STUDI KITAB HADIS
(Studi atas Inkonsistensi Pemikiran Hadis al-Alba>ni> dalam Kitab
‘al-Ajwibah al-Na>fi’ah ‘an Mas’alah Lajnah Masjid al-Ja>mi’ah’)
PENDAHULUAN
Posisi sunnah Nabi Muhammad saw., masih menjadapat apresiasi yang sangat signifikan di mata umat Islam sebagai salah satu sumber ajaran Islam kedua setelah al-Qur’an. Apalagi ketika sebuah hadis sudah dianggap sahih maka akan menempati posisi yang sangat strategis dalam khazanah hukum Islam. Dalam sunnah itulah kaum muslimin menemukan berbagai fakta historis mengenai bagaimana ajaran-ajaran Islam yang diwahyukan oleh Tuhan dan diterjemahkan kedalam kehidupan nyata oleh Nabi Muhammad saw.
Karena sifatnya yang sangat praktis, dan tidak jarang mengikat secara keagamaan, hadis sering menjadi lebih populer dan lebih menentukan dalam pembentukan tingkah laku sosio-keagamaan dibanding ayat-ayat al-Qur’an. Oleh sebab itu pada praktiknya kehidupan seorang muslim banyak ditentukan oleh hadis Nabi.
Jika al-Qur’an berbicara tentang prinsip-prinsip dan hukum-hukum yang sifatnya universal, maka hadis menafsirkan ayat-ayat tersebut sehingga lebih jelas dan operasional, walau tak jarang hadis bisa berdiri sendiri dalam pembentukan hukum ketika al-Qur’an sama sekali tidak memberikan keterangan tentang hukum tersebut. Namun demikian, al-Qur’an langsung dari Allah dan Nabi Muhammad langsung meminta pada para sahabat untuk menuliskannya setiap kali ayat itu turun dan pencatatan al-Qur’an merupakan pekerjaan yang tidak pernah dirahasiakan dan menjadi aktivitas publik. Sedangkan hadis baru didokumentasikan setelah dua generasi, sehingga sumber pertama setelah Nabi yaitu para sahabat, hampir tidak ditemukan lagi. Penulisan hadis juga hanya menjadi pekerjaan sebagian kecil sahabat saja. Bahkan suatu saat Nabi pernah melarang menulis apa saja yang datang dari beliau selain al-Qur’an. Sehingga pen-tadwi>n-an hadis secara resmi tertunda sampai abad ke-2 H.
Dari adanya permasalahan tersebut di atas, maka muncullah berbagai macam kritik atas hadis dengan hadirnya metodologi kritik hadis atau metodologi penelitian hadis. Dalam ilmu hadis tradisi penelitian ini lebih difokuskan kepada unsur pokok hadis yaitu sanad, matan dan rawi. Dalam ilmu sejarah, penelitian matn atau naqd al-matn dikenal dengan istilah kritik intern, atau al-naqd al- da>khili>, atau al-naqd al-ba>t}ini>. Untuk penelitan sanad atau naqd al-sanad, istilah yang biasa dipakai dalam ilmu sejarah ialah kritik ekstern, atau al-naqd al-kha>riji>, atau al-naqd al-z}a>hiri>.
Walaupun sebahagian ulama merasa bahwa studi sanad hadis sebenarnya sudah bisa dicukupkan pada masa ulama hadis di masa dahulu, namun ternyata, penelitian hadis yang bertititik tekan pada sanad, di masa kontemporer ini, al-Alba>ni> muncul dengan segala usahanya yang begitu ekstrim dan hebat. Sehingga tak jarang, al-Alba>ni> harus dicecar dengan berbagai kritkik pedas dari beberapa ulama lainnya. Salah satu kitab karya al-Alba>ni> yang menurut penulis termasuk kontroversi adalah mengenai permasalahan di seputar solat jum’at. Walaupun al-Alba>ni> menitik tekankan pada sisi sanad, namun pada kitab ini, al-Alba>ni> menurut penulis cukup kritis walaupun kadang kala malah terjebak dengan omongan dia sendiri.
ISI
A. Biografi Na>s}ir al-Di>n al-Alba>ni>
1. Nama dan Keluarga
Nama lengkapnya adalah Abu> ‘Abd al-Rah}ma>n Muh}ammad Na>s}ir al-Di>n bin al-H{a>j Nu>h} al-Alba>ni>. Ia dilahirkan lahir di Shkoder, Albania pada tahun 1914 M awal abad ke sembilan belas, atau bertepatan pada tahun 1333 H.
Al-Alba>ni> meninggal di Yordania, 1 Oktober 1999, atu bertepatan pada tanggal 21 Jumadil Akhir 1420 H. Dengan demikian, umurnya lumayan panjang jika dibanding dengan para ulama yang semasa dengannya, bahkan hingga sekarang, yaitu umur 84–85 tahun. Al-Alba>ni> dikenal dan masyhur sebagai salah seorang ulama Islam di era modern sebagai ahli hadis. Ia dilahirkan dan dibesarkan di tengah kondisi keluarga yang termasuk kategori menengah kebawah lantaran ketekunan dan keseriusan mereka terhadap ilmu, khususnya ilmu agama.
Ayah al-Alba>ni>, yaitu al-Ha>jj Nu>h}, adalah lulusan lembaga pendidikan ilmu-ilmu syariat di ibu kota negara Turki Usmani (yang kini menjadi Istambul). Setamatnya dari lemabaga-lembaga pendidikan tersebut, ia kembali ke kota kelahirannya untuk mengajarkan orang lain seluruh apa yang didapatnya semasa pendidikan. Dengan keahlian dan kemahiran ayah al-Alba>ni> dalam ilmunya, maka ia menjadi rujukan orang-orang ketika itu.
Selain produktif dalam menghasilkan karya, ternyata al-Alab>ni> juga produktif dalam menikahi perempuan-perempuan dan juga dalam memiliki anak. Dalam sebuah riwayat disebutkan, bahwa al-Alba>ni> memiliki empat orang istri dan tigabelas orang anak.
2. Pendidikan
Sebenarnya riwayat pendidikan al-Alba>ni> tidaklah dimulai dari tanah kelahirannya sendiri. Hal ini karena ayah al-Alba>ni> melihat kondisi Albania ketika itu telah berubah secara sistem pemerintahan. Pergolakan dan perubahan sistem pemerintahan Albania mengalami reformasi total, tat kala Raja Ahmet Zogu naik tahta di Albania dan mengubah sistem pemerintahan menjadi pemerintah sekuler. Melihat kondisi semacam ini, syaikh Nu>h} (ayah al-Alba>ni>) amat mengkhawatirkan dirinya dan diri keluarganya. Akhirnya, ia memutuskan untuk berhijrah ke Syam (Suriah, Yordania dan Lebanon sekarang). Ia sekeluarga pun menuju Damaskus. Ayahnya memutuskan untuk hijrah ke kota Damaskus dikarenakan adanya fadilah yang dimiliki oleh kota ini sebagaimana dalam beberapa riwayat hadis dan do’a Rasul sendiri.
