Salah satu bentuk ketaatan
seorang hamba pada Tuhan adalah punya komitmen kuat dalam meyakini dan
menjalani hukum alam atau sunnatullah. Di antaranya, menyadari fitrah dan
kodrat-Nya tentang keragaman, baik keragaman jenis kelamin, suku, adat,
tradisi, bahasa, budaya, dan bahkan agama. Betapa banyak ayat al-Qur’an yang
menunjukkan tentang keragaman sebagai wujud ketetapan Tuhan, serta sebagai
bentuk ujian pada hamba-Nya. Di antaranya sebagaimana termaktub dalam QS.
al-Ma’idah: 48.
… Untuk setiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan
jalan yang terang. Kalau Allah swt. menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya
satu umat (saja), tetapi Allah swt. hendak menguji kamu terhadap karunia yang
telah diberikan-Nya kepadamu, maka terdepanlah dalam kebajikan…
Berdasar ayat tersebut, keragaman
adalah fitrah yang tak dapat ditolak, apalagi dinafikan. Ayat tersebut bahkan
menjadi argumentasi normatif yang kuat, sekaligus penuntut dan penuntun setiap
individu atau kelompok untuk selalu terdepan dalam meraih dan berbagi kebaikan.
Oleh sebab itu, persaingan dengan cara mengabaikan dan menginjak hak-hak orang
lain tidak memiliki landasan normatif-teologis sama sekali. Bahkan, ia menjadi
indikasi kezaliman pada kemanusiaan, sekaligus kedurhakaan pada ketetapan
Tuhan.
Dalam pada itu, hakikat keragaman
bukan untuk menciptakan persaingan semata, bukan pula untuk saling mejelekkan
dan menjatuhkan. Terlebih juga bukan untuk saling menyemai konflik dan
permusuhan. Akan tetapi, tujuannya adalah untuk saling mengenal, memahami dan
melengkapi dalam jalinan keharmonisan. Langkah paling strategis dalam memahami
orang lain adalah komunikasi aktif dua arah atau lebih. Dialektika semacam
inilah yang akan mampu menumbuhkan peradaban kemanusiaan yang kompetitif dan
berkemajuan. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam QS. al-Hujrat: 13.
Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang
laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa
dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal…
Teks normatif ini secara tegas dan
jelas mendeklarasikan eksistensi keragaman makhluk Tuhan, khususnya manusia.
Yang paling menarik, salah satu tujuan keragaman tersebut adalah ‘lita’arafu’
(saling memahami). Perintah ini mewajibkan peran aktif dua belah pihak atau
lebih untuk saling memahami. Prinsip nilai yang diajarkan adalah, saling
melebur antara ego dan individu dalam kata “kita”.
Dalam sejarah Islam, salah satu
bentuk rajutan indah dalam keragaman tersebut adalah konsensus yang disepakati
oleh lintas sekat. Semua melebur dalam satu kesepakatan kuat, yaitu Piagam
Madinah. Beragam suku, ras, bahkan agama memiliki hak dan kewajiban yang sama
untuk tunduk dan patuh pada konsensus tersebut. Sekat perbedaan melebur dalam
hak dan kewajiban yang sama sebagai satu bangsa atau negara, yaitu Madinah.
Dalam konteks Indonesia,
konsensus semacam ini pun dijadikan sebagai pijakan untuk menjaga dan
memelihara realitas keragaman yang ada. Kongres Pemuda 1928 yang tertuang dalam
Soempah Pemuda adalah akumulasi kesadaran anak bangsa di kala itu. Kesatuan dan
persatuan yang tertuang dalam teks Soempah Pemuda dengan istilah kata “Kami,
dan satu” menjadi ikatan kuat dan solid di kalangan anak bangsa yang terdiri
dari berbagai etnik, budaya, bahasa, hingga agama.
Konsensus berikutnya adalah
Pancasila sebagai dasar negara. Secara historis, konsensus ini diputuskan dan
disepakati bersama oleh para founding fathers negeri ini. Baik kaum nasionalis,
dan religious (ulama) bersama-sama merumuskannya dengan semangat, motivasi, dan
tujuan yang sama, yaitu agar keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)
tetap utuh dan terjaga.
Sebagai anak bangsa, belajar dari
konsensus Piagam Madinah dan Pancasila adalah keniscayaan. Keragaman dan
keindahan tergambar secara gamblang di dalamnya, sekaligus terbangun kuat ikatan
dan komitmen dalam membangun tujuan bersama. Kepentingan individu, kelompok,
bahkan kepentingan “agama” berada di bawah posisi kepentingan bersama demi
mencapai keutuhan bangsa dan kesepakatan dalam bentuk kata umat.
Dalam konteks NKRI, sebagai anak
negeri yang hidup dan besar di atas Tanah Air Indonesia, Pancasila harus
dijadikan sebagai ikatan bersama dalam membangun bangsa. Ia menjadi Dasar
Negara sekaligus sebagai falsafah bangsa, atau kalimatun sawa dalam konteks
berbangsa dan bernegara. Kesetiaan padanya adalah standart mutlak dalam
menjalankan kehidupan di dalam NKRI.
Pada akhirnya, sebagai bangsa
beragama dan bertuhan, setiap individu harus sadar bahwa mengingkari dan
merusak konsensus adalah pengkhianatan ril dan nyata. Oleh sebab itu, setiap
anak bangsa wajib punya tanggung jawab moral untuk merajut keragaman ini. Jika
keragaman ini dipandang sebagai sebuah karunia Tuhan Sang Pencipta, Indonesia
yang multidimensi, baik agama, suku, ras, budaya serta adat dan istiadat
menjadi warna indah yang tak ternilai harganya. Pada waktu yang sama, ia
menjadi tantangan tersendiri untuk mengelola dan menatanya, agar mampu menjadi
bangsa besar, kuat, bermoral dan bermartabat.
Untuk mengakhiri ulasan singkat
ini, penulis tertarik untuk memahami dan menghayati ungkapan ulama modern,
Muhammad al-Ghazali: “Mencintai Tanah Air adalah insting yang tak bisa
diingkari. Membelanya adalah kewajiban yang tak bisa ditawar.”
Oleh sebab itu, mencintai tanah
air hakikatnya tidak butuh dalil sama sekali, ia hanya membutuhkan akal sehat
dan hati yang jernih. Hanya otak kerdil pulalah yang butuh dalil untuk
mencintai tanah air tempat ia dilahirkan dan tumbuh kembang. Tempat dia
menghirup udara segar, meminum air sepuasnya, dan mencari penghidupan.