Translate

Sabtu, 19 April 2014

Menjadi Waria, Lebih Mulia


Menjadi waria ternyata bukanlah menjadi pilihan yang mudah bagi setiap individu pelakon waria. Demikian pengakuan beberapa waria yang pernah penulis tanyakan. Selain dianggap sebagai penyimpangan sosial, waria juga dianggap sebagai penyimpangan norma dan bahkan agama, sehingga seolah-olah mereka sudah tidak memiliki tempat di muka bumi ini. Namun demikian, di balik semua perlakuan yang dihadapi waria, seperti ketiadaan pengakuan kedudukan mereka di berbagai lini, waria malah tetap menjadi sebuah komunitas yang mampu eksis dan tetap muncul di atas berbagai cemoohan dan gunjingan serta penolakan keras yang ada. Mereka para waria tetap berjuang dan bergerak untuk mendapatkan gerak hidup yang lebih layak, walau bahkan penolakan muncul dari keluarga yang terdekat sekalipun. Hal ini pada hakikatnya sudah menjadi salah satu bukti nyata kuatnya pendirian mereka dalam melakoni kenyataan hidup yang harus mereka hadapi.
            Kehidupan waria memang sangat susah ditebak, karena mereka juga ternyata manusia atau makhluk Tuhan yang sudah lama eksis sebagaimana muncul dan lamanya peradaban manusia. Namun anehnya, pengakuan dan legalisasi mereka tetap mendapatkan tantangan keras di berbagai daerah dan bahkan di banyak negara, termasuk di negara kita Indonesia.
            Penulis adalah salah satu yang bergelut di sebuah pondok pesantren kecil yang dirintis oleh seorang waria. Pesantren ini memang diperuntukkan untuk mereka waria yang dipandang sebelah mata oleh sebagian kelompok masyarakat Indonesia. Di tengah-tengah kecaman yang keras pada mereka (waria) sebagai penista dan penoda agama, ternyata memang hati murni dan akal murni tidak bisa berdusta, bahwa setiap individu memiliki sisi ke-Tuhanan yang tidak bisa diabaikan dan disingkirkan. Namun demikian, tetap saja waria dipandang telah keluar dari ajaran agama dan kodrat mereka.
            Harus diakui memang, negara kita ini adalah negara yang pemimpinnya sudah tidak mampu lagi mengakomodir segala permasalahan rakyatnya. Lihat saja, penggelapan pajak, kongkalikong antara penguasa dan pengusaha, bahkan lebih miris, penguasa bisa jadi lebih rendah dan atau berada di bawah ketiak pengusaha...(yeah,,,, bisa dibilang kaya’ suami takut istri gitu lah...). Di sisi lain,  kekerasan dan pelanggaran HAM yang sudah berulangkali terjadi pun tak kunjung selesai bagai hiasan hidup yang sudah tidak bisa hilang dari pendengaran, pandangan dan prilaku masyarakat kita. Seolah-olah pemerintah sudah tidak lagi mampu melihat, mendengar dan berfikir tentang segala permasalahan yang sama dan berulangkali terjadi.
            Di balik pandangan atas nistanya sebuah fenomena alam atau keberadaan waria, ternyata hal yang sangat berbanding terbalik malah terjadi di tengah kehidupan masayarakat Indonesia yang dikenal ramah, dan sopan serta santun. Jika, waria yang notabene merupakan kesalahan individu dan akan dipertanggungjawabkan secara individu pula di hadapan Tuhannya, dicaci, dinista, dianiaya, serta dikecam sebagai penghuni neraka, maka koruptor menghadapai hal yang jauh dari sewajarnya. Mereka para koruptor tetap saja dianggap sebagai pahlawan besar yang harus dielu-elukan. Lihat saja kasus Ayin atau Artalita yang mendapatkan kemewahan di LP, mendapatkan pelayanan ekstra elit (di penjara ko ada AC, Springbad, TV, de el-el). Seenaknya bisa keluar masuk LP hanya untuk melakukan perawawatan tubuh, agar tetap kelihatan cantik dan molek. Apa memang badan seksi dan molek menjadi salah satu alat untuk mendapatkan perhatian khusus dan spesial dari setiap LP ya?
            Untuk menjemput seorang koruptor ke Colombia saja sekelas M. Nazaruddin harus menelan biaya Rp. 4.000.000.000 (coba dibagikan ke masyarakat miskin ya...). Bahkan fasilitas yang didapat oleh seorang koruptor jauh melebihi fasilitas orang yang suci dan tanpa dosa yang memang mayoritas masyarakat Indonesia yang selalu menjadi korban para kaum elit (coba liat! apa dosa para kaum miskin yang hanya bisa tidur di kolong jembatan dan mengais sampah di jalanan dan comberan? Apa dosa kaum penjual asongan yang tidak pernah mendapatkan rasa aman dan nyaman karena selalu dihantui oleh adanya sweeping dari Satpol PP atau Trantip? Apa dosa anak jalanan yang meminta-minta di pinggir jalan karena tidak bisa makan atau bahkan minum air bersih hanya karena semua dana dan subsidi mereka habis dihisap oleh para penghaus darah di kantor-kantor elit? Apa dosa para pelacur yang harus bercibaku dengan kehidupan nakal serta jahatnya prilaku para lelaki pecundang yang hanya memikirkan nafsu seks mereka semata, sementara mereka (pelacur) harus rela menjajakan diri dan membuang harga diri mereka demi untuk menghidupi tiga empat nyawa di kampung halaman mereka? Apa dosa para waria yang menari dan berjoget di pinggir jalanan sambil ngamen hanya untuk menghidupi pribadi atau keluarga mereka di desa?