Setiba di Damaskus, Syaikh al-Alba>ni> kecil mulai aktif mempelajari Bahasa Arab, hingga suatu ketika di Damaskus, al-Alba>ni> pernah ditanya apakah bahasa Arabnya sudah baik dan bagus sejak ia dari Albania. Maka ketika itu al-Alba>ni> berkata:
“Saya tidak tahu apa pun mengenai bahasa Arab. Bahkan aku juga tidak tahu mengenai huruf-huruf dalam bahasa Arab. Karena pada saat itu orang tua kami belum mengajarkan bahasa Arab pada kami, walaupun ia adalah seorang imam masjid, seorang penulis. Dan ketika kami juga datang ke Damaskus, kami juga belum tahu membaca dan menulis. Aku juga tidak tahu bahwa huruf Alif itu seperti al-naft}i>yah (tongkat yang biasa digunakan oleh orang tua)”
Ia masuk madrasah yang dikelola Jam'i>yah al-Is'a>f al-Khairi>yah. Sekolah ini dekat dengan bangunan bekas yang dikenal dengan nama istana al-‘Az}m di daerah al-Bazu>ri>yah. Namun ketika terjadi perang antara Suriah dan Perancis, sekolah ini terbakar hingga mengharuskannya pindah. Kemudian ia melanjutkan studinya ke sekolah lain dekat pasar di Saragozah, hingga pada akhirnya ia menyelesaikan pendidikannya.
Tat kala al-Alba>ni> mempelajari agama di sekolah formalnya, ternyata ayahnya, syaikh Nu>h} melihat bahwa sekolah tersebut tidak mengajarkan agama yang baik dan benar, ia memutuskan untuk menarik al-Alba>ni> dan mengajarinya sendiri pelajaran al-Qur’an, Tajwid, Shorof, serta fiqih mazhab Hanafi.
Untuk melengkapi pengetahuan al-Alba>ni>, ayahnya juga menyuruhnya untuk belajar pada teman-teman ayahnya sendiri, seperti belajar agama dan bahasa Arab kepada al-Syaikh Sa’i>d al-Burha>ni> dengan cara membaca kitab Muraqqa> al-Falla>h}, serta berbagai kitab-kitab terbaru mengenai balaghah. Selain itu, al-Alba>ni> bahkan menerima ijazah mengenai ilmu hadis dari seorang ulama yang terkenal, yaitu al-Syaikh al-T{abba>kh.
Pada umur dua puluh tahun, al-Alba>ni> mulai mengonsentrasikan diri pada ilmu hadits lantaran terkesan dengan pembahasan-pembahasan yang ada dalam majalah al-Mana>r, sebuah majalah yang diterbitkan oleh Syeikh Muhammad Rasyid Ridha. Kegiatan pertama di bidang ini ialah menyalin sebuah kitab berjudul al-Mugni> 'an H{aml al-Asfa>r fi> Takhri>j ma> fi> al-Is}a>bah min al-Akhba>r, sebuah kitab karya al-Ir>aqi>, berupa takhrij terhadap hadis-hadis yang terdapat pada Ihya>' Ulumi al-Di>n karangan Ima>m Abu> H{a>mid al-Gaza>li>. Kegiatan Syaikh Al-Alba>ni> dalam bidang hadits ini ditentang oleh ayahnya yang berkomentar, "Sesungguhnya ilmu hadis adalah pekerjaan orang-orang pailit." Namun, Syaikh al-Alba>ni> justru semakin menekuni dunia hadis.
3. Reparasi Jam Sebagai Sebuah Profesi
Abd al-‘Azi>z bin Muh}ammad bin ‘Abd Alla>h al-Sadha>ni> menjelaskan dalam kaaryanya yang berjudul Al-Ima>m al-Alba>ni> Duru>s wa Muwa>fiq wa ‘Ibr melihat bahwa memperbaiki jam bagi al-Alba>ni> adalah bentuk pengamalan hadis Nabi yang berbunyi:
أطيَبُ كَسْبِ الرَّجُلِ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ
‘Sebaik-baik pekerjaan seseorang adalah pekerjaan yang dilakukan dengan tangan sendiri’
Al-Alba>ni> melakukan profesi ini untuk mendapatkan penghasilan dan penghidupan yang pada akhirnya menjadi anugrah besar baginya dan pintu rezeki. Bahkan al-Alba>ni> pernah berkata bahwa wajib bagi orang yang memiliki waktu luang untuk menuntut ilmu dan berprofesi memperbaiki jam. Hal ini terbukti karena menurutnya, Allah telah mengarahkannya untuk mendalami profesi ini sejak usia remaja hingga mampu membiayai hidup keluarganya secukupnya. Menurutnya profesi ini tidak menyita waktunya untuk mempelajari sunnah Rasul. Hampir setiap hari ia mereparasi jam kecuali selasa dan jum’at, minimal tiga jam perhari. Bahkan al-Alba>ni> pernah berkata:
“Ada dua nikmat Allah yang paling besar bagi saya yang tidak bisa dikira dan yang paling berpengaruh dalam kehidupan saya. Yaitu, hijrahnya orang tua saya ke Syam dan ilmu yang diajarkan oleh ayah saya, yaitu reparasi jam”
Pada perkembangan berikutnya, Syشikh al-Alba>ni> tidak memiliki cukup uang untuk membeli kitab. Karenanya, ia memanfaatkan Perpustakaan al-Z{a>hiri>yah di sana (Damaskus), di samping juga meminjam buku dari beberapa perpustakaan khusus. Karena sibuknya, ia sampai-sampai hampir menutup kios reparasi jamnya. Ia tidak pernah beristirahat menelaah kitab-kitab hadis, kecuali jika waktu salat tiba. Akhirnya, kepala kantor perpustakaan memberikan sebuah ruangan khusus di perpustakaan untuknya. Bahkan kemudian ia diberi wewenang untuk membawa kunci perpustakaan. Dengan demikian, ia menjadi leluasa dan terbiasa datang sebelum pengunjung lain datang. Begitu pula, ketika orang lain pulang pada waktu salat zuhur, ia justru pulang setelah salat isya. Hal ini dijalaninya sampai bertahun-tahun.
