Translate

Minggu, 13 April 2014

Mayoritas yang Minoritas


Mayoritas bangsa Indonesia adalah orang miskin, namun menjadi minoritas karena tidak punya kekuatan dan kekuasaan. Mayoritas negara kita adalah air atau lautan, hingga 2/3, namun ternyata orang yang tinggal di daerah perairan tersebut menjadi minoritas, nir pendidikan, nir perhatian, nir kesejahteraan. Negara kita dikenal dengan negara agraria, itu artinya juga mayoritas masyarakatnya juga bekerja di agraria, namun ternyata minor beras hingga harus impor, bahkan karena pemerintah tidak mampu menjamin pangan beras rakyatnya, sekarang ada istilah gerakan tanpa beras sehari? Kesalahan pemerintah yang tidak mampu menjamin kesediaan pangan, malah rakyat yang harus dipaksa untuk meninggalkan beras.
            Negara maritim, yang daerahnya mayoritas lautan, ternyata juga tidak mampu memaksimalkan swadaya garam. Sehingga juga harus impor, yang menyebabkan rakyat pekerja tradisional produksi garam semakin terlilit dan tercekik karena kalah saing dengan garam murah dari luar negri.
            Mayoritas masyarakat kita adalah orang ramah, sopan dan murah senyum, sehingga konon katanya orang-orang atau para turis manca negara harus menyediakan obat anti encok, dan pegal hanya karena kelelahan menerima sapaan dari orang-orang pribumi, yang menyebabkan mereka harus sedikit membungkuk. Tapi kenapa bisa kalah dengan orang minoritas yang sudah menghilangkan nilai-nilai peradaban atau nilai-nilai ke-Indonesiaan tersebut? Buktinya, hampir setiap hari terjadai kekerasan horizontal, baik antar siswa, antar mahasiswa, antar warga, antar warga dan aparat?
            Mayoritas yang naik haji setiap tahunnya ke Makkah adalah orang Indonesia. Minimal ratusan ribu warga Indonesia ikut memadati ibadah Haji. Ini artinya, bahwa Indonesia sebenarnya bukanlah negara yang miskin amat, atau juga bisa jadi, karena ada orang yang rakus ingin beribadah sendirian berulang kali, sehingga mengabaikan tetangganya yang morat-marit dan menderita menahan lapar. Kalaulah seandainya, orang individualis tersebut mau menghilangkan sejenak egonya untuk tidak naik haji untuk yang kesekian kali, setidaknya dia sudah mampu membantu tetangganya minimal 30 orang dan mendapatkan uang satu juta/orang. Atau juga membangunkan usaha mandiri untuk memaksimalkan potensi tetangganya sehingga tidak lagi terjadi kemiskinan.
            Bukankah Rasul selama hidupnya sebenarnya memiliki kesempatan untuk naik haji 8 kali semenjak disyari’atkannya ibadah haji? Namun kenapa pula, rasul hanya melaksanakan Ibadah haji 2 kali dalam hidupnya. Itupun, salah satunya karena kepentingan sosial pada saat itu, sehingga dikenal dengan haji wada’. Haji wada’ ini dimanfaatkan oleh Rasul sebagai momentum membangun solidaritas umat ketika itu di khutbah ‘Arafah. Kenapa, rasul tidak pernah memberikan embel-embel haji pada namanya? Sementara di Indonesia, bisa jadi menyebabkan kemurkaan atau kemarahan, jika namanya disebut tanpa menyebut haji sekaligus. Haji bukan identitas, tapi nilai spiritual, haji bukan status, tapi moral, haji bukan kebanggaan, tapi ketawadhu’an, haji bukan fisik, tapi batin. Haji bukanlah tempat singgah, tapi puncak dari segala tujuan. Haji bukanlah media curhat sama Allah ketika akan bercerai, ketika karir terancam, tat kala ingin ikut Pilkada dan lain-lain, namun haji adalah ibadah tanpa keluh kesah, ibadah perjalan batin dan spiritual, ibadah fisik dan psikis.     

Tidak ada komentar:

Posting Komentar