            Kalaulah pelacur, waria adalah benar perbuatan dosa, tapi perbuatan mereka hanya untuk pribadi mereka yang sebenarnya bukanlah pilihan yang mereka inginkan. Tapi coba dibandingkan dengan mereka para koruptor, mereka makan dan minum dari harta dan pajak orang miskin, mereka hidup mewah dari pajak para pedagang asongan penjual rokok, penjajah minuman botol dan kemasan yang pabriknya dikuasai oleh pengusaha dan penguasa. Para koruptor bersantai di dalam mobil sedan yang duitnya diambil dari subsidi pendidikan yang seharusnya dinikmati oleh anak-anak jalanan pengemis dan pengamen yang terus berjuang demi sesuap nasi dan seteguk air bersih di bawah panas sengatan matahari, dinginnya angin malam dan guyuran hujan. 
            Kalau memang koruptor sudah dianggap sebagai pelangaran norma hukum, agama dan sosial, tapi kenapa orang masih saja menganggapnya sebagai manusia yang harus mendapat perhatian khusus? Sedangkan waria, yang hanya melakukan kesalahan individu, malah dianggap sebagai penoda norma sosial, agama dan lain-lain. Bahkan lebih dari itu, para pemimpin yang lalai dan berfoya-foya juga tetap dianggap sebagai manusia yang harus dianggap sebagai manusia layak dan harus dihormati, dan sangat bertolak belakang dengan apa yang dihadapi oleh para waria. Bukankah pemimpin yang lalai dengan amanatnya juga termasuk pelanggaran norma sosial, dan agama? Bahkan pemimpin yang zalim adalah salah satu yang sudah dijamin oleh Rasul sebagai penghuni neraka Tuhan nantinya. Bandingkan saja dengan para waria yang berjuang hidup demi sesuap nasi, dan bahkan berjuang melawan kerasnya hidup demi untuk menghidupi keluarganya nan jauh di sana. Perlu diketahui, satu orang waria ditangkap, maka tiga atau empat nyawa terancam tidak bisa makan, karena waria tersebut adalah sebagai tulang punggung keluarga, walaupun tak jarang waria tersebut harus menutup identitasnya dari keluarganya sendiri. Bahkan penulis mengenal seorang waria yang mencoba untuk mengadopsi anak dan di didik sebagaimana anak lainnya yang diharapkan untuk bisa hidup layak dan menjadi manusia yang mampu memanusiakan manusia.
            Demikianlah segelintir kehidupan waria yang harus menantang segala rintangan yang muncul. Kalau begitu, siapa yang lebih mulia? Waria atau pemimpin yang kerjaannya cuma sakit hati dan prihatin tanpa tindak lanjut? Waria atau seorang koruptor yang memakan harta jutaaan rakyat dan bahkan menghisap darah para kaum jalanan dan kecil? Waria yang mampu eksis dan bertahan dalam kehidupan keras atau pemimpin yang hanya sibuk mengurus urusan pribadi yang selalu sakit hati? Bukankah pemimpin yang diharapkan adalah pemimpin tegas dan berani, dan bukan pemimpin yang sentimentil? Bukankah lebih baik sentimentil dalam prilaku fisik seperti waria yang secara fisik adalah pria namun berprilaku dan berpakaian perempuan, daripada fisik pria dan berpakaian pria seolah-olah seorang pejantan tangguh dengan jas stelan, sepatu mengkilap, dasi harga jutaaan, dan berbagai aksesoris mahal yang bahkan kalau dihitung secara nominal, mampu memberi makan 100 orang rakyat kecil, namun memiliki hati kecil, mudah menciut, banci dan kerdil serta tidak memiliki keberanian?
            Koruptor dibolehkan melaksanakan perintah Tuhannya, namun kenapa masyarakat belum siap menerima waria untuk menghadap pada Tuhannya? Koruptor bisa hidup berdampingan dengan masyarakat luas, namun kenapa waria selalu dikucilkan dari kehidupan sosial? Kalau dianggap sebagi penyimpangan norma sosial dan agama, bukankah setiap pelanggaran adalah menyimpang dari norma yang ada? 

1 komentar:

  1. Micro Hair Trimmer - TITIAN ART
    Product Description. Micro Hair titanium solvent trap Trimmer has long been popular in the titanium scrap price cosmetic art field. apple watch series 6 titanium This product is manufactured with a 100-year-old titanium dental gold-leaf  Rating: 5 · ‎9 titanium jewelry piercing reviews

    BalasHapus