4. Cobaan di penjara
Syeikh al-Alba>ni> pernah dipenjara dua kali. Kali pertama selama satu bulan dan kali kedua selama enam bulan. Itu tidak lain karena gigihnya ia mendakwahkan sunnah, memurnikan ajaran agama Islam, dan memerangi bid'ah, sehingga orang-orang yang tidak menyukainya dan bahkan menebarkan fitnah. Menurut Muhammad bin Ibra>hi> al-Syaiba>ni>, yang menyebabkan ia masuk penjara adalah karena keteguhan hatinya dalam berdakwah dan mengajarkan hadis-hadis Nabi yang dianggap paling sahih walaupun itu terkadang kontroversi. Sehingga ketika itu, banyak orang-orang yang iri dan dengki. Namun bagi al-Alba>ni> hal ini bukanlah menjadi penghalang, bahkan al-Alba>ni> sering kali membacakan ayat:
tA$s% Éb>u‘ ß`ôfÅb¡9$# =ymr& ¥’n<Î) $£JÏB ûÓÍ_tRqããô‰tƒ Ïmø‹s9Î) ( ž
Kesempatan dipenjara ini malah dijadikan sebagai peluang besar oleh al-Alba>ni> untuk berdakwah di dalam penjara sebagaimana ia lakukan di luar alam bebas. Bahkan ketika di dalam penjara, al-Alba>ni> mampu menghasilkan sebuah karya, yaitu ‘Mukhtas}ar ‘ala> S{ah}i>h} Muslim bin al-H{uja>j’. Selain itu, al-Alba>ni> mampu menghidupkan salat jum’at secara berjama’ah yang sudah lama tidak dilakukan sejak Ibn Taimi>yah dibebaskan dari penjara.
5. Beberapa tugas yang pernah diemban
Syaikh al-Alba>ni> pernah mengajar di Ja>mi'ah Isla>mi>yah (Universitas Islam Madinah) selama tiga tahun, sejak tahun 1381-1383 H, mengajar tentang hadis dan ilmu-ilmu hadis. Setelah itu, ia pindah ke Yordania. Pada tahun 1388 H, Departemen Pendidikan meminta Syaikh al-Alba>ni> menjadi ketua jurusan Dira>sah Isla>mi>yah pada Fakultas Pasca Sarjana di sebuah perguruan tinggi di kerajaan Yordania. Tetapi, situasi dan kondisi saat itu tidak memungkinkannya memenuhi permintaan itu. Pada tahun 1395 H hingga 1398 H, ia kembali ke Madinah untuk bertugas sebagai anggota Majelis Tinggi Ja>m'iyah Isla>miyah di sana. Ia mendapat penghargaan tertinggi dari kerajaan Arab Saudi berupa King Faisal Foundation tanggal 14 Dzulkaidah 1419 H (1999 M).
6. Karya
Karya Syaikh al-Alba>ni amat banyak, di antaranya ada yang sudah dicetak, ada yang masih berupa naskah, dan ada yang hilang. Semua berjumlah 218 judul. Di antara karya al-albani adalah: S{ils}ilah al-Ah{a>di>s\ al-S{ah}i>h{ah, S{ils}ilah al-Ah}a>di>s\ al-D{a’i>fah, D{a’i>fah Sunan Abi> Da>wud, Irwa>’ al-Gali>l fi> Takri>j Aha>di>s\ Mana>r al-Sabi>l, Ja>mi’ al-Tirmi>z\i>, Sunan al-Nasa>’i>, S{ah}i>h} wa D{a’i>f Sunan Ibn Ma>jah, Tah}z\i>r al-Sa>jid min Ittika>z\ al-Qubu>r Masa>jid, Al-tawassul Anwa>’uh wa Ah}ka>muh, S{ha}ih} al-Targi>b wa al-Tarhi>b, D{a’i>f al-Targi>b wa al-Tarhi>b, Al-Ja>mi’ al-S{agi>r wa Ziya>datuh, Misyka>h al-Mas}a>bi>h, Al-‘Adab al-Mufrad, Z{ila>l al-Jannah fi> Takhri>j al-Sunnah, S{ifah S{ala>h al-Nabi>, H{ukm Ta>rik al-S{ala>h, Al-S|amr al-Mustat}ab fi> fiqh al-Sunnah wa al-Kita>b, Takhri>j al-T{ah}h}a>wiyah, H{ujah al-Nabi> Kama> Rawa>ha> ‘anh Ja>bir, Tama>m al-Minnah fi> al-Ta’li>q ‘ala> Fiqh al-Sunnah, A<da>b al-Zufa>f fi> al-Sunnah al-Mut{ahharah, Ah}ka>m al-Jana>’iz wa Bid’uha>, Jilba>b al-Mar’ah al-Muslimah, Risa>lah Qiya>m Ramad}a>n, Mukhtas}ar al-‘Uluww li al-‘Ali> al-Gifa>r, Mana>sik al-H{ajj wa al-‘Umrah, Mukhtas}ar al-Syama>’il al-Muh}ammadi>yah, S{ah}ih} al-Si>rah al-Nabawi>yah, Tah}ri>m A<la>t al-T{urb, Al-Mash} ‘ala> al-Jaurabain, Al-Kalim al-T{ayyib, Riyad} al-S{a>lih}i>n, Al-Ajwibah al-Nafi’ah ‘an Su’a>l Masjid al-Ja>mi’ah, dan lain-lain. Banyak lagi kitab-kitab karya al-Alba>ni> yang masih belum tercantum dalam makalah ini. Singkatnya, bahwa sosok al-Alba>ni> adalah sosok ulama yang produktif. Lepas dari kontroversinya, penulis tetap mengapresiasi usaha al-Alba>ni>, yang mungkin dari masa ia mulai menulis sampai sekarang, belum ada seorang ulama yang menandingi keproduktifannya dalam menghasilkan karya, apalagi mengenai kitab-kitab hadis yang jumlah bukunya tidak sedikit.
B. Latar Belakang Penulisan Kitab
Sebelum menjelaskan lebih lanjut mengenai latar belakang penulisan kitab yang akan dibahas pada kesempatan ini, penulis terlebih dahulu memperkenalkan judul kitab ini. Tulisan kitab ini sebenarnya berjudul ‘al-Ajwibah al-Na>fi’ah ‘an Mas’alah Lajnah Masjid al-Ja>mi’ah’.
