HERMENEUTIKA FAKHR AL-DI<N AL-RA<ZI<
(Studi atas Tafsir Surat al-Kaus}ar dalam Kitab Mafa>tih} al-Gaib)
PENDAHULUAN
Dalam kajian teks keagamaan Islam, tafsir adalah salah satu aspek yang paling penting untuk dikaji dan dipahami. Sebagai salah satu khazanah ilmu pengetahuan Islam, tafsir menduduki posisi yang sangat urgen sekali. Hal ini desebabkan tafsir memiliki fungsi untuk mempelajari kata demi kata dan susunan kalimat ayat-ayat al-Qur’an guna mengetahui maksud Allah dalam memfirmankan ayat-ayat-Nya.
Berdasarkan kepada dasar yang dijadikan patokan dalam menafsirkan al-Qur’an, di dalam istilah ilmu tafsir, tafsir dibagi menjadi dua macam yaitu tafsir bi al-ma’su>r dan tafsir bi al-ra’y. Tafsir bi al-ma’su>r berdasarkan kepada, ayat al-Qur’an lainnya yang semakna dan mengandung penjelasan dari ayat yang dimaksud, berdasarkan kepada hadis-hadis Nabi saw., sahahabat dan tabi’in (generasi umat Islam awal) yang terjamin ke-s}ah}i>h}-annya.
Sementara itu, tafsir bi al-ra’y berdasarkan kepada ijtihad seorang mufassir dalam menafsirkan suatu ayat. Dan tentu saja ijtihad tersebut bertopang kepada ilmu-ilmu yang bisa dijadikan pijakan dalam menafsirkan al-Qur’an, seperti ilmu bahasa Arab misalnya yang meliputi nah}w, s}arf, bala>gah dan lain sebagainya. Selain itu mufassir harus memenuhi beberapa syarat tertentu yang membuatnya layak dan pantas untuk menafsirkan al-Qur’an dengan ijtihadnya. Dan di antara tafsir semacam ini ialah tafsir Mafa>tih al-Gaib karya seorang mufassir sekaligus mutakallim besar syaikh Fakhr al-Di>n al-Ra>zi>. Dalam peta sejarah tafsir, Fakhr al-Din al-Ra>zi> masuk pada era abad pertengahan. Pada era ini, terjadi perdebatan-perdebatan sengit antarmazhab teologi, seperti Khawarij, Syi’ah, Asy’ariyah, Mu’tazillah dan sebagainya.
ISI
A. Biografi al-Ra>zi>
Nama lengkapnya adalah Abu> ‘Abd Alla>h Muh}ammad bin ‘Umar bin al-H{usain bin al-H}asan al-Taimi> al-Bakri> al-T}abari> al-Faqi>h al-Sya>fi’i> al-Ra>zi> yang diberi laqab dengan Fakhr al-Di>n. Dia dilahirkan di kota Roy di Thabristan pada tanggal 25 Ramadan tahun 544 H. Dia banyak berguru pada para pembesar ulama di masanya, di antara guru tersebut adalah orangtuanya, sehingga ia menguasai beberapa cabang ilmu dan terkenal dengan ilmu-ilmu tersebut. Dia juga banyak didatangi oleh murid-muridnya dari berbagai tempat.
B. Perjalanan al-Ra>zi> Mencari Ilmu dan Wafatnya
Al-Ra>zi> dikenal sebagai seorang ulama yang ahli di segala bidang ilmu, ini menunjukkan banyaknya bidang ilmu yang digelutinya. Selain itu juga menandakan gurunya yang banyak dan bergudang-gudang buku yang telah habis dibacanya. Di dalam pencarian ilmunya, ia tidak hanya singgah di satu tempat saja. Bermula dari kota kelahirannya Roy, ia kemudian pindah ke Khurasan, lalu ke Bukhara kemudian ke Irak, dan Syam. Tetapi ia paling lama tinggal di negeri Khawarizm lalu kemudian diam menetap di kota Harah sampai wafatnya. Ia pertama kali berguru kepada ayahnya sendiri D{iya>’ al-Di>n yang lebih dikenal dengan gelarnya yaitu Khathib al-Ray.
Setelah ayahnya meninggal dunia, ia berguru kepada al-Kama>l al-Sam’a>ni> walaupun tidak lama. Lalu ia pun kembali ke Roy dan mulai mempelajari ilmu hikmah. Dalam mempelajari ilmu ini ia berguru kepada Majd al-Di>n al-Jabali> salah seorang ulama besar di zamannya. Selain ilmu hikmah al-Ra>zi> juga belajar ilmu kalam.
Setelah membaca dan menguasai ilmu-ilmu pokok dan dasar seperti fikih, ushul fikih dan lainnya, barulah ia mulai mempelajari filsafat dan ilmu-ilmu alam lainnya seperti kedokteran, ilmu falak dan kimia. Ia pergi ke Khurasan untuk mempelajari karya-karya Ibn Si>na> dan al-Fara>bi>.
