BANGKIT
DARI KETERTINDASAN
(Studi
atas Pemikiran Kesetaraan Gender Fatayat NU)
Oleh: Arif Nuh Safri (Alumnus
Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga)
Abstrak
Fatayat NU is one
of the Islamic women's
organizations in
Indonesia. This
organization has a goal,
deletion all
forms of violence, injustice
and poverty
in the
community by developing a
constructive discourse of
social life, democracy
and gender
justice. Therefore,
through this
organization also
builds awareness
of women's critical
to realizing gender
equality and
justice. Through
this article, I will
explain how Fatayat NU
tried to build an
opinion and fighting
for the rights of women to be
able to rise from oppression.
PENDAHULUAN
Esensi
Islam sebagai agama adalah menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, sehingga
dengan sendirinya tidak pernah bertentangan dengan istilah Hak Asasi Manusia
(HAM) yang konon sering mendapat kecaman dan stigma negatif hanya karena
disusun oleh negara-negara Barat. Demikian juga tidak pernah berseberangan
dengan cita-cita demokrasi itu sendiri.[1]
Secara teologi, Tuhan pada
hakikatnya juga memberkati setiap manusia yang ada tanpa mendikotomikan antara
perempuan dan laki-laki. Hal ini merupakan kandungan nilai universal yang mampu
mengkover atau melingkupi segala aspek kehidupan manusia. Asas dan tujuan Islam
paling mendasar ada dalam konsep tauhid. Tauhid merupakan basik
untuk setiap muslim dalam menyembah Tuhan, dan dalam membangun harmonisasi
hidup bersama manusia dan makhluk lainnya. Dengan demikian, Islam mengajarkan
kesetaraan derajat manusia, yaitu sama-sama makhluk Tuhan. Yang membedakan
derajat manusia di hadapan Tuhan hanyalah ketundukan dan kepatuhan serta
kesadaran spiritual yang ada dalam diri setiap individu manusia (ketakwaan).
Hai
manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang
perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu
saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi
Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha
mengetahui lagi Maha Mengenal.[2]
Ayat ini merupakan dalil atau buktik
otentik kesetaraan perempuan dan laki-laki, karena Allah sebagai Yang Maha
Pencipta juga secara tegas tidak memandang kualitas ciptaan-Nya dari sudut
jenis kelamin, bangsa, suku, dan ras, namun hanya ketakwaan atau kesadaran
tinggi atas ketuhanan dan ke-Maha Besaran Allah. Bagi penulis sendiri, sesuai
dengan makna dasar kata takwa, yaitu waqa>, yaitu sadar, maka kesadaran manusia atas keberagaman jenis kelamin,
suku, bangsa, ras, agama, dan lain-lain harus menjadi kesadaran yang dibangun atas
kemahakuasaan Allah sebagai Tuhan Pencipta. Sehingga kesadaran ini pula bisa menjadi
pembangun paham atas keadilan dan kesetaraan gender.
Bicara masalah
kesetaraan gender ternyata memang masih harus mendapatkan porsi
tersendiri dan spesial dalam konteks Islam, secara khusus di Islam Indonesia.
Hal ini disebabkan karena penindasan dan pelanggaran hak-hak perempuan masih
sering terjadi. Sehingga tidak salah, jika Fatayat NU adalah salah satu ormas
Islam perempuan yang banyak bergerak dan berjuang di ranah keadilan dan
kesetaraan gender.
ISI
A. Mengenal
Fatayat NU[3]
Fatayat NU merupakan salah satu
organisasi Pemudi Nahdhatul Ulama (NU) yang merupakan organisasi Islam terbesar
di Indonesia.[4] Organisasi ini dirintis oleh perempuan muda tingga serangkai, yaitu:
Murthasiyah, Khuzaimah Mansur, dan Aminah. Karena ormas ini merupakan sayap
dari NU, dan berdiri dalam konteks budaya Indonesia, Fatayat NU tidak bisa dilepaskan dari sejarah
berdirinya Nahdhatul Ulama (NU) sebagai organisasi induknya, dan sekaligus sejarah
Indonesia sebagai tanah airnya.
Pentingya peran perempuan
dalam sebuah ormas, ternyata menjadi sebuah keniscayaan, sehingga ketika itu Kiyai
Dahlan mencoba mengusulkan agar perempuan NU diberi ruang dalam segala bentuk
kegiatan NU, namun pada saat itu mendapat perlawanan yang sengit dari kalangan
NU. Akan tetapi, atas perjuangan Kiyai
Dahlan melalui persetujuan KH. Hasyim
Asy’ari dan KH. Wahab Hasbullah pada Kongres
NU ke-XVI di Purwokerto tanggal 29 Maret 1946, struktur kepengurusan anggota
perempuan NU disahkan dan diresmikan sebagai bagian dari NU. Namanya ketika itu
adalah Nahdhatul Ulama Muslimat yang disingkat NUM. Ketua pertama terpilihnya
adalah Ibu Chadidjah Dahlan dari Pasuruan yang tak lain adalah isteri Kiai
Dahlan.
Kebangkitan perempuan NU
juga membakar semangat kalangan perempuan muda NU yang dipelopori oleh tiga
serangkai, yaitu Murthasiyah (Surabaya), Khuzaimah Mansur (Gresik), dan Aminah
(Sidoarjo). Kongres NU ke-XVIII tanggal 20 April-3 Mei 1950 di Jakarta secara
resmi mengesahkan Fatayat NU menjadi salah satu badan otonom NU. Namun
berdasarkan proses yang berlangsung selama perintisan hingga ditetapkan, Fatayat
NU menyatakan dirinya didirikan di Surabaya pada tanggal 24 April 1950
bertepatan dengan 7 Rajab 1317 H. Pucuk Pimpinan Fatayat NU pertama adalah
Nihayah Bakri (Surabaya) sebagai Ketua I dan Aminah Mansur (Sidoarjo) sebagai. Ketua
II. Kepengurusan pada waktu itu hanya mempunyai dua bagian, yaitu bagian
penerangan dan pendidikan.
Visi:
Pengapusan segala bentuk
kekerasan, ketidakadilan dan kemiskinan dalam masyarakat dengan mengembangkan
wacana kehidupan sosial yang konstruktif,demokratis dan berkeadilan jender.
Misi:
Membangun kesadaran
kritis perempuan untuk mewujudkan kesetaraan dan keadilan jender.
B. Dari Fatayat
NU untuk Indonesia
Indonesia sebagai Negara
hukum telah menjamin hak-hak asasi manusia dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945
Pasal 27 (1), Pasal 28 H ayat (1) dan ayat (2), dan Pasal 28 I (2).[5] Melalui
dasar hukum yang ada dalam Undang-Undang Dasar RI tersebut, setiap orang
mempunyai jaminan kesejajaran atau kesetaraan di hadapan hukum dan perlakuan
yang berkemanusiaan. Selain itu, Indonesia juga sudah memberikan jaminan
kesetaraan, keadilan dan perlindungan dari diskriminasi, penindasan, rasa tidak
aman, serta hak untuk hidup layak.
