Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa
sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu, agar kamu bertakwa.
Demikianlah Allah menyerukan
syari’at puasa bagi umat muslim dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 183. Barangkali
ayat ini sudah sangat akrab, dan bahkan sudah banyak yang mampu
menghafalkannya. Namun, di balik keakraban masyarakat terhadap ayat tersebut, ternyata
tidak berbanding lurus dengan pemahaman, penghayatan dan apalagi pengamalan
terhadap anjuran dan cita-cita moralnya. Sehingga puasa Ramadhan seringkali
hanya menjadi ritual tahunan yang tak jarang menjadi absurd dan tanpa
nilai. Bahkan momen ini menjadi masa yang strategis bagi kelompok tertentu
untuk membuktikan kekuatan eksistensi mereka terhadap kelompok lain yang
berbeda. Sehingga seringkali aksi sweeping berbalut agama dan kekerasan
terjadi di bulan Ramadhan.
Dalam QS. Al-Baqarah ayat 183 di
atas, ada term yang menjadi cita-cita moral yang dianjurkan oleh Allah untuk
dicapai oleh siapapun yang melaksanakan puasa, yaitu takwa. Kata takwa
bukanlah sekedar ungkapan simbolik semata yang hanya bersifat spiritual
vertikal, yaitu hanya mengatur hubungan manusia dengan Tuhan. Namun, takwa
juga menjadi nilai moral spiritual yang berkaitan dengan hubungan manusia
dengan manusia, dan alam semesta. Sehingga, cita-cita tertinggi dari
pelaksanaan puasa Ramadhan adalah menciptakan individu atau pribadi etis,
akhlaki, dan bermoral yang mampu menjaga keseimbangan hubungan vertikal dan
horizontal atau dikenal dengan istilah hablun minallah dan hablun
minannas.
Secara bahasa, al-Asfahani dalam
bukunya Mu’jam Mufradat li Alfaz al-Qur’an mengatakan bahwa takwa berasal
dari kata waqa-yaqi-wiqayatan yang dimaknai dengan menjaga dan
melestarikan sesuatu dari segala yang merusak dan membahayakan. Atau dimaknai
pula dengan menjaga dan menciptakan jiwa merasa nyaman, aman dari segala
sesuatu yang ditakuti. Dengan demikian, nilai takwa tidak hanya mampu
memberikan kenyamanan dan keamanan bagi diri pribadi, namun sekaligus mampu
menjamin kenyamanan dan keamanan bagi semua yang ada di luar diri pribadi.
Dalam pada itu, karena perintah
puasa datang dari Allah Sang Maha Pencipta, maka ajaran ini juga sangat sarat
dengan nilai-nilai spiritual yang bersifat vertikal. Akan tetapi, karena segala
ajaran yang diturunkan oleh Allah pada makhluk-Nya tidak akan pernah lepas dari
nilai dan maslahat. Maka, manusia harus memiliki kesadaran atas tanggung
jawab moral, bahwa puasa pun harus menjadikan manusia melangit dalam hal
spiritual, sekaligus membumi dalam hubungan horizontal.
Dalam al-Qur’an, kata takwa
dan derivasinya terulang sebanyak 58 kali. Hal ini menjadi isyarat betapa
pentingnya pemahaman, penghayatan, serta pengamalan terhadap nilai takwa.
Sehingga, pelaksanaan puasa Ramadhan tahun ini menjadi momentum bersejarah bagi
setiap individu yang menjalankannya. Dengan harapan, tercipta manusia yang
patuh pada Allah, sekaligus mampu melindungi diri dan alam sekitar dari
kehancuran, dan kerusakan. Dalam bahasa agama, nilai takwa harus mampu
menciptakan manusia yang terpelihara dari keguncangan moral, takut karena
bertanggung jawab, dan dengan takwa pada Allah, setiap orang yang melaksanakan
puasa mampu menyerahkan dirinya pada Tuhan agar terpelihara dari segala
kegoncangan dan krisis kejiwaan.
Nilai takwa semacam ini, sebenarnya
sekaligus menafikan unsur kekerasan dalam agama. Semangat keagamaan yang
mendalam, selayaknya berbanding lurus dengan semangat kemanusiaan yang membumi
pula. Sehingga, dengan pola keberagamaan semacam ini, akan sangat relevan dengan
nasehat Nabi Muhammad SAW dalam hadisnya, yaitu:
“Bukanlah
puasa hanya menahan diri dari makan dan minum, akan tetapi menahan diri dari
ucapan sia-sia, dan perbuatan kotor”
Dalam puasa inilah jiwa manusia
dididik, dan dilatih untuk jujur, mengontrol emosi dari amarah, iri, dengki,
hasad dan berbagai penyakit hati lainnya. Sementara dalam hubungan sosial,
manusia diajak untuk bersimpati dan empati kepada orang lain dengan memberi
kehangatan, kenyamanan dan kepedulian.
Dengan pemaknaan semacam ini, semoga
puasa kali ini, mampu menciptakan diri kita sebagai pribadi yang melangit dalam
spiritual, yaitu meningkatkan kualitas
hubungan pribadi dengan Allah, sekaligus menciptakan pribadi yang membumi
secara horizontal, yaitu pribadi yang manusiawi, bermoral, dan berakhlak mulia.
Amin…