Mengengai latar belakang penulisan kitab ini, secara jelas dan gamblang diungkapkan oleh al-Alba>ni> dalam mukaddimahnya yang pertama. Ia berkata bahwa pada bulan Ramadhan ia diberikan lembaran kertas yang berisikan beberapa pertanyaan yang ditulis ketik. Namun pada saat itu, pertanyaan-pertanyaan tersebut tidak disertai dengan sumber. Oleh sebab itu, al-Alba>ni> berpikir bahwa pertanyaan tersebut muncul dari panitia atau anggota pengajian atau halaqah masjid itu sendiri. Semua pertanyaan yang muncul dalam lembaran tersebut bertanya mengenai permasalahan yang muncul dalam masjid itu sendiri, yaitu masalah pelaksanaan disekitar solat jum’at. Mulai dari bentuk dan tempat dan bilangan azan, bagaimana hukum solat sunnah qabliyah jum’at dan sebagainya.
Lebih lanjut ia menjelaskan, bahwa pertanyaan-pertanyaan semacam ini sebenarnya telah banyak muncul dalam berbagi halaqah dimanapun, dan bahkan permasalahan ini pun banyak dibahas dalam berbagai kitab fiqih dan sunnah, namun dibahas secara panjang lebar dan dicampur aduk dengan pernasalahan lainnya. Oleh sebab itu, menurut al-Alba>ni> ia mencoba menghadirkan kitab ini dengan permasalahan yang khusus mengenai ibadah seputar solat jum’at. Ia berharap, kitab ini bisa menjadi penerang pikiran sehingga seluruh masjid yang ada dimanapun jauh dari bid’ah serta berbuat sesuai dengan sunnah Nabi. Salah satu hal yang paling penting dalam penerbitan kitab ini adalah karena dilengkapi dengan dalil-dalil naqli dari al-Qur’an, sunnah Nabi, asar sahabat dan juga dilengkapi dengan fatwa-fatwa ulama yang kompeten yang fatwanya banyak dipakai oleh jama’ah.
B. Metode, Sistematika dan Pendekatan
Al-Alba>ni> dalam menghadirkan buku ini sangat sederhana dan mudah dipahami. Sistematika penulisan kitab ini sepertinya memang didasari betul dengan latar belakangnya, sehingga setiap sub bab dalam kitab ini selalu diawali dengan pertanyaan-pertanyaan yang muncul, kemudian dilengkapi dengan jawaban. Dengan demikian, ketika kitab ini lahir karena pertanyaan yang muncul mengenai ibadah seputar solat jum’at, maka pembahasan kitab ini adalah tematik dan kemudian dilanjutkan dengan deskriptif analisis atas hadis yang digunakan beberapa ulama dalam mendukung pendapat mereka mengenai hadis-hadis yang digunakan dalam ibadah jum’at.
Sebelum membahas lebih lanjut isi kitab ini, terlebih dahulu penulis akan memaparkan pendapat al-Alba>ni> mengenai kedudukan sunnah dalam Islam. Al-Alba>ni menjelaskan bahwa sunnah memiliki posisi yang sangat krusial dalam Islam. Kedudukan sunnah sebenarnya sama dengan al-Qur’an, karena mengambil hukum dari al-Qur’an dan sunnah sama-sama wajib. Namun perlu digaris bawahi, sunnah tersebut harus benar-benar dari Rasulullah setelah dilakukan penelitian yang ilmiah dan mendalam, sanadnya sahih sebagaimana telah diteliti oleh para ahli hadis dan ahli rijal. Dan terpenting juga, jangan menjadikan kitab-kitab fiqih dan tafsir sebagai rujukan, karena dalam kitab-kitab tersebut masih banyak hadis-hadis dha’if bahkan maudhu’.
Melihat pemahaman dan kedudukan hadis yang diungkapkan oleh al-Alba>ni>, seolah mengingatkan penulis pada tokoh Indonesia, Hasbi as-Shiddieqi dalam memandang otoritas hadis atau sunnah. Dalam hal ini, ia menganggap bahwa mengikuti sunnah atau hadis harus sebagaimana mengikuti al-Qur’an. Hal ini karena keduanya adalah pokok syari’at Islam. Namun demikian, kesahihan hadis atau sunnah tetap harus dipertimbangkan serta tidak bertentangan dengan al-Qur’an. Hal ini karena al-Qur’an adalah pokok dan pangkal bagi sunnah.
Ternyata kemiripan mereka juga tidak sampai hanya dalam pemaknaan dan kedudukan hadis semata, namun lebih dari itu, tujuan yang diusung juga sama, yaitu untuk memusnahkan segala bentuk bi’dah yang masih tersebar dalam bentuk ibadah umat muslim. Bisa dilihat dalam karya Tengku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy yang berjudul Kriteria Sunnah dan Bid’ah.
Kembali pada pembahasan al-Alba>ni>, penulis ketika melihat kedudukan hadis sahih yang begitu penting di mata al-Alba>ni>, maka pembahasan dalam kitab ini juga selalu dilengkapi dengan hadis sahih. Selain itu juga, al-Alba>ni> selalu melengkapi pendapatnya dengan beberapa asar dari sahabat, dan kemudian kalau perlu dengan beberapa fatwa ulama yang sudah masyhur. Namun demikian, menurut penulis, al-Alba>ni> juga tak jarang menggunakan beberapa rasio untuk mendukung pendapatnya, tapi tetap berdasar pada hadis yang dianggapnya lebih sahih.
Khusus dalam kitab ini, al-Alba>ni> terlebih dahulu mengutip hadis mengenai bentuk dan pola azan jum’at di masa khalifah ‘Usman ra, karena al-Alba>ni> menganggap bahwa pokok permasalannya adalah berpusat pada hadis tentang azan ini.