Pada dasarnya, diskriminasi antara laki-laki dan perempuan sudah
dikikis dan dihilangkan dari kehidupan Negara Indonesia, setidaknya secara yuridis-normatif
sudah disahkan dan termaktub jelas dalam kitab Undang-Undang Dasar 1945
Republik Indonesia. Namun demikian, realita sosial tak jarang bertolak belakang
dengan apa yang sudah ada dalam yuridis-normatif tersebut, sehingga kekerasan
terhadap perempuan,[6]
kekerasan terhadap anak, kekerasan terhadap kaum minoritas, kekerasan atas nama
agama, dan bahkan kebebasan untuk berpendapat masih saja mendapat perlawanan
yang sangat arogan dan berujung pada aksi kriminal.
Melalui Undang-Undang di
atas, Fatayat NU juga tidak ingin abai dari cita-cita luhur tersebut. Sehingga
ketika ada RUU KKG, ormas ini dengan sangat getol berjuang dan gigih agar RUU
ini bisa disahkan walaupun menurut mereka masih butuh pembahasan dan
pencermatan lebih detail dan lebih bijak. Namun demikian, nilai-nilai dan
semangat yang dibangun dalam RUU ini harus didukung dan didorong terus hingga
mampu mewadahi aspirasi perempuan secara khusus.
Saat ini, isu tentang
kesetaraan dan keadilan gender memang sedang menjadi perbincangan di Parlemen.
Salah satu RUU yang masuk dalam daftar Program Legislasi Nasional DPR RI tahun
2011 adalah RUU tentang Kesetaraan dan Keadilan Gender atau biasa dikenal
dengan istilah RUU KKG sebagaimana dijelaskan di atas. RUU KKG ini merupakan
usul inisiatif Komisi VIII DPR RI dan sekaligus sebagai salah satu program
prioritas yang harus segera diselesaikan. RUU KKG ini dipandang penting karena
proses pembangunan merupakan tanggung jawab bersama dan memerlukan partisipasi
baik laki-laki maupun perempuan yang bertujuan untuk menjamin martabat setiap
orang. Hal ini sejalan dengan semangat Hak Asasi yang memberikan landasan kuat
untuk menjamin dan melindungi martabat manusia berdasarkan hukum, bukan atas
dasar kehendak, keadaan, ataupun kecenderungan politik tertentu.
Pada hakikatnya, kesetaran dan
keadilan gender tanpa diskriminatif sudah mendapatkan legislasi kuat di
negara Republik Indonesia sejak 13 tahun yang lalu, yaitu adanya Undang-Undang nomor 29 tahun 1999 tentang Pengesahan Konvensi
Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskiriminasi Terhadap Wanita (Convention
On The Elimination Of All Forms Of Discrimanation Against Women)
dan Instruksi Presiden nomor 9 tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender (PUG)
dan lain sebagainya.[7] Namun, meskipun telah ada berbagai peraturan perundang-undangan yang
mendukung persamaan dan kesetaraan, dalam realitanya masih banyak
praktik-praktik dan tindakan diskriminasi serta ketidakadilan berbasis gender.
Bahkan, masih terdapat sejumlah peraturan yang belum sepenuhnya mengacu pada
hak konstitusional tersebut atau dengan kata lain masih diskriminatif
terhadap perempuan serta belum mengakomodir kebutuhan dan kepentingan
perempuan. Oleh karena itu, usulan mengenai adanya RUU tentang Kesetaraan dan
Keadilan Gender adalah dalam rangka mewujudkan kesetaraan antara laki-laki dan
perempuan untuk memperoleh akses, partisipasi, kontrol, dan manfaat dalam semua
bidang kehidupan.
Perjuangan
Fatayat NU tidak terbatas pada sekedar memperjuangkan kesetaraan gender,
namun juga lebih melihat realita sosial dan fenomena yang dialami oleh wanita
Indonesia secara lebih ril dan nyata, sehingga ormas ini juga sangat
memperhatikan penderitaan yang dialami oleh para TKW Indonesia, kesehatan
reproduksi perempuan,[8] gaji buruh atau PRT wanita yang selalu
lebih murah daripada laki-laki dan juga perdaganngan perempuan.[9] Menurut ormas ini, segala bentuk ketidak
adilan tersebut harus benar-benar diperjuangkan demi untuk mengangkat harkat
dan martabat perempuan.[10]
C.
Progresifitas Pemikiran Keagamaan Fatayat NU
1. Tuhan Tidak Memandang Sex dan Gender
Tuhan memang menciptakan manusia
terdiri dari laki-laki dan perempuan, dan bahkan pengakuan anatomis
tersebut sering diungkapkan dalam al-Qur’an. Selain itu, Tuhan juga benar
memberikan peran masing-masing dalam al-Qur’an yang mencerminkan perbedaan
peran yang dibatasi oleh tempat dan budaya di mana al-Qur’an diturunkan. Namun
demikian, sangat tidak bijaksana jika perbedaan peran fungsi kultural tersebut
dijadikan sebagai tolok ukur kegagalan al-Qur’an. Sangat tidak etis pula kalau
al-Qur’an juga dianggap gagal, jika misalnya pemamahan terhadap teks oleh
setiap anggota masyarakat atau komunitas menjadikan teks sebagai alat
legitimasi penindasan terhadap makhluk Tuhan, secara khusus terhadap perempuan.
Oleh karena itu, jika ada teks yang
dipandang dan dipahami men-subordinasi-kan perempuan atau lebih rendah
dari laki-laki, maka yang harus dicermati ulang adalah pemahaman tersebut, dan kemudian
menjadikannya sebagai pemahaman yang lebih ramah, etis, bermoral dan humanis.
Oleh sebab itu, pada hakikatnya Tuhan sama sekali tidak memandang sex
dan gender dalam hal mendapatkan kemuliaan di sisi-Nya. Intinya bahwa
keadilan dan kesetaraan gender merupakan ruh dan spirit yang dibangun
oleh Tuhan melalui al-Qur’an yang melebihi ruang dan waktu.[11]
Bicara masalah sex dan gender,
masih sangat relevan dalam konteks Islam secara universal, dan secara khusus
dalam konteks Islam Indonesia. Tidak bisa dipungkiri bahwa pembahasan malah gender
di Indonesia tidak selalu mulus dan tanpa ganjalan, terlebih-lebih ketika ada
isu kesetaraan gender.[12] Lebih dari itu pula, ternyata pemahaman terhadap gender
juga masih sangat sering kacau dan tumpang tindih, sehingga seringkali antara sex
dan gender jadi tidak jelas. Kondisi semacam ini bahkan tidak hanya
terjadi di kalangan orang awam, namun juga di kalangan kaum terpelajar.[13]
Berdasar pada realita inilah Musdah
mencoba memberikan pendefenisian tentang sex dan gender.