Khawarizm termasuk salah satu tempat yang disingahinya dalam rangka menuntut ilmu. Tetapi tidak seperti sebelumnya dimana ia belajar dengan cara berguru kepada seorang syaikh, di sini ia menuntut ilmu dengan cara langsung berinteraksi dan banyak mengadakan dialog dengan penduduk negeri itu. Banyak sekali tema-tema dialog yang ia pilih dengan penduduk di sana di antaranya tentang ilmu kalam, madzhab dan akidah. Cara seperti ini ia lakukan juga ketika ia singgah di seberang sungai Jihun di Khurasan.
Setelah ia bergelut begitu lama dengan ilmu kalam dan filsafat, ia baru menyadari akan kelemahan metode-metode ilmu tersebut di dalam mencapai kebenaran. Ia pun menyesal karena telah begitu mendalam mempelajarinya. Penyesalannya itu terungkap sebagaimana yang dikutip oleh Ibn S{ala>h}. Ia pernah mendengar al-Qut}b al-T{auga>ni> berkata, bahwa Fakhr al-Di>n al-Ra>zi> mengungkapkan penyesalannya, berkata sambil menangis: “Andaikan aku tidak pernah mempelajari dan bergelut dengan ilmu kalam sebelumnya“. Hal yang sama juga disampaikan oleh Ibn Kas}i>r dengan mengutip penjelasan Ibn al-Asi>r yang menerangkan bahwa al-Ra>zi> berkata:
Aku telah sering menggunakan metode-metode ilmu kalam dan filsafat, dan aku tidak pernah mendapatkan metode tersebut bisa menghilangkan dahaga bagi yang haus dan menyembuhkan rasa sakit orang yang sakit. Dan menurutku sebaik-baiknya metode adalah metode yang disuguhkan al-Qur’an. Bacalah tentang metode is\ba>t dalam firman Allah Yang Maha Pemurah, Yang Bersemayam di atas ‘Arsy“. (QS. 20:5). Juga dalam firman-Nya: “Kepada-Nyalah naik perkataan-perkataan yang baik dan amal yang saleh dinaikkan-Nya“.(QS. 35:10)
Dan bacalah tentang metode nafy dalam firman-Nya: “Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia“. (QS. 42:11) dan firman-Nya: “Apakah kamu mengetahui ada seorang yang sama dengan Dia (Yang patut disembah)“. (QS. 19:65)
Setelah sakit, al-Ra>zi> kemudian wafat di Harah pada hari Senin tanggal 1 Syawal (‘Idul Fitri) tahun 606 H.
C. Karya-karya al-Ra>zi>
Fakhr al-Di>n al-Ra>zi> adalah salah seorang ulama yang paling hebat dan unggul di zamannya. Ia banyak menguasai berbagai disiplin ilmu seperti tafsir, fikih, ushul fikih, ilmu kalam, hikmah, filsafat, kedokteran, ilmu falak, juga ilmu bahasa. Sehingga dengan keahliannya di berbagai cabang ilmu, banyak sekali karya-karyanya di segala bidang pengetahuan yang dikuasainya. Diantaranya, dalam tafsir adalah karya monumnetalnya yaitu al-Tafsi>r al-Kabi>r atau Mafa>tih} al-Gaib. Selain itu ada juga Tafsi>r al-Fa>tih}ah ditulis secara terpisah dari al-Tafsi>r al-Kabi>r-nya, al-Tafsi>r al-S}agi>r Yang atau Asra>r al-Tanzi>l wa Anwa>r al-Ta’wi>l.
Dalam bidang Ilmu Kalam dan Filsafat, al-Ra>zi> mampu menelurkan karya Niha>yah al-’Uqu>l, Zabdah al-‘Afka>r wa ‘Umdah al-Naz}a>r, al-T{ari>qah fi> al-Jada>l, Maba>h}is\ al-Wuju>d wa al-‘Adam, Maba>his\ al-Jada>l, dan lain-lain. Dalam bidang Kedokteran dan Fisika, ada Muntakhab Tinklusya, al-Nabd}, fi>> al-Handasah, fi> al-Raml, Masa>il al-T}ibb, dan lain-lain. Di bidang kajian hikmah ada Luba>b al-Isya>ra>h, al-Mat}a>lib al-’A<liyah fi> al-Hikmah, Sira>j al-Qulu>b, Syarh} al-Isya>rah, al-Akhla>, dan lain-lain.
Sebagai ahli di bidang Fiqih dan Usul Fiqh, al-Ra>zi> menghasilkan al-Ma’a>lim fi> Us}u>l al-Fiqh, Tanbi>h al-Isya>rah fi> al-Us}u>l, al-Mahs}u>l fi> al-Fiqh, al-Mahs}u>l fi> ‘Ilm Us}ul al-Fiqh, Abt}a>l al-Qiya>s. Mengenai Tauhid juga, al-Ma’a>lim fi Us}u>l al-Di>n, al-Arba’i>n fi> Us}u>l al-Di>n, Tafsi>r Asma>’i AlLa>h al-H}usna>, Lawa>mi’ al-Bayyina>t fi> Tafsi>r Asma>i Alla>h wa al-S{i>fa>t, al-Qad}a> wa al-Qadr. Serta beberapa kitab lainnya yang belum disebutkan dalam makalah ini.
