UU KDRT SEBAGAI MEDIA MENCIPTAKAN
KELUARGA
HARMONIS
PENDAHULUAN
Indonesia sebagai Negara hukum telah menjamin hak-hak asasi manusia dalam
Undang-Undang Dasar Tahun 1945 Pasal 27 (1), Pasal 28 H ayat (1) dan ayat (2),
dan Pasal 28 I (2).
Melalui dasar hukum yang ada dalam Undang-Undang Dasar RI tersebut, setiap
orang mempunyai jaminan kesejajaran atau kesetaraan di hadapan hukum dan
perlakuan yang berkemanusiaan. Selain itu, Indonesia juga sudah memberikan
jaminan kesetaraan, keadilan dan perlindungan dari diskriminasi, penindasan,
rasa tidak aman, serta hak untuk hidup layak. Namun demikian, realita sosial
tak jarang bertolak belakang dengan apa yang sudah ada dalam yuridis-normatif
tersebut, sehingga berbagai bentuk kekerasan masih saja terjadi di negara ini,
termasuk kekerasan terhadap perempuan terutama di dalam rumah tangga (KDRT).
Pada hakikatnya, kesetaran dan keadilan gender tanpa diskriminatif sudah
mendapatkan legislasi kuat di negara Republik Indonesia sejak 13 tahun
yang lalu, yaitu adanya Undang-Undang nomor 29
tahun 1999 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk
Diskiriminasi Terhadap Wanita (Convention On The Elimination Of All Forms
Of Discrimanation Against Women) dan Instruksi Presiden nomor 9 tahun 2000
tentang Pengarusutamaan Gender (PUG) dan lain sebagainya.
Adapun mengenai penghapusan kekerasan dalam rumah tangga telah disahkan
oleh Presiden Soekarno Putri di Jakarta pada tanggal 22 Desember 2004, yaitu
dengan keluarnya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2004 Tentang
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Dengan demikian, pembangunan keluarga
harmonis dengan berlakunya undang-undang ini diharapkan mampu menciptakan
bangsa yang harmonis pula.
ISI
A. Defenisi KDRT
Masalah KDRT sebenarnya bukan hanya persoalan sosial, namun juga
permasalahan moral, hukum, dan bahkan juga agama. Di Indonesia sendiri,
sebenarnya masalah ini sudah banyak disoroti, terutama secara legal formal,
Pemerintah sudah mengesahkan UU tentang penghapusan KDRT, yaitu UU No. 23 tahun
2004. Di dalam UU ini dijelaskan bahwa defenisi KDRT adalah: Setiap perbuatan
terhadap seseorang, terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan
atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan atau penelantaran rumah
tangga, termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan
kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.
Menurut Undang-Undang
No. 23 Tahun 2004 tindak kekerasan terhadap istri dalam rumah tangga dibedakan kedalam 4 (empat)
macam:
1. Kekerasan Fisik
Kekerasan
fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit atau luka
berat. Prilaku kekerasan yang termasuk dalam golongan ini antara lain adalah
menampar, memukul, meludahi, menarik rambut (menjambak), menendang, menyudut
dengan rokok, memukul/melukai dengan senjata, dan sebagainya. Biasanya
perlakuan ini akan nampak seperti bilur-bilur, muka lebam, gigi patah atau
bekas luka lainnya.
2. Kekerasan Psikologis
Kekerasan psikologis atau emosional adalah
perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya
kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya dan atau penderitaan psikis berat
pada seseorang.
3. Kekerasan Seksual
Kekerasan
jenis ini meliputi pengisolasian (menjauhkan) istri dari kebutuhan batinnya,
memaksa melakukan hubungan seksual, memaksa selera seksual sendiri, tidak
memperhatikan kepuasan pihak istri.
3. Penelantaran Rumah
Tangga
Setiap orang dilarang menelantarkan orang
dalam lingkup rumah tangganya. Menurut hukum, karena persetujuan atau
perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan atau pemeliharaan kepada
orang tersebut.