Jika sex atau jenis kelamin adalah sesuatu yang bersifat biologis dan
kemudian dibedakan juga berdasarkan faktor-faktor biologis hormonal dan patologis
tersebut pula, sehingga muncul laki-laki dan perempuan. Jika laki-laki punya penis,
testis, dan sperma, sementara perempuan punya payudara, ovum
dan rahim. Dan ini semua berdasarkan pemberian Tuhan yang bersifat kodrati
dalam diri manusia.[14]
Adapun gender, adalah
seperangkat sikap, peran, fungsi, dan tanggung jawab yang melekat pada diri
laki-laki dan perempuan akibat bentukan budaya atau pengaruh lingkungan
masyarakat di mana manusia itu tumbuh dan berkembang. Dengan demikian, jelas
sekali perbedaan antara sex dan gender. Jika sex adalah
sesuatu yang sudah kodrati dari Tuhan dan tidak bisa dirubah, maka gender
adalah hasil konstruk sosial budaya yang melingkupi manusia. Seperti laki-laki
yang selalu dipandang dan dianggap superior dari perempuan. Oleh sebab
itu perempuan menjadi subordinasi dan pelengkap kaum laki-laki yang
sering dipandang dan dianggap inferior.[15]
Dari pengertian dan perbedaan antara
sex dan gender di atas, selayaknya menjadi salah satu acuan dalam
memahami maksud dan tujuan kesetaraan gender di Islam Indonesia secara
khusus, sehingga mampu dilihat dan dicermati secara jernih. Perlawanan
kesetaraan gender ini memang tidak semasif apa yang terjadi di berbagai
negara-negara yang mengaku berasaskan Islam seperti Afganistan, Pakistan, Iran, Arab
Saudi dan lain-lain, jika dibandingkan dengan negara Indonesia. Hal ini bisa
dibuktikan dengan munculnya berbagai ormas dan LSM Islam perempuan yang
berjuang untuk hak-hak perempuan.[16] Salah satu contohnya Fatayat NU yang terus melakukan upaya pemberdayaan perempuan di tingkat akar rumput (grassroots).
Para aktivis dari organisasi tersebut berjuang melawan penindasan yang berbasis
ketidakadilan gender dengan menggunakan perspektif Islam.[17]
Berawal dari keyakinan bahwa
Tuhan adalah Yang Maha Tunggal, dan Maha Adil, maka agama Islam yang meyakini
ketauhidan Tuhan Allah, tentunya megajarkan kebebasan terhadap makhluk-Nya dari
keterpurukan dan ketidak adilan serta penindasan dalam bentuk apapun. Oleh
sebab itulah, Allah juga tidak pernah menilai makhluknya dari sex (jenis
kelamin) maupun gender, namun lebih mengedepankan ketakwaan.[18]
Karena bagaimanapun juga laki-laki dan perempuan adalah sama-sama makhluk Tuhan
yang harus diperlakukan secara adil. Oleh sebab itu, Allah mengajarkan
makhluk-Nya untuk menolak perlakuan atau prilaku hidup orang-orang Jahiliyah
PraIslam yang memandang anak perempuan sebagai aib dan harus dibunuh atau
dikubur hidup-hidup.[19]
Selain itu, perempuan juga seringkali dianggap sebagai makhluk hina dan sama
kedudukannya dengan barang mati yang bisa diwariskan. Namun, Islam melalui
wahyu al-Qur’an menentang keras praktek semacam ini dan menjamin hidup dan
perlakuan yang baik.[20]
Lebih dari itu, Allah juga menjamin bahwa laki-laki dan perempuan yang
melakukan amal baik akan mendapat ganjaran yang sama.[21]
Dengan demikian, jelas
sekali bahwa keadilan Allah adalah keadilan yang menembus batas sex dan gender.
Keadilan Allah, adalah keadilan yang memiliki spirit pembebasan dan kesetaraan
yang melampaui batas ras, suku, dan warna kulit, apalagi jenis kelamin. Oleh
sebab itu, Fatayat NU menjadikan tahun 2012 sebagai momentum dan refleksi
sekaligus resolusi bagi negara untuk lebih peduli terhadap perempuan. Ketua
umum Fatayat NU, Ida Fauziah menambahkan, bahwa pemerintah harus mampu meminimalisir
dan mencegah terjadinya kekerasan seksual, dengan cara meningkatkan program
perlindungan terhadap perempuan secara konsisten dan tidak cukup hanya bereaksi
terhadap tindak kekerasan secara parsial dan jangka pendek.[22]
Sebagai langkah kongkrit, Fatayat NU sangat mendukung
terbentuknya Rancangan Undang-Undang Keadilan dan Kesetaraan Gender (RUU
KKG). Hal ini karena dinilai bertujuan untuk
mewujudkan keadilan gender, dengan titik tekan pada perlindungan dan
pemberdayaan terhadap perempuan. Sebagaimana diketahui, bahwa diskriminasi,
ketidakadilan dan kekerasan berbasis gender yang banyak menimpa kaum
perempuan merupakan fakta kongkrit di masyarakat. Lebih jauh lagi, kaum
perempuan sampai saat ini belum mendapatkan akses dan hak yang sama dengan laki-laki
di berbagai bidang, seperti pendidikan, kesehatan, politik, ekonomi dan
lainnya. Hal ini terjadi karena struktur budaya masyarakat Indonesia yang masih
patriarkis dan berkelit-kelindan dengan pemahaman keagamaan yang bias gender.[23]
2.