D. Komentar Para Ulama
Fakr al-Di>n al-Ra>zi> sebagai mufassir besar tidak bisa terlepas dari komentra ulama lainnya. Baik komentar positif maupun negatif.
Dalam T{abaqa>t al-Mufassiri>n al-Daudi> sangat memuji dan mengatakan bahwa al-Ra>zi> adalah seorang yang paling ahli atau mumpuni di bidang ilmu-ilmu akal di zamannya serta ahli di bidang syari’at. Bahkan al-Daudi> mengatakan bahwa al-Ra>zi> salah seorang mujaddid yang diutus Allah di setiap awal abad, sebagaimana bunyi hadits Nabi Saw.
Jika al-Daudi> memuji al-Ra>zi>, maka salah satu tokoh yang mengkritik al-Ra>zi> adalah Syiha>b al-Di>n Abu> Sya>mah dalam kitabnya al-Z|ail. Sebagaimana dikutip oleh Ibn Kas\i>r dalam kitab sejarahnya yang terkenal, al-Ra>zi adalah orang yang sering bersama-sama dan menemani para penguasa ketika itu dan menyenagi keduniaan yang menurut Syihab al-Di>n, karakter sperti ini bukanlah karakter seorang ulama. Oleh karena sifatnya itu, banyak celaan yang dilontarkan kepadanya. Ditambah lagi dengan ucapan-ucapannya yang dianggap tidak sopan, seperti perkataannya ketika menyebut nama Nabi Muhammad saw., dengan sebutan Muhammad al-Ba>di> .
E. Hermeneutika Surat al-Kaus\ar Dalam Tafsir Mafa>tih} al-Gaib Karya al-Ra>zi>
1. Sekilas Mengenai Hermeneutika
a. Makna Hermeneutika
Secara etimologis, hermeneutika diambil dari bahasa Yunani, yaitu hermeneuein yang bermakna ‘menjelaskan’. Dengan demikian, tidak salah jika kata hermeneutika sering didengar dalam bidang teologi, filsafat dan sastra. Hermeneutika juga disebut sebuah proses mengetahui sesuatu dari situasi tidak tahu menjadi tahu. Dengan demikian, tugas pokok hermeneutika dalam hal ini adalah bagaimana menafsirkan sebuah teks klasik dan asing menjadi hidup di zaman dan tempat yang berbeda. Pada tatanan ini secara umum telah bisa dimaknai bahwa semua proses interpretasi yang dilakukan oleh seseorang pada hakikatnya adalah hermeneutika, termasuk ulama klasik yang telah menafsirkan al-Qur’an. Kata hermeneutika disandarkan pada nama dewa Yunani kuno, Hermes. Menurut Hossein Nasr, Hermes adalah nabi Idris as.
Di sisi lain, hermeneutika juga dipandang sebagai satu disiplin pemahaman linguistik. Dalam artian sebagai sebuah perangkat ilmu yang memaparkan kondisi-kondisi yang pasti ada dalam setiap penafsiran, lebih tepatnya disebut hermeneutika umum yang menjadi landasan semua bentuk interpretasi.
Dengan demikian, dari pemaknaan hermeneutika secara umum di atas, jelas bahwa penafsiran klasik terhadap al-Qur’an adalah sudah menjadi hasil hermeneutika, walaupun istilah tersebut belum dikenal pada masa tafsir klasik dan modern.
b. Perkembangan Hermeneutika
Seiring perkembangan pemikiran, maka perkembangan hermeneutika juga berkembang. Pada awalnya hermeneutika hanya ada dua, yaitu hermeneutical theory dan hermeneutical philosohy. Kemudian ketiga muncul dengan istilah hermeneutika kritis. Lebih jelasnya perkembangan hermeneutika tersebut yaitu:
1). Hermeneutika yang berisi cara untuk memahami
Pada ranah ini disebut dengan hermenutical theory. Pertanyaan yang muncul dalam hermeneutika ini adalah bagaimana makna teks secara morfologis, leksikologis dan sintagsis. Selain itu juga peranyaan seperti dari siapa teks itu berasal, tujuan teks, dan dalam kondisi seperti apa dan bagaimana kondisi pengarang ketika teks tersebut disusun. Schleiermacher dan W. Dilthey serta Emilio Betti adalah pelopor pemahaman ini.
2). Hermeneutika yang berisi cara untuk memahami pemahaman
Pertanyaan yang uncul adalah bagaimana kondisi manusia yang memahami teks tersebut, baik dari aspek psikologis, sosiologis, historis dan lain-lain. Dalam hal ini, Heideger dan Gadamer adalah sebagai represesntasi kelompok ini.
3). Hermeneutika yang berisi cara untuk mengkritisi pemahaman
Dalam ranah ini, hermeneutika mencoba menggali bagaimana adanya hegemoni wacana, termasuk juga penindasan sosial-budaya-politik terhadap pemahaman tertentu.
c. Titik Fokus Hermeneutika
Diawali dengan kesadaran pemicu paradigma berfikir, yaitu kesadaran kontekstual dan kesadaran progresifitas, menyebabkan manusia atau kelompok mengetahui bahwa kehidupan selalu berubah dan selalu ada proses dialektika yang memuncukan hal baru. Oleh sebab itu, pada hakikatnya yang menjadi titik fokus hermenutika adalah pemahaman yang menimbang konteks yang dipahami dan pelacakan terhadap apa saja yang mempengaruhi sebuah pemahaman sehingga menghasilkan keragaman terhadap pemahaman, baik itu pada teks-teks keagamaan, sastra, simbol-simbol, dan tingkah laku manusia. Lebih jelasnya Fakhruddin Faiz menyebutnya dengan pluralitas pemahaman. Dari titik fokus kajian hermeneutika di atas, jelas bahwa al-Ra>zi> dalam ranah aplikasi telah mengenalkan hermenutika dalam penafsirannya. Untuk memperjelas hal ini, penulis memfokuskan kajian pada surat al-Kaus\ar.
2. Unsur-unsur Hermeneutika dalam Tafsir Surat al-Kaus\ar al-Ra>zi>
Sebelum menjelaskan lebih jauh mengenai unsur hermenutika yang melingkupi tafsir Mafa>tih} al-Gaib, ada hal penting yang harus diketahui terlebih dahulu mengenai penggunaan istilah yang ada dalam tafsir ini, khususnya dalam penafsiran surat al-kaus\ar. Istilah-istilah yang digunakan adalah, lata>’if, isya>rah dan fawa>’id. Ketiga istilah ini perlu dijelaskan untuk mengetahui pola silogis berfikir atau menafsirkan surat al-kaus\ar yang dibangun oleh al-Ra>zi>.
Lat}a>’if berasal dari kata lat}afa-yalt}afu-lat}fan. Al-lat}i>f dalah salah satu dari nama dan sifat Allah Yang Maha Lemah Lembut. Selanjutnya ada istilah al-lat}i>f min al-kala>m artinya adalah ma gamad}a min al-kala>m (sesuatu yang tersirat dari ucapan). Dengan demikian, melalui istilah lat}a>’if al-Ra>zi> menginginkan bahwa dalam tafsir harus mampu mengambil atau memahami apa-apa yang tersirat dari sebuah teks, atau dengan istilah lain ‘makna di balik teks’.
Dalam menjelaskan lat}a>’if (makna di balik teks) inilah al-Ra>zi> kemudian membaginya pada istilah muna>sabah dan isya>rah. Singkatnya, sejauh pemahaman penulis, secara tidak langsung al-Ra>zi> menyebut bahwa makna di balik teks itu berkaitan dengan makna muna>sabah, makna batin dan makna isya>ri>.
Sementara makna fawa>’id surat menurut sejauh pemahaman penulis lebih pada pembahasan surat dari segi term. Artinya, al-Ra>zi> mencoba memahami makna yang terkandung dari setiap term. Dalam hal ini, al-Ra>zi> menjelaskan berupa makna gramatikal, makna asli dari sebuah term. Dalam hal ini, al-Ra>zi> mencoba memahamai makna gramatikal ‘inna>’, a’t}aina>, al-kaus\ar, al-abtar, dan lain-lain.
Untuk mempertajam pemaknaan di atas, penulis akan menjelaskannya beberapa pemaknaan yang dihasilkan oleh al-Ra>zi>.
a. Muna>sabah Sebagai Konteks Internal Teks
Dalam makalah ini, penulis tidak mampu memaparkan secara panjang lebar pendapat al-Ra>zi> mengenai muna>sabah. Namun demikian al-Ra>zi> adalah salah satu di antara mufassir klasik yang sangat memperhatikan muna>sabah dalam al-Qur’an. Oleh sebab itu, untuk mendukung pentingnya muna>sabah dan membuktikan bahwa al-Ra>zi> memiliki perhatian khusus terhadap muna>sabah, maka penulis akan menyodorkan beberapa contoh yang ditafsirkan oleh al-Ra>zi> dengan menggunakan metode muna>sabah.
Sebelum masuk pada penafsiran surat al-Kaus\ar, penulis mencoba mengambil sedikit contoh muna>sabah pada surat al-‘Alaq.
خَلَقَ الْإِنْسَانَ مِنْ عَلَقٍ
Al-Ra>zi> menjelaskan bahwa penyebutan al-insa>n pada ayat ini adalah membuktikan adanya kekhususan manusia dibanding makhluk lainnya. Padahal ayat sebelumnya menyebutkan bahwa Allah adalah Tuhan yang Maha Pencipta. Dengan demikian, manusia adalah makhluk paling sempurna sehingga dijadikan sebagai contoh. Pengkhususan ini disebabkan mungkin karena memang al-Qur’an diturunkan untuk manusia, atau karena manusia paling sempurna penciptaan atau karena manusia punya fitrah yang luar biasa.
Selanjutnya ia juga menjelaskan bahwa Allah mengaitkan antara ‘alaq dengan al-qalam. Menurutnya manusia diciptakan dari segumpal darah yang diangap kotor dan rendah, kemudian akan menjadi mulia dengan qalam. Oleh sebab itu, manusia yang mulia adalah manusia yang mampu mengangkat derajatnya dengan ilmu. Al-Ra>zi> juga menyatakan bahwa ayat ini menjadi peringatan besar bagi manusia bahwa ilmu adalah sifat manusia yang paling mulia.
Penggunaan muna>sabah dalam kitab Mafa>tih} al-Gaib terlihat jelas dalam penafsiran surat al-kaus\ar. Meurut al-Ra>zi> surat al-kaus\ar adalah penyempurna bagi surat-surat sebelumnya sekaligus menjadi dasar atau pondasi bagi surat-surat setelahnya. Menurutnya, jika dalam surat al-Ma>’u>n lebih menekankan keempat sifat-sifat orang munafiq, seperti bakhil atau kikir ‘yadu’u al-yati>m wa la> yah}ud}d}u ‘ala> t}a’a>m al-miski>n’, meninggalkan salat ‘allaz\i>na hum ‘an s}ala>tihim sa>hu>n’, ria dalam melaksanakan salat ‘allaz\i>na hum yura>’u>n’, serta enggan mengeluarkan zakat ‘wa yamna’u>n al-ma>’u<n’.
Oleh sebab itu, dalam surat al-kaus\ar Allah juga memerintahkan empat hal, sebagai lawan dari sifat munafiq seperti dalam surat al-Ma>’u>n. Ayat ‘inna> a’t}ainaka al-kaus\ar’; sesungguhnya Kami telah memberimu banyak nikmat, maka banyak-banyaklah memberi dan jangan berprilaku bakhil, ‘fas}alli’; selalulah mengerjakan salat, ‘lirabbika’ salatlah demi mencapai ridha Tuhanmu dan jangan karena riya untuk manusia, ‘wa inh}ar’; tunaikanlah selalu zakat atau berkurbanlah dan banyaklah bersedekah dengan daging kurban.
Selanjutnya surat ini ditutup dengan jaminan bahwa orang-orang munafik yang memiliki keempat sifat jelek seperti dalam surat al-Ma>’u>n akan terputus ‘abtar’ karena mereka akan meninggal tanpa meninggalkan bekas dan pengaruh bagi orang lain, sementara Nabi Muhammad dalam hal ini yang sering dicaci sebagai orang yang terputus ‘abtar’ malah akan selalu abadi dan dikenang selamanya karena segala kebaikannya.
Dalam pemaknaan muna>sabah ini, al-Ra>zi> juga mencoba melihat aspek yang membangun kenapa Allah menurunkan surat al-kaus\ar ini. Menurutnya, Allah dalam hal ini bertujuan untuk menghibur Rasul yang sedang dalam kondisi sedih. Mengenai pemaknaan ini, al-Ra>zi> mencoba memahami kondisi Rasul ketika itu. Tentunya untuk menjelaskan hal ini, al-Ra>zi> mencoba memahami apa yang diinginkan oleh Allah mengenai surat al-kaus\ar ini. Dengan demikian, al-Ra>zi> mencoba menarik runut surat-surat sebelumnya yang menurut al-Ra>zi> adalah penguat bagi QS. al-kaus\ar. Dalam hal ini, al-Ra>zi> berkata bahwa sesungguhnya surat ini penyempurna bagi surat-surat sebelumnya dan sekaligus sebagai dasar atau pondasi bagi surat-surat setelahnya. Singkatnya penulis memahami bahwa al-Ra>zi> ingin mengatakan bahwa Allah mencoba menghibur Rasul dan memberikan kedamaian serta ketenangan jiwa, kemudian pada akhirnya ditekankan bahwa Rasul benar-benar harus menghilangkan rasa takut dan rasa gentar terhadap musuh-musuhnya. Dalam surat sebelumnya al-d}uh}a>, al-insyirah}, al-ti>n, al-‘alaq, al-qadr, lam yakun, dan surat al-zalzalah, dan berbagai pujian lainnya dalam beberapa surat sebelumnya, maka Allah pun berfirman “inna> a’taina>ka al-kaus\ar”. Dengan kata lain Allah berkata, sesungguhnya Kami telah memeberimu beberapa kenikmatan yang banyak sebagaimana dalam beberapa surat sebelumnya, yang mana setiap nikmat tersebut lebih besar daripada kenikmatan dunia dan isinya. Dengan demikian, sibukkanlah dirimu dengan ibadah pada Allah, memberi bimbingan yang terbaik pada hamba-hamba-Nya.
Melalui ayat ini pula, Allah mengingatkan Nabi, bahwa akan muncul perlawanan dan permusuhan bagi mereka yang tidak meyakini Nabi. Dengan demikian, ketika permusuhan muncul, maka wajar kalau Nabi akan mendapatkan ancaman, sehingga menyebabkan rasa takut dan gentar dalam diri Nabi. Oleh sebab itulah, Allah menurunkan QS. al-Kausar ini yang berfungsi untuk menghilangkan rasa takut Rasul.
Menurut al-Ra>zi> pula surat al-Kaus\ar ini berkaitan dengan tawaran kafir Quraisy ketika Rasul berdakwah. Pada saat itu, beliau ditawarkan menjadi orang terkaya, jika membutuhkan harta. Jika menginginkan wanita, akan dinikahkan dengan seorang wanita paling mulia. Dan jika ingin jabatan, akan dijadikan dan dinobatkan sebagi ketua. Maka Allah menurunkan ayat ini.
b. Asba>b al-Nuzu>l Sebagai Konteks Eksternal Teks
žcÎ) št¥ÏR$x© uqèd çŽtIö/F{$# ÇÌÈ
Dalam menafsirkan ayat ini, ternyata al-Ra>zi> sangat memperhatikan konteks disaat ayat ini diturunkan. Dengan metode ini, tentunya diharapkan makna sebuah teks bisa ditemukan (original meaning). Dalam ayat ini, yang menjadi fokus utama al-Ra>zi> adalah pemaknaan terhadap term ‘al-abtar’.
Dalam menjelaskan sabab al-nuzu>l surat al-Kaus\ar, al-Ra>zi> mengutip beberapa riwayat. Namun demikian, dari beberapa riwayat tersebut, pada hakikatnya Nabi Muhammad disebut sebagai orang yang terputus ‘abtar’ dikarenakan anaknya ‘Abdullah meninggal. Diriwayatkan bahwa al-‘A<s} bin Wa>’il suatu ketika bertenu bersama Rasul ketika keluar dari masjid, kemudian mereka berdua mengobrol. Setelah itu, para kaum Quraisy bertanya pada Wa>’il: “Siapa gerangan temanmu mengobrol”?. Wa>’il menjawab dia adalah ‘al-abtar’. Selanjutnya diriwayatkan juga bahwa al-‘A<s} bin Wa>’il berkata Muhammad adalah ‘al-abtar’ karena anaknya meninggal sehingga tidak akan ada lagi yang menggantikan posisinya.
Sehingga dari sabab al-nuzu>l ayat di atas, al-Ra>zi> mencoba memahami ‘al-abtar’. Dalam hal ini al-Ra>zi> menganalisisnya dari segi penggunaan. Oleh sebab itu, makna ‘al-abtar’ dijelaskan oleh al-Ra>zi> dengan berbagai analogi yang luar biasa. Pertama, jika Muhammad dianggap ‘al-abtar’ karena anaknya meninggal sehingga tidak ada lagi yang akan menggantikan posisinya, maka bagi al-Ra>zi> pendapat ini akan tertolak, karena pada hakikatnya kafir Quraisylah yang ‘abtar’ karena tidak memiliki pengikut. Sedangkan Nabi Muhammad, pengikutnya akan terus bertambah hingga hari kiamat. Kedua, jika yang dimaksud adalah agama Islam yang tidak akan berkembang, ternyata pada kenyataannya bendera Islam sampai sekarang masih berkibar dan banyak diterima orang. Ketiga, kalau Muhammad disebut abtar karena tidak memiliki penolong, maka Allah, Jibril dan orang-orang saleh adalah penolong baginya.
Dari penjelasan mengenai makna ‘abtar’ di atas, al-Ra>zi> sebenarnya sudah mencoba memaknainya dengan melampaui teks yang ada, atau bahkan melampaui makna konteks yang ada pada saat itu. Hal ini terbukti bahwa bagi al-Ra>zi> pemaknaan ‘abtar’ jangan hanya dipandang begitu sempit, namun harus lebih mengedepankan nilai yang dimaksud oleh Allah. Oleh sebab itu, menurut penulis, melalui sabab al-nuzu>l ayat ini, al-Ra>zi> sudah mencoba mencari ‘makna objektif’ atau original meaning dari sebuah teks (dalam hal ini makna al-abtar). Lebih dari itu, ternyata al-Ra>zi> juga telah mencoba memaknai teks sesuai dengan konteks pada saat itu. Oleh karena itu, al-Ra>zi> tidak hanya memaknai abtar sebagai orang yang terputus keturunannya, namun baginya yang dimaksud terputus di dalam ayat ini bukan Rasul, tapi mereka yang mencela Rasul karena tidak memiliki pengikut, sehingga mereka akan terputus dan tidak akan dikenang oleh orang lain. Sementara Rasul akan diingat dan dikenang hingga hari kiamat.
c. Makna Batin Sebagai Bagian dari Makna Lat}a>’if(Makna di Balik Teks)
Sebelum menjelaskan makna batin yang diinginkan oleh al-Ra>zi>, terlebih dahulu penulis akan memaparkan istilah yang digunakan oleh al-Ra>zi> dalam tafsirnya. Salah satu istilah kuncinya yaitu, lat}a>’if. Sementara dua istilah lainnya akan muncul dalam penjelasan dalam penjelasan makna batin ini. Dalam surat al-Kaus\ar, al-Ra>zi> membaginya pada dua, lat}a>’if pertama sebagaimana sudah dijelaskan pada sub bab muna>sabah. Artinya bahwa ada makna yang tersirat antara penjelasan antara orang munafik sebagaimana tertera dalam surat al-ma>’u>n dengan surat al-kaus\ar sebagai lawan dari prilaku orang munafik.
Selanjutnya lat}a>’if yang kedua adalah terdapat dalam makna spritual surat. Menurut al-Ra>zi>, surat al-kausar adalah surat yang menjelaskan tingkatan orang yang melakukan perjalanan menuju Allah. Dalam hal ini ada tiga tingkatan. Tingkat paling tinggi adalah mereka yang hati dan ruh mereka tenggelam dan larut bersama nur atau cahaya Allah. Tingkat kedua yaitu, mereka yang sibuk dengan ibadah pada Allah dengan berbagai bentuk ibadah jasmani. Sedangkan tingkat ketiga, adalah derajat paling rendah yaitu mereka yang enggan jiwanya serta sibuk dengan hal-hal yang bersifat jasmani dan syahwat yang bersifat sementara dan duniawi.
Setelah menjelaskan lat}a>’if (makna tersirat/makna batin) maka al-Ra>zi> mencoba menjelaskan bahwa ada juga yang disebut dengan makna isya>ri>. Sehingga jelas bahwa al-Ra>zi> adalah seorang mufassir yang sangat terpengaruh oleh pemahamannya sebelumnya. Al-Ra>zi> adalah seorang tokoh mufassir yang juga dikenal dengan seorang mutakallim dan sufi. Mungkin inilah yang disebut oleh teori ‘pra pemahaman’.
d. Makna Isya>ri>
Al-Ra>zi> sebagai seorang mufassir yang juga terpengaruh oleh keilmuan-keilmuan yang dikuasainya sebelumnya, ternyata tidak hanya berhenti pada makna batin (lat}a>’if) saja, namun al-Ra>zi> juga mencoba lebih memaknai surat al-Kaus\ar lebih dalam lagi. Artinya pada makna isya>ri> ini, penulis melihat makna sebuah term menjadi lebih bersifat universal. Sebut saja misalnya terhadap ‘al-abtar’. Dalam hal ini, al-Ra>zi> tidak berhenti pada makna yang berlaku pada saat teks tersebut turun, namun ia mencoba menggalinya lebih pada aspek isyarat yang ada dalam teks itu sendiri. Namun dalam hal ini, al-Ra>zi> tetap bertitik tolak pada teks yang ada.
Oleh karena itu, ayat yang berbunyi ‘inna> a’taina>ka al-kaus\ar’ adalah isyarat atas tingkat atau maqam spritual pertama, yaitu jiwa yang suci dan unggul serta istimewa dibanding dengan jiwa-jiwa lainnya.
Adapun ayat yang berbunyi ‘fas}alli li rabika’ adalah isyarat untuk tingkat atau maqam yang kedua. Sementara itu lafal ‘wa inhar’ adalah isyarat untuk tingkat atau maqam spritual ketiga.
Setelah tiga tingkat atau maqam spritual manusia, maka Allah menutup surat al-kaus\ar dengan ‘inna sya>ni’aka hua al-abtar’ menekankan bahwa yang merugi pada hakikatnya adalah orang-orang yang jiwanya selalu menyeru pada kelezatan sementara, dan kenikmatan duniawi yang bersifat jasmani, syahwat dan tidak akan kekal. Dan yang abadi, kekal hanyalah kebahagiaan rohaniah dan ma’rifat rabbaniyah.
Sehingga, makna al-abtar dalam kaitannya dengan isyari> lebih pada aspek spritual yang dibangun sebelumnya. Setelah al-Ra>zi> selesai melakukan penafsiran dengan metode kontekstualisasi internal teks (munasabah), kontekstualisasi eksternal teks (abab al-nuzul), makna batin (lat}a>’if), makna isyari>, maka langkah selanjutnya yang ditempuh oleh al-Ra>zi> adalah mencoba memahami faidah setiap term, setiap ayat, kemudian faidaj munasabah, dan lain-lain.
Dalam hal ini, penulis melihat bahwa al-Ra>zi> mencoba membuka tabir dibalik semua yang terjadi pada surat al-kaus\ar.
