Mayoritas
bangsa Indonesia adalah orang miskin, namun menjadi minoritas karena tidak
punya kekuatan dan kekuasaan. Mayoritas negara kita adalah air atau lautan,
hingga 2/3, namun ternyata orang yang tinggal di daerah perairan tersebut
menjadi minoritas, nir pendidikan, nir perhatian, nir kesejahteraan. Negara
kita dikenal dengan negara agraria, itu artinya juga mayoritas masyarakatnya
juga bekerja di agraria, namun ternyata minor beras hingga harus impor, bahkan
karena pemerintah tidak mampu menjamin pangan beras rakyatnya, sekarang ada
istilah gerakan tanpa beras sehari? Kesalahan pemerintah yang tidak mampu
menjamin kesediaan pangan, malah rakyat yang harus dipaksa untuk meninggalkan
beras.
Negara maritim, yang daerahnya
mayoritas lautan, ternyata juga tidak mampu memaksimalkan swadaya garam.
Sehingga juga harus impor, yang menyebabkan rakyat pekerja tradisional produksi
garam semakin terlilit dan tercekik karena kalah saing dengan garam murah dari
luar negri.
Mayoritas masyarakat kita adalah
orang ramah, sopan dan murah senyum, sehingga konon katanya orang-orang atau
para turis manca negara harus menyediakan obat anti encok, dan pegal hanya
karena kelelahan menerima sapaan dari orang-orang pribumi, yang menyebabkan
mereka harus sedikit membungkuk. Tapi kenapa bisa kalah dengan orang minoritas
yang sudah menghilangkan nilai-nilai peradaban atau nilai-nilai ke-Indonesiaan
tersebut? Buktinya, hampir setiap hari terjadai kekerasan horizontal, baik
antar siswa, antar mahasiswa, antar warga, antar warga dan aparat?
Mayoritas yang naik haji setiap
tahunnya ke Makkah adalah orang Indonesia. Minimal ratusan ribu warga Indonesia
ikut memadati ibadah Haji. Ini artinya, bahwa Indonesia sebenarnya bukanlah
negara yang miskin amat, atau juga bisa jadi, karena ada orang yang rakus ingin
beribadah sendirian berulang kali, sehingga mengabaikan tetangganya yang
morat-marit dan menderita menahan lapar. Kalaulah seandainya, orang individualis
tersebut mau menghilangkan sejenak egonya untuk tidak naik haji untuk yang
kesekian kali, setidaknya dia sudah mampu membantu tetangganya minimal 30 orang
dan mendapatkan uang satu juta/orang. Atau juga membangunkan usaha mandiri
untuk memaksimalkan potensi tetangganya sehingga tidak lagi terjadi kemiskinan.
Bukankah Rasul selama hidupnya
sebenarnya memiliki kesempatan untuk naik haji 8 kali semenjak disyari’atkannya
ibadah haji? Namun kenapa pula, rasul hanya melaksanakan Ibadah haji 2 kali
dalam hidupnya. Itupun, salah satunya karena kepentingan sosial pada saat itu,
sehingga dikenal dengan haji wada’. Haji wada’ ini dimanfaatkan oleh Rasul
sebagai momentum membangun solidaritas umat ketika itu di khutbah ‘Arafah. Kenapa,
rasul tidak pernah memberikan embel-embel haji pada namanya? Sementara di
Indonesia, bisa jadi menyebabkan kemurkaan atau kemarahan, jika namanya disebut
tanpa menyebut haji sekaligus. Haji bukan identitas, tapi nilai spiritual, haji
bukan status, tapi moral, haji bukan kebanggaan, tapi ketawadhu’an, haji bukan
fisik, tapi batin. Haji bukanlah tempat singgah, tapi puncak dari segala
tujuan. Haji bukanlah media curhat sama Allah ketika akan bercerai, ketika
karir terancam, tat kala ingin ikut Pilkada dan lain-lain, namun haji adalah
ibadah tanpa keluh kesah, ibadah perjalan batin dan spiritual, ibadah fisik dan
psikis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar