Translate

Minggu, 13 April 2014

Membangun Prinsip Hidup “Sadar Diri”


Di masa-masa bulan politik seperti saat ini, mungkin istilah “sadar diri” memang kurang dikenal. Namun demikian, alangkah indahnya persaingan politik di negara kita ini jika prinsip ini bisa terbangun dalam setiap calon pemimpin. Dengan prinsip ini, tentunya tidak akan ada calon pemimpin yang saling sindir, saling menghujat, dan saling tuding.
Prinsip “sadar diri”, jika dikaitkan dengan bahasa indah dari seorang Khalifah ‘Ali bin Abi Thalib bisa dimaknai sebagai berikut: “istanthiq qalbaka” (ajak bicara kalbu atau nuranimu). Sadar diri akan terwujud jika, setiap manusia mampu mengajak bicara kalbu dan nurani masing-masing, karena nurani tidak akan pernah berbohong. Apa pun yang memunculkan keresahan dalam jiwa, maka itu adalah kesalahan, dan apapun yang membuat ketenangan jiwa, maka itulah kebenaran dan kebaikan.
Kaitannya dengan dunia politik saat ini, bisa dibayangkan seandainya setiap calon pemimpin sama-sama sadar diri, dan berbicara dengan nuraninya. Kesadaran akan kelemahan sekaligus kelebihan orang lain, akan memciptakan calon pemimpin yang berjiwa besar. Sebaliknya, seseorang yang tidak mampu berbicara dengan nuraninya, akan menyebabkan lupa diri dan arogan terhadap orang lain serta penuh kebohongan dan kedustaan pada diri sendiri. Karena ia akan mengatakan ia mampu di balik kelemahannya, mengaku pintar di balik kebodohannya, mengaku jujur di balik kebohongan dan kedustaannya, mengaku terpercaya di balik pengkhianatannya.
Betapa indah negara kita, jika para calon pemimpin kita saling introspeksi diri hingga akhirnya sadar diri, kemudian ekstrospeksi pada calon pemimpin lain sebagai perbandingan. Dalam pada itu, para calon diharapkan melakukan dialektika positif dan bermartabat, sehingga di antara para pemimpin pun bisa menentukan siapa yang paling berhak dan paling bagus untuk menjadi pemimpin. Bagaimana mungkin negara ini tidak maju, jika antarpemimpin saling berbesar hati untuk mengakui kelemahannya sekaligus mengukuhkan orang yang dianggapnya lebih unggul dan pantas darinya.
Sadar diri, jika dipandang sebelah mata memang bukanlah hal yang mudah, dan bahkan bisa dikatakan sesuatu yang mustahil. Namun demikian, hal semacam ini bukanlah sesuatu yang tidak pernah terjadi di masa lalu. Pada saat umat Islam kehilangan figur Nabi Muhammad saw., umat Islam ketika itu kebingungan untuk mencari penggantinya. Sehingga pada saat itu, kaum Anshor mengadakan musyawarah, hingga pada akhirnya kaum Muhajirin pun datang. Singkatnya, pada saat itu, para kaum Anshor mengunggulkan Abu ‘Ubaidah dan Muhajirin cenderung mempercayai ‘Umar bin Khattab sebagai pengganti Rasul sebagai pemimpin umat Islam. Namun, dengan besar hati, prinsip sadar diri atau berbicara dengan nurani dimunculkan oleh ‘Umar bin Khattab dan Abu ‘Ubaidah di depan umat Islam ketika itu. Dengan besar hati, mereka berudua mengakui kelemahannya sekaligus mengukuhkan kehebatan dan keunggulan Abu Bakr Ashshiddiq sebagai calon pemimpin yang lebih pantas untuk menggantikan Nabi Muhammad pada saat itu. Tanpa banyak perbedaan pendapat, Abu Bakr Ashshiddiq pun tepilih sebagai khalifah pertama atau pengganti pertama Nabi Muhammad sebagi pemimpin umat Islam.
Dalam konteks negara kita Indonesia, berharap para calon pemimpin kita nantinya bermusyawarah bersama melakukan dialektika politik bermoral dan bermartabat untuk membangun prinsip hidup “Sadar Diri” sehingga mampu membuat kesimpulan siapa di antara mereka yang paling pantas dan unggul untuk menjadi pemimpin Indonesia di tahun 2014-2019. Setidaknya, kalaupun tidak mungkin akan menyimpulkan sebuah kesepakatan bersama pada sosok tertentu, namun bersama-sama memberikan komitmen untuk membangun bangsa dengan transparan. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar