi>, Tafsi>r Mafa>tih} al-Gaib (Lebanon: Da>r
al-Fikr, 1981), jilid 1, hlm. 3.
[8]
Al-Ra>zi> adalah nisbah dari nama daerah kelahirannya, Roy. Selain itu,
al-Ra>zi> juga dinisbahkan ke al-Bakri>, karena ia adalah salah
seorang keturunan sahabat Rasulullah sekaligus al-Khulafa’ al-Rasyidu>n yang
pertama Abu> Bakr al-S{iddi>q. Lihat dalam al-Daudi>, T{abaqa>t al-Mufassiri>n, (Kairo: Maktabah Wahbah, 1972), hlm. 214. Atau dapat
dilihat juga dalam Abu> Syuhbah..., hlm. 133. Atau dalam Fakhr al-Di>n
al-Ra>zi>, Tafsi>r Mafa>tih} al-Gaib..., jilid 1, hlm. 3.
[9] Salah satu
daerah al-Daila>m dekat dengan Khurasa>n sehingga dinisbatkan pada
namanya Ra>zi>. Fakhr al-Di>n
al-Ra>zi>, Tafsi>r Mafa>tih} al-Gaib..., jilid 1, hlm. 3.
[11] Hai’ah al-Tas}h}i>h} Mat}ba’ah
al-Ba>hiyah al-Mis}ri>yah, Muqaddimah Tafsir Mafa>tih} al-Gaib, (Kairo: Mathba’ah al-Bahiyah
al-Mishriyah, t.th), hlm. Pendahuluan.
[13] Hai’ah al-Tashih Mathba’ah al-Bahiyah al-Mishriyah, Muqaddimah
Tafsir Mafatih,,,. hlm.
Pendahuluan, dan dalam al-Daudi>,
T{abaqa>t al-Mufassiri>n..., 215
[14] Ibn
Kas\i>r,
al-Bida>yah wa
al-Niha>yah,(Beirut: Mu’assasah al-Ta>rikh al-‘Arabi>,
1993), hlm. 68.
[15] Ibn Kasi>r, al-Bida>yah wa al-Niha>yah..., hlm. 67. Muh}ammad H{usein al-Z{aha>bi>, al-Tafsi>r
wa al-Mufassiru>n..., hlm. 299. Dijelaskan bahwa Ibn Kas\i>r
mengutip penjelasan Syiha>b al-Di>n Abu> Sya>mah menyebutkan bahwa
sebabnya ialah karena racun yang dimasukkan ke dalam minuman al-Ra>zi>
oleh sekte al-Kara>miyah yang bermusuhan dengannya. Mereka sering saling menghujat
satu sama lain. al-Ra>zi> sering memperlihatkan kesalahan-kesalahan
keyakinan mereka dan mencelanya. Mereka pun naik pitam dan akhirnya berencana
untuk membunuhnya dengan memasukkan racun ke dalam minumannya. Dan akhirnya
rencana mereka itu berhasil, dan akhirnya al-Ra>zi> pun meninggal dunia.
[16]Hai’ah al-Tashih Mathba’ah al-Bahiyah
al-Mishriyah, Muqaddimah Tafsir Mafatih,,,. hlm. Pendahuluan, al-Daudi>, T}abaqa>t
al-Mufassiri>n..., hlm. 216, al-Qift}i>, Ta>rikh al-H}ukama>’..., hlm. 292.
[18] “Sesungguhnya Allah akan mengutus
untuk umat ini di setiap awal seratus tahun (abad) seorang mujaddid” (HR. Abu> Da>wud dan al-H{a>kim)
[23] Muh}ammad Abu> Syuhbah, al-Isra>’ili>ya>t
wa al-Maud}u>’a>t..., hlm. 34. Juga dalam Muh}ammad H{usein al-Z|aha>bi>,
al-Tafsi>r wa al-Mufassiru>n..., hlm. 302.
[24] Muh}ammad H{usein al-Z|aha>bi>, al-Tafsi>rr
wa al-Mufassiru>n..., hlm. 303. Dan dalam Muh}ammad Abu> Syuhbah, al-Isra>’ili>ya>t
wa al-Maud}u>’a>t..., hlm. 134.
[26] Lihat Fakhr al-Di>n al-Razi, Tafsi>r Mafa>tih} al-Gaib, (Kairo: Mathba’ah al-Bahiyyah
al-Mishriyyah, t. Th), juz 1, hlm. 3.
[30]Segala yang menempati ruang, termasuk
di dalamnya yang terdiri dari beberapa bagian (al-jism) atau pun yang
menyendiri/berdiri sendiri (al-jauhar)
[31] al-Jauhar al-Fard yaitu berupa esensi
[34] Muh}ammad Abu> Syuhbah, al-Isra’il>ya>t wa
al-Maud}u>’a>t..., hlm. 134.
[36] Manna>’ al-Qat}t}a>n, Maba>h}is\ fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n, (Riyadh: Mansyura>t al-‘As}r
al-H{adi>s\, 1990), hal. 368.
[37] Muh}ammad H}usein al-Z|aha>bi>, al-Tafsi>r
wa al-Mufassiru>n..., hlm. 299-301, Manna>’ al-Qat}t}a>n, Maba>his\ fi> ‘Ulu>m..., hlm. 367-368.
[41]
Jiwa Manusia Menurut Fakhruddin Al-Razi, dalam http://www.insistnet.com/index.php/option=com_content&view=article&id=94:jiwa-manusia-menurut-fakhruddin-al-razi&catid=20:psikologi-islam&itemid=18. Diakses tanggal 28 Januari 2011.
[44] Fakhr al-Di>n al-Ra>zi>, Tafsi>r
Mafa>tih} al-Gaib..., al-Maktabah al-Sya>milah, jilid 1, hlm.
441-442.
[45]Jalaludin Rakhmat: “Rahmat Tuhan Tidak Terbatas”.
Dalam http://islamlib.com/id/artikel/rahmat-tuhan-tidak-terbatas/.
Ungkapan ini adalah hasil wawancara Novriantoni
dari Kajian Islam Utan Kayu (KIUK) dengan Jalaluddin Rakhmat,
[48] Pradana Boy ZTF. Para Pembela Islam:
Pertarungan… hlm. 117. Lihat juga pendapat Amin Abdullah yang mengatakan
bahwa al-Qur’an menyadari dan menaruh perhatian akan pentingnya pluralisme
agama, dan sampai batas tertentu, perlakuan atau pandangan al-Qur’an terhadapa
pluralisme agama cenderung liberal. Lihat dalam Amin Abdullah, Dinamika
Islam Kultural: Pemetaan atas Wacana Islam Kontemporer (Bandung Mizan,
2000), hlm. 73.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar