Di masa-masa bulan politik seperti saat ini, mungkin istilah “sadar
diri” memang kurang dikenal. Namun demikian, alangkah indahnya persaingan
politik di negara kita ini jika prinsip ini bisa terbangun dalam setiap calon
pemimpin. Dengan prinsip ini, tentunya tidak akan ada calon pemimpin yang
saling sindir, saling menghujat, dan saling tuding.
Prinsip “sadar diri”, jika dikaitkan dengan bahasa indah dari
seorang Khalifah ‘Ali bin Abi Thalib bisa dimaknai sebagai berikut: “istanthiq
qalbaka” (ajak bicara kalbu atau nuranimu). Sadar diri akan terwujud jika,
setiap manusia mampu mengajak bicara kalbu dan nurani masing-masing, karena
nurani tidak akan pernah berbohong. Apa pun yang memunculkan keresahan dalam
jiwa, maka itu adalah kesalahan, dan apapun yang membuat ketenangan jiwa, maka
itulah kebenaran dan kebaikan.
Kaitannya dengan dunia politik saat ini, bisa dibayangkan
seandainya setiap calon pemimpin sama-sama sadar diri, dan berbicara dengan
nuraninya. Kesadaran akan kelemahan sekaligus kelebihan orang lain, akan
memciptakan calon pemimpin yang berjiwa besar. Sebaliknya, seseorang yang tidak
mampu berbicara dengan nuraninya, akan menyebabkan lupa diri dan arogan
terhadap orang lain serta penuh kebohongan dan kedustaan pada diri sendiri.
Karena ia akan mengatakan ia mampu di balik kelemahannya, mengaku pintar di
balik kebodohannya, mengaku jujur di balik kebohongan dan kedustaannya, mengaku
terpercaya di balik pengkhianatannya.
Betapa indah negara kita, jika para calon pemimpin kita saling
introspeksi diri hingga akhirnya sadar diri, kemudian ekstrospeksi pada calon
pemimpin lain sebagai perbandingan. Dalam pada itu, para calon diharapkan
melakukan dialektika positif dan bermartabat, sehingga di antara para pemimpin
pun bisa menentukan siapa yang paling berhak dan paling bagus untuk menjadi
pemimpin. Bagaimana mungkin negara ini tidak maju, jika antarpemimpin saling
berbesar hati untuk mengakui kelemahannya sekaligus mengukuhkan orang yang
dianggapnya lebih unggul dan pantas darinya.
Sadar diri, jika dipandang sebelah mata memang bukanlah hal yang
mudah, dan bahkan bisa dikatakan sesuatu yang mustahil. Namun demikian, hal
semacam ini bukanlah sesuatu yang tidak pernah terjadi di masa lalu. Pada saat
umat Islam kehilangan figur Nabi Muhammad saw., umat Islam ketika itu
kebingungan untuk mencari penggantinya. Sehingga pada saat itu, kaum Anshor mengadakan
musyawarah, hingga pada akhirnya kaum Muhajirin pun datang. Singkatnya, pada
saat itu, para kaum Anshor mengunggulkan Abu ‘Ubaidah dan Muhajirin cenderung
mempercayai ‘Umar bin Khattab sebagai pengganti Rasul sebagai pemimpin umat
Islam. Namun, dengan besar hati, prinsip sadar diri atau berbicara dengan
nurani dimunculkan oleh ‘Umar bin Khattab dan Abu ‘Ubaidah di depan umat Islam
ketika itu. Dengan besar hati, mereka berudua mengakui kelemahannya sekaligus
mengukuhkan kehebatan dan keunggulan Abu Bakr Ashshiddiq sebagai calon pemimpin
yang lebih pantas untuk menggantikan Nabi Muhammad pada saat itu. Tanpa banyak
perbedaan pendapat, Abu Bakr Ashshiddiq pun tepilih sebagai khalifah pertama
atau pengganti pertama Nabi Muhammad sebagi pemimpin umat Islam.
Dalam konteks negara kita Indonesia, berharap para calon pemimpin
kita nantinya bermusyawarah bersama melakukan dialektika politik bermoral dan
bermartabat untuk membangun prinsip hidup “Sadar Diri” sehingga mampu membuat
kesimpulan siapa di antara mereka yang paling pantas dan unggul untuk menjadi
pemimpin Indonesia di tahun 2014-2019. Setidaknya, kalaupun tidak mungkin akan
menyimpulkan sebuah kesepakatan bersama pada sosok tertentu, namun bersama-sama
memberikan komitmen untuk membangun bangsa dengan transparan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar