Lulus 100% menjadi
sebuah cita-cita yang selalu menjadi prioritas dari setiap lembaga
sekolah. Selain dianggap sebagai sebuah tolok ukur keberhasilan
cemerlang bagi setiap sekolah, juga dianggap sebagai pemicu untuk
mempromosikan sekolah tersebut. Makanya tidak jarang setelah pengumuman
UN, akan terpampang lebar banyak brosur, pamflet, atau baliho besar
untuk menarik minat calon siswa baru terhadap sekolah tersebut karena
sudah berhasil meluluskan siswanya 100%. Anehnya para siswa baru pun
terkadang tak jarang tergoda dengan rayuan semacam itu pula. Sehingga
setelah memasuki sebuah lembaga sekolah yang dianggap bagus hanya karena
pengumuman besar Lulus 100% banyak menemukan kekecewaan dengan realita
yang ada.
Ketika memasuki masa-masa UN semacam ini, maka tidak salah kalau mengingat kembali peristiwa seorang siswa SD di Jawa Timur yang memberanikan diri untuk melawan kebobrokan sistem pendidikan di tahun lalu, yaitu melaporkan adanya kecurangan yang direncanakan secara sistematis oleh sekolah terhadap anak didiknya yang dengan harapan agar seluruh siswa bisa lulus 100%. Alih-alih untuk meraih lulus 100%, ternyata malah malu yang didapat karena sang anak ternyata tidak bisa diajak kompromi dalam “kesesatan” berpikir. Hal ini membuktikan bahwa pada hakikatnya masih banyak mutiara-mutiara tersimpan dalam generasi penerus bangsa ini untuk mewujudkan nilai luhur pendidikan tersebut sebagaimana dulu diusung oleh Ki Hajar Dewantoro yang menitik beratkan pada aspek budi, rasa dan karsa, dan bukan pada aspek nilai angka semata.
Tidak bisa dipungkiri bahwa dari tahun ke tahun, baik di media massa surat kabar maupun media massa elektronik pasti lebih banyak menyoroti siswa yang mampu lulus dengan nilai paling tinggi di setiap provinsi atau bahkan di negara Indonesia ini. Hal ini memang disebabkan adanya nilai ril yang bisa dibuktikan dan dilihat secara kasat mata yang tecantum dalam ijazah siswa tersebut. Namun demikian, dalam waktu yang bersamaan juga, pihak sekolah tidak jarang pula menjanjikan bagi siswanya yang mampu lulus dengan nilai paling tinggi akan diberi hadiah spesial dan akan dielu-elukan bak pahlawan pengharum nama sekolah.
Jika dikaji lebih dalam dan lebih hati-hati, sebenarnya akan terasa miris dan menggelikan, karena keberhasilan pendidikan selalu dipandang dari segi kognitif semata, sekaligus mengabaikan aspek afektif siswa. Oleh sebab itu, para tenaga pendidik, penanggungjawab pendidikan, serta berbagai lini lainnya yang memiliki tanggung jawab pada pendidikan, seyogianya mencoba memulai untuk menanamkan nilai kejujuran pada anak. Siswa tidak hanya dijanjikan hadiah dan dielu-elukan serta dianggap sebagai pahlwan ketika mampu mendapatkan nilai tinggi atau nilai tertinggi, namun juga secara seimbang dijanjikan agar siswa harus juga mampu jujur dalam menghadapi ujian. Dengan demikian, nilai kognitif dan afektif juga bisa diraih dalam pelaksanaan UN di tahun-tahun berikutnya. Atau kalau berani mengambil resiko, setiap aspek yang memiliki tanggung jawab pada pendidikan, orangtua, guru, dan pemerintah harus mulai mencoba untuk lebih menitik beratkan nilai kejujuran tersebut, sehingga anak-anak didik juga terbangun rasa percaya diri yang lebih maksimal karena ketidak lulusan disebabkan oleh kejujuran yang matang jauh lebih berharga daripada kelulusan yang diikuti dengan kecurangan atau kesesatan pendidikan. Namun demikian, melalui tulisan ini juga sebenarnya yang paling diharapkan adalah kelulusan dan kejujuran 100%.
Singkatnya, menjadi tantangan besar dan berat terhadap kita semua sebagai orang yang bergerak di bidang pendidikan untuk menanamkan nilai ini pada anak didik atau siswa. Terlebih-lebih kepada pemegang kendali pendidikan, mulailah merubah paradigma baru, yaitu mencapai target jujur 100% dan bukan lulus 100%. Karena setiap kejujuran akan membawa pada usaha maksimal, sementara kelulusan tidak jarang menghalalkan berbagai macam cara yang lebih mengedepankan kecurangan.
Ketika memasuki masa-masa UN semacam ini, maka tidak salah kalau mengingat kembali peristiwa seorang siswa SD di Jawa Timur yang memberanikan diri untuk melawan kebobrokan sistem pendidikan di tahun lalu, yaitu melaporkan adanya kecurangan yang direncanakan secara sistematis oleh sekolah terhadap anak didiknya yang dengan harapan agar seluruh siswa bisa lulus 100%. Alih-alih untuk meraih lulus 100%, ternyata malah malu yang didapat karena sang anak ternyata tidak bisa diajak kompromi dalam “kesesatan” berpikir. Hal ini membuktikan bahwa pada hakikatnya masih banyak mutiara-mutiara tersimpan dalam generasi penerus bangsa ini untuk mewujudkan nilai luhur pendidikan tersebut sebagaimana dulu diusung oleh Ki Hajar Dewantoro yang menitik beratkan pada aspek budi, rasa dan karsa, dan bukan pada aspek nilai angka semata.
Tidak bisa dipungkiri bahwa dari tahun ke tahun, baik di media massa surat kabar maupun media massa elektronik pasti lebih banyak menyoroti siswa yang mampu lulus dengan nilai paling tinggi di setiap provinsi atau bahkan di negara Indonesia ini. Hal ini memang disebabkan adanya nilai ril yang bisa dibuktikan dan dilihat secara kasat mata yang tecantum dalam ijazah siswa tersebut. Namun demikian, dalam waktu yang bersamaan juga, pihak sekolah tidak jarang pula menjanjikan bagi siswanya yang mampu lulus dengan nilai paling tinggi akan diberi hadiah spesial dan akan dielu-elukan bak pahlawan pengharum nama sekolah.
Jika dikaji lebih dalam dan lebih hati-hati, sebenarnya akan terasa miris dan menggelikan, karena keberhasilan pendidikan selalu dipandang dari segi kognitif semata, sekaligus mengabaikan aspek afektif siswa. Oleh sebab itu, para tenaga pendidik, penanggungjawab pendidikan, serta berbagai lini lainnya yang memiliki tanggung jawab pada pendidikan, seyogianya mencoba memulai untuk menanamkan nilai kejujuran pada anak. Siswa tidak hanya dijanjikan hadiah dan dielu-elukan serta dianggap sebagai pahlwan ketika mampu mendapatkan nilai tinggi atau nilai tertinggi, namun juga secara seimbang dijanjikan agar siswa harus juga mampu jujur dalam menghadapi ujian. Dengan demikian, nilai kognitif dan afektif juga bisa diraih dalam pelaksanaan UN di tahun-tahun berikutnya. Atau kalau berani mengambil resiko, setiap aspek yang memiliki tanggung jawab pada pendidikan, orangtua, guru, dan pemerintah harus mulai mencoba untuk lebih menitik beratkan nilai kejujuran tersebut, sehingga anak-anak didik juga terbangun rasa percaya diri yang lebih maksimal karena ketidak lulusan disebabkan oleh kejujuran yang matang jauh lebih berharga daripada kelulusan yang diikuti dengan kecurangan atau kesesatan pendidikan. Namun demikian, melalui tulisan ini juga sebenarnya yang paling diharapkan adalah kelulusan dan kejujuran 100%.
Singkatnya, menjadi tantangan besar dan berat terhadap kita semua sebagai orang yang bergerak di bidang pendidikan untuk menanamkan nilai ini pada anak didik atau siswa. Terlebih-lebih kepada pemegang kendali pendidikan, mulailah merubah paradigma baru, yaitu mencapai target jujur 100% dan bukan lulus 100%. Karena setiap kejujuran akan membawa pada usaha maksimal, sementara kelulusan tidak jarang menghalalkan berbagai macam cara yang lebih mengedepankan kecurangan.