“Tuhan tidak perlu dibela, karena membela makhluk-Nya sudah berarti
membela Tuhan. Tuhan tidak butuh cinta dan kasih sayang, karena mencintai dan
menyayangi makhluk-Nya sudah pasti mencintai dan menyayangi Tuhan. Berebut
kebenaran itu artinya merebut kebenaran mutlak Tuhan, karena Tuhanlah yang Maha
Benar”
Beragama pada hakikatnya adalah
wujud ketidak berdayaan manusia di hadapan kekuatan supra natural. Artinya,
bahwa ada eksistensi luar biasa yang ada di luar kemampuan dan kekuatan dahsyat
di luar kekuatan manusia. Seringkali fenomena alam terjadi yang mana manusia
tidak mampu menjawabnya dengan kekuatan fisik, maupun akal atau logika.
Dulu pencarian sekaligus penemuan
kesimpulan Nabi Ibrahim dengan eksistensi Tuhan adalah berawal dari kekaguman
terhadap benda-benda langit yang dianggap “wah” dan luar biasa serta mampu
memberi dan memancarkan kemahadahsyatan terhadap kehidupannya yang mampu
mempengaruhi nurani dan pikirannya. Berawal dari kekaguman atas cahaya penerang
dari Bintang-bintang, kemudian berlanjut ke Bulan dan berakhir pada Matahari.
Proses ini tentunya tidaklah sesederhana apa yang kita bayangkan, yaitu hanya
memandang benda-benda langit semata. Namun lebih dari itu, Ibrahim telah
mencoba memaksimalkan potensi nurani ketuhanan yang sebenarnya sudah ada dalam
diri setiap individu. Keselarasan antara pikiran, hati, ucapan dan perbuatan
merupakan langkah besar yang dilakukan oleh Ibrahim, sehingga menemukan
kejujuran hati untuk mengambil sebuah keputusan besar yang pada akhirnya mampu
memutar balikkan kehidupannya untuk menemukan Tuhan yang hakiki.
Penulis membayangkan, bahwa penemuan
Tuhan yang dicapai oleh Ibrahim di masa itu, tidaklah jauh berbeda dengan apa
yang dilakukan oleh Nabi Muhammad. Muhammad yang juga bertahannus atau
menyendiri ke Gua Hira, tentunya tidaklah hanya sekedar menjauh dari kehidupan
sosial yang penuh dengan penyimpangan. Namun, Nabi Muhammad mencoba memikirkan,
dan menghayati fenomena alam, fenomena
sosial yang ada pada masa itu, dan tentunya dengan menggunakan keselarasan
pikiran, hati, lisan dan perbuatan pula sebagaimana halnya Ibrahim.
Namun, dari kedua kasus besar ini,
penulis melihat bahwa, baik Nabi Ibrahim, Nabi Muhammad, sama-sama tidaklah
menyendiri hanya karena menganggap diri paling benar, namun malah sebaliknya
ingin mencari kebenaran yang hakiki. Kesimpulan yang Nabi Ibrahim dan Nabi
Muhammad ambil sebenarnya adalah kesimpulan yang menyalahkan apa yang mereka
pikirkan selama ini, dan dalam waktu yang sama pula mereka meninggalkan
keegoisan mereka untuk tidak merasa paling benar sendiri, sehingga dengan penuh
kekhawatiran akan penolakan dan tantangan besar pun mereka abaikan demi untuk
menyampaikan kebenaran yang mereka temukan.
Keberanian untuk menemukan kebenaran
sekaligus misi untuk menyampaikannya adalah manifestasi dari ketidak egoisan
mereka sesungguhnya. Dan perlu digaris bawahi, bahwa kebenaran masing-masing yang
Nabi Ibrahim dan Nabi Muhammad temukan, tidak pernah disampaikan dengan
perasaan ingin menang sendiri, namun dilakukan dengan penuh hikmah dan
kebijaksanaan.
Nabi Ibrahim memulai misinya dengan
keyakinan bahwa “aslama” ketundukan dan kepatuhan secara total pada Tuhan
merupakan langkah awal yang harus dilakukan untuk menghilangkan sikap sombong
dan takabbur di mata umatnya. Tidak jauh berbeda dengan Nabi Muhammad, ia
diperintahkan untuk mengakui ke-Maha Besar-an Tuhan sebagai Sang Pencipta.
Kedua nabi Tuhan tersebut sama-sama ingin menciptakan peradaban baru yang
sangat humanis, dan harmonis, sehingga derajat manusia bisa terangkat.