B. KDRT di Mata Hukum
Hukum, merupakan media untuk membentuk tatanan
masyarakat yang madani. Sehingga, tidak salah jika kemajuan sebuah bangsa bisa
diukur dari kemajuan dalam bidang hukum, yang tentunya hukum yang dibangun
dengan dasar kemanusiaan, sehingga dengan hukum, manusai memang dimanusiakan
sebagaimana mestinya. Bukan hukum yang seperti mata pisau yang hanya tajam ke
bawah, namun tumpul ke atas. Salah satu indikasi bangsa maju adalah bangsa yang
mampu menghargai peran perempuan. Bagaimanapun juga, peran perempuan dalam
pembangunan bangsa tidak boleh diabaikan, apalagi dipinggirkan. Oleh sebab itulah,
bangsa Indonesia, sebagai negara berkembang juga, telah memperhatikan hal ini
pula. Sehingga segala bentuk prilaku diskriminatif mulai dikikis secara legal
formal, terlebih-lebih prilaku diskriminatif dan kekerasan terhadap perempuan. Salah
satunya adalah dengan disahkannya Undang-undang Penghapusan Kekerasan dalam
Rumah Tangga.
Di
Indonesia, secara legal formal, ketentuan ini mulai diberlakukan sejak tahun
2004. Misi dari Undang-undang ini adalah sebagai upaya, ikhtiar bagi
penghapusan KDRT.
Dengan adanya ketentuan ini, berarti negara bisa berupaya mencegah terjadinya
kekerasan dalam rumah tangga, menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga, dan
melindungi korban akibat KDRT. Sesuatu hal yang sebelumnya tidak bisa terjadi,
karena dianggap sebagai persoalan internal keluarga seseorang. Pasalnya, secara
tegas dikatakan bahwa, tindakan kekerasan fisik, psikologis, seksual, dan penelantaran
rumah tangga (penelantaran ekonomi) yang dilakukan dalam lingkup rumah tangga
merupakan tindak pidana.
Tindakan-tindakan tersebut mungkin biasa dan bisa terjadi antara pihak suami
kepada isteri dan sebaliknya, atapun orang tua terhadap anaknya. Sebagai
undang-undang yang membutuhkan pengaturan khusus, selain berisikan pengaturan
sanksi pidana, undang-undang ini juga mengatur tentang hukum acara, kewajiban
negara dalam memberikan perlindungan segera kepada korban yang melapor. Dengan
demikian, bisa dikatakan bahwa ketentuan ini adalah sebuah terobosan hukum yang
sangat penting bagi upaya penegakan HAM, khusunya perlindungan terhadap mereka
yang selama ini dirugikan dalam sebuah tatanan keluarga atau rumah tangga.
Jika
selama ini kekerasan di dalam rumah tangga dianggap sebagai urusan privasi
keluarga yang tidak bisa disentuh oleh orang lain di luar keluarga, maka dengan
keberadaan hukum ini, segala bentuk kekerasan tersebut dianggap sebagai
tindakan pidana. Di mata hukum, jika sesuatu tersebut sudah dihitung dan
dianggap sebagai perbuatan pidana, maka secara otomatis, orang yang melihat
prilaku pidana tersebut pula bisa melaporkan secara aktif kepada pihak yang
berwajib. Dalam artian, bahkan keberadaan Undang-undang Penghapusan Kekerasan
dalam Rumah Tangga ini tidak hanya bisa dicampuri oleh pemerintah, dan penegak
hukum, namun juga pro aktif dari masyarakat sipil yang mengetahui tindakan
pidana tersebut sangat berperan penting dan dangat dibutuhkan.
UU
PKDRT merupakan terobosan hukum yang positif dalam ketatanegaraan Indonesia.
Dimana persoalan pribadi telah masuk menjadi wilayah publik. Pada masa sebelum
UU PKDRT ada, kasus-kasus KDRT sulit untuk diselesaikan secara hukum. Hukum
Pidana Indonesia tidak mengenal KDRT, bahkan kata-kata kekerasan pun tidak
ditemukan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Kasus-kasus pemukulan
suami terhadap isteri atau orang tua terhadap anak diselesaikan dengan
menggunakan pasal-pasal tentang penganiayaan, yang kemudian sulit sekali
dipenuhi unsur-unsur pembuktiannya, sehingga kasus yang diadukan, tidak lagi
ditindaklanjuti.
