Menjadi waria
ternyata bukanlah menjadi pilihan yang mudah bagi setiap individu pelakon
waria. Demikian pengakuan beberapa waria yang pernah penulis tanyakan. Selain
dianggap sebagai penyimpangan sosial, waria juga dianggap sebagai penyimpangan
norma dan bahkan agama, sehingga seolah-olah mereka sudah tidak memiliki tempat
di muka bumi ini. Namun demikian, di balik semua perlakuan yang dihadapi waria,
seperti ketiadaan pengakuan kedudukan mereka di berbagai lini, waria malah
tetap menjadi sebuah komunitas yang mampu eksis dan tetap muncul di atas
berbagai cemoohan dan gunjingan serta penolakan keras yang ada. Mereka para
waria tetap berjuang dan bergerak untuk mendapatkan gerak hidup yang lebih
layak, walau bahkan penolakan muncul dari keluarga yang terdekat sekalipun. Hal
ini pada hakikatnya sudah menjadi salah satu bukti nyata kuatnya pendirian
mereka dalam melakoni kenyataan hidup yang harus mereka hadapi.
Kehidupan waria memang sangat susah
ditebak, karena mereka juga ternyata manusia atau makhluk Tuhan yang sudah lama
eksis sebagaimana muncul dan lamanya peradaban manusia. Namun anehnya,
pengakuan dan legalisasi mereka tetap mendapatkan tantangan keras di berbagai
daerah dan bahkan di banyak negara, termasuk di negara kita Indonesia.
Penulis adalah salah satu yang
bergelut di sebuah pondok pesantren kecil yang dirintis oleh seorang waria.
Pesantren ini memang diperuntukkan untuk mereka waria yang dipandang sebelah
mata oleh sebagian kelompok masyarakat Indonesia. Di tengah-tengah kecaman yang
keras pada mereka (waria) sebagai penista dan penoda agama, ternyata memang
hati murni dan akal murni tidak bisa berdusta, bahwa setiap individu memiliki
sisi ke-Tuhanan yang tidak bisa diabaikan dan disingkirkan. Namun demikian,
tetap saja waria dipandang telah keluar dari ajaran agama dan kodrat mereka.
Harus diakui memang, negara kita ini
adalah negara yang pemimpinnya sudah tidak mampu lagi mengakomodir segala
permasalahan rakyatnya. Lihat saja, penggelapan pajak, kongkalikong antara
penguasa dan pengusaha, bahkan lebih miris, penguasa bisa jadi lebih rendah dan
atau berada di bawah ketiak pengusaha...(yeah,,,, bisa dibilang kaya’ suami
takut istri gitu lah...). Di sisi lain, kekerasan
dan pelanggaran HAM yang sudah berulangkali terjadi pun tak kunjung selesai
bagai hiasan hidup yang sudah tidak bisa hilang dari pendengaran, pandangan dan
prilaku masyarakat kita. Seolah-olah pemerintah sudah tidak lagi mampu melihat,
mendengar dan berfikir tentang segala permasalahan yang sama dan berulangkali
terjadi.
Di balik pandangan atas nistanya
sebuah fenomena alam atau keberadaan waria, ternyata hal yang sangat berbanding
terbalik malah terjadi di tengah kehidupan masayarakat Indonesia yang dikenal
ramah, dan sopan serta santun. Jika, waria yang notabene merupakan
kesalahan individu dan akan dipertanggungjawabkan secara individu pula di
hadapan Tuhannya, dicaci, dinista, dianiaya, serta dikecam sebagai penghuni
neraka, maka koruptor menghadapai hal yang jauh dari sewajarnya. Mereka para
koruptor tetap saja dianggap sebagai pahlawan besar yang harus dielu-elukan.
Lihat saja kasus Ayin atau Artalita yang mendapatkan kemewahan di LP,
mendapatkan pelayanan ekstra elit (di penjara ko ada AC, Springbad, TV, de
el-el). Seenaknya bisa keluar masuk LP hanya untuk melakukan perawawatan tubuh,
agar tetap kelihatan cantik dan molek. Apa memang badan seksi dan molek menjadi
salah satu alat untuk mendapatkan perhatian khusus dan spesial dari setiap LP
ya?
Untuk menjemput seorang koruptor ke
Colombia saja sekelas M. Nazaruddin harus menelan biaya Rp. 4.000.000.000 (coba
dibagikan ke masyarakat miskin ya...). Bahkan fasilitas yang didapat oleh
seorang koruptor jauh melebihi fasilitas orang yang suci dan tanpa dosa yang
memang mayoritas masyarakat Indonesia yang selalu menjadi korban para kaum elit
(coba liat! apa dosa para kaum miskin yang hanya bisa tidur di kolong jembatan
dan mengais sampah di jalanan dan comberan? Apa dosa kaum penjual asongan yang
tidak pernah mendapatkan rasa aman dan nyaman karena selalu dihantui oleh
adanya sweeping dari Satpol PP atau Trantip? Apa dosa anak jalanan yang
meminta-minta di pinggir jalan karena tidak bisa makan atau bahkan minum air
bersih hanya karena semua dana dan subsidi mereka habis dihisap oleh para
penghaus darah di kantor-kantor elit? Apa dosa para pelacur yang harus
bercibaku dengan kehidupan nakal serta jahatnya prilaku para lelaki pecundang
yang hanya memikirkan nafsu seks mereka semata, sementara mereka (pelacur)
harus rela menjajakan diri dan membuang harga diri mereka demi untuk menghidupi
tiga empat nyawa di kampung halaman mereka? Apa dosa para waria yang menari dan
berjoget di pinggir jalanan sambil ngamen hanya untuk menghidupi pribadi atau
keluarga mereka di desa?