Dalam mengutip hadis, al-Alba>ni> akan mencoba menunjukkan adanya tambahan dalam sebuah hadis yang mana dalam takhrij lain tidak ditemukan. Untuk mempermudah hal ini, al-Alba>ni memberi tanda kurung pada lafal matan tambahan. Setelah itu, al-Alba>ni> akan menjelaskan hadis, siapa mukharrij-nya. Lebih jelasnya bisa dilihat dalam hadis di bawah ini:
(( قال الإمام الزهري رحمه الله تعالى : أخبرني السائب بن يزيد أن الأذان [الذي ذكره الله في القرآن] كان أوله حين يجلس الإمام على المنبر [وإذا قامت الصلاة] يوم الجمعة [على باب المسجد] في عهد النبي وأبي بكر وعمر، فلما كان خلافة عثمان، وكثر الناس [وتباعدت المنازل] أمر عثمان يوم الجمعة بالأذان الثالث (وفي رواية: الأول، وفي أخرى: بأذان ثان) [على دار[له] في السوق يقال لها: الزوراء] ، فأذن به على الزوراء [قبل خروجه ليعلم الناس أن الجمعة قد حضرت]، فثبت الأمر على ذلك، [فلم يعب الناس ذلك عليه، وقد عابوا عليه حين أتم الصلاة بمنى]
Imam al-Zuhri> berkata: al-Sa>’ib bin Yazi>d mengabarkan kepadaku sesungguhnya azan [yang disebutkan Allah dalam al-Qur’an] adalah awal ketika seorang imam duduk di atas mimbar [dan jika salat didirikan] pada hari jum’at [di atas pintu masjid] di masa Nabi dan Abu Bakr dan ‘Umar. Ketika masa khilafah ‘Usman, dan ketika manusia semakin banyak, [rumah-rumah juga semakin jauh], maka ‘Usman memerintahkan azan ketiga. (Dan dalam riwayat lain: pertama, dan yang lain; azan kedua.) Di tempat {[milik ‘Usman] yang berada di pasar, disebut dengan al-Zaura’] maka dikumandangkanlah azan di atas al-Zaura’ [sebelum ‘Usman keluar untuk solat jum’at agar manusia tahu bahwa waktu jum’at telah tiba] sehingga permasalahan ini menjadi berkelanjutan.
Sebagaimana di awal al-Alba>ni> mengatakan bahwa ia akan menjelaskan hadis ini mulai dari mukharrij dan tambahan yang ada, maka ia pun menerangkan bahwa hadis ini ditakhrij oleh al-Bukha>ri> 2/314, 316, dan 317, Abu> Da>wud 1/171. al-Nasa>’i> 1/207, al-Tirmi>zi> 2/392 dan ia men-shahih-kannya, Ibn Ma>jah 1/228, al-Sya>fi’i> dalam ‘al-Umm’ 1/173, Ibn al-Ja>ru>d dalam ‘al-Muntaqa>’ 148, al-Baiha>qi> 2/192 dan 205, Ah}mad 3/449 dan 450, Ish}aq bin Rahwi>yah, Ibn Khuzaimah dalam ‘S}ah}i>huhu’ 3/136/1773, al-T{abra>ni>, Wa>’id bin H{a>mid, Ibn al-Munz\ir dan Ibn al-Mardawi>yah.
Kemudian al-Alba>ni> juga menjelaskan sumber keberadaan tambahan dalam hadis tersebut sebagai berikut:
1. Tambahan pertama dari Ibn Rahwi>yah dan Ibn Khuzaimah dan lain-lain.
2. Tambahan kedua adalah Ibn al-Jarud dan al-Baiha>qi>
3. Tambahan kedua dari Abu> Da>wud dan al-T{abra>ni>
4. Tambahan ketiga oleh Ibn H{a>mid, Ibn al-Munz\ir, Ibn Mardawi>yah sebagaimana disebutkan oleh al-‘Aini> dalam ‘al-Umdah 3/233’.
5. Tambahan kelima oleh Ibn Ma>jah dan Ibn Khuzaimah
6. Tambahan ini ditambah oleh Ibn al-Sa>’ib sendiri
7. Tambahan terakhir ini oleh Ibn H{amid, Ibn al-Munzir, Ibn Mardawi>yah.
Adapun riwayat yang kedua yang berbunyi بالأذان الأول adalah dari Ah}mad, Ibn Khuzaimah. Sementara riwayat ketiga adalah al-Bukha>ri> dan al-Sya>fi’i>.
Pada intinya kitab ini membahas empat pertanyaan pokok yang muncul dalam majelis masjid di atas. Yaitu:
1. Bagaimana sebenarnya hukum dua kali azan jum’at seperti halnya yang dilakukan oleh Khalifah ‘Usman ra. Apakah dua kali azan di masa ‘Usman ra. adalah mutlak atau sebenarnya ada sebab-sebab yang memaksa dan mengakibatkan hal tersebut harus dilakukan oleh khalifah ‘Usman ketika itu, yaitu melihat orang-orang yang sibuk dalam mencari kebutuhan hidup? Atau dengan ungkapan lain, jika ada masjid dimana tidak ada pasar di dekatnya, tidak ada imam dan mu’azzin yang layak, sebagaimana halnya dengan masjid al-Hami>di>yah (masjid Universitas yang ada di Damaskus), apakah harus azan dua kali tetap harus dilakukan seperti di masa khalifah ‘Usman atau cukup dengan satu kali azan sebagaimana halnya di masa Rasul dan para sahabatnya?
2. Jika khutbah dan azan diputar dengan pengeras suara (Tape) dari sebuah masjid, seperti masjid Universitas Damaskus tersebut, apakah hal ini akan mengubah perintah syara’ berupa azan dan khutbah? Atau sesungguhnya azan dua kali seperti di masa khalifah ‘Usman ra. tidak dibutuhkan dalam masjid yang jauh dari rumah dan pasar? Atau memperdengarkan azan dan khutbah dengan pengeras suara (Tape) hanya sekedar peringatan saja, namun azan dan khutbah tetap harus dilaksanakan? Atau juga memperdengarkan azan sekali saja melalui pengeras suara (Tape) sehingga azan kedua tidak perlu lagi?
3. Apakah Azan kedua yang sesuai dengan syari’at Rasul harus berada di mimbar atau di pintu masjid dengan menghadap mimbar? Dan jika ada azan kedua, seperti azan di masa khlaifah ‘Usman ra., apakah tempatnya di pintu?
4. Jika azan hanya dikumandangkan sekali, maka kapan waktunya? Apakah awal waktu zuhur, atau bagaimana? Jika demikian (awal waktu zuhur), maka bertepatan ketika khatib naik ke mimbar, maka kapan salat qabliyah jum’at dilaksanakan? Atau apakah solat sunnah qabliyah jum’at ketika waktu solat sudah tiba tanpa ada azan dikumandangkan terlebih dahulu, kemudian khatib naik dan setelah itu azan?
C. Isi Kitab
Pada sub bab ini, penulis hanya akan mencoba memaparkan sebahagian pemikiran al-Alba>ni>, karena tidak mungkin menjelaskan semua pemikiran al-Alba>ni> dalam makalah ini, apalagi untuk menganalisisnya satu persatu lebih dalam lagi. Namun demikian, dalam sub bab ini, penulis akan memaparkan terlebih dahulu isi kitab ini secara gloabal.