Untuk
mempertegas Undang-undang ini, segala bentuk pidana ini akan mendapatkan sanksi
yang sangat tegas, mulai dari tiga tahun, hingga belasan tahun, tergantung dari
bentuk kekerasan yang terjadi pada korban.
Oleh sebab itu, terbentuk dan disahkannya undang-undang ini merupakan langkah
besar dalam melindungi hak asasi manusia, yang selama ini dianggap sebagai
masalah pribadi dalam lingkup keluarga yang tidak bisa diganggu gugat oleh
orang lain.
C. Faktor Penyebab KDRT
Ada banyak variabel yang memunculkan kekerasan di dalam rumah tangga ini. Kuatnya
budaya patriarkhi, doktrin agama, dan adat menempatkan perempuan korban
kekerasan dalam rumah tangga dalam situasi yang sulit untuk keluar dari lingkar
kekerasan yang dialaminya. Di samping itu pula kesadaran masyarakat tentang
hukum yang sudah menjamin setiap warga masih sangat tipis, sehingga ketika
terjadi kekerasan dalam rumah tangga, sangat sedikit korban yang melapor kepada
yang berwajib, atau setidaknya dianggap telah mengumbar aib keluarga kepada
orang lain.
Bicara masalah budaya patriarkhi
di Indonesia sudah pasti menjadi faktor yang menyebabkan adanya pemikiran
biasa gender di negara kita, Indonesia. Dalam hal ini, seolah-olah, yang
berhak menjadi pemimpin hanyalah laki-laki. Selain itu, laki-laki selalu
diangap paling pintar daripada perempuan, karena logika laki-laki 10 berbanding
1 dengan perempuan. Laki-laki selalu bersikap sesuai dengan akal, sementara
perempuan dengan perasaan. Pemahaman semacam ini ternayata mengakibatkan
perempuan menjadi dinomor duakan setelah laki-laki.
Berdasar pada realita
inilah Musdah mencoba
memberikan pendefenisian tentang sex dan gender. Jika sex
atau jenis kelamin adalah sesuatu yang bersifat biologis dan kemudian dibedakan
juga berdasarkan faktor-faktor biologis hormonal dan patologis
tersebut pula, sehingga muncul laki-laki dan perempuan. Jika laki-laki punya penis,
testis, dan sperma, sementara perempuan punya payudara, ovum
dan rahim. Dan ini semua berdasarkan pemberian Tuhan yang bersifat kodrati
dalam diri manusia.
Adapun gender,
adalah seperangkat sikap, peran, fungsi, dan tanggung jawab yang melekat pada
diri laki-laki dan perempuan akibat bentukan budaya atau pengaruh lingkungan
masyarakat di mana manusia itu tumbuh dan berkembang. Dengan demikian, jelas
sekali perbedaan antara sex dan gender. Jika sex adalah
sesuatu yang sudah kodrati dari Tuhan dan tidak bisa dirubah, maka gender
adalah hasil konstruk sosial budaya yang melingkupi manusia. Seperti laki-laki
yang selalu dipandang dan dianggap superior dari perempuan. Oleh sebab
itu perempuan menjadi subordinasi dan pelengkap kaum laki-laki yang
sering dipandang dan dianggap inferior.