Rekonstruksi Makna “Qawwa>mu>na”
Perempuan seringkali dinomor duakan
setelah laki-laki. Akibatnya pandangan ini juga membawa perempuan selalu berada
di bawah laki-laki. Secara khusus di Indonesia, superioritas laki-laki
atas perempuan ternyata tidak hanya terkonstruk akibat budaya patriarkal
semata, namun didukung oleh teks keagamaan, dan bahkan terparah hal ini
termaktub dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI).[24]
Ada hal yang sangat bertolak
belakang dengan realita sejarah Islam pada masa-masa keemasan Islam, termasuk
di masa Nabi Muhammad, yaitu minimnya perempuan yang dianggap ahli ataupun
mumpuni di bidang pemikiran Islam jika dibandingkan dengan laki-laki. Dalam
sejarah Islam, dimulai dari ‘Aisyah, diperkirakan ada 2.500 perempuan ahli di
bidang hukum, perawi hadis, dan penyair.[25] Di sisi lain, stereotype pada perempuan yang pada
hakikatnya merupakan bentukan budaya dan adat setempat yang bersifat temporal
dan lokalistik ternyata mampu membuat posisi perempuan semakin tertindas dan
kemudian terbenam oleh sejarah yang tidak adil dan penuh dominasi budaya patrialkal
tersebut. Lihat saja Ratu Bilqis yang mampu menjaga stabilitas ekonomi dan
keamanan rakyatnya pada masa itu, Khadijah sebagai perempuan sekaligus saudagar
sukses dan terpandang di jazirah Arab yang pada saat itu posisi perempuan masih
sangat tertindas, ‘Aisyah yang dikenal banyak mengajari sahabat dan
meriwayatkan hadis dan juga sering berbeda pendapat dengan sahabat lainnya
dalam memahami al-Qur’an adalah segelintir peran perempuan hebat yang pernah
ada dalam sejarah Islam. Di Indonesia, sosok Cut Nyak Din, Cut Meutia, R.A.
Kartini, Malahayati dan lain-lain adalah sosok yang muncul dalam ranah publik
untuk memperjuangan keadilan dan kebebasan dari penindasan.
Dalam konteks masyarakat muslim,
penindasan terhadap perempuan tidak hanya berdasar pada budaya dan adat serta
budaya patrialis semata, namun telah merasuk dan mencomot, dan bahkan
memperkosa teks-teks keagamaan seperti al-Qur’an dan hadis sebagai bentuk
legitimasi hukum. Sehingga tidak bisa dipungkiri, para pengambil otoritas teks
ini telah melampaui kafasitasnya sebagai pemangku relatifitas pemikiran dan
kebenaran, seolah-olah merekalah para pemegang kekuasaan mutlak, pemilik wewenang
dalam menentukan benar-salah, surga-neraka, hitam-putih, dan lain-lain. Mereka
bicara atas nama Tuhan, bertindak dan mengambil keputusan dan kekuasaan
melampaui kekuasaan Tuhan sendiri sebagai Yang Maha Kuasa.
Salah satu teks keagamaan yang
seringkali sebagai alat legitimasi superioritas laki-laki atas perempuan
adalah:
..
Kaum
laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah
melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita)...[26]
Ayat ini seringkali dijadikan
sebagai alat legitimasi atas posisi perempuan berada di bawah laki-laki. Hal
ini tidak bisa dipungkiri karena memang permasalahan yang muncul juga ada dalam
terjemahan ayat tersebut dalam
beberapa al-Qur’an terjemahan versi Indonesia. Oleh sebab itu, menurut Musdah,
selayaknya term ‘qawwa>mu>na’ jangan lagi dimaknai sebagai ‘pemimpin’, namun harus diterjemahkan
dengan ‘pendamping’, sehingga berefek pada adanya kesetaraan dan kerjasama yang
sejajar antara suami dan istri.[27]
Dalam tafsir Ibn ‘A<syu>r sebenarnya sudah dijelaskan secara tegas adanya kesetaraan
laki-laki dan perempuan. Bagi Ibn ‘A<syu>r, penggunaan term al-rija>l disebabkan berkaitan dengan budaya atau tradisi Arab pada saat
itu. Oleh sebab itu, dalam memahami ayat ini, jangan sampai dikaitkan antara
suami dan istri, apalagi dipahami sebagai kemutlakan superioritas suami
terhadap istri, karena ayat ini berlaku
universal dan umum. Dengan demikian, yang perlu dicermati dalam ayat ini adalah
term ‘qawwa>mu>n’.
Term ini adalah gambaran atas idealitas seorang pemimpin yang mampu mengatur
dan mengontrol masalah dan urusan orang lain.[28] Dengan pemaknaan term ‘qawwa>mu>n’ sebagai
syarat idealitas pemimpin, maka penulis memahami bahwa Ibn ‘A<syu>r
mengisyaratkan bahwa bisa jadi perempuan juga bisa menjadi pemimpin bagi
laki-laki apabila memiliki kapabilitas dan kapasitas serta integritas
yang baik dan tinggi. Apalagi menurut Ibn ‘A<syu>r bahwa penggunaan al-rija>l
erat kaitannya dengan budaya setempat pada masa diturunkannya wahyu al-Qur’an.
Dengan demikian, pemahaman atas teks al-Qur’an secara khusus QS. al-Nisa, 4: 34
di atas sebagai dalil superioritas laki-laki atas perempuan adalah
sebuah pemaksaan dan erat dengan kepentingan ideologi. Oleh sebab itu, ayat ini
harus dipahami sebagai dalil adanya hubungan kerjasama antara laki-laki dan
perempuan dalam menciptakan harmonisasi kehidupan, sehingga tidak ada alasan
bahwa superioritas di antara keduanya dipandang dari sudut sex
atau jenis kelamin.
3. Islam Penyanjung Perempuan, Bukan Pemasung Perempuan
Islam muncul bukan dalam ruang dan
waktu yang hampa dan kosong, namun hadir dalam konteks budaya dan tradisi yang
sudah mengakar kuat dalam kehidupan manusia, seacara khusus budaya Arab pada
masa itu. Ini artinya, bahwa peradaban manusia yang hadir sejak keberadaan bumi
ini pula tidak serta merta dihapuskan oleh datangnya Islam, namun Islam muncul
untuk menjadikan dan membentuk peradaban manusia yang lebih maju. Jika masa
praislam jahiliyah, perempuan ibarat benda mati yang bisa diwariskan,[29] maka Islam muncul untuk membebaskan praktek tersebut dengan cara
menetapkan harta waris pada perempuan. Jika masa praislam jahiliyah, anak
perempuan dianggap aib besar dan harus dikubur hidup-hidup,[30] maka Islam muncul dengan membawa risalah kesetaraan antara
laki-laki dan perempuan.
Dalam al-Qur’an maupun dalam hadis,
keberadaan perempuan sebenarnya sangat menjunjung tinggi persamaan dan
kesetaraan. Hal ini bisa dilihat bahwa perempuan dan laki-laki sama-sama berhak
untuk mendapatkan janji paling mulia dan agung dari Allah, yaitu surga.
Keberanian Rasul mengunggulkan perempuan dalam mencapai surga adalah merupakan
revolusi dan terobosan luar biasa pada masa itu dimana masayarakat pada saat
itu masih identik dengan prilaku menomorduakan perempuan.
