Toleransi: Rekomendasi Bibel dan al-Qur’an
Agama merupakan fondasi etika dalam
penyelesaian kasus-kasus konflik dan kekerasan, karena pada hakikatnya entitas
agama adalah menciptakan perdamaian, bukan menebarkan konflik dan kekerasan.[1]
Namun demikian, tidak bisa dipungkiri kalau salah satu aspek yang tidak bisa
lepas dari faktor penyebab kekerasan adalah legitimasi agama itu sendiri,
bahkan menurut Abdul Mustaqim, dalam artikelnya menyebutkan agama seolah-olah telah
dijadikan licence to kill (surat ijin untuk membunuh) orang lain
karena perbedaan ideologi atau keyakinan.[2]
Di sisi lain satu hal yang tidak bisa dipungkiri bahwa dalam hal
kekerasan, seringkali didasari terhadap penafsiran dogma-dogma utama dalam
Islam seperti jihad dan kafir, walaupun sebenarnya, agama bukan satu-satunya
aspek yang mendorong kekerasan tersebut.[3]
Kelompok
fundamentalisme radikal yang sering menebarkan kekerasan atas nama agama, dalam
tradisi agama apapun memiliki karakter umum dan sikap keagamaan yang
tekstualis, anti pluralisme, intoleran dan selalu mengukur kebenaran agama dari
aspek batas-batas eksoterisme/fiqih oriented.[4] Arkoun
menyatakan, Islam akan meraih kejayaannya jika umat Islam membuka diri terhadap
keberagaman pemikiran, seperti pada masa awal Islam hingga abad pertengahan.
Sikap inklusif atas perbedaan bisa dicapai bila pemahaman agama dilandasi paham
kemanusiaan, sehingga umat Islam bisa bergaul dengan siapa pun.[5]
Sebagai sebuah keyakinan, agama
selalu memiliki misi penyelamatan dan penyejahteraan manusia, bukan kepentingan
Tuhan, Dewata, Sang Yang Widhi Wasea atau Brahman. Iman adalah pengalaman murni
dari mistis memahami dan menyadari sumber realitas. Kepercayaan iman setiap agama
selalu berpasangan prinsip kebijakan, amal saleh, semangat kemanusiaan dan
kepedulian atas alam. Sayangnya kualitas iman sering diletakkan sebagai yang eksternal
datang dari Tuhan, tidak sebagai kualitas kemanusaiaan dan penyatuan dengan
sesamanya dan alam tempat hidup. Keagamaan kemudian menjadi sisi lain kealaman,
ketuhanan, terasing dan alienatif. Akibatnya kekejaman terhadap manusia,
hewan dan alam ligkungan hidup bisa terjadi dan dilakukan oleh mereka yang
percaya atas kebenaran wahyu. Fenomena kebangkitan agama kemudian dikhawatirkan
menjadi berlawanan dengan arus perdaban baru.[6]
Pada hakikatnya, setiap agama dengan
kitabnya masing-masing pasti mengajarkan kebaikan dan berbagai konsep
perdamaian. Dalam Islam, pesan pertama dari teks kitab suci al-Qur’an adalah
memperkenalkan Tuhan yang memiliki sifat kasih sayang (al-rahman, al-rahim).
Atas nama kasih sayang ini pula, Tuhan menurunkan kitab suci kepada manusia.
Tuhan tidak memberi bencana kepada manusia, tanpa terlebih dahulu mengirimkan
beberapa “wakil”-Nya yang dalam bahasa agama disebut sebagai rasul. Salah satu
“wakil” Tuhan itu adalah Muhammad untuk menjadi “wakil” kasih sayang Tuhan.[7] Oleh karena itu, keberadaannya adalah rahmat bagi semesta alam.
Ini yang menjadi visi utama daripada kerasulan Muhammad. Kerahmatan Islam
terletak pada “sekujur tubuh” ajaran Islam, bukan hanya yang mengatur hubungan
hamba dengan Tuhannya, tetapi juga mengatur hubungan antara sesama hamba Tuhan.
Hubungan antara hamba ini juga mencakup hubungan seagama dan hubungan lintas
agama.[8] Tuhan telah menjadikan keragaman agama di muka bumi ini, dan
menjadikannya sebagai bagian dari ketetapan-Nya. Dengan terang dan jelas, Tuhan
berfirman bahwa untuk tiap-tiap umat telah diberikan syari’ah dan manhaj.[9]
Sementara itu, nilai luhur yang
sangat kental dengan ajaran perdamaian dalam ajaran Nasrani, adalah sebagaimana
termaktub dalam ajaran Ten Commandemen.[10] Pada seluruh ajaran ini, manusia diajarkan secara tegas bahwa
harus bertauhid pada Tuhan, tidak membuat sesembahan selain Tuhan dan patuh
atas segala ajaran dan perintah-Nya, jangan mengabaikan kemuliaan hari Sabtu, patuh
dan hormatlah pada orang tua, tidak boleh membunuh, dilarang berzina, dilarang
mencuri, dilarang mengganggu tetangga, dan lain-lain. Tentunya, seluruh yang
ada dalam sepuluh perintah tersebut, dari segi nilai, sangat relevan, sejalan
atau berbanding lurus dengan apa yang ada di dalam al-Qur’an.
Perintah untuk mentauhidkan Tuhan
tentunya sama dengan apa yang disebut dalam al-Qur’an dengan “kalimatun
sawa’”. Titik temu di antara penganut agama yang berbeda-beda itu adalah
tauhid, yaitu kesadaran akan keesaan Tuhan. Bagaimanapun juga, ketauhidan merupakan
dasar semua agama yang bersumber dari Tuhan. Melalui dasar ini, banyaklah
bermunculan berbagai bentuk agama, seperti Yahudi, Kristen dan Islam.
Katakanlah:
"Hai Ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang
tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali
Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatupun dan tidak (pula)
sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai Tuhan selain Allah".
Jika mereka berpaling, maka katakanlah kepada mereka: "Saksikanlah, bahwa
kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)".[11]
Dalam perjalanan sejarah, di antara
penganut agama-agama tersebut ada yang tergelincir kepada kesyrikan. Ini tidak
hanya berlaku bagi agama Yahudi atau Nasrani saja, akan tetapi juga berlaku
kepada umat-umat beragama Islam dan lain sebagainya. Berkaitan dengan adanya
penganut agama Islam yang tergelincir berbuat “syirik
Orang-orang
yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman (syirik),
mereka Itulah yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang
mendapat petunjuk.[12]
Sementara itu, “kesyrikan” yang
dilakukan oleh penganut agama lain juga dikisahkan dalam al-Qur’ an, yaitu:
Sesungguhnya
telah kafirlah orang-orang yang berkata: "Sesungguhnya Allah ialah al-Masih
putera Maryam", padahal al-Masih (sendiri) berkata: "Hai Bani Israil,
sembahlah Allah Tuhanku dan Tuhanmu". Sesungguhnya orang yang mempersekutukan
(sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan
tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang zalim itu seorang
penolongpun.[13]
Dengan demikian, pada hakikatnya
konsep “syirik dan kufur” masih sangat butuh pemaknaan yang lebih objektif,
untuk menghasilkan pemaknaan yang tidak bersifat eksklusif dan memihak pada
golongan tertentu. Namun demikian, labelisasi predikat kafir dan musyrik
menjadi hal yang sangat biasa melekat pada agama yang berseberangan dengan
orang yang membaca teks. Misalkan, orang Islam akan meyakini dan harus percaya
bahwa orang Nasrani, Yahudi, dan agama di luar Islam adalah kafir dan musyrik.
Padahal, secara tegas Allah mengklaim bahwa predikat ini sagat bersifat netral,
sehingga masing-masing individu sama-sama memiliki peluang untuk terjerumus
pada kekufuran dan kesyirikan. Namun demikian, lembaran hitam sejarah penganut
agama-agama yang tergelincir kepada “kesyrikan” yang kasuistik ini, seyogyanya
tidaklah digeneralisasi sebagai hujjah yang menghalangi untuk titik temu
karena perbedaan di antara agama-agama yang ada.
Setiap agama samawi (Yahudi, Kristen dan Islam)
adalah berasal dari Allah, Tuhan Yang Maha Esa menekankan keselamatan melalui
iman. Baik Yahudi, Kristen dan Islam menuntut penganutnya agar konsisten antara
iman dan amal saleh. Dengan demikian, selain Allah atau Tuhan dikenal sebagai
Yang Maha Tinggi, juga bersifat etikal, dalam artian Tuhan menghendaki hambanya
untuk berprilaku akhlaki, etis dan moralis. Di sisi lain harus disadari pula
bahwa radikalisme atau kekerasan sebenarnya muncul dari sikap eksklusif pada
agama sendiri. Oleh karena itu, kemampuan untuk menghayati agama menjadi kurang
dan apalagi untuk menghidupkannya.[14]
Perlu dikemukakan bahwa sikap eksklusifisme dalam beragama adalah akibat dari
pemahaman yang dibangun secara eksklusif pula. Sehingga hal semacam inilah yang
menyebabkan adanya truth claim antaragama dan bahkan antar-pemeluk
agama. Oleh sebab itu dalam memahami teks keagamaan harusnya lebih
mengedepankan prinsip universal atau prinsip moral.[15] Malah secara tegas pula Allah menganjurkan setiap
penganut agama untuk saling berlomba dalam kebajikan.
“… untuk
tiap-tiap umat di antara kamu, kami berikan aturan dan jalan yang terang.
Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja),
tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka
berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu
semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan
itu.[16]
Bagi Fazlur Rahman, sebagaimana dikutip oleh Alwi
Shihab menerangkan bahwa ayat ini secara eksplisit mengakui keabsahan
nilai-nilai positif aneka ragam agama serta identitas agama lainnya.[17]
Bagi penulis sendiri, apapun alasannya, bahwa sikap
eksklusif dalam beragama, apalagi harus berujung pada merasa paling benar
sekaligus menafikan dan mengabaikan agama lainnya, adalah sesuatu yang
selayaknya untuk direnungi kembali sebagai sesama makhluk Tuhan. Sama-sama kita
membangun keyakinan dalam diri kita tentang agama masing-masing, sekaligus
dalam waktu yang sama pula harus meyakinkan bahwa, seberapa besar keyakinan
kita pada agama yang kita anut, maka sebesar itu pula orang lain dalam meyakini
agama yang mereka anut. Dan yang tidak kalah pentingya adalah, bahwa sikap kita
tidak hanya sekedar toleransi dalam arti memahami keberadaan agama lain, namun
juga lebih pada komitmen ingin memahami agama lain untuk membangun komunitas
global yang humanis, dan harmonis. Amin.......
[1] Umi
Sumbulah, “Agama Dan Kekerasan Menelisik Akar Kekerasan Dalam Tradisi Islam”,dalamhttp://syariah.uinmalang.ac.id/index.php?option=com_content&view=article&id=186:agama
dan-kekerasan-menelisik-akar-kekerasan-dalam-tradisi-islam&catid=49:artikel.
Diakses tanggal 18 Juli 2011.
[2]Abdul
Mustaqim, “Akar-akar Radikalisme dalam Tafsir” dalam http://basthon.multiply.com/journal, diakses tanggal
18 Juli 2011.
[3] Fahruddin Faiz, “Melacak Akar Nalar Terorisme: Sebuah Pembacaan
Epistemologis”, dalam Jurnal Refleksi, vol. 6, no. 2, juli 2006, hlm. 146.
[4]
Bobby S. Sayyid. A Fundamental Fear: Eurosentrism and the Emergence
of Islamism. (London & New York: Zed Book Ltd, 1997), hlm. 7-10.
[5] “Mohammed
Arkoun: Kejayaan Islam Melalui Pluralisme Pemikiran”. Dalam http://media.isnet.org/islam/Etc/Arkoun1.html.
diakses tanggal 20 September 2012.
[6] Nur
Khalis Majid, Pluralitas Agama: Kerukunan dalam Keragaman, (Jakarta:
Kompas, 2001), 229-230.
[8] Pada suatu saat ada sekelompok orang Yahudi yang
mengucapkan salam kepada Nabi. Tapi salam tersebut berisi kecaman. ”Laknat dan
kematian bagimu wahai Muhammad”. Lalu Siti ’Aisyah, istri tercinta Nabi
langsung menjawab balik dengan nada emosi: ”Laknat dan kematian bagi kamu
semua”. Nabi kemudian menegur Siti ’Aisyah: ”Pelan-pelan wahai ’Aisyah.
Hendaknya kamu bersikap lemah lembut dalam menanggapi masalah”. Dalam hadis
lain disebutkan, bahwa Rasul saw. berpesan, ”Hindarilah kekerasan dan perbuatan
kasar”. Kemudian Rasul menjawab salam tadi dengan salam perdamaian. Kisah dalam hadis
ini dikutip dari buku karya Zuhairi Misrawi. al-Qur’an Kitab Toleransi:
Inklusifisme, Pluralisme dan Multikulturalisme, (Jakarta Selatan: Penerbit
Fitrah. 2007),
hlm. 242-243. Selain itu terlihat sekali
perlindungan yang dijaminkan oleh Rasul dalam Piagam Madinah kepada para
penganut agama lain, seperti Yahudi dan Nasrani. ”Bahwa barang siapa dari kalangan
Yahudi yang menjadi pengikut kami, ia berhak mendapat pertolongan dan persamaan,
tidak menganiaya atau melawan mereka”. ”Bahwa masyarakat Yahudi
Banu Auf adalah satu umat dengan orang beriman, masyarakat Yahudi hendaklah
berpegang pada agama mereka, dan kaum muslimin pun hendaklah berpegang pada
agama mereka pula, termasuk pengikut-pengikut mereka dan diri mereka sendiri,
kecuali orang yang melakukan perbuatan zalim dan durhaka. Orang semacam ini
hanyalah akan menghancurkan dirinya dan keluargnya sendiri.” ”Bahwa tetangga itu
seperti jiwa sendiri, tidak boleh diganggu dan diperlakukan dengan perbuatan
jahat.”
[10]Exodus
20: 2-17. Dalam http://www.bible-knowledge.com/10-commandments/,
diakses hari Kamis, 04 Oktober 2012.
1.
You shall have no other gods before (or besides) Me.
2.
You shall not make for yourself an idol in the form of anything in heaven above
or on the earth beneath or in the waters below. You shall not bow down to them
or worship them; for I, the Lord your God, am a jealous God, punishing the
children for the sin of the fathers to the thirds and fourth generation of
those who hate me, but showing love to a thousand generations of those who love
me and keep my commandments.
3.
You shall not misuse the name of the Lord your God, for the Lord will not hold
anyone guiltless who misuses his name.
4.
Remember the Sabbath day by keeping it holy. Six days you shall labor and do
all your work, but the seventh day is a Sabbath to the Lord your God. On it you
shall not do any work, neither you, nor your son or daughter, nor your
manservant or maidservant, nor your animals, nor the alien within your gates.
For in six days the Lord made the heavens and the earth, the sea, and all that
is in them, but he rested on the seventh day. Therefore the Lord blessed the
Sabbath day and made it holy.
5.
Honor your father and your mother, so that you may live long in the land the
Lord your God is giving you.
6.
You shall not murder.
7.
You shall not commit adultery.
8.
You shall not steal.
9.
You shall not give false testimony against your neighbor.
10.
You shall not covet your neighbor's house. You shall not covet your neighbor's
wife, or his manservant or maidservant, his ox or donkey, or anything that
belongs to your neighbor.
[14] Menurut
Hazrat Inayat Khan, banyak orang yang mengaku sebagai Muslim, Nasrani, Yahudi
serta meyakininya sebagai agama paling benar, namun lupa untuk menghidupkannya.
Menurutnya
setiap orang harus memahami bahwa agama punya tubuh dan jiwa. Oleh sebab itu,
apapun agamanya, penganutnya harus mampu menyentuh seluruh agamanya baik tubuh
dan jiwanya. Dengan demikian, tidak ada alasan bagi antar pemeluk agama untuk
saling menyalahkan, karena semuanya tidak bisa dinilai dari luar individu.
Sesungguhnya sikap manusia terhadap Tuhan dan kebenaran sajalah yang bisa
membawanya lebih dekat pada Tuhan yang menjadi ideal setiap manusia. Lebih
lanjut bisa dilihat dalam Hazrat Inayat Khan. Kesatuan Ideal Agama-Agama.
terj. Yulian Aris Fauzi. (Yogyakarta: Putra Langit. 2003), hlm. 10-11.
[15]Khaled Abou
El Fadl, The Place of Tolerance in Islam, (Boston: Beacon Press, 2002),
hlm. vii. Bahkan Abou El Fadl menambahkan bahwa pembaca memiliki tanggung jawab
moral dalam memahami teks, oleh sebab itu, yang harus dibangun oleh pembaca
teks adalah moralitas pembaaca itu sendiri kemudian mencari kandungan moral
teks. Lihat hlm. viii.