Judul buku ini adalah al-Ajwibah al-Na>fi’ah ‘an As’ilah Lajnah Masjid al-Ja>mi’ah. Ditulis oleh Muh}ammad Na>s}ir al-Di>n al-Alba>ni>. Buku ini diterbitkan pertama pada tahun 1380 H, Jumadil Akhir, di Damaskus. Kemudian cetakan kedua diterbitkan pada 5 Jumadil Awal 1409.
Kitab ini terdiri dari delapan bab, dengan rincian sebagai berikut:
1. Al-Jawa>b ‘an al-As’ilah
2. Mata> Yusyra’ al-Az\a>n al-‘Us\ma>ni>
3. Tah}qi>q Maud{i’ al-Az\a>n al-Nabawi>
4. Al-Mana>rah
5. Tah}qi>q anna li al-Jum’ah Waqtain
6. Jawa>z al-S{ala>h qabl Zawa>l Yaum al-Jum’ah
7. Ah}ka>m Yaum al-Juma’ah
8. Bid’ al-Jum’ah
Untuk membahas lebih dalam isi kitab ini, penulis mencoba mengambil beberapa contoh yang kemudian akan penulis coba untuk menganalisis. Setiap sub bab ini selalu di deskriptifkan terlebih dahulu dengan beberapa dalil yang dijadi orang orang lain sebagai dasar untuk beribadah, kemudian al-Alba>ni> juga menilai hadis yang diapakai seraya mengghadirkan hadis yang lebih sahih. Karena kitab ini dilatar belakangi oleh pertanyaan-pertanyaan, maka tidak jarang al-Alba>ni> menggunakan kata ‘qultu’, nara>, fa aqu>l. Kemudian al-Alba>ni> juga mencoba untuk memberikan khulasah setelah memberikan penjelasan secara panjang lebar.
Untuk melihat bentuk pembahasan al-Alba>ni>, penulis akan memaparkan pendapat al-Alba>ni>, dan kemudian akan penulis tanggapi secara langsung.
Pertama: Azan Rasul atau Azan ‘Usman yang harus diikuti?
Dalam bab pertama, al-Alba>ni> menjelaskan empat pertanyaan seperti yang sudah dipaparkan dalam sub bab sebelumnya, kemudian memberi jawaban pada pertanyaan tersebut dengan cara menjelaskan bahwa azan seperti yang dilakukan oleh khalifah ‘Usman bukanlah sesuatu hal yang mutlak harus dicontoh, namun lebih pada pertimbangan sebab atau ‘illah pada saat itu, yaitu semakin ramainya manusia, dan rumah semakin jauh. Sehingga menyebabkan orang tidak tahu akan kehadiran waktu jum’at. Namun ketika zaman sekarang, masjid sudah banyak, bahkan hampir hitungan langkah kaki, maka hal seperti yang dilakukan oleh ‘Usman tidaklah suatu yang disyari’atkan.
Al-Alba>ni> menekankan bahwa tambahan yang ada dalam hadis “wa ingamasu> fi> t}alab al-ma’a>sy” tidak memiliki dasar yang kuat. Untuk memperkuat alasannya, al-Alba>ni> mengutip hadis Nabi
وقال ابن عمر : (( إنما كان النبي إذا صعد المنبر أذن بلال ، فإذا فرغ النبي من خطبته أقام الصلاة ، والأذان الأول بدعة )) رواه أبو طاهر المخلص في "فوائده"(ورقة 229/1-2).
Sehingga di akhir pembahasan ini al-Alba>ni> menyimpulkan bahwa azan ‘Usman tidak perlu dilakukan karena tidak ada lagi ‘illah seperti yang dihadapi oleh ‘Usman ketika itu. Selain itu, al-Alba>ni> melihat bahwa sebenarnya pada masa sekarang ini, bukan hanya orang yang jauh yang tidak mendengar azan, bahkan oleh orang yang dekat dengan masjid juga. Dengan demikian al-Alba>ni> menyimpulkan bahwa sebenarnya bukan jarak yang menyebabkan orang tidak mendengar azan, tapi adalah niat yang belum dibangun pada diri seorang muslim. Kalau memang seorang muslim memiliki niat yang kuat, maka orang yang jauh dari masjid tentunya harus berangkat terlebih dahulu ke masjid.
Pada pendapat terakhir ini, penulis melihat bahwa al-Alba>ni> malah terjebak pada pendapatnya yang awal. Al-Alba>ni> menjelaskan bahwa ‘Usman melakukan dua kali azan dikarenakan adanya ‘illah, tapi kenapa pada masa sekarang malah dikaitkan dengan kekuatan dan kekonsistenan niat seorang muslim untuk melaksanakan jum’at? Bukankah masalah semacam ini, secara tersirat telah tergambar dalam al-Qur’an surat al-Jum’ah: 9 yang berbunyi:
$pkš‰r'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä #sŒÎ) š”ÏŠqçR Ío4qn=¢Á=Ï9 `ÏB ÏQöqtƒ ÏpyèßJàfø9$# (#öqyèó™$$sù 4’n<Î) Ìø.ÏŒ «!$# (#râ‘sŒur yìø‹t7ø9$# 4 öNä3Ï9ºsŒ ׎öyz öNä3©9 bÎ) óOçGYä. tbqßJn=÷ès? ÇÒÈ
Hai orang-orang yang beriman, jika solat jum’at telah diserukan, maka bergegaslah untuk mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli.
Bagi penulis, secara tersirat bahwa Allah sebenarnya mengingatkan orang-orang mu’min ketika itu yang masih sibuk dalam proses jual beli untuk bersegera ke masjid untuk melaksanakan solat jum’at. Oleh sebab itu, menurut penulis tambahan yang berbunyi ‘wa ingomasu> fi t}alab al-ma’a>sy’ adalah sebuah keniscayaan dalam memahami sebuah hadis Nabi, karena sangat erat kaitannya dengan konteks saat itu.
Kedua: Penggunaan pengeras suara (tape)
Secara singkat, al-Alba>ni> menjawab bahwa penggunaan tape dalam mengumandangkan azan tidaklah merubah ketetapan syara’. Karena penggunaan tape, seharusnya sama fungsinya untuk mengingatkan manusia akan tibanya waktu jum’at. Sehingga sama halnya ketika ‘Usman juga mengumandangkan azan pertama, berfungsi untuk mengingatkan manusia pada saat itu.
Dalam hal ini, penulis masih sepakat, namun perlu diingat, bahwa ternyata al-Alba>ni> tidak leluasa dan sebebas itu dalam membolehkan penggunaan pengeras suara, karena pada sub bab selanjutnya, al-Alba>ni> berkata hal tersebut bisa jadi masuk pada kategori mubazzir atau berlebihan.