عَنِ ابْنِ
عَبَّاسٍ قَالَ خَطَّ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم فِى الأَرْضِ أَرْبَعَةَ
خُطُوطٍ قَالَ «أَتَدْرُونَ مَا هَذَا ».قَالُوا اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ. فَقَالَ
رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم «أَفْضَلُ نِسَاءِ أَهْلِ الْجَنَّةِ
خَدِيجَةُ بِنْتُ خُوَيْلِدٍ وَفَاطِمَةُ بِنْتُ مُحَمَّدٍ وَمَرْيَمُ بِنْتُ
عِمْرَانَ وَآسِيَةُ بِنْتُ مُزَاحِمٍ امْرَأَةُ فِرْعَوْنَ
Dari Ibn ‘Abba>s berkata:
“Rasulullah saw., membuat empat buah garis di tanah seraya berkata”. “Apakah
kalian tahu ini?” Para sahabat berkata: “Allah dan Rasul-Nya paling tahu”. Maka
Rasul saw., berkata: “Perempuan penghuni
surga paling utama adalah Khodi>jah bint Khualid, Fa>t}imah bint Muh}ammad,
Maryam bint ‘Imra>n, dan ‘Asiyah bint Muza>him istri Fir’aun”.[31]
Hadis ini merupakan bukti teks
keagamaan bahwa Islam juga mampu mengunggulkan perempuan di atas dominasi
laki-laki. Perempuan-perempuan hebat ini merupakan sosok yang mampu menemukan
cinta Tuhan yang sejati dan terus konsisten dengan cinta Tuhannya. Sehingga
tidak salah kalau Annemarie Schimmel memberi mereka julukan sebagai “Kembang
Peradaban” yang mampu menemukan puncak spiritualitas, yaitu pertemuan
dengan Tuhan Yang Maha Indah.[32] Hal ini tentunya sejalan dengan respon Allah dalam menyikapi
segala bentuk kritik atau pertanyaan yang muncul dari perempuan di kala mereka
menemukan permasalahannya di masa turunnya wahyu. Ketika Ummu Salamah, ra. mempertanyakan tentang
keutamaan berhijrah yang hanya diperuntukkan untuk pria tanpa menyertakan
perempuan. Kemudian turun ayat berikut:
فَاسْتَجَابَ
لَهُمْ رَبُّهُمْ أَنِّي لاَ أُضِيعُ عَمَلَ عَامِلٍ مِّنكُم مِّن ذَكَرٍ أَوْ
أُنثَى بَعْضُكُم مِّن بَعْضٍ فَالَّذِينَ هَاجَرُواْ وَأُخْرِجُواْ مِن دِيَارِهِمْ
وَأُوذُواْ فِي سَبِيلِي وَقَاتَلُواْ وَقُتِلُواْ لأُكَفِّرَنَّ عَنْهُمْ
سَيِّئَاتِهِمْ وَلأُدْخِلَنَّهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِن تَحْتِهَا الأَنْهَارُ
ثَوَابًا مِّن عِندِ اللّهِ وَاللّهُ عِندَهُ حُسْنُ الثَّوَابِ
“Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya
(dengan berfirman), "Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal
orang-orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki atau perempuan,
(karena) sebagian kamu adalah turunan dari sebagian yang lain. Maka orang-orang
yang berhijrah, yang diusir dari kampung halamannya, yang disakiti pada
jalan-Ku, yang berperang dan yang dibunuh, pastilah akan Ku-hapuskan
kesalahan-kesalahan mereka dan pastilah Aku masukkan mereka ke dalam surga yang
mengalir sungai-sungai di bawahnya sebagai pahala di sisi Allah. Dan Allah pada
sisi-Nya pahala yang baik.[33]
Surat Ali ‘Imran ayat 195 di atas
bukanlah satu-satunya ayat yang langsung merespon pertanyaan dan permasalahan
perempuan, masih ada pertanyan tentang pahala yang akan didapatkan oleh para
laki-laki yang pergi ke medan perang yang kemudian Allah secara terbuka
merespon dengan turunya QS. al-Ahzab: 35.
Dalam
hadis di bawah ini, bahkan Rasul secara tegas mengunggulkan seorang ibu 3
(tiga) kali dibandingkan seorang ayah.
عن أبي هريرة رضي الله عنه قال :جاء
رجل إلى رسول الله صلى الله عليه و سلم فقال يا رسول الله من أحق الناس بحسن
صحابتي ؟ قال (أمك). قال ثم من ؟ قال (ثم أمك). قال ثم من؟ قال (ثم أمك). قال ثم
من؟ قال (ثم أبوك)
Dari Abu>
Hurairah ra., berkata: “Seseorang dating kepada Rasul dan kemudia berkata”:
“Wahai Rasulullah, siapa yang paling berhak di antara manusia atas perlakuan
baikku ?” Rasul menjawab: “Ibumu”. Seseorang tersebut bertanya kembali:
“Kemudian?” Rasul menjawab: “Ibumu.” Seseorang itupun kembali bertanya:
“Kemudian?” Rasul menjawab: “Ibumu”. Seseorang itu juga kembali bertanya:
“Kemudian?” Rasul menjawab: “Bapakmu”[34]
Dengan demikian, ini merupakan segelintir bukti
bahwa Allah sebagai Tuhan yang Maha Besar, Maha Kuasa juga sangat peduli dengan
perempuan tanpa memandang sex dan gender asal demi perbaikan taraf hidup,
derajat, kemaslahatan dan keadilan sesama makhluk. Fakta-fakta tersebut
di atas menunjukkan perhatian yang besar terhadap perempuan di masa Nabi saw. Mereka
memiliki ruang, baik dalam urusan publik kaum mukminin, hingga nama dan posisi
mereka disebutkan secara tekstual dalam al-Qur'an, dan status sosial dan keagamaan
mereka diperhitungkan secara benar mengingat perempuan adalah bagian yang tak
terpisahkan dalam kehidupan masyarakat Islam.[35]
Visi ini menegaskan adanya
penghargaan terhadap perspektif, peran dan partisipasi perempuan serta adanya
reaksi positif terhadap protes dan inisiatif yang disampaikan perempuan. Satu
poin penting yang terakhir adalah bahwa Allah mendengar protes yang disampaikan
oleh perempuan, memperhatikan suara mereka yang bertanya-tanya, sehingga
diturunkannya ayat yang jelas dalam menanggapi pertanyaan, keprihatinan dan
kekhawatiran kaum perempuan. Hal ini merupakan bukti yang sangat nyata yang
menjelaskan pentingnya mendengarkan suara perempuan dalam konteks sejarah
berikutnya, juga pentingnya menyikapi suara perempuan dengan bijaksana, seperti
yang terjadi di era Islam, yang ditunjukkan baik oleh Allah Yang Mahakuasa
maupun Rasul-Nya.[36]
KESIMPULAN
Perempuan adalah makhluk Tuhan yang sejajar dan sama kedudukannya di
hadapan Tuhan Allah. Kesetaraan ini juga banyak diajarkan sekaligus
dipraktekkan oleh Rasul sebagai pemegang risalah kenabian pada masa itu. Namun
demikian, nilai-nilai universal kenabian dan simbol ketuhanan ini ternyata
terkikis disebabkan oleh budaya dan peradaban manusia yang lebih bersifat patrialkal
dan kemudian men-subordinasi-kan posisi perempuan. Pemahaman semacam ini
jugalah yang melanda mayoritas masyarakat muslim di dunia, secara khusus di
Indonesia.