Kalaulah pelacur, waria adalah benar
perbuatan dosa, tapi perbuatan mereka hanya untuk pribadi mereka yang
sebenarnya bukanlah pilihan yang mereka inginkan. Tapi coba dibandingkan dengan
mereka para koruptor, mereka makan dan minum dari harta dan pajak orang miskin,
mereka hidup mewah dari pajak para pedagang asongan penjual rokok, penjajah
minuman botol dan kemasan yang pabriknya dikuasai oleh pengusaha dan penguasa.
Para koruptor bersantai di dalam mobil sedan yang duitnya diambil dari subsidi
pendidikan yang seharusnya dinikmati oleh anak-anak jalanan pengemis dan
pengamen yang terus berjuang demi sesuap nasi dan seteguk air bersih di bawah
panas sengatan matahari, dinginnya angin malam dan guyuran hujan.
Kalau memang koruptor sudah dianggap
sebagai pelangaran norma hukum, agama dan sosial, tapi kenapa orang masih saja
menganggapnya sebagai manusia yang harus mendapat perhatian khusus? Sedangkan
waria, yang hanya melakukan kesalahan individu, malah dianggap sebagai penoda
norma sosial, agama dan lain-lain. Bahkan lebih dari itu, para pemimpin yang
lalai dan berfoya-foya juga tetap dianggap sebagai manusia yang harus dianggap
sebagai manusia layak dan harus dihormati, dan sangat bertolak belakang dengan
apa yang dihadapi oleh para waria. Bukankah pemimpin yang lalai dengan
amanatnya juga termasuk pelanggaran norma sosial, dan agama? Bahkan pemimpin
yang zalim adalah salah satu yang sudah dijamin oleh Rasul sebagai penghuni
neraka Tuhan nantinya. Bandingkan saja dengan para waria yang berjuang hidup
demi sesuap nasi, dan bahkan berjuang melawan kerasnya hidup demi untuk
menghidupi keluarganya nan jauh di sana. Perlu diketahui, satu orang waria
ditangkap, maka tiga atau empat nyawa terancam tidak bisa makan, karena waria
tersebut adalah sebagai tulang punggung keluarga, walaupun tak jarang waria
tersebut harus menutup identitasnya dari keluarganya sendiri. Bahkan penulis
mengenal seorang waria yang mencoba untuk mengadopsi anak dan di didik
sebagaimana anak lainnya yang diharapkan untuk bisa hidup layak dan menjadi
manusia yang mampu memanusiakan manusia.
Demikianlah segelintir kehidupan
waria yang harus menantang segala rintangan yang muncul. Kalau begitu, siapa
yang lebih mulia? Waria atau pemimpin yang kerjaannya cuma sakit hati dan
prihatin tanpa tindak lanjut? Waria atau seorang koruptor yang memakan harta
jutaaan rakyat dan bahkan menghisap darah para kaum jalanan dan kecil? Waria
yang mampu eksis dan bertahan dalam kehidupan keras atau pemimpin yang hanya
sibuk mengurus urusan pribadi yang selalu sakit hati? Bukankah pemimpin yang
diharapkan adalah pemimpin tegas dan berani, dan bukan pemimpin yang
sentimentil? Bukankah lebih baik sentimentil dalam prilaku fisik seperti waria
yang secara fisik adalah pria namun berprilaku dan berpakaian perempuan,
daripada fisik pria dan berpakaian pria seolah-olah seorang pejantan tangguh
dengan jas stelan, sepatu mengkilap, dasi harga jutaaan, dan berbagai aksesoris
mahal yang bahkan kalau dihitung secara nominal, mampu memberi makan 100 orang
rakyat kecil, namun memiliki hati kecil, mudah menciut, banci dan kerdil serta
tidak memiliki keberanian?
Koruptor dibolehkan melaksanakan
perintah Tuhannya, namun kenapa masyarakat belum siap menerima waria untuk
menghadap pada Tuhannya? Koruptor bisa hidup berdampingan dengan masyarakat
luas, namun kenapa waria selalu dikucilkan dari kehidupan sosial? Kalau
dianggap sebagi penyimpangan norma sosial dan agama, bukankah setiap
pelanggaran adalah menyimpang dari norma yang ada?
Micro Hair Trimmer - TITIAN ART
BalasHapusProduct Description. Micro Hair titanium solvent trap Trimmer has long been popular in the titanium scrap price cosmetic art field. apple watch series 6 titanium This product is manufactured with a 100-year-old titanium dental gold-leaf Rating: 5 · 9 titanium jewelry piercing reviews