Ketiga: Tempat mu’azzin.
Dalam pembahasan ini, al-Alba>ni> mengutip hadis Nabi di bawah ini
(( أن الأذان في عهد النبي وأبي بكر وعمر كان على باب المسجد ، وأن أذان عثمان كان على الزوراء ))
Selanjutnya, al-Alba>ni> mengutip beberapa pendapat ulama yang menyatakan kebid’ahan di seputar azan:
Ibn ‘Abd al-Barr dari Malik mengatakan bahwa azan jum’at di depan Imam adalah bid’ah. Ibn Rusyd berkata bahwa azan di depan Imam pada hari jum’at adalah makruh karena bid’ah. Ibn Rusyd menambahkan bahwa orang pertama yang melakukannya adalah Hisya>m bin ‘Abd al-Malik. Al-‘Alla>mah al-Kasymiri> berkata bahwa ia tidak menemukan azan di dalam masjid memiliki dalil dalam keempat mazhab, kecuali apa yang dikatakan oleh penulis kitab ‘al-Hida>yah’.
Dengan mengutip hadis di atas, dan beberapa pendapat ulama, al-Alba>ni> mencoba menyimpulkan:
1. Sesungguhnya azan di depan imam bertentangan dengan sunnah Nabi dan Khulafa>’ al-Ra>syidi>n.
2. Bahwa azan di dalam masjid depan Imam adalah dimulai sejak zaman Hisya>m. Hal ini juga dikatakan oleh Ibn ‘A<bidi>n dalam ‘al-H<a>syiah (1/769).
Dengan berdasar hadis di atas, al-Alba>ni> juga menyimpulkan bahwa yang menganggap bahwa azan ‘Usman berada di pintu, azan Rasul dan sahabat di dalam masjid adalah bid’ah. Sehinggga hal semacam ini harus dihilangkan dari masjid-masjid untuk menghidupkan sunnah Nabi. Adapun waktu azan adalah ketika imam naik ke mimbar. Dan kalaupun ada azan pertama, seperti di masa ‘Usman, maka harus dikumandangkan sebelum waktu tiba, karena berfungsi untuk peringatan.
Selain, perbedaan tempat azan di pintu atau di dalam masjid, ternyata keberadaan menara sebagai tempat azan juga menjadi perhatian khusus bagi al-Alba>ni>. Menurut al-Alba>ni> bahwa riwayat yang menyatakan bahwa mu’azzin di masa Rasul berada di menara atau tempat tinggi seperti di atas masjid adalah tidak memiliki dasar, termasuk riwayat dari Umm Zaid bin S|a>bit yang berbunyi:
عن أم زيد بن ثابت قالت: (( كان بيتي أطول بيت حول المسجد ، فكان بلال يؤذن فوقه من أول ما أذن ، إلى أن بنى رسول الله مسجده ، فكان يؤذن بعدُ على ظهر المسجد، وقد رفع له شيء فوق ظهره )).لكن إسناده ضعيف، وقد رواه أبو داود بإسناد حسن دون قوله : (( وقد رفع له شيء فوق ظهره ))، والله أعلم
Dari Umm Zaib bin Sabit berkata: Rumahku adalah rumah yang paling tinggi bangunannya yang berada di sekitar masjid, dengan demikian Bilal selalu azan dari rumahku dari awal ia diperintahkan azan hingga Rasul membangun masjid. Setelah itu, bilal azan dari atas mesjid tersebut, dan ada bagian yang ditinggikan di atas masjid tersebut.
Oleh sebab itu, menara yang dikenal sekarang adalah bukan sunnah Nabi, hanya saja makna atau nilai pesan yang dimaksud adalah tabli>g, yaitu menyampaikan pada masyarakat bahwa waktu salat jum’at telah tiba. Dengan demikian, karena penyampaian atau tablig adalah yang disyari’atkan, maka sesuatu yang tidak dicapai kecuali dengan sesuatu yang lain, maka sesuatu yang lain itu adalah disyari’atkan pula. Hal ini sesuai dengan kaidah ushul, yaitu: ma> la> yaqu>m al-wa>jib illa> bihi fahua wa>jib. Namun tidak boleh berlebihan, hanya sesuai dengan hajat atu kepentingan.
ومن المحتمل أنه إلى شيء كان فوق ظهره كما في حديث أم زيد ، وسواء كان الواقع هذا أو ذاك ، فالذي نجزم به أن المنارة المعروفة اليوم ليست من السنة في شيء، غير أن المعنى المقصود منها – وهو التبليغ – أمر مشروع بلا ريب، فإذا كان التبليغ لا يحصل إلا بـها، فهي حينئذ مشروعة؛ لما تقرر في علم الأصول : أن ما لا يقوم الواجب إلا به؛ فهو واجب
Namun yang ada sekarang, seluruh peralatan, seperti pengeras suara bisa melepaskan tugas seorang muazzin untuk ‘tablig’, apalagi terkadang peralatan tersebut sangat boros, kemudian bangunan yang sangat megah tidaklah disyari’atkan atau bahkan bid’ah karena termasuk pada pemborosan. Selain itu, keberadaan peralatan tersebut menyebabkan para mu’azzin tidak lagi harus naik ke atas masjid, bahkan menjadi tergantung pada alat pengeras suara. Dan selain itu, keberadaan pengeras suara untuk digunakan azan juga bid’ah karena bebrapa hal, yaitu:
1. Mengganggu orang yang sedang membaca al-Qur’an, orang salat dan orang yang berzikir di dalam masjid.
2. Tubuh atau sosok seorang mu’azzin tidak terlihat, sementara hal ini adalah kesempurnaan syara’ Islam dalam azan.
Untuk menutup pembahasan ini, al-Alba>ni> mengambil beberapa poin penting, yaitu mu’azzin harus berada dalam bangunan tinggi masjid, oleh karena itu dibutuhkan untuk membuat tempat khusus bagi muazzin di atas masjid dimana mu’azzin harus naik, menggunakan pengeras suara, dan mu’azzin harus kelihatan pada masyarakat, karena harus diketahui bahwa kadang-kadang listrik padam dan muazzin bisa melanjutkan azannya tanpa terganggu. Selain itu, para mu’azzin harus menjaga sunnah, yaitu melirik ke kiri dan ke kanan. Namun yang terjadi, sering kali para mu’azzin telah meninggalkan sunnah ini. Tidak bisa dikatakan bahwa menoleh kekiri dan ke kanan ketika azan hanya sekedar berfungsi untuk tablig yang bisa digantikan dengan keberadaan pengeras suara seperti yang dikatakan oleh orang-orang sekarang, karena terkadang ada sesuatu perintah yang tidak diketahui maksud syara’ tersebut, oleh karena itu, fungsi pertama yang harus tetap diraih adalah menjaga sunnah Nabi dalam kondisi apa pun.