4. Mencapai Makna Obyektif dari Gramatikal Bahasa.
Dengan hermeneutika ini, seorang mufassir mencoba untuk memahami original meaning. Dalam hal ini, al-Ra>zi> seringkali mencoba memaknai term yang ada dalam al-Qur’an. Misalnya dalam surat al-kaus\ar bisa dilihat seperti berikut:
Kata inna>, kadang dimaknai dengan jamak dan kadang dimaknai sebagai ta’z}i>m. Namun karena ayat tersebut menunjukkan Allah, maka tidak mungkin kata inna> dimaknai dengan jamak, kecuali jika yang dimaksud adalah usaha yang telah dihasilkan oleh malaikat Jibril, Mikail dan para Nabi yang terdahulu. Sementara itu, jika dimaknai dengan ta’z}i>m, maka yang dimaksud aadalah besarnya nikmat yang diberikan oleh Allah. Yang memberi adalah Pencipta langit dan bumi sedangkan yang diberi adalah al-Kaus\ar. Al-kaus\ar adalah isim muba>lagah dari al-kas\rah. Adapun al-abtar adalah sesuatu yang ekornya terputus, disebut juga bagi orang yang tidak punya keturunan dan pengikut. Atau juga orang yang tidak punya kebaikan.
Kemudian, al-Ra>zi> juga berkata bahwa penggunaan term ‘a’t}aina>ka’ sebagai wujud penghargaan pada Rasul. Oleh sebab itu, Allah tidak menggunakan term ‘al-i>ta>’. Selanjutnya fa> yang ada dalam term ‘fas}alli’ adalah fa> sababi>yah. Yaitu Rasul harus melaksanakan salat demi mencapai ridha Allah karena telah diberikan kenikmatan yang luar biasa banyaknya.
PENUTUP
Dari makalah ini, terlihat bahwa al-Ra>zi> adalah seorang mufassir yang ahli di berbagai bidang ilmu, yang pada akhirnya banyak mendapat kritikan khususnya dalam tafsirnya sendiri. Selain itu, al-Ra>zi adalah seorang mufassir sunni syafi’i yang rasionalis, sehingga tafsirnya banyak dibumbui dengan pemikiran filosofisnya.
Mengenai muna>sabah, al-Ra>zi> adalah sosok mufassir yang menganggap bahwa al-Qur’an adalah kitab yang sangat teratur sehingga antar kata, antar surat sangat memiliki hubungan yang kuat dan harusnya lebih diperhatikan lagi.
Pada hakekatnya al-Ra>zi> sebagai tokoh mufassir klasik telah mencoba menafsirkan al-Qur’an dengan metode hermeneutika umum, bahkan lebih dari itu, karena menurut penulis, al-Ra>zi> telah mencoba menggali makna di balik sebuah teks, misalnya saja dalam penggunan istilah lat}a>’if, isya>rah, dan fawa>’id. Hanya saja memang al-Ra>zi> tidak menyebutnya sebagai hermeneutika. Namun demikian, penulis menganggap bahwa masih perlu penelitian mendasar dan mendalam pada kitab al-Ra>zi> ini, agar bisa dipetakan lebih detail lagi.
DAFTAR PUSTAKA
M. Hasby ash-Shiddieqy, Ilmu-ilmu al-Qur’an, Bulan Bintang, Jakarta, 1993.
Abu Syuhbah, al-Isra’ilyyat wa al-Maudhu’at fî Kutubi al-Tafiîr, Maktabah al-Sunnah, Kairo, 1408 H.
Muhammad Husein al-Dzahabi, al-Tafiîr wa al-Mufasirun, Maktabah Wahbah, Kairo. 2003.
Muhammad Abd al-‘Adzim al-Zarqani, Manahil al-’Irfan fi ‘Ulumi al-Qur’an, Dar al-Kutub al-’Ilmiyah, Beirut, 1996.
Hai’ah al-Tashih Mathba’ah al-Bahiyah al-Mishriyah, Muqaddimah Tafsir Mafatih al-Ghaib, Mathba’ah al-Bahiyah al-Mishriyah, Kairo, t.th.
al-Qifthi, Tarikh al-Hukama’, Mu’assasah al-Khanji, Mesir, t. th.
Ibnu Katsir, al-Bidayah wa al-Nihayah, Muassasah al-Tarikh al-Arabi, Beirut, 1993.
Fakhr al-Di>n al-Ra>zi>, Tafsi>r Mafa>tih} al-Gaib, Lebanon: Da>r al-Fikr. 1981
Manna’ al-Qat}t}a>n, Maba>his\ fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n, Riyadh: Mansyura>t al-‘As}r al-H{adi>s\. 1996.
Jiwa Manusia Menurut Fakhruddin Al-Razi, dalam http://www.insistnet.com/index.php/option=com_content&view=article&id=94:jiwa-manusia-menurut-fakhruddin-al-razi&catid=20:psikologi-islam&itemid=18.
Amin Abdullah, Dinamika Islam Kultural: Pemetaan atas Wacana Islam Kontemporer, Bandung Mizan, 2000.
Jalaludin Rakhmat: “Rahmat Tuhan Tidak Terbatas”. Dalam http://islamlib.com/id/artikel/rahmat-tuhan-tidak-terbatas/.
Sahiron Syamsudin. Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul Qur’an. Yogyakarta: Nawesea Press. 2009.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar