Translate

Sabtu, 19 April 2014

Eksklusifitas Beragama sebagai Bukti Kesombongan


“Tuhan tidak perlu dibela, karena membela makhluk-Nya sudah berarti membela Tuhan. Tuhan tidak butuh cinta dan kasih sayang, karena mencintai dan menyayangi makhluk-Nya sudah pasti mencintai dan menyayangi Tuhan. Berebut kebenaran itu artinya merebut kebenaran mutlak Tuhan, karena Tuhanlah yang Maha Benar”

            Beragama pada hakikatnya adalah wujud ketidak berdayaan manusia di hadapan kekuatan supra natural. Artinya, bahwa ada eksistensi luar biasa yang ada di luar kemampuan dan kekuatan dahsyat di luar kekuatan manusia. Seringkali fenomena alam terjadi yang mana manusia tidak mampu menjawabnya dengan kekuatan fisik, maupun akal atau logika.
            Dulu pencarian sekaligus penemuan kesimpulan Nabi Ibrahim dengan eksistensi Tuhan adalah berawal dari kekaguman terhadap benda-benda langit yang dianggap “wah” dan luar biasa serta mampu memberi dan memancarkan kemahadahsyatan terhadap kehidupannya yang mampu mempengaruhi nurani dan pikirannya. Berawal dari kekaguman atas cahaya penerang dari Bintang-bintang, kemudian berlanjut ke Bulan dan berakhir pada Matahari. Proses ini tentunya tidaklah sesederhana apa yang kita bayangkan, yaitu hanya memandang benda-benda langit semata. Namun lebih dari itu, Ibrahim telah mencoba memaksimalkan potensi nurani ketuhanan yang sebenarnya sudah ada dalam diri setiap individu. Keselarasan antara pikiran, hati, ucapan dan perbuatan merupakan langkah besar yang dilakukan oleh Ibrahim, sehingga menemukan kejujuran hati untuk mengambil sebuah keputusan besar yang pada akhirnya mampu memutar balikkan kehidupannya untuk menemukan Tuhan yang hakiki.
            Penulis membayangkan, bahwa penemuan Tuhan yang dicapai oleh Ibrahim di masa itu, tidaklah jauh berbeda dengan apa yang dilakukan oleh Nabi Muhammad. Muhammad yang juga bertahannus atau menyendiri ke Gua Hira, tentunya tidaklah hanya sekedar menjauh dari kehidupan sosial yang penuh dengan penyimpangan. Namun, Nabi Muhammad mencoba memikirkan, dan  menghayati fenomena alam, fenomena sosial yang ada pada masa itu, dan tentunya dengan menggunakan keselarasan pikiran, hati, lisan dan perbuatan pula sebagaimana halnya Ibrahim.
            Namun, dari kedua kasus besar ini, penulis melihat bahwa, baik Nabi Ibrahim, Nabi Muhammad, sama-sama tidaklah menyendiri hanya karena menganggap diri paling benar, namun malah sebaliknya ingin mencari kebenaran yang hakiki. Kesimpulan yang Nabi Ibrahim dan Nabi Muhammad ambil sebenarnya adalah kesimpulan yang menyalahkan apa yang mereka pikirkan selama ini, dan dalam waktu yang sama pula mereka meninggalkan keegoisan mereka untuk tidak merasa paling benar sendiri, sehingga dengan penuh kekhawatiran akan penolakan dan tantangan besar pun mereka abaikan demi untuk menyampaikan kebenaran yang mereka temukan.
            Keberanian untuk menemukan kebenaran sekaligus misi untuk menyampaikannya adalah manifestasi dari ketidak egoisan mereka sesungguhnya. Dan perlu digaris bawahi, bahwa kebenaran masing-masing yang Nabi Ibrahim dan Nabi Muhammad temukan, tidak pernah disampaikan dengan perasaan ingin menang sendiri, namun dilakukan dengan penuh hikmah dan kebijaksanaan.
            Nabi Ibrahim memulai misinya dengan keyakinan bahwa “aslama” ketundukan dan kepatuhan secara total pada Tuhan merupakan langkah awal yang harus dilakukan untuk menghilangkan sikap sombong dan takabbur di mata umatnya. Tidak jauh berbeda dengan Nabi Muhammad, ia diperintahkan untuk mengakui ke-Maha Besar-an Tuhan sebagai Sang Pencipta. Kedua nabi Tuhan tersebut sama-sama ingin menciptakan peradaban baru yang sangat humanis, dan harmonis, sehingga derajat manusia bisa terangkat.
            Dari kisah kedua Nabi Tuhan ini tentunya ada nilai tersembunyi bahwa Allah menurunkan agama, atau memberikan misi kenabian adalah untuk manusia itu pula, sehingga tidak ada lagi muncul kesombongan antarmanusia, keegoisan antarpenguasa, kerakusan antarpengusaha dan pemegang kendali perekonomian. Dengan demikian, antara manusia muncul harmonisasi kehidupan yang saling peduli, saling memperhatikan, saling berbagi, dan saling menghormati.
            Kalau memang, agama dan misi Nabi Ibrahim dan Nabi Muhammad adalah untuk manusia dan alam, maka tentunya dengan agama seharusnya mampu memunculkan dan menyebarkan kemanusiaan, bukan penindasan. Dengan agama dan misi kenabian,  manusia tidak harus saling menjatuhkan harkat dan martabat manusia lainnya, namun harus mampu mengangkat derajat sebagaimana diperintahkan kepada Nabi-nabi Tuhan. Agama dan misi kenabian muncul karena kasih dan sayang Tuhan terhadap manusia dan alam semesta ini, jadi tidak ada alasan bagi manusia untuk mengancam kehidupan orang lain. Agama dan misi kenabian muncul karena manifestasi pembelaan Tuhan kepada makhluk-Nya yang tertindas, maka manusia yang meyakini Tuhan harus menghilangkan segala bentuk penindasan di muka bumi ini.
            Kalau manusia memang meyakini Tuhan, maka tidak ada alasan untuk menghina makhluk Tuhan, sekalipun ia seorang pezina, pelacur, penjudi, pengemis. Kalau manusia memang meyakini Tuhan, maka mengasihi dan menyayangi makhluk-Nya adalah menghargai dan menghormati Tuhan juga. Agama apapun di muka bumi ini secara universal adalah agama yang menghargai manusia dan alam, jadi tidak ada hak bagi manusia untuk saling curiga, saling merasa paling benar, saling menindas, karena segala bentuk kecurigaan, segala bentuk kecurigaan, segala bentuk penindasan adalah hal yang dibenci Tuhan.   Kalau Tuhan berkehendak untuk menyeragamkan seluruh alam ini, niscaya Tuhan adalah Maha Kuasa, jadi manusia tidak usah terlalu bernafsu untuk mampu menguasai dan mengendalikan segala bentuk yang sudah diamanahkan oleh Tuhan di muka bumi ini. Cukupkanlah diri kita meyakini Tuhan secara benar, total, 100 %, dan menjalankan segala bentuk perintah Tuhan dengan yakin, total dan 100 % pula. Masing-masing kita harus meyakini bahwa Tuhan adalah Maha Adil, jadi biarkanlah pengadilan Tuhan yang berbicara dan membuktikan kebenaran nantinya. Semasa di bumi ini, mari kita masing-masing berjalan sesuai keyakinan kita masing-masing, sama-sama kita menuju Tuhan kita yang Paling Agung, Paling Besar, Paling Benar, Paling Adil. Tidak usah ada lagi klaim yang paling berhak masuk surga Tuhan. Toh, kalau pun nantinya kita semua masuk surga, kan asyik bisa berkumpul bersama, bercanda bersama, dan hidup harmonis kembali. Dan kalaupun kita tidak ada yang masuk surga Tuhan, apakah kita juga bisa protes dengan keadilan Tuhan? Kalau kita protes, terus dimana keyakinan kita bahwa Tuhan adalah Maha Adil? Di mana letak ketulusan dan keihklasan kita pada Tuhan?
            Dari refleksi ini, penulis jadi ingat ketulusan dan keikhlasan seorang manusia, dan wanita luar biasa, yaitu Rabi’ah al-Adawiyah. Dalam sya’irnya ia berucap: “Tuhan, kalau aku mengabdi pada-Mu hanya karena aku menginginkan surga-Mu, maka jauhkanlah aku dari surga itu Tuhan. Jikalau aku pun menjauhi segala kesalahan, kemaksiatan, hanya karena takut akan neraka-Mu wahai Tuhan, maka jatuhkanlah aku ke dalam neraka tersebut.” Luar bisa memang. Mudah-mudahanan kita bisa menjadi orang yang tulus dan ikhlas beragama kepada Tuhan, dan bukan beragama dengan penuh kecurigaan dan kebencian terhadap agama lainnya. Amin...      

Tidak ada komentar:

Posting Komentar