Melihat kondisi seperti ini, Fatayat
NU muncul dengan visi dan misi pembebasan terhadap perempuan dari segala bentuk
penindasan, segala bentuk ketidak adilan dan kesewenang-wenangan terhadap
perempuan. Bagi ormas Islam perempuan ini, segala bentuk kekerasan dan ketidak
adilan terhadap perempuan ini adalah hanya semata-mata bentukan budaya dan adat
istiadat, sehingga legitimasi atas teks-teks keagamaan adalah bentuk ketidak
pahaman atas teks keagamaan itu sendiri, dan perlu pemikiran ulang kembali yang
mampu mengangkat derajat dan harkat serta martabat perempuan agar mampu ikut
dalam membentuk peradaban manusia yang lebih maju dan humanis.
DAFTAR PUSTAKA
Ah}mad
bin Muh}ammad bin H{anbal, Musnad Ah}mad. CD Rom al-Maktabah al-Sya>milah,
Ridwana Media.
Amina Wadud Muhsin, “Al-Qur’an dan Perempuan”. Dalam Charles
Kusman, Wacana Islam Liberal: Pemikiran Islam Kontemporer tentang Isu-Isu
Global, terj. Bahrul Ulum et al, Paramadina: Jakarta, 2001.
Al-Bukha>ri>, S{ah}i>h}
al-Bukha>ri>. CD. Rom al-Maktabah al-Sya>milah, Ridwana Media.
Al-H{a>kim,
al-Mustadrak ‘ala> al-S{ah}i>h}ain li al-H{a>kim. CD. Rom
al-Maktabah al-Sya>milah, Ridwana Media.
Hamka, Kedudukan Perempuan Dalam Islam, Jakarta: Pustaka
Panji Mas, 1996.
Ida Fauziah, “Fatayat NU Desak Negara Lebih Peduli Perempuan”,
dalam www. fatayat.or.id.
Jalaluddin Rakhmat, Islam Aktual: Refleksi-Sosial Seorang
Cendekiawan Muslim, Mizan: Bandung, 1998.
Khariroh Ali, “Selamat Datang RUU KKG”. Dalam http://fatayat.or.id/editorial/detail/7.
Kholed Abou El-Fadl, “In Recognition of Women”. Dalam http://www.scholarofthehouse.org/inreofwobykh.html
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sekretariat Jenderal MPR RI:
Jakarta, 2012.
Maria Ulfah Anshor, “Islam Sangat Memperhatikan Ibu”. Jurnal Swara
Rahima, no. 9, Th III, November 2003.
Miftahul Jannah, “Menjamin Keadilan Gender Melalui Undang-Undang”,
dalam fatayat.or.id/detail/18.
Muh}ammad
al-T{a>hir Ibn ‘A<syu>r, Tafsi>r al-Tah}ri>r wa
al-Tanwi>r, al-Da>r al-Tu>nisi>yah li al-Nas}r: Tunisia, 1984.
Musdah Mulia, Islam dan Hak Asasi Manusia: Konsep dan
Implementasi, Naufan Pustaka: Yogyakarta, 2010.
____________, Muslimah Sejati: Menempuh Jalan Islami Meraih
Ridha Ilahi, Marja: Bandung, 2011.
____________,Membangun Surga di Bumi: Kiat-kiat Membina Keluarga
Ideal dalam Islam, Gramedia: Jakarta, 2011.
____________, Artikel “Islam as a Tool for Women’s Empowrment and
Peace Building”.
Nevisra Viviani,“Sketsa Gerakan Perempuan di Indonesia “Mengukir
Sejarah Baru”” dalam Jurnal Swara Rahima, no. 1, Th I, Mei 2001.
Omaima Abou Bakr, “Islam dan Gender”. Dalam http://fatayat.or.id/artikel/detail/19.
Riri Khariroh, “Benarkah Perempuan Muslim
Tertindas? Belajar dari Gerakan Perempuan Islam di Indonesia”. Dalam http://www.rahima.or.id/313.
Saidah
Sakwan, dkk, Potret Politik Perempuan dalam Ormas Keagamaan, (Institute
for Research and Community Development Studis dan Kementerian Negara
Pemberdayaan Perempuan Republik Indonesia: Jakarta, 2007.
Yusuf Qardhawi, Berinteraksi dengan Alquran, terj. Abdul
Hayyie al-Kattani, Jakarta: Gema Insani Press, 1999.
.
[3]
Sejarah Fatayat NU ini langsung penulis kutip dari website Fatayat NU, yaitu
dalam http://fatayat.or.id/Sejarah. diakses
tanggal 25 Juni 2012.
[6] Dalam penerapan
undang-undang atau syari’at Islam, seringkali perempuan dijadikan sebagai objek
dan sasaran kontrol untuk mewujudkan sistem sosial yang diidealkan. Misalnya
dalam pelaksanaan perda syari’at di Aceh, berita-berita di media massa
mengungkapkan bagaimana perempuan di Aceh digunduli dan dituduh sebagai
‘perempuan tidak baik’ bila tidak menggunakan jilbab. Baca Nevisra
Viviani,“Sketsa Gerakan Perempuan di Indonesia “Mengukir Sejarah Baru”” dalam
jurnal Swara Rahima, no. 1, Th I, Mei 2001, hlm. 4
[8]
Tingginya angka kematian ibu yang melahirkan di Indonesia membuat Fatayat NU
harus juga ikut andil dalam memperjuangkan hak-hak kesehatan reproduksi
perempuan, sehingga ormas ini memiliki pusat kesehatan reproduksi (PIKR) di
beberapa cabang Fatayat di Indonesia. Walaupun tidak khusus menangani kasus
kematian ibu akan tetapi PIKR ini memang dikonsepkan sebagai pusat informasi
yang dapat dengan mudah diakses oleh perempuan dan kaum ibu di mana PIKR itu
berada. Lihat dalam wawancara Swara Rahima dengan Maria Ulfah Anshor (Ketua
Umum Pucuk Pimpinan Fatayat NU 2000-2004), “Islam Sangat Memperhatikan Ibu”.
Jurnal Swara Rahima, no. 9, Th III, November 2003, hlm. 6-7.