Dari kisah kedua Nabi Tuhan ini
tentunya ada nilai tersembunyi bahwa Allah menurunkan agama, atau memberikan
misi kenabian adalah untuk manusia itu pula, sehingga tidak ada lagi muncul
kesombongan antarmanusia, keegoisan antarpenguasa, kerakusan antarpengusaha dan
pemegang kendali perekonomian. Dengan demikian, antara manusia muncul
harmonisasi kehidupan yang saling peduli, saling memperhatikan, saling berbagi,
dan saling menghormati.
Kalau memang, agama dan misi Nabi
Ibrahim dan Nabi Muhammad adalah untuk manusia dan alam, maka tentunya dengan
agama seharusnya mampu memunculkan dan menyebarkan kemanusiaan, bukan
penindasan. Dengan agama dan misi kenabian,
manusia tidak harus saling menjatuhkan harkat dan martabat manusia lainnya,
namun harus mampu mengangkat derajat sebagaimana diperintahkan kepada Nabi-nabi
Tuhan. Agama dan misi kenabian muncul karena kasih dan sayang Tuhan terhadap
manusia dan alam semesta ini, jadi tidak ada alasan bagi manusia untuk
mengancam kehidupan orang lain. Agama dan misi kenabian muncul karena
manifestasi pembelaan Tuhan kepada makhluk-Nya yang tertindas, maka manusia
yang meyakini Tuhan harus menghilangkan segala bentuk penindasan di muka bumi
ini.
Kalau manusia memang meyakini Tuhan,
maka tidak ada alasan untuk menghina makhluk Tuhan, sekalipun ia seorang
pezina, pelacur, penjudi, pengemis. Kalau manusia memang meyakini Tuhan, maka
mengasihi dan menyayangi makhluk-Nya adalah menghargai dan menghormati Tuhan
juga. Agama apapun di muka bumi ini secara universal adalah agama yang
menghargai manusia dan alam, jadi tidak ada hak bagi manusia untuk saling
curiga, saling merasa paling benar, saling menindas, karena segala bentuk
kecurigaan, segala bentuk kecurigaan, segala bentuk penindasan adalah hal yang
dibenci Tuhan. Kalau Tuhan berkehendak
untuk menyeragamkan seluruh alam ini, niscaya Tuhan adalah Maha Kuasa, jadi
manusia tidak usah terlalu bernafsu untuk mampu menguasai dan mengendalikan
segala bentuk yang sudah diamanahkan oleh Tuhan di muka bumi ini. Cukupkanlah
diri kita meyakini Tuhan secara benar, total, 100 %, dan menjalankan segala
bentuk perintah Tuhan dengan yakin, total dan 100 % pula. Masing-masing kita
harus meyakini bahwa Tuhan adalah Maha Adil, jadi biarkanlah pengadilan Tuhan
yang berbicara dan membuktikan kebenaran nantinya. Semasa di bumi ini, mari
kita masing-masing berjalan sesuai keyakinan kita masing-masing, sama-sama kita
menuju Tuhan kita yang Paling Agung, Paling Besar, Paling Benar, Paling Adil.
Tidak usah ada lagi klaim yang paling berhak masuk surga Tuhan. Toh, kalau pun
nantinya kita semua masuk surga, kan asyik bisa berkumpul bersama, bercanda
bersama, dan hidup harmonis kembali. Dan kalaupun kita tidak ada yang masuk
surga Tuhan, apakah kita juga bisa protes dengan keadilan Tuhan? Kalau kita
protes, terus dimana keyakinan kita bahwa Tuhan adalah Maha Adil? Di mana letak
ketulusan dan keihklasan kita pada Tuhan?
Dari refleksi ini, penulis jadi
ingat ketulusan dan keikhlasan seorang manusia, dan wanita luar biasa, yaitu
Rabi’ah al-Adawiyah. Dalam sya’irnya ia berucap: “Tuhan, kalau aku mengabdi
pada-Mu hanya karena aku menginginkan surga-Mu, maka jauhkanlah aku dari surga
itu Tuhan. Jikalau aku pun menjauhi segala kesalahan, kemaksiatan, hanya karena
takut akan neraka-Mu wahai Tuhan, maka jatuhkanlah aku ke dalam neraka
tersebut.” Luar bisa memang. Mudah-mudahanan kita bisa menjadi orang yang tulus
dan ikhlas beragama kepada Tuhan, dan bukan beragama dengan penuh kecurigaan
dan kebencian terhadap agama lainnya. Amin...