Dari pengertian dan
perbedaan antara sex dan gender di atas, selayaknya menjadi salah
satu acuan dalam memahami maksud dan tujuan kesetaraan gender di Islam
Indonesia secara khusus, sehingga mampu dilihat dan dicermati secara jernih. Musdah mengatakan bahwa
hasil konstruk budaya inilah yang seringkali memunculkan dan menyebabkan adanya
ketimpangan dan ketidak adilan gender. Selain karena adanya pengaruh
budaya, dan adat istiadat, teks-teks keagamaan juga tidak luput dijadikan
sebagai alat legitimasi segala bentuk kekerasan domestik (KDRT), perempuan
tidak layak menjadi pemimpin keluarga, dan negara atau dalam berbagai lini
lainnya, bahkan ketika ada pelecehan dan pemerkosaaan, seringkali yang
dijadikan alasan adalah karena perempuan tersebut berpakaian seksi dan tidak
sopan yang dianggap melanggar norma agama. Makanya tidak jarang muncul
ungkapan, “Hati-hati terhadap perempuan, karena godaannya jauh lebih dahsyat
dari godaan setan”.
D. KDRT di Indonesia
Bicara
masalah KDRT, sebenarnya bukan lagi barang baru di negara Indonesia, namun
demikian, sudah menjadi langkah dan keputusan besar diambil oleh Presiden
Megawati Soekarno Putri dalam mengesyahkan Undang-undang ini pada tahun 2004.
Hal ini menjadi penting sekali dalam menciptakan manusia dan keluarga yang
bermoral dan harmonis. Namun demikian, pengesahan terhadap Undang-undang
Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga ternyata tidak serta merta menghapus
berbagai bentuk kekerasan dalam rumah tangga. Dalam data yang dirilis oleh
Laporan Catatan tahunan 2011 LBH Apik Jakarta, ternyata ada 417 laporan KDRT
dengan berbagai macam tindak kekerasan. Satu hal yang pasti, bahwa data yang
tercatat dibandingkan dengan realita sosialnya ibarat Gunung Es, yaitu KDRT
yang tidak terdata tentunya jauh lebih banyak.
Sementara
itu, Catatan tahunan komnas perempuan sejak tahun 2001
sampai dengan 2007 menunjukkan peningkatan pelaporan kasus KDRT sebanyak lima
kali lipat. Sebelum UU PKDRT lahir yaitu dalam rentang 2001-2004 jumlah kasus
yang dilaporkan sebanyak 9.662 kasus. Sejak diberlakukannya UU PKDRT 2005-2007,
terhimpun sebanyak 53.704 kasus KDRT yang dilaporkan.
Dari data ini tentunya
bisa dilihat bahwa ternyata kekerasan dalam rumah tangga ini masih belum
menampakkan hasil yang signifikan. Hal ini bisa dibuktikan dengan selalu
bertambahnya data kekerasan yang terjadi. Namun demikian, setidaknya hal ini
membuktikan sudah adanya keberanian yang muncul serta kesadaran di
tengah-tengah masyarakat akan hukum pidana kekerasan dalam rumah tangga.
KESIMPULAN
Dari
pemaparan singkat di makalah di atas, jelas sekali bahwa segala bentuk
kekerasan dalam bentuk apapun, baik fisik, psikis, ekonomi, dan seks merupakan
pelanggaran HAM yang pada saat ini dianggap sebagai perbuatan pidana yang sudah
menjadi ranah publik, dan bukan lagi ranah privasi yang harus disimpan dan
dipendam dalam lingkup keluarga semata. Selain itu, kekerasan dalam rumah
tangga bisa disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu moral, budaya, agama, dan
juga pemahaman terhadap hukum.
Untuk
menciptakan kehidupan berbangsa yang harmonis dan sekaligus masyarakat madani,
maka dibutuhkan hukum yang mampu memayungi harmonisasi keluarga yang notabene
merupakan bagian tak terpisahkan atau variabel dari terbentuknya sebuah negara
yang beradab dan bermartabat. Dan cita-cita ini telah dimulai dari pengesahan
Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Nomor 23 Tahun 2004 (UU PKDRT) tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Nevisra
Viviani,“Sketsa Gerakan Perempuan di Indonesia “Mengukir Sejarah Baru” Swara
Rahima, no. 1, Th I, Mei 2001.
Nevisra Viviani,“Sketsa Gerakan Perempuan di Indonesia “Mengukir Sejarah Baru””
dalam jurnal Swara Rahima, no. 1, Th I, Mei 2001, hlm. 4