[10]
Lihat dan baca Resolusi Fatayat NU tahun 2012 di bawah ini. Refleksi dan
Resolusi Fatayat NU ini dapat didwnload di http://fatayat.or.id/unduh.
di akses tanggal 20 Juni 2012.
Fatayat sebagai organisasi
perempuan Islam yang beranggotakan lebih dari 5 juta orang, dan memiliki
struktur kepengurusan di tingkat nasional, propinsi, kabupaten/ kota,
kecamatan, desa/ kelurahan, memiliki kepedulian untuk meningkatkan kesetaraan
gender baik di di bidang pendidikan, ekonomi, pendidikan, kesehatan, politik,
budaya dan agama. Oleh karenanya, dalam momentum berharga Refleksi Awal Tahun
dan Resolusi 2012 Fatayat NU mengajukan pertanyaan sekaligus menjadi dasar Resolusi
2012:
1. Dimanakah Negara dan para pemimpin ketika rakyat merasa sendirian saat
mereka lapar, sakit, kesepian dan ketakutan.
2. Dimanakah Negara , para pemimpin ketika rakyat
merasa bingung, kehilangan harapan atau cuma bisa ketawa ketika bicara masa
depan.
3. Dimanakah Negara, para pemimpin ketika para ibu
kami, perempuan dan anak-anak kami menghadapai berbagai kesulitan hidup karena
kuatnya stereotype, diskriminasi, kemiskinan, ketidakadilan dan
kekerasan.
4. Dimanakah Negara juga para pemimpin ketika
ketika nasib dan nyawa para buruh migrant berada di tubir
jurang, setiap harinya. Ruyati dipancung, puluhan yang lain menunggu dengan
gelisah dan berduka, sementara ribuan
yang lain mendekam dalam penjara tanpa pembela
5. Dimanakah Negara juga para pemimpin ketika
kerukunan dan cinta kasih makin terkoyak oleh sikap intoleran, penistaan
dan kekerasan karena berbeda agama, keyakinan dan kepercayaan
6. Dimanakah Negara juga para pemimpin ketika
korupsi dibiarkan terus terjadi ,melindas dan menghancurkan nilai luhur bangsa,
menghancurkan harga diri, membunuh para ibu dan bayi-bayi mereka, meruntuhkan
jembatan, merobohkan gedung-gedung sekolah, merampas tanah dan ladang para
petani kita, serta menghancurkan
generasi baru Indonesia merdeka.
7. Dimanakah Negara,
juga para pemimpin ,ketika satu demi satu kekuatan kapital asing mengambil sumberdaya ekonomi kita untuk
kemakmuran asing seluas-luasnya, dan sebaliknya mendatangkan bencana dan
kesengsaraan sebesar-besarnya bagi rakyat dan seluruh bangsa Indonesia.
Resolusi 2012.
1. Musuh bersama kita adalah keserakahan, ketakpeduliaan
, ketakadilan dan mementingkan diri sendiri. Musuh-musuh
ini yang mendompleng berbagai ideologi dan
kepercayaan, baik itu kapitalisme ekonomi politik dan fundamentalisme agama , dimana telah terbukti
menyebabkan kehancuran, penderitaan bagi banyak manusia, khususnya kaum mustadh’afin, kaum miskin, perempuan, anak-anak, golongan minoritas
dan masa depan bangsa.
2. Reformasi meminta harga yang mahal, tapi
harga ini menjadi ringan tatkala dipikul secara gotong-royong oleh semua
komponen bangsa, bukan malah dihancurkan dengan sikap menang sendiri, mengambil
keuntungan untuk diri sendiri atau golongannya sendiri, dan mengabaikan
kepentingan umum, kepentingan terbesar dari rakyat Indonesia.
3.
Para
pemimpin harus kembali pada spirit Konstitusi sebagaimana tercantum dalam UUD
1945 dan pentingnya muhasabah dan
pertaubatan atas berbagai ketidakadilan yang selama ini dirasakan oleh rakyat
Indonesia.
[12]
Salah satu bukti perlawanan pengesahan kesetaraan gender di Indonesia
bahkan ditentang oleh salah satu Ormas Islam yang mengatas namakan intelektual
Muslim, yaitu Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI). Pernyataan
sikap mereka ini diposting pada hari Minggu, tanggal 08 April 2012 dan bisa
dilihat dalam ewbsite MIUMI sendiri. Bagi Ormas MIUMI, pembagian peran dan
laki-laki bukanlah berdasar budaya dan adat, namun berdasarkan Wahyu Ilahi yang
lintas zaman dan busaya. Ada lima pernyataan sikap dari MIUMI dalam menyikapi
RUU Kesetaraan Gender, namun pada intinya adalah bahwa kesetaraan gender adalah
kesalahan yang melanggar hukum Islam dan wahyu Tuhan. Bahkan yang lebih naif,
produk RUU KKG ini bahkan masih dianggap sebagai upaya liberalisasi, invasi
budaya Barat terhadap umat Islam, serangan kaum feminis terhadap kaum muslimah,
dan sebagainya.
[15]
Lihat dalam Musdah Mulia, Muslimah Sejati..., hlm. 65-67. Lebih lanjut
Musdah mengatakan bahwa hasil konstruk budaya inilah yang seringkali
memunculkan dan menyebabkan adanya ketimpangan dan ketidak adilan gender.
Selain karena adanya pengaruh budaya, dan adat istiadat, teks-teks keagamaan
juga tidak luput dijadikan sebagai alat legitimasi segala bentuk kekerasan
domestik (KDRT), perempuan tidak layak menjadi pemimpin keluarga, dan negara
atau dalam berbagai lini lainnya, bahkan ketika ada pelecehan dan pemerkosaaan,
seringkali yang dijadikan alasan adalah karena perempuan tersebut berpakaian
seksi dan tidak sopan yang dianggap melanggar norma agama. Makanya tidak jarang
muncul ungkapan, “Hati-hati terhadap perempuan, karena godaannya jauh lebih
dahsyat dari godaan setan”. Perbedaan sex dan gender bisa juga dilihat dalam
Musdah Mulia, Islam dan Hak Asasi Manusia: Konsep dan Implementasi, (Naufan
Pustaka: Yogyakarta, 2010), hlm. 150-153.
[17] Riri Khariroh, “Benarkah Perempuan Muslim Tertindas?
Belajar dari Gerakan Perempuan Islam di Indonesia”. Dalam http://www.rahima.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=605:benarkah-perempuan-muslim-tertindas-belajar-dari-gerakan-perempuan-islam-di-indonesia&catid=21:artikel&Itemid=313.