Dari pemeparan di atas, penulis melihat ada kontra pemahaman pada diri al-Alba>ni>. Ketika al-Alba>ni> membid’ahkan azan di dalam masjid hanya karena tidak pernah terjadi di masa Nabi, tapi di sisi lain ia malah membolehkan azan di atas menara, padahal ia sendiri mendha’ifkan hadis dari Umm Zaid mengenai menara seperti dikutip di atas.
Selanjutnya jika mengenai menara, al-Alba>ni> secara tegas membolehkan dengan pertimbangan sebagai media untuk mengasilkan tujuan, dengan mengutip kaidah ushul ma> la> yaqu>m al-wa>jib illa> bihi fahua wa>jib. Kenapa azan di dalam masjid dengan menggunakan pengeras suara tidak bisa? Bukankah nilai daripada azan tersebut adalah menyeru manusia untuk bersegera? Bukankah ketika mu’azzin menggunakan pengeras suara, maka seruan akan menjadi luas?
Di sisi lain jika ditinjau juga dengan pendapat yang dikemukakan oleh Yu>suf al-Qarad}a>wi>, bahwa untuk memahami sunnah harus mampu membedakan antara sarana yang berubah dan tujuan yang tetap dan abadi. Dalam hal ini ada kaitannya dengan pendapat al-Alba>ni> yang membid’ahkan azan di dalam Masjid hanya karena menurut beliau pada masa Nabi azan dilakukan di pintu Masjid. Padahal jika ditinjau dari segi latar belakangnya, azan di depan pintu dilakukan karena belum adanya sarana yang memadai sehingga harus dilakukan dekat pintu agar terdengar luas. Oleh sebab itu, sarana yang paling memadai di masa Rasul adalah azan di pintu masjid, atau di tempat tinggi. Namun sekarang sarana yang paling efektif adalah pengeras suara.
D. Karakteristik
Dari pemaparan di atas, jelas bahwa karakteristik pembahasan al-Alba>ni> dalam kitab ini adalah tetap pada prinsip awal yang dibangun oleh al-Alba>ni>, yaitu berpegang teguh pada hadis Nabi yang sahih yang lebih pada penilaian sanad semata. Selain itu, al-Alba>ni> secara detail sumber hadis-hadis yang dikutip serta beberapa fatwa ulama.
Namun secara keseluruhan, penulis menganggap bahwa al-Alba>ni> belum mampu menyentuh ranah matan. Sehingga pembahasannya secara khusus dalam kitab ini masih bisa dikatakan literal.
KESIMPULAN
Al-Alba>ni> adalah sosok yang sangat inspirator menurut penulis, karena dalam kondisi sosial masyarakat yang semakin serba instan di masa hidupnya, ternyata masih bisa menulis buku lebih dari 200 buku. Selain itu, ia adalah sosok yang berpegang teguh pada pendiriannya, yaitu berilmu dan beramal sesuai dengan hadis sahih. Namun demikian, al-Alba>ni> seharusnya waktu itu mencoba menyeimbangkan pemikirannya di bidang matan hadis juga. Karena sangat disayangkan kalau seandainya hanya dengan sanad, kemudian langsung menyatakan wajib ilmu dan wajib amal. Sehingga, hal yang wajar kalau seandainya ia mendapatkan kritikan pedas dari ulama-ulama lain. Termasuk Muh}ammad al-Ga>zali> dalam bukunya yang berjudul al-Sunnah al-Nabawi>yah baina ahl al-Fiqh wa ahl al-Hadi>s\ yang kemudian pada edisi terjemahannya diberi judul Studi Kritis Atas Hadis Nabi saw: Antara Pemahaman Tekstual dan Kontekstual.
Dalam buku penulis bahas di atas, terlihat adanya inkonsistensi pemikiran al-Alba>ni dalam meneliti dan memahami hadis, dengan kata lain al-Alba>ni> seringkali berbenturan dengan pemikirannya sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
Abd al-‘Azi>z bin Muh}ammad bin ‘Abd Alla>h al-Sadha>ni>. Al-Ima>m al-Alba>ni> Durus wa Muwa>fiq wa ‘Ibr. Ttp. 1428 H
Ali Munhanif (ed). Mutiara Terpendam: Perempuan dalam Literatur Islam Klasik. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2002.
Hamim Ilyas dan Suryadi (ed.). Wacana Studi Hadis Kontemporer. Yogyakarta: PT. Tiara Wacana, 2002.
M. M. Azami. Studies in Hadith: Methodology and Literature. (Indiana Polis: American Trust Publications, 1977.
Muh{ammad al-Gaza>li>, al-Sunnah al-Nabawi>yah Bain Ahl al-Fiqh wa Ahl al-H{adi>s\ . Kairo, 1989.
Muh}ammad bin Ibra>hi>m al-Syaiba>ni>. Haya>h al-Alba>ni> wa As\aruh wa S|ana>’ al’Ulama>’ ‘alaih. Maktabah al-Sada>wa>, 1987.
Muh}ammad Na>s}ir al-Di>n a-Alba>ni>. Al-Ajwibah al-Nafi’ah ‘an As’ilah Lajnah Masjid al-Jami’ah. Damaskus. Maktabah al-Ma’a>rif li al-Nasyr wa al-Tawzi>’. 2000.
---------------. Manzilah al-Sunnah fi> al-Isla>m wa Baya>n annaha> la> Yustagna> ‘anha> bi al-Qur’a>n. Kuwait. al-Da>r al-Salafi>yah. 1984.
Muhammad al-Siba>’i>. Hadis Sebagai Sumber Hukum Islam. (Terj.) Dja’far Abdul Muchith. Bandung: CV. Diponegoro, 1993.
Nabzah Mukhtasarah ‘an Si>rah al-Syaikh al-Alba>ni> dalam http://www.alalbany.net/albany_serah.php
Subhi al-Salih. Membahas Ilmu-Ilmu Hadis. (Penj.) Tim Pustaka Firdaus. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997.
Syuhudi Ismail. Metodologi Penelitian Hadis Nabi. Jakarta: Bulan Bintang, 1992.
Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy. Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis. Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra. 1999.
Yusuf al-Qardhawi. Pengantar Studi Hadis. Terj. Agus Suyadi Raharusun dkk. Pustaka Setia. 2007.