[19] QS.
al-Nah}l,
16: 58-59. Untuk menggambarkan kondisi
ini, Hamka menjelaskan bagaimana tradisi penguburan
hidup-hidup bayi perempuan itu berlangsung: “Pada masa itu, ketika perempuan
hamil telah merasakan sakit karena akan melahirkan, keluarganya menggalikan
lubang dan ia disuruh mengejankan di muka lubang itu. Setelah bayi terlihat,
maka akan dicek apakah ia perempuan ataukah laki-laki. Kalau ternyata perempuan,
maka dibiarkan bayi itu lahir dan langsung masuk ke dalam lubang, dan lubang
itu pun langsung pula ditimbun dengan tanah. Sebaliknya jika ternyata bayi itu
laki-laki, barulah disambut dengan gembira. Lihat dan baca dalam, Hamka, Kedudukan
Perempuan Dalam islam, (Jakarta: Pustaka Panji Mas, 1996), hlm. 22-23.
[20] QS.
al-Nisa>’, 4:
19. Ketika itu, wanita diperjualbelikan seperti hewan dan barang. Mereka
dipaksa untuk kawin dan melacur. Mereka diwariskan namun tidak mewarisi,
dimiliki namun tidak memiliki, dan wanita yang memiliki sesuatu dihalangi untuk
menggunakan apa yang dimilikinya kecuali dengan izin laki-laki. Suami mempunyai
hak untuk mempergunakan harta istri tanpa persetujuannya. Baca Yusuf Qardhawi, Berinteraksi
dengan Alquran, terj. Abdul Hayyie al- Kattani (Jakarta: Gema Insani Press,
1999), hlm. 151.
[22] Ida
Fauziah, “Fatayat NU Desak Negara Lebih Peduli
Perempuan”, Lihat dalam website Fatayat NU www. fatayat.or.id. Tulisan ini
merupakan hasil resolusi tahun 2012 dalam acara yang mengangkat tema ‘Perempuan
Menggugat untuk Masa Depan yang Lebih Baik’. Dalam acara ini, mereka juga
meminta pemerintah untuk memoratorium pengiriman TKI, sekaligus dimanfaatkan
untuk meningkatkan kompetensi dan keahlian para calon TKI. Selain itu, yang
menjadi sorotan utama Fatayat NU adalah tindakan korupsi dan pemerkosaan. Selama tahun 2011 tindak pemerkosaan naik
sebesar 13,33 persen belum lagi ditambah dengan kasus kekerasan seksual yang
dalam 13 tahun terakhir tercatat ada 93.960 kasus”.
[23]
Khariroh Ali, “Selamat Datang RUU KKG”. Dalam http://fatayat.or.id/editorial/detail/7.
diakses tanggal 29 Juni 2012. Dalam tulisan ini, Khariroh menyatakan bahwa RUU
KKG ini masih banyak mendapat perlawanan dari berbagai ormas Islam lainnya.
Namun bagi Fatayat NU, hal ini harus didukung sepenuhnya, walaupun masih
mamiliki persoalan, sehingga Fatayat NU membentuk tim khusus untuk mengkajjinya
dan kemudian memberikan masukan dan argumentasi-argumentasi yang bersifat
akademik dan teologis. Nur Rofiah, Bil. Uzm, Memecahkan Kebisuan: Agama
Mendengar Suara Perempuan Korban Kekerasan Demi Keadilan (Respon NU), (Komnas
Perempuan dan Open Society Institute: Jakarta, 2009), hlm. 46.
[25]Kholed
Abou El-Fadl, “In Recognition of Women”. Baca dalam http://www.scholarofthehouse.org/inreofwobykh.html. Diakses tanggal 24 Juni 2012. Bahkan
dalam artikel ini, Abou El-Fadl menyatakan dengan tegas dengan mengutip
pernyataan Muhammad al-Gozali, bahwa keterbelakangan wanita Islam pada saat ini
adalah karena tertindas oleh pemahaman para laki-laki muslim yang berpegang
teguh pada prinsip “Fiqih Badui”. Para ulama muslim “Fiqih Baduwi” tersebut
memposisikan perempuan sebagai pelayan mereka. Hal ini tentunya berbanding
terbalik dengan realita sejarah ‘Aisyah yang sering berbeda pendapat dengan
kebijkan khalifah, Fatimah binti Quais yang sempat berdebat dengan Khalifah Umar bin Khattab, Ummu Ya’qub yang
membantah pemikiran ‘Abdullah Ibn Mas’ud dan berkata: “Saya telah membaca seluruh Al-Qur'an tapi belum menemukan penjelasan Anda
di mana saja di dalamnya”. Bahkan dalam riawayat, Umar bin Khattab pernah mempercayakan Shaffa binti Abdullah sebagai inspektur alih pasar di
Madinah. Selain itu ada juga Ummu Salamah, Laila binti Qasim, Asma binti Abu
Bakar, Kaula binti Ummu Darda, dan banyak lainnya, yang terpercaya mengajar di
ranah publik pada masa itu.
[26] QS.
al-Nisa, 4: 34. Seperti inilah terjemahan yang lebih banyak digunakan dalam
beberapa al-Qur’an terjemahan edisi Indonesia, termasuk dalam terjemahan Qur’an
in word. Jelas sekali dalam terjemahan tersebut menonjolkan superioritas
laki-laki atas perempuan. Seolah-olah laki-laki yang paling berhak menjadi
pemimpin bagi perempuan dan sekaligus menafikan situasi sebaliknya, perempuan
memimpin laki-laki.
[31] Ah}mad bin Muh}ammad bin H{anbal,
Musnad Ah}mad. Ba>b Musnad ‘Abd Alla>h bin al-‘Abba>s, no.
2957, jilid 6, hlm. 483. Dalam CD. Rom
al-Maktabah al-Sya>milah, Ridwana Media. Al-H{a>kim menilai hadis ini
adalah sahih, dalam al-Mustadrak ‘ala> al-S{ah}i>hain li al-H{a>kim.
Ba>b Tafsi>r Su>rah al-Tah}ri>m, no. 3795, jilid, 9, hlm. 31, dalam
CD. Rom al-Maktabah al-Sya>milah, Ridwana Media.
Hadis ini juga dikutip oleh Jalaluddin Rakhmat untuk menjelaskan bahwa Islam
juga menghargai wanita dan hadis ini menurutnya sebagai panduan untuk memahami
wanita ideal dalam Islam. Baca Jalaluddin Rakhmat, Islam Aktual:
Refleksi-Sosial Seorang Cendekiawan Muslim, (Mizan: Bandung, 1998), hlm.
196-198.
[32] Saidah Sakwan, dkk, Potret
Politik Perempuan dalam Ormas Keagamaan, (Institute for Research and
Community Development Studis dan Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan
Republik Indonesia: Jakarta, 2007), hlm. 56.
[35]
Omaima Abou Bakr, “Islam dan Gender”. Dalam http://fatayat.or.id/artikel/detail/19.
diakses tanggal 29 Juni 2012.